4. Wanna Play?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'And I'll never leave you and you are the one that was there for me.'

-Diego Gonzalez-

***

Thomas's calling ...

Ryder menghentikan aksinya memukuli samsak begitu mendengar dering ponsel meraung-raung. Terengah-engah dan berpeluh keringat, dia mencebik mendapati nama Thomas selalu menelepon. Tidak bisakah dia mengirim pesan saja kalau pembicaraannya tidak terlalu penting? batin Ryder kesal selagi mengamati layar gawai. 

Diraup udara di sekitar sekadar mengumpulkan energi supaya bisa menjawab panggilan tersebut kemudian menanggalkan punch mitt. Jempol kanan Ryder menggeser ikon hijau dan menekan loudspeaker kemudian menaruh ponselnya di atas meja. Tak berapa lama, suara nyaring Thomas langsung melempar pertanyaan,

"Kau di mana?"

Pertanyaan sama lagi.

"Menurutmu di mana?" balas Ryder meraih botol minum di sisi kanan ponsel dan meneguknya sampai habis. "Bagaimana Alexia?" tanyanya menyambar handuk dan mengelap badan yang basah.

"Aku masih menunggu jawabannya. Setelah pertemuan kalian beberapa hari lalu, kurasa agak susah membujuk Alexia," tutur Thomas. "Kau seharusnya tahan mulutmu agar tidak menyinggung perasaan gadis itu, Ryder!" tegurnya dongkol bukan main.

Ryder terkekeh, mendaratkan pantat di sofa kulit dan meluruskan kaki. "Manusia haus pujian ya? Ya ampun, padahal aku hanya iseng saja."

"Come on ... ini bukan waktunya main-main," tandas Thomas gemas.

"Itu tugasmu meluluhkan Alexia, Tom. Kau yang butuh dia kan?" protes Ryder meski dilanda rasa penasaran mengapa gadis itu tampak bersikukuh tak mau menerima dirinya. 

Oke, dia sadar diri kalau ucapannya kemarin agak kurang ajar. Tapi, siapa yang tidak akan melontarkan hal yang sama mengetahui Alexia fucking Ross menolaknya mentah-mentah? Belum lagi cara pandangnya yang begitu meremehkan, pasti semua orang bakal melakukan apa yang dilakukan Ryder bukan.

"Beri aku nomor ponselnya," pinta Ryder memutuskan untuk menghubungi si kepala batu. Ya ampun begini saja aku yang harus turun tangan, omelnya dalam hati.

"Dia sama sepertimu bahkan lebih parah. Jarang sekali menjawab telepon, Ryder," keluh Thomas. "Tapi, akan kukirim nomornya."

"Tidak masalah."

"Baiklah, kita bertemu akhir pekan pukul sepuluh pagi," ujar Thomas mengingatkan.

"Oke."

Ryder memutus sambungan bersamaan pesan dari Thomas masuk yang mencantumkan nomor kontak Alexia. Dia berpikir sebentar, mencari-cari kata yang pas yang kiranya bisa memancing gadis itu mau menanggapi pesan teks tanpa harus menunggu lama. Jikalau memang Thomas bilang sikap Alexia sama seperti dirinya yang suka slow respons.

Bagai ada lampu seterang cahaya mentari, bibir Ryder menyunggingkan seulas senyum. Jempolnya begitu cepat mengetik kalimat kemudian menekan tombol kirim. Lantas dia berdiri, kembali melanjutkan olahraganya yang tertunda sebelum membersihkan diri.

Ryder : Aku selalu penasaran kenapa wanita tergila-gila pada karakter fiksi yang sama sekali tak bisa disentuh. Kau tahu? Aku menangkap gelagatmu saat membaca adegan panas di cafe kemarin. Biar kutebak, pipimu bersemu saat baca bagian mereka bercinta dan male lead menggodanya dengan es batu bukan?

###

Alexia nyaris menyemburkan minuman membaca pesan teks dari nomor asing. Beruntung IPad miliknya tak terkena cipratan dikala sedang mengerjakan desain wall art baru. Walau sebatas tulisan, entah kenapa dia bisa mendengar nada bicara si pengirim dan sudah dipastikan itu dari Ryder. Astaga, setan mana yang sedang merasuki pikirannya? Dan dari mana dia mendapatkan nomor ponselnya?

Tunggu!

Gadis itu menderam mengetahui kalau kemungkinan besar Thomaslah yang memberikan kontak kepada Ryder tanpa konfirmasi terlebih dulu. Hell... dasar manusia tidak punya etika! Seharusnya Thomas meminta ijinnya dulu, bukannya menyebar nomor kepada orang lain secara cuma-cuma, lebih-lebih ini manusia berandal seperti Ryder.

Hold on, Lex! Read that damn text again!

Dia meniti kalimat Ryder dan seketika semburat semerah tomat menghiasi pipi tatkala memutar kejadian di mana Ryder mengamatinya membaca novel. Fuck! Dari mana dia tahu kalau bab yang dibaca Alexia adalah scene panas?

Ryder : Ada buku yang lebih bagus daripada itu. Maybe series Fallen Crest High punya Tijan atau Shantel Tessier. Bahkan Mindf*ck seriesnya Abby, itu lebih memacu adrenalinmu. Kau ingin bacaan yang menghabiskan sekotak tisu? Coba baca punya Colleen Hoover. But, bukan berarti Ana Huang buruk, aku hanya tidak suka seri keempat Twisted. Beda opini tidak masalah kan?

Satu pesan teks masuk lagi dan seketika bola mata Alexia membulat. Sepertinya Ryder tahu banyak mengenai penulis romance, menimbulkan segudang pertanyaan sebab jarang ada pria mau membaca genre ini. Sepanjang yang diingat Alexia, sering kali mereka menghabiskan waktu di antara buku-buku bergenre fantasi, thriller, atau horor yang tidak ada romansa di dalamnya.

Berperang batin, Alexia menimang-nimang cukup lama apakah harus membalas pesan Ryder yang sialan menggoda. Oh man ... buku adalah kelemahan Alexia dan mendadak otaknya bakal beralih ke mode ekstrover bila menemukan orang yang memiliki kesamaan. Sialan! Lidahnya begitu gatal ingin berkomentar, namun rasa gengsi masih menggelayut manja.

Astaga ... tapi aku penasaran, dia bahas Tijan dan Abby ... Mereka penulis favoritku! Damn, Ryder!

Tak tahan akan rasa ingin tahu yang makin menggebu-gebu, Alexia memutuskan membalas pesan Ryder. Singkat dan padat. Tidak perlulah dia menunjukkan betapa antusias dirinya bila membahas buku-buku. Tidak! Dia tidak mau Ryder besar kepala.

Alexia : Bilang saja kau baru lihat rating Goodreads.

Ryder : Untuk apa menyontek jikalau aku bisa menceritakan lagi apa yang mereka tulis, Nona?

Ryder : Oke, minggu lalu aku menyelesaikan seri kedua dar trilogi The Insidersnya Tijan. Well, kehidupan Bailey lebih baik daripada seri pertama, apalagi dia mulai berpacaran dengan Kash. Gadis penuh nafsu yang mulai dibutakan uang dan cinta. Padahal dia jenius.

"Bloody hell!" umpat Alexia menerima pesan Ryder. Sayangnya kali ini bukan benar- benar makian melainkan kekaguman. Tanpa sadar sudut bibir Alexia naik seraya membalas pesan lelaki itu, tapi tersadar bahwa ada perang dingin di antara mereka. Sehingga senyumannya langsung terpendam lagi.

Alexia : Jangan sok akrab seolah kita berteman.

Ya, benar. Itu kalimat sindiran yang cukup menohok untuk Ryder kan? Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba mengirim pesan seperti anggota klub buku. Apa dia tidak malu sudah mengoloknya sedemikian rupa?

"Dasar gila," gumam Alexia kembali membuka pesan lain.

Ryder : Kau menantangku, Ms. Ross?

Alexia : Pikirmu aku takut?

Ryder : Datanglah pukul 10 di Lee Valley jika kupingmu tidak mau mendengar omelan Thomas. Mari kita adu siapa yang lebih hebat.

Alexia : Wait, kita membicarakan buku kan?  Untuk apa aku datang ke sana?

Ryder : Oh, jadi kau mau menantang hal lain? With my pleasure, Sugar.

"Sugar?" Suara Alexia melengking meniti kata menjijikkan itu. "Dia pikir aku mudah dirayu apa!" geramnya menaruh ponsel dan melanjutkan mendesain lagi. Suasana hatinya langsung terjun bebas hingga lupa sampai mana ide desain wall art bertema retro ini. "Aku tahu ke mana arah pembicaraanmu, Ryder," cerocosnya seraya menambah elemen-elemen untuk hiasan kamar itu.

Belum menjadi timnya saja kepalaku sudah pusing!

Notifikasi pesan kembali masuk dan dipastikan itu dari Ryder yang mendesaknya datang ke gelanggang. Tidak! Alexia tidak akan mau sekali pun dunia mau runtuh. Tidak akan sudi dirinya menjejakkan kaki untuk berhadapan dengan si idiot Ryder.

Dewi batinnya memerintah tangan Alexia menyambar ponsel untuk menuntaskan rasa penasaran. Seketika dia mengumpat pelan sekaligus menyesal kenapa matanya harus membaca pesan Ryder.

Ryder : Sejujurnya aku hanya iseng kemarin. Kau saja yang terlalu sensitif.

Beberapa saat matanya terpejam selagi meremas ponselnya berusaha mencari sisi positif kalimat itu. Iseng. Sungguh tidak ada sedikit pun niat Ryder meminta maaf atau bersikap sopan layaknya calon partner yang merayu untuk bergabung bersama. Atau bisa jadi lelaki itu memang bermodalkan mulut besar saja? Bisa jadi kan dia berlagak pongah untuk menutupi kekurangannya akibat vakum tiga tahun?

Kau bisa balaskan dendammu di atas es, Lex! Kalahkan dia dengan pesonamu.

Seringai tipis terbit di bibir tebalnya seiring matanya terbuka dan berkilat-kilat dikuasai amarah. Dia menarik napas panjang, membalas pesan Ryder untuk tahu sejauh mana lelaki itu mengujinya. 

Alexia : Aku akan datang. Mari kita lihat siapa yang akan sensitif nanti.

###

"Begini saja Tom tidak becus!" Ryder melipat tangannya di belakang kepala seraya bersiul berhasil menyelesaikan misi menyeret Alexia ke gelanggang akhir pekan nanti. 

Dalam hati dia terbahak-bahak betapa mudah memancing gadis. Ya ... mereka memang mudah, cukup singgung bagian yang disuka pastinya rasa antusias mereka bermunculan. Setelah tersulut, barulah beri sedikit bumbu-bumbu tantangan agar mereka mendekat. Cara ini memang ampuh, terlebih perempuan seperti Alexia cenderung tidak suka diremehkan pria. 

Pandangannya beralih ke arah MacBook yang masih menampilkan seluruh informasi Alexia, termasuk beberapa media sosial gadis itu. Tidak disangka ternyata dia punya bisnis online, padahal bayaran menjadi skater cukup banyak. Segila itukah dia terhadap uang? Atau sisi inikah yang membuat mantan kekasihnya mencari pelarian ke gadis lain?

"Ck, Siapa pula yang bakal betah dengan gadis angkuh itu?" komentar Ryder membaca headline yang terpampang di layar MacBook tentang kandasnya hubungan Alexia bersama salah satu pemain hockey dua tahun lalu. "Masih untung ada yang naksir."

Di satu sisi, dari buku yang dibaca Alexia kemarin, Ryder menarik satu kesimpulan bahwa wanita jaman sekarang lebih suka bercinta dengan pria fiksi daripada menghabiskan waktu bersama pria nyata. Mereka juga lebih menggemari tabiat lelaki red flag dibandingkan pria baik-baik, padahal hal itu saja sudah menguras energi secara mental dan batin. Apakah menurut mereka pria-pria ini menantang adrenalin?

Untuk lebih memahami sisi yang tidak pernah dimengerti para pria,  Ryder menghabiskan sebagian besar waktunya untuk membaca buku romance. Menggali bagian mana yang digilai wanita sampai-sampai mereka merona membaca adegan fiksi itu. Namun, pada akhirnya pula kisah-kisah picisan tersebut selalu membangunkan bulu roma Ryder. Garis bawahi. Adegan seks yang dinilai gamblang.

"Kenapa tidak sekalian menonton film porno?" cibir Ryder bergidik ngeri, menutup kembali buku bersampul hitam.

"Baiklah, satu masalah selesai," gumam Ryder membayangkan Thomas bakal kaget mengetahui Alexia berubah pikiran. "Tidak ada wanita yang bisa menolak tantanganku. Benar kan?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro