26. Not A Big Suprise

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'And don't you know I could see it in you even know? And don't you know I want to help you but I don't know how. Are you really okay?'

-Sleep Token-

Perayaan natal yang dinantikan jutaan orang di dunia makin dekat, tampak dari tiap-tiap ruas jalan berhias pohon-pohon cemara juga lampu-lampu bergantungan indah. Bagaikan kunang-kunang beterbangan ke sana ke mari atau serbuk emas yang ditaburkan ibu peri di negeri dongeng. Selain itu, hiasan-hiasan khas natal berwarna merah, hijau, perak, dan emas tak ingin ketinggalan bahkan pintu masuk setiap bangunan akan ditempel tangkai-tangkai mistletoe dibentuk melingkar dan diberi pita merah, sekadar menunjukkan simbol cinta juga persahabatan. 

Hujan salju rupanya cukup deras dibanding kemarin seolah-olah tak sabar menyambut hari besar umat kristiani. Sebagian dari mereka mungkin mengharapkan Santa mengendap-endap turun dari cerobong asap. Di satu sisi, toko-toko dipenuhi pelanggan yang ingin untuk memberi kado maupun menuliskan kartu ucapan kepada orang tersayang.

"Merry Christmas!" seru si penjual manakala Alexia melambaikan tangan dan keluar dari sebuah toko yang memasarkan peralatan musik. 

Gadis itu mengangkat sebuah hadiah berisi gitar listrik bermerek Gibson sebagai perayaan Jhonny akhirnya diperbolehkan pulang hari usai dua minggu berada di rumah sakit. Walau harus merogoh kocek agak dalam, Alexia tidak mempermasalahkan hal tersebut. Bukankah uang bisa dicari lagi? Lagi pula, kebahagiaan seseorang tidak akan mampu disandingkan dengan nominal barang apa pun di dunia kan? 

Di lain sisi, atas saran dokter pula, Jhonny harus melanjutkan program rehabilitasinya sampai benar-benar bersih. Alexia menyetujui hal itu dan mengajukan diri agar membawa Jhonny ke tempat rehabilitasi di London. Beruntung dokter menyilakan keputusan yang diambil Alexia, asal yang bersangkutan berkomitmen terlepas dari cengkaman obat-obatan terlarang.

"Kali ini aku akan berjanji, Dok," ungkap Jhonny tersenyum tipis menggenggam erat tangan kakaknya.

Namun, rintangan lain yang harus dihadapi Alexia adalah ibunya sendiri. Nancy masih menentang keputusan Alexia membawa pergi Jhonny ke London atas dasar karier yang sedang naik daun. Apalagi gadis itu baru saja disandingkan bersama Ryder dan digadang-gadang akan maju ke Olimpiade mewakili Inggris.

Bukan Alexia bila tidak adu mulut bersama ibunya. Dia bersikukuh bahwa Wiltshire bukanlah tempat yang mampu menyembuhkan Jhonny walau ribuan Poundsterling dikucurkan Nancy. Tanah kelahiran mereka terlalu banyak memendam duka yang tidak akan pernah bisa dilupakan kecuali Jhonny benar-benar menerima masa lalu. 

"Come on, Mom, I don't fucking care," omel Alexia kesal bukan main. "Kau mau melihat putramu terus-terusan sakau? Kau tidak lelah, huh?"

"Ini urusanku sebagai ibu, Lex!"

"Ini urusanku juga sebagai kakak yang lebih memahami Jhonny daripada kau, Mom!" sembur Alexia tak mau kalah. "Wiltshire tidak akan pernah bisa menyembuhkan Jhonny, trust me, Mom!"

"Dasar keras kepala! Aku heran darimana kau menuruni sifat itu, Alexia!" protes Nancy.

"Mungkin darimu, aku agak diuntungkan bisa melawan argumenmu," balas Alexia menaikkan sudut bibirnya.

Alhasil, mau tak mau, suka tak suka, Nancy mengiyakan kendati tidak ada yang bisa meruntuhkan kehendak putri sulungnya. Walau dibayang-bayangi kondisi Jhonny bisa terendus media, Alexia tak goyah. Bahkan cenderung tidak memedulikan apa kata orang selama yang dilakukannya benar.

"Alexia Ross?" sapa seorang gadis bermata monolid yang melambaikan tangan ke arah Alexia. Seketika matanya berbinar bagai menemukan sebuah harta karun bisa bertemu idolanya secara langsung. Buru-buru dia menghampiri gadis pirang yang mengenakan mantel juga syal yang melingkar di leher yang menatapnya terkejut. "Sorry ... aku penggemarmu, ehm ... bolehkan aku foto bersamamu, please?"

"Oh ... oke." Alexia tersenyum ramah seraya mengangguk. Gadis itu memekik kegirangan sambil melompat-lompat lalu mengeluarkan ponsel dari balik mantelnya. "Siapa namamu?"

"Maggie," jawab gadis itu. "Ya ampun, pasti Santa sudah mendengar permintaanku semalam. This is the best day ever!"

"Come on ... hari terbaikmu tidak hari ini saja, Darling," kata Alexia lalu merangkul pundak Maggie yang mengabadikan potret mereka dalam kamera.

"Thanks, Lex," ujar Maggie berseri-seri. "Aku menantikanmu tampil bersama Ryder," tambahnya mengacungkan jempol.

Alexia tak menjawab hanya melenggut membalas lambaian tangan remaja tersebut yang melangkah pergi meninggalkannya. Sesaat bibir Alexia terkatup rapat, menyadari kesalahan besar telah menghilang selama seminggu bahkan lebih tanpa memberi kabar lebih lanjut. Dia mencebik lalu menggeleng-gelengkan kepala menepis anggapan itu. Bukankah mengirim pesan teks kepada Thomas kala itu sudah cukup? Seharusnya Thomas dan Ryder bisa memahami tanpa perlu menuntut lebih lanjut bukan?

"Kau masih bisa mengejar keterlambatanmu, Lex," gumam Alexia merapatkan mantelnya selagi berjalan menuju halte bis. "Ryder pun juga pernah menghilang kan?"

###

Duduk di bangku penumpang mobil classic cooper hijau tua yang dikendarai Nancy, Alexia membuka jendela kaca. Membiarkan udara pedesaan Marshfield, Castle Combe di South Cotswolds memenuhi rongga dada yang berhasil menuntaskan segala kerinduannya pada rumah. Butiran salju diterpa angin sebelum menyentuh pipi dan mendarat di pangkuannya. Jhonny sempat protes bahwa dia kedinginan dan menyuruh Alexia menutup jendela. Namun, gadis itu bergeming dan meminta beberapa menit menikmati suasana yang sudah lama tak didatanginya. 

"Kuharap hidungmu tak mimisan," gerutu Jhonny memutar bola mata.

Yang disindir hanya mengedikkan bahu, enggan memberi tanggapan lagi. Dia memilih menikmati aroma kulit pohon cemara beradu bersama rerumputan basah juga deretan bunga-bunga menguncup tengah menyembunyikan wewangian musim semi. Segar dan dingin setiap kali udara tersebut masuk dan membelai dinding-dinding hidungnya sebelum mendarat ke dalam paru-paru. 

Sepanjang perjalanan, bangunan rumah tua berdinding batu bata dan cerobong-cerobong asap menyeret Alexia ke masa lalu di mana mereka menjadi saksi bisu kejayaan Inggris. Tanpa melupakan sejarah tersebut, bibir Alexia melengkung membentuk senyum karena membayangkan duduk di depan perapian sembari membaca buku atau sekadar mendengarkan cerita masa lalu neneknya--Pippa. Dulu, ketika Pippa masih bugar, di saat-saat menjelang natal seperti ini dia akan memanggang puluhan kue kering dan meminta cucu-cucunya membantu menghias menggunakan icing cream. 

Ya ampun ... aku merindukan masa-masa itu, batin Alexia berkaca-kaca.

Mobil yang ditumpangi Alexia bersama ibu juga adiknya perlahan-lahan memasuki halaman rumah tua berlantai dua di mana ada kendaraan lain terparkir di sana. Seketika kening Alexia mengerut dalam seolah-olah pernah mengenal kendaraan mengilap tersebut. Tapi, di mana?

"Siapa yang datang?" tanya Jhonny merendahkan sedikit posisinya tuk mengamati mobil hitam di sana. "Mom, kau tidak berkencan tanpa sepengetahuanku kan?"

"Jaga mulutmu, Jhonny," omel Nancy tak terima. "Mungkin punya suaminya Lucia," jawabnya lagi. "Bulan lalu suaminya mendapat promosi jabatan."

Bola mata Alexia membola manakala teringat siapa pemilik mobil Bentley mewah yang mengilap di bawah derasnya salju. Dia tidak langsung percaya jikalau kendaraan tersebut dimiliki Ivan--suami bibinya hanya karena kenaikan jabatan di kantor. Bukannya meremehkan tapi prinsip bibinya lebih baik membeli mobil sesuai kebutuhan daripada menuruti gengsi.

Oh fuck! umpat Alexia dalam hati, berhasil mengumpulkan ingatan siapa si empunya Bentley berdasar nomor kendaraan yang terpajang di belakang mobil.

Begitu Nancy mematikan mesin mobil, Alexia melompat turun dan berlari, mengabaikan teriakan ibunya agar berhati-hati karena jalanan agak licin. Sesaat dia berhenti sejenak, memindai penampilan mobil itu lantas bergegas membuka pintu. Dunia serasa membolak-balikkan tubuh Alexia dalam waktu sekian detik mendapati Ryder tengah duduk bersama Pippa juga Lucia. Mereka tampak akrab ditemani cangkir teh juga camilan seolah-olah bertemu teman lama. 

"What are you fucking doing here?" sungut Alexia nyaris memekik tanpa menghiraukan keberadaan nenek dan bibinya. 

Senyum ramah di wajah Ryder langsung lenyap berganti sorot mata penuh amarah. Namun, sebiasa mungkin dia menjaga ekspresinya tetap tenang walau hatinya mendidih bukan main. Dia menyesap cangkir teh lalu berkata, "Partnerku hilang seminggu yang lalu. Bisa kau cari dia? Aku masih mau menghabiskan kue dan tehku di sini, benar kan Pippa?"

"Aku tak mau ikut-ikutan mencari partnermu, Ryder," balas Pippa tak paham maksud tersembunyi Ryder. "Tapi, kau boleh menghabiskan semuanya."

Sebelum Alexia membalas sindiran itu, tubuhnya didorong masuk oleh Nancy sembari mengomel karena tidak membantunya membawakan barang dari mobil. Mendadak dia ikutan terkejut kalau ada tamu penting di rumahnya. "Oh, Ryder! Selamat datang!" sapa Nancy penuh semangat. "Sorry, aku taruh dulu tas ini ke kamarnya Jhonny," pamitnya lalu melangkah pergi dengan tergopoh-gopoh.

"Wow," gumam Jhonny di belakang Alexia. "Sepertinya rumah akan ramai, Lex."

Alexia memutar bola mata sembari mendengus kesal.

"Hadiahmu di sana Jhonny," ucap Ryder menunjuk bungkusan berwarna merah di bawah pohon natal yang ada di sudut kanan ruang tamu. "Kuharap kau suka."

"Terima kasih, Ryder," tandas Jhonny mengulum senyum senang. "Kau boleh membawa kakakku." Dia mencerling ke arah Alexia yang membeliakkan mata.

"Good boy," balas Ryder menyukai respons Jhonny yang cepat tanggap. Dia bangkit berbarengan Pippa menahan lengan kanan Ryder sejenak lalu berkata,

"Jangan cepat-cepat pulang. Menginaplah semalam atau dua malam di sini--"

"Pippa!" sela Alexia makin sebal namun dibalas tawa oleh Lucia.

"Aku setuju," ungkap Ryder mengedipkan sebelah mata ke arah nenek Alexia tersebut. "Sekarang, aku ingin bicara berdua dengan cucumu, Pippa."

"Asal jangan kau bawa kabur," ujar Pippa terkikik membiarkan Ryder menarik lengan Alexia keluar.

Gadis itu menyentak tangan Ryder begitu mereka berjalan keluar rumah. Dia bersedekap sembari sesekali menoleh ke belakang berharap ibu atau adiknya, Pippa, bahkan Lucia tak menguping pembicaraan ini. Sengaja dia berjalan agak menjauh dari bangunan rumahnya, melirik sebentar ke arah mobil mewah Ryder lalu berucap, "Tidak seharusnya--"

"Apa!" potong Ryder jengkel. Dia sengaja menjaga jarak dari posisi Alexia, melipat tangannya di dada. "Mau menyalahkanku karena datang ke sini?"

"That's not your fucking business, Ryder!" sungut Alexia berkacak pinggang. "Aku sudah bilang ke Thomas akan kembali begitu urusanku selesai! Apa kau tidak paham, huh!"

"Oh, damn ... Alexia ..." geram Ryder mengusap rambutnya gemas. "Apa kau tidak ingat kalimat yang kau ucapkan dari bibirmu? Kita ini tim sungguhan atau sekadar permainan dalam kepalamu saja, Lex! Bahwa tidak semestinya kita memendam kesedihan!" Dia memukul dadanya dengan kepalan tangan meniru Alexia sewaktu di Somerset House.

Seketika Alexia bungkam mendengar penuturan Ryder yang benar-benar serasa seperti meninju ulu hatinya. Sialan! batin gadis itu memalingkan muka, menghindari pandangan penuh kemurkaan atas keputusan sepihak yang diambilnya. Namun, semua itu tidak sepenuhnya salah Alexia bukan. Siapa yang tidak panik mengetahui adiknya tengah membunuh diri sendiri lantaran didatangi ayah bajingan yang pernah mencampakkannya. Siapa?

"Jawab, Lex!" desak Ryder membelalakkan mata. 

"Fine, I'm sorry!" pekik Alexia frustrasi. "Aku hanya panik waktu itu, oke!"

"Apa kau menganggapku tim?" tanya Ryder balik seperti melempar kotoran anjing di wajah Alexia. Pertanyaan yang pernah diberikannya ketika di toko buku kala itu. "Rasanya kita berdiri di dua sisi, Lex! Aku tidak tahu mana yang benar ketika berhadapan denganmu." 

"Ryder ..." Suara Alexia lirih dilanda rasa bersalah. Namun, tak tahu harus berkata apa lagi. 

"Kau mengejekku tidak memahami arti tim," ejek Ryder. "Sekarang lihat dirimu sendiri. Kau egois! Kau memaksaku membuka rahasiaku kepadamu, menceritakan apa yang kutakutkan ketika di ice rink. Tapi, kau? Kau bahkan menyembunyikan segalanya dan bertindak sesuka hatimu, Alexia!" cerocosnya tanpa henti hingga wajahnya memerah. "Kau menghilang berhari-hari bahkan mengabaikan persiapan ujian skating kita! Kau pikir, pairs itu mudah?"

"Ryder ..."

"Pikirkanlah baik-baik, apa benar kita ini tim seperti yang ada di pikiranmu? Kita tidak akan pernah sejalan bila kau memilih jalan lain, Lex!" tandas Ryder kian menyudutkan Alexia. "Aku mengiyakan undangan menginap nenekmu sebagai bentuk hormatku kepadanya. Jangan bicara padaku sebelum kau benar-benar merenungkan kesalahanmu, Lex!" Setelah itu Ryder berbalik dan berjalan masuk ke dalam rumah meninggalkan Alexia seorang diri berselimutkan hawa dingin menusuk sanubari.

Oh damn! What should I do?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro