3. Watch your mouth

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'A million thoughts in my head, should I let my heart keep listening.'

-Dove Cameron-

***

Brengsek!

Bagai orang kesetanan, Alexia mengentak-entakkan kaki berbalut combat boots krem begitu keluar ruang ganti. Sembari menyeret koper abu-abu berisi peralatan skating, mulut Alexia tak berhenti mengutuk sikap kasar Ryder yang menganggapnya remeh. Sialan! Sialan! Sialan! Dia pikir siapa sampai mengolok bentuk mata orang? batin Alexia ingin menendang pangkal paha Ryder. Meski badannya tidak sampai 186 cm seperti Ryder, dia mampu melayangkan pukulan telak atau minimal mencolok matanya dengan jari.

Raut wajah Alexia seketika melunak saat membalas lambaian tangan satu dari tiga gadis yang berdiri di lobi Golden Skate. Poppy si gadis berambut brunette yang digerai sampai ke punggung--menangkap ekspresi datar bercampur kesal yang dipancarkan Alexia kemudian bertanya,

"What's wrong, Babe?"

Alih-alih menjawab, Alexia bersedekap sembari meloloskan napas melalui mulut supaya kekesalannya berkurang sedikit. Dia mengibaskan tangan merasakan hawa panas membelai setiap lapis permukaan kulit walau di luar cuaca dingin. "Aku heran apa yang dilihat orang sampai bisa menggilai Ryder," tukas Alexia. "Lagaknya mirip orang hebat saja."

"Wait, Babe ..." Norah--gadis bermata monolid dan berjaket puffer merah jambu--menyentak bahu Alexia dengan pandangan selidik. "Don't you remember that I'm his biggest fans? Of course he's fucking hot, smart ass, and ... " Dia menutup mulut tak mau meneruskan rentetan kalimat pujian terhadap idolanya.

Alexia dan Poppy memutar bola mata bersamaan membuat Arya--gadis paling mungil dan berambut sebahu bergaya medium bob terkikik.

"Jadi, kenapa dia mendadak muncul setelah sekian lama menghilang, Lex?" Kini Arya yang memberinya pertanyaan dengan raut penasaran. "Apa dia mau menggandengmu sebagai pasangannya?"

"Hell!" Alexia mendelik tak terima. "Lebih baik aku masuk kandang buaya daripada bersamanya." Dia bergidik ngeri sembari merangkul lengannya sendiri.

"Kelihatannya pertemuan kalian tidak berjalan begitu baik," komentar Arya.

"Sudahlah, jangan buat aku jengkel. Kalian tetap di sini atau ke kafe? Aku dengar beberapa akses jalan ditutup karena gundukan salju."

Norah menggeleng. "Aku ada pertemuan dengan dosenku. Dia bilang aku harus mengambil ujian susulan daripada disuruh mengulang. Dasar gila!" Kemudian dipeluk satu-persatu temannya begitu tak rela jikalau berpisah.

"Aku berdoa pada Tuhan semoga kau segera lulus dari penjara seksi itu," sambung Arya mencium pipi Norah. "Tapi, omong-omong dosenmu tampan tahu."

"Shit!" Poppy membeliakkan mata mendengar penuturan Arya. "Dia bahkan sepuluh tahun dari Norah."

"Why? Itu seksi, Poppy," sahut Alexia mengiyakan opini Arya lantas memeluk Norah. "Semoga ujianmu lancar, Babe."

Begitu Norah pergi, Poppy mendapat telepon dari teman kakaknya yang sudah menanti di area parkiran. Dia mendecak sebal lantas ikut pamit pulang dan akan memberi kabar begitu sampai di rumah. 

"Kau?" Alexia menunjuk Arya. "Mau ikut denganku ke kafe dekat halte?"

Arya menggeleng sambil meringis. "Aku menunggu kenalanku di sini," bisiknya mengerlingkan sebelah mata. "Semoga harimu menyenangkan, Babe."

###

Sesampainya di kafe dekat halte yang tidak jauh dari Golden Skate, Alexia disambut semerbak aroma biji kopi berbaur mentega dari roti-roti yang baru keluar dari pemanggang. Dihirup dalam-dalam wangi menenangkan ini lalu memilih sofa khaki di salah satu sudut kafe dengan meja mahoni yang mengilap sebagai tempatnya beristirahat. Tak lama seorang pelayan menghampiri Alexia dan berseru,

"Oh, Lex!"

Alexia membalas senyum ceria Mia--gadis berkulit tan dan berambut keriting--yang menjadi salah satu penggemar beratnya semenjak pindah ke klub Golden Skate. 

"Pasti kau butuh secangkir raf coffee, kan?" terka Mia hafal menu yang selalu dipesan Alexia. 

Yang ditanya menggeleng pelan. "Cafe noisette, please. Setidaknya aku butuh sesuatu yang agak manis dan creamy."

"Baiklah. Mungkin didampingi sepotong dark chocolate cake?" tawar Mia. "Kami sedang mengadakan diskon, lagi pula jalanan masih dibersihkan dari tumpukan salju. Aku mendengar beritanya tiga puluh menit lalu."

Alexia menolak halus. "Tidak, kopi saja. Terima kasih, Mia."

Sembari menunggu, Alexia mengeluarkan sebuah buku bersampul gelap bertuliskan kumpulan huruf hijau neon. Ini adalah buku keempat dari seri romansa pria-pria kaya nan posesif, salah satu cerita yang sedang digilai Alexia beberapa minggu terakhir. Semacam ada kecanduan tersendiri bagi Alexia berfantasi bilamana ada pria seperti itu di dunia nyata. Ya ampun ...

Sesaat kemudian, alis Alexia menyatu mengobservasi warna hijau nyentrik menghiasi sampul buku. Seolah-olah didorong ke lorong waktu di mana satu jam lalu dia menghadapi seseorang yang memiliki warna mata serupa. Bedanya bukan terang layaknya rerumputan diterangi semarak musim panas, melainkan gelap. Mengingatkan Alexia pada hutan rimbun yang sulit ditembus binar mentari akibat diselubungi banyak rahasia. 

Shit! Why his damn face in my head!

Ada sesal menggelayut manja di benak Alexia kenapa tak melayangkan tamparan keras di muka sombong Ryder. Seharusnya dia balas mengolok balik dengan kenyataan lelaki itu tak mau keluar kandang setelah kecelakaan.

Dasar manusia tak punya masa depan!

Tarik napas, Lexi ... tarik napas ... jangan buang energimu hanya karena pria menyebalkan itu.

Alexia menyengguk, menuruti kata dewi batinnya daripada terbawa situasi tak menguntungkan. Menit demi menit berlalu, Alexia hanyut dalam cerita sampai-sampai menggigit bagian dalam pipi sekadar menahan senyum. Bagaimana tidak, dia membaca tokoh utama pria tengah cemburu dan mengancam akan membunuh lelaki mana pun yang menyentuh kekasihnya. Dari sudut pandang Alexia, entah kenapa bagian ini tampak menggemaskan.

"Salah satu buku yang bakal kuberi bintang satu. Alur berputar-putar, terlalu banyak monolog, male lead yang terobsesi dan tidak jelas arahnya."

Suara serak nan rendah sekaligus kasar memaksa leher Alexia berpaling ke si empunya. Seketika matanya membola dan rahangnya nyaris menyentuh permukaan lantai kafe mendapati pria yang sama sekali tidak ingin dilihat kini tengah duduk di depannya. Ekspresi lelaki itu masihlah datar tapi makin mengintimidasi.

Sial! Sejak kapan pria sombong ini datang? 

Otomatis Alexia mengamati sekeliling apakah kehadiran si mulut besar bakal memicu kehebohan seperti di gelanggang tadi. Namun, kemunculan Ryder dengan masker dan hoodie tebal serta rambut cokelat tembaga yang memanjang sampai tengkuk, kedengarannya tidak terlalu menarik minat kecuali dia berteriak di tengah-tengah menyerukan kembali ke ice rink

Abaikan, Lex! Siapa tahu dia cuma hantu penasaran.

Benar! Dewi batin Alexia sungguhlah benar. Tak harus memedulikan Ryder hanya karena komentar pedas terhadap novel favoritnya. Itu akan menguras energinya lagi. Tidak ada gunanya juga kan?

Jadi, Alexia memfokuskan kembali bacaannya dalam diam, di mana kedua tokoh sedang bercinta begitu panas hingga tanpa sadar pipinya bersemu membayangkan hubungan intim tersebut. Astaga... that should be me.

Perut Alexia bergejolak bagaikan jutaan kupu-kupu sedang menggelitiki diafragmanya.  Sekujur tubuhnya merinding dan belulangnya sebentar lagi bakal meleleh bagai secangkir cokelat panas, meniti satu demi satu adegan panas di atas yacht. Ya ampun, dia benar-benar suka cara penulis merangkai kata-kata penuh gairah. Kalau disuruh memilih salah satu dari sekian tokoh fiksi, male lead dalam buku inilah yang sangat ingin diwujudkan Alexia di dunia nyata. He's fucking hot!

"Dasar aneh," gumam Ryder geleng-geleng kepala. Dia mencebik kesal seraya menyandarkan punggung dan bersedekap menyorot Alexia yang sungguh tak menganggapnya ada. 

Atau dia memang sengaja? Oh ... begitu cara mainmu, huh?

Pandangan Ryder tertahan di bagian bintik-bintik cokelat muda di pipi tirus Alexia selama beberapa detik sebelum turun ke bibir penuh itu. Lalu, perhatiannya merangkak naik ke rambut pirang bergelombang yang dibiarkan tergerai bebas dan berkilau diterpa lampu kafe.

"Padahal ada yang lebih bagus dari cerita itu," gerutunya lagi tuk memancing Alexia.

Sekali lagi Alexia tidak mendengarkan ucapan Ryder yang sengaja menaikkan nada bicaranya. 

"Apa bagusnya male lead yang narsistik mengatakan dia bahaya tapi tak melakukan apa-apa?" Ryder melanjutkan komentarnya lagi. "Masih lebih kejam vampir daripada si bodoh itu," sambungnya membuat Alexia melirik sinis kepadanya. Akhirnya.

Sudut bibir tipis Ryder terangkat. "Kalau kau perhatikan, konflik mereka sebenarnya bisa diselesaikan saat itu juga," imbuh Ryder seakan-akan sudah khatam menamatkan bacaan tebal itu. "Tapi, mereka membuatnya berbelit-belit."

Tak lama Mia kembali datang membawakan kopi pesanan Alexia sekaligus milik Ryder juga sepiring croissant. Alexia mengucapkan terima kasih kepada Mia dan memberinya sedikit tip. Si pelayan belum menyadari bahwa selain ada sang idola, masih ada satu orang lagi yang dielu-elukan para gadis penggemar figure skating. Hingga pada akhirnya Ryder melepas masker menimbulkan keterkejutan di wajah Mia. Lelaki itu menyeringai sambil menempelkan jari di bibir agar Mia tidak berteriak. Dia mengeluarkan dompet dan memberikan tip lebih besar dibanding Alexia.

"Wow, ini pasti hari keberuntunganku," ujar Mia tidak mampu menyembunyikan rasa bahagia. "Kau sialan tampan, Ryder."

"Oh, thanks, Darling," balas Ryder mengerlingkan mata.

Begitu Mia pergi, Ryder menyesap sedikit kopi kesukaannya sembari mengintip Alexia dari bulu mata menanti-nanti apa yang akan meluncur dari bibirnya. Tapi, lagi-lagi gadis aneh tersebut tak kunjung memberi tanggapan.

Katakanlah Ryder tengah berbesar hati mau mengajaknya bicara terlepas sikap kurang ajarnya di gelanggang. Wait! Apakah karena ucapannya tadi, Alexia merajuk seperti ini?

Bukankah dia memang pantas mendapatkannya? Dia berlagak sombong juga kan!

Diletakkan cangkir itu di atas meja, namun jemari kanan Ryder membelai pinggir cangkir masih mengamati Alexia yang kini menyeruput kopinya. "Di mana kau tinggal?" tanya Ryder membuka obrolan basa-basi membosankan.

Untuk ke sekian kali Alexia masih bungkam dan Ryder nyaris kehabisan kesabaran. 

"Apa menurutmu sopan tidak menimpali lawan bicara?" sindir Ryder. "Kurasa prestasi seseorang tidak benar-benar mencerminkan kepribadiannya. Angkuh sekali kau ini."

Damn! This man is fucking asshole!

Buyar sudah imajinasi Alexia yang berusaha dibangun di antara ocehan tak jelas Ryder. Dia menutup buku tak lagi menaruh minat. Hatinya makin mendidih begitu Ryder mengejeknya sebagai perempuan angkuh dan tak sopan. Siapa yang tidak sopan sebenarnya? Bukankah dia? batin Alexia ingin sekali melempar kopi panas ini ke wajah Ryder. Lagi pula, Alexia tidak akan cuek bila pria di depannya ini tidak memulai perang dingin terlebih dulu.

Bagaimana Kau bisa menciptakan manusia menjengkelkan ini, Tuhan?

"Sopan?" balas Alexia mengeluarkan cermin kecil dari dalam tas dan mengarahkannya ke arah Ryder. "Look at you, Mr. De Verley. Apa kau ini sudah lebih baik dariku?"

Seringai tipis terbit di bibir lelaki itu lalu mengerlingkan mata memandangi pantulan dirinya. "Aku cukup tampan, thanks sudah mengingatkan," ucapnya memuji diri sendiri membuat Alexia memutar bola mata. "Ayolah, aku hanya bertanya. Apa susahnya menjawab?"

"Kau bertanya seolah kita dekat." Alexia membereskan buku dan cerminnya ke dalam tas, berganti mengeluarkan ponsel karena baru teringat ada beberapa notifikasi email yang belum terbaca.

Ryder menaikkan satu kaki kirinya ke kaki kanan, menelengkan kepala seolah-olah membutuhkan validasi bahwa mereka sudah satu tim. "Kita satu tim bukan?"

"Dalam mimpimu," kilah Alexia menampik keras-keras pernyataan Ryder. Sungguh dia tidak paham kenapa lelaki itu mendadak mendekatinya seperti tidak terjadi apa-apa.

Jangan-jangan setelah kecelakaan dia mudah mengalami amnesia? Dasar idiot!

Bibir Ryder mengatup rapat lalu meneguk kembali kopinya dan mengabaikan sensasi panas yang menyergap lidah. Batinnya ingin terbahak-bahak mendengar penuturan Alexia. Lihat siapa yang bersikap congkak sekarang? pikir Ryder ingin mencari pembelaan. Sudah bisa ditebak sedari awal bukan kalau pemain tunggal seperti Alexia selalu bertindak seolah-olah makhluk antisosial.

Tapi, Ryder tidak akan menyangkal kehebatan Alexia di seluncur tadi. Sialan! Gerakan kombinasi itu masih membayangi setiap sel otaknya. Bagaimana bila dia mempertunjukkan gaya double cantilever atau quad twist lift? Pasti bisa mencetak sejarah baru.

"Hell yeah," gumam Alexia menerbitkan senyum sumringah membaca email yang memberitahukan berapa banyak penjualan desain wall art buatannya. Ejekan Ryder yang tadi membakar hatinya tak lagi berarti dibandingkan pundi-pundi uang yang berhasil terkumpul dari situs jual-beli online hiasan dinding.

Tentu saja pemandangan di depannya langsung terkesan aneh di mata Ryder. Alisnya menukik tajam, "Kau sialan aneh," cibirnya melenyapkan senyum di bibir Alexia.

Apa! Ya ampun, kenapa mulutnya hanya ada hinaan saja! batin Alexia geram.

Sebelum dia memprotes, Ryder beranjak dan berkata, "Baiklah, kurasa kau tidak terlalu suka aku di sini." Dia menunjuk croissant di depan Alexia. "Makanlah! Itu untukmu, Ms. Ross, sebagai tanda kebaikanmu padamu." Setelahnya dia bergegas pergi meninggalkan Alexia yang mengekori jejaknya dalam diam.

Sok akrab! Dasar gila!

***
Daftar istilah

Quadruple twist : gerakan di mana skater wanita dilempar ke udara oleh skater pria dan berputar 4x sebelum mendarat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro