27. Below Your Mouth 🔞

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'If you want to give, then give me all that you can give.'

-Sleep Token-

***

Guy : Kau di mana, Bung?

Nathan : Dad mencarimu, Ryder.

Nathan : Kau masih hidup kan? Coco sendirian di rumah ketika aku datang bersama Guy.

Dad : Kau natalan bersama kami atau tidak? Kenapa Coco kau biarkan sendirian?

Ryder : Aku berada di Wiltshire, ada sedikit masalah dengan Alexia, Dad

Ryder : Jangan salah paham, ini bukan salahku oke. Aku akan pulang besok.

Lelaki itu mencebik membalas deretan pesan dari keluarganya tentang perayaan yang seharusnya dihabiskan bersama mereka. Namun, nyatanya dia harus berada di sini. Di kediaman Alexia dan membaur untuk melihat sejauh mana keretakan yang menimpa keluarga penuh kehangatan ini. 

Setelah mendapatkan secuil informasi dari Lucia--yang mengajaknya bicara empat mata--akhirnya Ryder tahu apa yang menyebabkan Alexia hilang ditelan bumi. Lebih tepatnya siapa yang melenyapkan senyum manisnya. Gumpalan amarah menggerombol menjadi bongkahan menyakitkan dada begitu mendengar detail demi detail kisah kelamnya. 

Namun, Ryder paham bahwa sehebat apa pun badai yang menerjang sebuah keluarga, pasti ada yang terkena dampak paling besar terutama anak. Oleh sebab itu, sebisa mungkin dia tidak menjustifikasi penampilan lusuh nan kurus Jhonny sewaktu lelaki itu menginjakkan kaki di rumah. Meskipun terkadang tak mampu menyelundupkan kekecewaannya terhadap sikap Alexia.

"Kalau kau bertemu Jhonny, tolong jangan singgung apa pun tentang ayahnya. Bersikaplah seperti kau menyambut teman lama, jangan menaruh simpati karena Jhonny agak sensitif," titah Lucia mengingatkan Ryder. "Begitu pun Alexia meski sejujurnya aku paham keponakanku menyimpan luka ini sendirian."

Jarum jam rasanya bergerak lamat-lamat bermetamorfosis menjadi seekor siput malas yang enggan berpindah haluan. Waktu pula menjadikan atmosfer di sekitar Ryder da Alexia sepanas neraka walau di luar sana salju mengguyur lumayan deras dibanding kemarin. Dua malam tanpa bicara dan tanpa kontak mata. Saling melempar sindiran yang hanya mereka tahu untuk siapa ejekan itu dilontarkan. Sedangkan Pippa menjadikannya bahan lelucon yang tidak semestinya dibuat serius. 

"Hidup sudah rumit, jangan ditambah dengan hal-hal lain, Darling," tuturnya saat makan malam kedua bersama Ryder. "Lapar tinggal makan. Haus tinggal minum. Lelah tinggal tidur. Marah tinggal bilang. Main kode? Kalian kira ini jaman perang?" candanya lagi mencerling ke arah Ryder penuh arti.

"Aku tidak bermain kode kecuali seseorang menganggapnya seperti itu, Pippa," balas Ryder menangkap gelagat Alexia melalui ekor matanya. "Lelaki tidak suka bermain tebak-tebakan, kan?"

"Itu benar," jawab Pippa mengangguk-anggukan kepala selagi menyendok sup buatan Nancy. "Ya ampun, kau mau jadi cucuku menemani Jhonny di sini? Kita bisa bergosip di teras saat musim semi dan merajut syal."

"Aku tidak mau diduakan, Pippa," timpal Jhonny geleng-geleng kepala.

Di satu sisi, Alexia diam seribu bahasa, sibuk mengaduk sup daging sapi begitu tak minat untuk menanggapi lelucon Pippa yang sama sekali tak lucu. Bukannya dia terlalu kaku, hanya saja pandangan sinis Ryder menghunus terus-menerus kepadanya. Dan ketika bertatap, raut Ryder berubah dingin seolah-olah Alexia adalah terdakwa yang patut dijatuhi hukuman berat. Bahkan saat berpapasan di lorong menuju kamar di lantai dua, Ryder memilih balik ke kamar tamu daripada bersentuhan kulit.

Alexia bisa saja menghardik Ryder yang terlalu ikut campur ke dalam urusannya. Tapi, hal tersebut dianggap terlalu banyak buang-buang energi di saat otaknya berada dalam ambang batas memikirkan masalah sepele tersebut. 

Bukankah pesan teksku ke Thomas sudah lebih dari cukup? Apa lagi yang dia harapkan?

"Mom menyukainya," bisik Nancy di sisi kanan Alexia, membuyarkan lamunan panjang gadis itu. "Pria yang luar biasa baik daripada mantanmu sebelumnya." Ekspresinya begitu berbinar seperti mendapatkan undian berhadiah besar.

Alexia mencebik pelan dan tidak dapat menahan matanya untuk berputar. "Mom ... kami hanya partner oke, tidak lebih dari itu," protesnya agar tidak menyinggung masalah mantan atau hubungan yang sama sekali tidak terlintas di kepala sekarang.

"Kalian sedang ada masalah?" celetuk Lucia menangkap basah Alexia tengah curi-curi pandang ke arah Ryder. "Dari kemarin, aku perhatikan kalian tak saling bicara."

"Tidak!" jawab Alexia.

"Ya!" seru Ryder mengalihkan perhatian kepada gadis itu sebentar.

"Tidak kompak sekali." Kali ini Pippa menyahut sambil tertawa. "Perlu kusiapkan sebuah kamar untuk kalian berdua? Biasanya ranjang bakal menjadi tempat ternyaman menyelesaikan masalah anak muda."

"Pippa!" seru Alexia dan Ryder bersamaan nyaris seperti koor. 

Mana mungkin di saat-saat seperti ini neneknya menyinggung masalah ranjang dengan begitu santai? batin Alexia tak habis pikir.

"Apa? Aku tidak membicarakan seks," bela Pippa menyeruput minumannya. "Gairah anak muda sering kali membuat mereka lesu seperti ini," sambungnya begitu tenang. "Nancy, Lucia, Samantha, dan sekarang cucuku pun begitu. Aku hafal perangai kalian, Girl."

"Ya ampun ..." Lucia memutar bola matanya malu yang dibalas sikutan Nancy yang menahan tawa. "Aku tidak menyadari melakukan itu sewaktu muda dulu. Enak sekali Percy tidak pernah disinggung."

"Kamar dan ranjang tidak akan jauh dari seks," sahut Nancy tak suka. "Aku melarang itu di rumahku. Itu aturanmu sedari dulu, Mom." Dia mengingatkan Pippa atas aturan yang dibuat bertahun-tahun lalu.

"Ranjang tidak selalu tentang seks. Hanya bicara dan berpelukan," timpal Pippa tak menanggapi ucapan Nancy. "Itu yang kulakukan ketika ayahmu masih hidup, Nancy. Masalah tidak akan selesai hanya dengan diam satu sama lain. Memangnya kalian antisosial?"

"Bisakah kita tidak membicarakan seks, ranjang, atau apa pun itu?" sahut Jhonny. "Aku agak mual membayangkannya."

Ryder terkekeh sembari berbisik, "Kau akan tahu ketika merasakannya, Dude. Itu tidak memuakkan sama sekali."

"Kurasa itu yang akan kau lakukan ketika bersama kakakku, kan?" bisik Jhonny selirih mungkin. "Tapi, Lexi tidak semudah yang kau bayangkan, Mate."

"Oh iya? Saat ini, aku tidak tertarik selama kemarahanku masih ada padanya," balas Ryder. "Tapi, aku tidak akan menolak bila dia mengajakku ke kamar tidur."

"Damn," ledek Jhonny memukul lengan Ryder.

###

Usai makan malam, Pippa memerintah Ryder dan Alexia mencuci semua wadah kotor alih-alih mengurung mereka ke dalam kamar sesuai ucapannya tadi. Walau sempat ditolak tegas, namun akhirnya mereka menurut terlebih Ryder hanyalah tamu. 

Tidak hanya sampai di sana saja, Pippa meminta anaknya dan Jhonny kembali ke kamar masing-masing supaya tidak mengganggu pasangan muda yang dilanda perang dingin tersebut. Nancy sempat merajuk bak anak kecil, namun tatapan tajam Pippa berhasil memaksa kakinya masuk ke dalam kamar.

"Aku tidak mau mereka berciuman di sini, Pippa," gerutu Nancy. "Itu aturanku!"

"Sudahlah, mereka sudah dewasa, Nancy bukan remaja yang perlu kau awasi," balas Pippa menutup pintu kamar Nancy. "Seperti dia tidak pernah muda saja," cibirnya geleng-geleng kepala.

Kucuran air dari keran menjadi pemecah keheningan yang membekap erat dua insan tersebut. Masih sama-sama bungkam dan menjaga jarak, Alexia menyibukkan diri mencuci peralatan makan yang kotor sementara Ryder merapikan meja makan. Sesaat, ketika lelaki itu membalikkan badan untuk meletakkan gelas dan mangkuk sup, Ryder menangkap Alexia sedikit risi dengan rambut panjangnya yang terjuntai ke depan. Beberapa kali dia mendongakkan kepala sambil menggerutu pelan.

Shit! umpat Ryder dalam hati lantas menaruh bawaannya ke dalam bak cuci piring. Sekelebat dia menangkap ada gelang rambut merah berhias mutiara imitasi milik Alexia tergeletak di atas kulkas. Disambar benda tersebut lalu berdiri di belakang Alexia dan mengumpulkan rambut pirangnya dalam satu genggaman. Dominan.

Alexia tersentak kaget, seketika tubuhnya menegang dalam hitungan beberapa detik akibat jemari Ryder menyisir rambutnya sebelum diikat menjadi cepol sederhana. Kontak fisik tak diundang ini menyebabkan jantungnya sempat amnesia tuk berdetak begitu pula dengan perutnya yang mendadak seperti ditonjok dari dalam. Nyeri tapi anehnya menyenangkan.  

Sesuatu yang sangat ingin disangkal Alexia melonjak saat embusan napas Ryder membelai tengkuk leher. Dewi batinnya berbisik bilamana hidung mancung Ryder menghidu selagi bibirnya menyusuri lekuk pundak dan merangkak naik ke telinga tuk memantik gelora. Bagaimana jika wangi tubuh leather yang menjadi ciri khas lelaki itu melebur bersama miliknya? 

Singkirkan pikiran kotormu, Alexia!

"T-thanks." Suara Alexia tergagap merutuki diri sendiri kenapa di saat seperti justru bayangan mesum menyusup tanpa permisi. Dia menoleh sebentar dan sebagian dari dirinya tak rela begitu merasakan Ryder bergerak menjauh.

Lelaki itu tak menanggapi sama sekali saat memosisikan diri di sisi kiri Alexia untuk membilas peralatan makan yang sudah dicuci sebelum dikeringkan di rak.

"Ryder," panggil Alexia membuka obrolan. Mungkin perkataan Pippa ada benarnya, mana mungkin dia dan Ryder terus-menerus saling membisu sementara ada masalah yang semestinya perlu diselesaikan.

Tidak ada sahutan. Suara Alexia ternyata hanya dianggap sekumpulan dengung di telinga Ryder.

Jika seperti ini, Alexia serasa dipaksa menurunkan ego juga gengsi. Padahal sungguh, bukan dialah yang memantik api semakin besar antara dirinya dan Ryder. Dia butuh waktu dan ruang saja, apakah salah? Helaan napas meluncur dari bibir sebelum gadis itu berucap,

"Kau pernah bilang bahwa kita terlalu mengalami banyak salah paham karena komunikasi."

Ryder tetap bungkam, tapi diam-diam mendengarkan apa yang dikatakan Alexia selanjutnya. 

"Aku sadar." Meski berat mengakui, batin Alexia.

"Oh iya? Kau sadar pun tidak lekas membuatmu menguak apa yang ada di kepalamu," sindir Ryder tak langsung mempercayai perkataan Alexia yang terkesan terpaksa. Dia menerima gelas pemberian gadis itu untuk dibilas dan ditaruhnya ke rak.

"Bukankah aku sudah berkata maaf?" bela Alexia mendongak ke arah lelaki itu. Seharusnya sudah cukup kan?

"Maaf?" Dia tersenyum mencemooh. "Ucapanmu tidak sebanding waktu yang kau sia-siakan, Lex," gerutu Ryder akhirnya memandang mata biru Alexia di bawah lampu dapur yang menyorot lembut. Iris mata itu memang diselimuti rasa bersalah tetapi masih menyembunyikan sesuatu yang tidak dipahaminya. Rahasia. Ryder paling benci rahasia karena itu akan membawa sebuah malapetaka. "Bagaimana kau bisa menebusnya?"

Embusan napas kasar lagi-lagi keluar dari mulut Alexia ketika Ryder masih belum memberinya pengertian. Sebelah tangannya mematikan keran lalu mengeringkannya dengan tisu, begitu pula Ryder. 

Lantas dia bersedekap, menyandarkan pinggul ke konter menghadap ke Alexia tuk menuntut kejelasan. Sampai mana permainan kata ini berakhir.

"Kita bisa memulainya setelah perayaan Natal," usul Alexia. "Atau kau mau latihan besok? Kita bisa kembali ke London bersama adikku."

"Omong kosong. Bahkan kau tak paham maksudku," tutur Ryder mendengus sebal. "Why? Aku hanya ingin tahu kenapa? Kenapa kau menghilang? Kenapa kau tak memberiku kabar? Kau bilang kita ini tim, tapi kau  sendiri melanggar semuanya. Apa ini balasanmu padaku, Lex? Kau hanya berpura-pura  percaya tapi segalanya hanya tipuan belaka kan? Kau hanya mementingkan kepuasan egomu, Lex, kau memaksa orang mengungkapkan masalah mereka. Tapi kau ..." Kalimat itu hilang ditelan kesenyapan manakala Ryder memutuskan berpaling ke arah meja merasakan emosinya mulai di luar kendali. Dia menggertakkan rahangnya sambil mengumpat pelan. Fuck!

Walau tahu apa penyebab hilangnya Alexia selama berhari-hari, tetap saja Ryder berhak mendapatkan jawaban langsung dari bibir gadis itu. Dia ingin Alexia jujur bukannya berlagak sok kuat sementara beban yang dipikulnya seorang diri begitu berat. Dia bisa mengolok Alexia sebagai wanita munafik yang sok ingin membahagiakan semua orang sedangkan dirinya sendiri berada di jurang nestapa.

"Aku--"

"Semua pesanku kau abaikan, teleponku kau tolak, kedatanganku tak kau sambut dengan baik. Kau malah memarahiku seakan-akan aku ini salah, padahal kau sendiri penyebab pertengkaran kita. Sebenarnya apa maumu, Lex?" lanjut Ryder menyela ucapan Alexia supaya dia menuntaskan semua keluh kesah. "Bukankah kau bilang jangan pernah memendam masalah seorang diri. Itu kan yang kau tanamkan padaku sewaktu kita di Somerset House? Apa itu juga omong kosong, Lex?"

Bibir Alexia terkatup rapat saat Ryder mencecarnya tanpa henti bagai menodong sebilah pisau dan menyuruhnya terjun bebas tanpa parasut. Tentu saja apa yang dituduhkan Ryder tidak sepenuhnya benar. Jika kondisinya tidak rumit seperti ini, Alexia akan melakukan apa yang dijabarkannya. Tapi, dia sendiri butuh ruang tuk menenangkan diri. Butuh waktu untuk membuka rahasia yang tidak semua orang bakal menerima. Apakah itu salah? Kenapa semua orang selalu saja memaksa?

Korneanya mulai terasa pedih kala rentetan paragraf yang ingin dilontarkan Alexia tertahan di tenggorokan bagai bongkahan yang tak mau menggelinding keluar. Lidahnya pun ikut-ikutan kelu seolah mengalami kelumpuhan tanpa sebab. Dia meremas pinggiran konter ingin terhuyung begitu sensasi pening menyergap kuat seperti mengikat kuat kepalanya.

Bola mata Ryder memelototinya membuat Alexia memalingkan muka merasakan batinnya kini saling adu mulut. Jujur. Tidak. Jujur. Tidak. Digigit bibir bawah keras-keras merasakan dilema perlahan-lahan mencekik. Lagi dan lagi. Sementara ego Alexia berontak sebab tidak ingin Ryder menaruh belas kasihan.

"Lex ..." panggil Ryder frustrasi nyaris di ujung jurang keputusasaan. "Just tell me what happened!"

"Kau tak bertanya pada bibiku atau Pippa?" tanya Alexia.

Ryder menggeleng cepat. "Tidak! Masalahku ada padamu, untuk apa kau menyeret mereka?"

Alexia memejam sembari menggigit bibir bawahnya makin kuat menahan agar emosinya tidak meledak ketika saat tembok pertahanannya mulai retak.

Jangan menangis, Lex! Jangan menangis! Kau kuat!

"Stop biting that fucking lip!" geram Ryder menarik lengan dan meraup mulut gadis itu dengan liar.

Dunia yang dipijak Alexia serasa berhenti berotasi manakala Ryder melingkari tengkuknya begitu kuat, mengikis jarak yang tercipta sehingga tidak ada celah untuknya menggapai udara. Tungkai dan belulangnya melunglai seperti besi yang dipanaskan dalam suhu tertinggi hingga tanpa sadar tangannya meremas sweter gelap Ryder. Tangan kiri lelaki itu mendekap erat pinggang Alexia begitu ingin meremukkan penghalang yang membentenginya.

Kemarahan beradu keputusasaan tumpah ruah tak sanggup dibendung lebih lama, ketika Ryder mendesak lidahnya tuk menguasai mulut Alexia yang dipenuhi rahasia. Dia benci gadis itu membohongi perasaannya sendiri dan berlagak segalanya bisa selesai tanpa uluran tangan orang lain. Dia juga benci setengah mati ketika Alexia bisa melontarkan petuah namun dirinya sendiri hanyut dalam duka. 

Dia sok peduli pada orang lain lalu tiba-tiba lenyap tanpa jejak. How fucking bullshit!

Sementara itu Alexia tak mampu mengelak belaian lidah Ryder di mulutnya. Justru dia menyambut penuh rasa frustrasi mengapa lelaki di depannya ini enggan mengerti. Perlahan tangannya bergerak, mengalungi leher Ryder, membalas lumatan begitu serakah bagai orang baru menemukan telaga. Digigit bibir bawah lelaki itu yang selalu menuntut bercerita padahal setiap manusia berhak punya rahasia. Untuk apa Ryder bersikap peduli jikalau dia hanya dilanda penasaran semata?

Dapur menjadi saksi bisu akan cecap bibir yang saling beradu serta ego yang tak mau luruh. Kedua tangan Ryder merangkul pinggul Alexia sebelum mengangkatnya di meja konter kemudian berpindah lagi merangkum wajahnya begitu agresif. Bagai ingin memuaskan kebutuhan, Ryder memagut bibir gadis itu bak singa kelaparan, merasakan denyut nadinya mengalir deras menyalurkan panas yang bergerombol dalam perut sebelum meledak menjadi jutaan kupu-kupu berselimut damba. 

Di antara kesadarannya yang hampir pudar juga lenguhan Alexia yang membangunkan sisi primitif Ryder, ingin sekali dia merobek baju yang dikenakan gadis itu sekadar mencari-cari rahasia lain yang diendapkan diam-diam. Bila perlu, dia rela menjilati setiap inci kulit Alexia demi menguak tabir tersebut. Sesuatu yang dibencinya sejak kematian mendiang Cherry.

Ciumannya kini berpindah, menuruni lekuk leher jenjang Alexia menghadiahi jejak merah nan basah, menimbulkan erangan rendah yang menggetarkan jiwa. Sedangkan tangan kirinya mencengkam leher jenjang Alexia ketika gadis itu mendongak berharap ada segumpal rahasia melesak keluar dari mulut gadis itu.

"I hate your fucking secrets," bisik Ryder di telinga Alexia yang justru terdengar bagaikan senandung sensual. Dia menarik pelan daun telinga gadis itu dengan bibirnya sebelum meraup mulutnya lagi. Menyesap penuh amarah yang menggulung dirinya ke tengah lautan. "I trusted you, why can't you trust me too, Lex?" tanya Ryder di depan bibir Alexia seperti sedang mencabik-cabik hatinya. 

Terengah-engah, Ryder melepas pagutan liar itu lantas menyatukan kening seraya menderam, menyesali apa yang barusan terjadi di antara mereka.

"Why did you kiss me?" tanya Alexia dengan napas memburu selagi mengumpulkan kewarasannya yang tercecer entah ke mana.

"Aku tidak tahu." Ryde menggeleng pelan ketika jempolnya menyapu lembut bibir Alexia yang bengkak akibat ulahnya.

"Why do you care, Ryder?" Suara Alexia terdengar sendu seiring iris birunya menggelap ditelan kemurkaan. Dia menelan saliva susah payah, merasakan embusan napas lelaki itu yang menyentuh permukaan kulit bibirnya yang basah.

"Because I do," jawab Ryder tanpa ada secuil keraguan.

"But why?" desak Alexia penasaran. "Aku tak mau dikasihani," sambungnya memandang lurus ke dalam bola mata Ryder. "Aku bisa mengurusnya sendiri tanpa bantuanmu, Ryder."

"Kau bertindak seolah-olah bisa menyelesaikannya seorang diri, Lex, but you don't," tukas Ryder menyingkirkan helai rambut gadis itu ke belakang telinga. "Kau sudah tahu betapa besar lukaku di masa lalu, kenapa aku tidak? Aku mengerti kalau posisiku masih orang asing bagimu, Lex, tapi aku mohon ... jika kau menganggapku teman ... izinkan aku merasakan apa yang kau rasakan."

Lagi-lagi Alexia membisu meresapi kata demi kata yang meluncur dari bibir Ryder. Dia ingin membalas namun segalanya tertahan di ujung lidah berakhir dengan bibirnya yang bergetar menahan rasa sakit tak berkesudahan. Kristal bening yang sedari tadi dihalang-halangi agar tak merembes kini perlahan-lahan pecah. Sekarang, dialah anak anjing tersesat di tengah badai, mengharapkan pertolongan setelah sekian lama terombang-ambing dalam keputusasaan.

"I know you're not really okay, Lex. Your eyes can't lie to me.

Bagai menemukan kunci yang telah lama hilang, kotak pandora yang bertahun-tahun dikubur kini menyembul ke luar. Bukan kebahagiaan yang merangkul, melainkan air mata tumpah ruah tanpa bisa dihentikan. Dinding yang memisahkan sisi lemah Alexia kini luluh lantak, meninggalkan sosok rapuh yang meringkuk di sudut kegelapan. Semua pecahan kenangan yang menghancurkannya dulu menyisakan sebuah lubang menganga di dada. 

Tak tega, direngkuh gadis itu dalam dekapan dan membiarkannya menangis tanpa menyela. Sebelah tangan Ryder membelai lembut rambut Alexia sembari memberi ciuman di puncak kepala. "It's okay, Little love," bisiknya iba. "Don't blame yourself, Lex ... I'm here. I'm not going anywhere."

Tanpa disadari, Pippa yang diam-diam memerhatikan keduanya lantas mengulum senyum lalu berbalik seraya berjalan tertatih-tatih menggunakan walker. 

Rasanya aku perlu menambahkan dapur sebagai tempat meredam api yang menyala-nyala. Kau benar, Ryder, Alexia tak perlu memendam masalahnya jika ada kau. Dia bukan super woman bahkan ibunya saja terkadang masih menangis diam-diam, batin Pippa. 

"Kuharap Nancy tidak memergoki anaknya berciuman begitu panas," gumam Pippa menyunggingkan seulas senyum tipis.

***

Bagaimana menurut kalian bab ini? Permulaan spicy scene setelah bolak-balik skinship terus 🙃

Bab ini ada scene additional yang bisa kalian baca atau kalian skip. Sama seperti sebelumnya, additional part tidak akan mempengaruhi jalan cerita ya. Di bab 28, cuma dibahas sekilas dari sudut pandang Ryder.

Spoiler :


Di Instagram juga ada sefruit audio mereka ya. Follow IG-ku Ry_kambodia

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro