38. Pie and Cream 🔞

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'One love, two mouths. One love, one house. No shirt, no blouse. Just us.'

-Theneighbourhood-

***

"Hei!" seru Ryder menarik lengan Alexia. "Aku ikut denganmu."

"Aku sedang tidak mood menerima tamu, Ryder," ketus Alexia menampik tangan Ryder. "Pergilah!"

"Hei!" Ryder menahan gadis itu agar tidak pergi. "Kau tadi senyum-senyum sekarang kau marah. What's fucking wrong?"

Tak langsung menjawab, Alexia justru membuang muka tuk menghindari tatapan penuh selidik Ryder. Bibirnya terkatup rapat menahan ratusan makian yang ingin dilayangkan kepada Thomas. Dadanya naik turun secepat gelombang emosi menghantam Alexia setelah berdebat panas dengan Thomas. Fucking damn! Rutuknya dalam hati ingin menonjok muka pelatih sok tahunya itu. Setelah Thomas berhasil mengacak-acak mental Alexia sekarang dia mengurus hubungannya bersama Ryder.

Tidakkah dia keterlaluan? Bukankah tugasnya hanya sebagai pelatih? Kenapa dia berlagak seperti pengasuh?

Lagi pula tanpa diajari pun, Alexia paham bagaimana memisahkan urusan kompetisi dan asmara. Tidak bisakah si cerewet Thomas membiarkannya hidup layaknya gadis lain yang ingin merasakan rasanya jatuh cinta?

"Kau tidak tahu siapa Ryder."

Kalimat Thomas menggema dalam kepala Alexia berbarengan wajahnya ditangkup Ryder. Mempertemukan kontak mata menyebabkan Alexia berkaca-kaca. Dia melirik ke arah lain supaya air matanya tidak luruh juga tidak ingin Ryder tahu. Tidak! Jangan sampai lelaki di depannya ini tahu inti permasalahannya bersama Thomas.

"Look at me, please," pinta Ryder.

Bak dihipnotis, otak Alexia menurut begitu saja. Ah sial! Cerminan air mukanya yang menyedihkan terpantul di iris hijau gelap Ryder. Dinding pertahanannya makin menipis, cuping hidungnya kembang kempis yang serakah meraup udara, namun tidak dengan bibir Alexia yang gemetaran menahan tangis.

Rasanya sesak. Rasanya sakit bukan main. Seluruh hidup Alexia diatur sedemikian rupa hanya untuk memuaskan ambisi Nancy juga Thomas supaya mendapatkan ketenaran juga medali. Tidak pernah sekali pun mereka menanyakan apakah Alexia baik-baik saja atau sekadar peduli terkait kondisi berat badannya yang makin turun. Bukannya menyuruh makan secara benar, justru memerintah diet lagi diet lagi.

Tak berapa lama, sebutir air mata akhirnya pecah menuruni pipi tirus Alexia. Butiran itu lamat-lamat menjadi derai yang tak terbendung, hingga Alexia menyandarkan kepala di dada bidang Ryder. Menyembunyikan diri betapa menyedihkan hidup di balik prestasi.

"What's wrong, Little love?" Ryder merendahkan nada bicara sebab kebingungan mengapa gadis di depannya tiba-tiba tergugu. Apakah mungkin ada hubungannya dengan Thomas? Bila ya, Ryder tak segan-segan mengirim bogem mentah lagi. Dia hendak pergi menemui pelatihnya jikalau tangan Alexia menahannya sekuat tenaga.

"Stay with me."

Damn!

Direngkuh tubuh gadis itu dan memberinya kecupan penuh kasih sayang. "I'm here, okay," bisik Ryder kemudian menangkup wajah Alexia dan menghapus jejak basah di pipi dengan jempolnya.

Gadis itu melenggut, menarik napas yang masih terasa berat bagaikan bebatuan runcing tengah memenuhi rongga dada Alexia kemudian mengembuskannya melalui mulut. "I'm okay," jawabnya pelan walau terdengar gemetaran. "I'm okay." Dia mencium telapak tangan Ryder yang hangat. "Mau mampir ke rumahku dan makan pie?" tawarnya diiringi tawa sumbang.

Sebelah alis Ryder melengkung mendengar undangan Alexia yang begitu mendadak padahal tadinya dia menolak mentah-mentah. "Boleh," jawab Ryder tak mau melihat gadis itu menangis lagi. "Kau punya bahannya?"

"Pikirmu aku adalah kau?" cibir Alexia merogoh tisu dari dalam tas untuk membersihkan ingusnya. "Membiarkan dapur menjadi sarang laba-laba? Come on, aku juga akan membuat pie karena besok Jhonny keluar rehabilitasi."

Apa dia menangis karena Jhonny berhasil dinyatakan bersih narkoba?

Ryder menggandeng tangan Alexia dan menciumnya mesra, melupakan kegundahannya yang terpenting gadis itu tersenyum walau dipaksa. "Mungkin kita bisa makan malam bertiga. Aku bisa membawa Coco."

"Berempat," ralat Alexia. "Perlu kuundang temanku?"

"Jangan. Aku ingin lebih privasi antara kita berempat. Jhonny bakal senang bertemu anjingku," kata Ryder berjalan beriringan lalu menyebrang jalan di mana gedung Golden Skate berada di sisi kiri mereka. "Motorku akan kuparkir di sini, kau bawa mobil kan?"

"Yap!"

"Kau benar-benar baik-baik saja?" tanya Ryder memastikan.

"Ya, Ryder, sorry ... mungkin hormon wanita," jawab Alexia berharap Ryder tidak mengendus kebohongannya.

Ryder tak yakin namun tak mau memperpanjang masalah lantas mencolek hidung mancung Alexia. "Jangan menangis lagi, Lex, kau tampak jelek seperti itu. Aku suka melihatmu tertawa walau mengolokku seperti kepala yang diolesi cokelat cair."

Mau tak mau Alexia terbahak-bahak akhirnya merasa terhibur. "Astaga... " Dia geleng-geleng kepala lalu tawanya berhenti saat beberapa anggota klub Golden Skate datang dari arah berlawanan. Buru-buru Alexia mendorong Ryder menjauh lalu bersikap layaknya teman biasa. Bukan sepasang kekasih.

Ryder nyaris protes namun urung dilakukan ketika gadis-gadis yang menenteng tas skating itu menyapa dan memberi ucapan selamat kepadanya juga Alexia.

"Thanks!" Alexia melambaikan tangan saat berhenti di depan mobil Mercedesnya yang terparkir di parkiran luar bukan basemen. Dia merogoh kunci dalam tas kemudian melemparnya ke arah Ryder yang langsung ditangkap sigap. Selanjutnya mendudukkan diri di kursi bersamaan Ryder mendaratkan pantat di kursi pengemudi.

"Hei," panggil Ryder usai menyalakan mesin.

Alexia menoleh dan tercengang bukan main ketika Ryder memberinya ciuman di bibir. Kontan didorong dada Ryder namun justru tangannya ditahan pria itu sembari berbisik,

"Hukumanmu mendorongku tiba-tiba."

"Fuck you," balas Alexia menggigit bibir Ryder.

"But you like my kiss," goda Ryder membalas gigitan itu yang dihadiahi pukulan di lengan.

###

Sesampainya di apartemen, Alexia mengganti pakaiannya dengan setelan santai berupa tank top juga kardigan juga celana jogging. Dia menggulung rambut panjangnya menjadi messy bun selagi mengamati Ryder duduk di kursi dapurnya.

Lelaki itu telah menanggalkan mantel, menyisakan kaus putih berlengan pendek. Tentu saja otot bisepsnya menonjol ketika dia menekuk lengan, menyeruput secangkir teh yang tadi disajikan Alexia.

"Hei," sapa Alexia yang disambut Ryder.

"So pretty," puji Ryder yang lagi-lagi membuat pipi Alexia merona. Dia beranjak, mengekori Alexia menuju konter untuk menyiapkan bahan-bahan pie.

Ada pasta, saus tomat dalam toples kaca yang dimasak sendiri, sosis, keju, kulit pie, telur hingga pecan--sejenis kacang gurih nan manis. Alexia bercerita kalau dia ingin menyambut kedatangan adiknya dengan pie yang mengingatkan masa kecil di mana keluarga mereka masih begitu harmonis. Dulu saat thanksgiving, Nancy selalu membuat pie pecan khusus untuk si bungsu, meski pada akhirnya sering berebut dengan Maxwell.

"Dad! Mom memasaknya untukku!" seru Jhonny mengejar Maxwell mengitari meja makan. "Come on, Dad!" omelnya kesal.

"Pie pecan buatan ibumu sangat enak, jangan memakannya seorang diri, Jhonny!" protes Maxwell menjulurkan lidahnya sembari memamerkan loyang pie yang tinggal setengah.

Sekarang, Alexia ingin Jhonny merasakan kembali kehangatan dari pie itu walau tanpa sosok ayah seperti Maxwell. Alexia ingin menunjukkan bahwa tanpa pria berengsek itu, Jhonny layak mendapat bahagia dari siapa pun.

Hati Ryder tersentuh setiap kali Alexia melontarkan kisahnya. Dia merasa begitu beruntung bahwa gadis itu mau berbagai cerita tanpa ada yang ditutupi. Setidaknya inilah yang diinginkan Ryder dalam suatu hubungan yang sehat. Berbagi luka, bukan hanya suka yang terus diperlihatkan. Ya walau pun tidak banyak yang dia ucapkan, namun Ryder selalu bersedia memberikan pelukan hangat.

"Wow, pie spaghetti?" Ryder mengerutkan kening ketika Alexia menyuruhnya mendidihkan air untuk pie spaghetti. "Aku tidak yakin apa orang Italia terima dengan sebutan itu. Mereka saja bisa kesal melihat potongan nanas dijadikan topping pizza, apalagi ini?"

"Ayolah ... secara teknis ini spaghetti yang ditaruh dalam wadah pie sebelum dipanggang ke dalam oven bukan benar-benar pie," terang Alexia menggoreng sosis beberapa menit lalu meniriskannya. Kemudian dalam wajan yang sama, dia menuang ricotta--sejenis keju Italia--yang dicampur bersama telur, saus tomat, garam, herba Italia kering, dan bawang putih bubuk. "Kau sudah masukkan garam kan? Kalau sudah mendidih, tolong masukkan pastanya."

"Yes, Mam."

"Jangan terlalu lembek, cukup tiga menit saja," titah Alexia. "Nanti kita panggang lagi."

"Yes Mam."

"Berhenti memanggilku seperti itu," ketus Alexia memutar bola mata.

Ryder tergelak lalu menoleh ke arah Alexia dan berkata pelan, "Yes Mam."

Sembari menunggu, Alexia mengambil loyang lain untuk pie pecan. Karena tidak ingin membuang waktu, dia memutuskan memakai kulit pie siap jadi dan menempatkannya ke dalam loyang sembari menusuknya pakai garpu. Dia melirik Ryder yang meniriskan pasta lalu berkata, "Bilas dengan air dingin, Ryder."

"I know, Mam," kata Ryder menuruti perintah Alexia. "Setelah ini baru dicampur dengan saus yang kau buat tadi kan?"

"Exactly."

Alexia meninggalkan loyang pie pecan untuk menyelesaikan pie spaghetti yang hampir selesai. Untuk mengoreksi rasa, dia mencicipi sedikit saus yang sudah bercampur dengan sosis, keju, juga herba kering. Tak disangka, Ryder menarik dagunya lalu menyambar bibir Alexia dan menjilati rasa saus itu. Ciuman dalam nan penuh gairah di mana lidahnya ikut menyapa milik Alexia.

"Enak," puji Ryder yang dibalas cubitan di perut. "Argh, Lex!"

"Hukumanmu menciumiku tiba-tiba," protes Alexia kemudian memekik kaget saat Ryder memeluknya dari belakang dan mendaratkan kecupan di leher. "Ryder! Stop!"

"I can't stop it," tukas Ryder kemudian bersenandung pelan. "Cause you were out my league, all the things I believed, you were just the right kind, you were more than just a dream."

Alexia menahan senyum tahu makna tersirat dari lagu yang dinyanyikan Ryder dan membiarkan lelaki itu memeluknya dari belakang. Jujur saja, dia suka kontak fisik yang diberikan Ryder kepadanya. Seolah-olah lelaki itu mampu menghapus lapisan demi lapisan kesedihan Alexia.

Sembari mengaduk pasta bersama saus, Alexia ikut melantunkan lagu itu lalu  menuangkannya ke dalam wadah untuk dipanggang. Setelahnya Ryder melepas pelukan dan mengangkat sebelah tangan Alexia agar berputar membayangkan mereka di atas panggung.

"You were out my league got my heartbeat racing. If I die don't wake me," lanjut Ryder merengkuh pinggang dan menggesekkan puncak hidungnya ke hidung Alexia. "And every time she takes my hand."

"All the wonders that remain become a simple fact," sambung Alexia melanjutkan lirik Fitz and The tantrums lalu tergelak ketika Ryder menggelitiki pinggangnya. "Ryder, stop!"

Ryder menyukai suara tawa Alexia hingga jemarinya enggan berhenti menggelitiki gadis itu. Wajah Alexia memerah selagi berjalan mundur sampai menabrak kulkas membuat botol-botol di dalamnya bertumbukan seketika.

Otomatis Ryder berhenti seiring atmosfer berubah menjadi begitu canggung ketika mereka saling menatap satu sama lain. Mengabadikan pantulan diri di bawah penerangan lampu dapur sembari terengah-engah. Perlahan-lahan Ryder mengurung gadisnya di antara kedua lengan kekarnya lantas berbisik,

"Hei."

Mendadak ada gumpalan besar menghambat kerongkongan Alexia tuk menelan saliva. Tiba-tiba pula jantungnya berdegup kencang mendengar Ryder kini berubah serius.

"Y-ya?"

Ryder terdiam sesaat lalu menegakkan badan tuk memeluk juga mencium puncak kepala Alexia lalu menyandarkan dagunya di sana. Tarikan bibirnya membentuk sebuah senyum kala Ryder memutar momen demi momen dirinya sampai ke titik ini. Bagaimana akhirnya dia berhasil keluar dari black zone dan menyadari jikalau hidup memang terus bergulir hingga hatinya jatuh pada seorang gadis. Bahkan dia tidak menyadari kalau sudah lebih dari empat puluh hari dari waktu yang dijanjikan Thomas, segalanya berubah menjadi warna-warni kehidupan yang sudah lama Ryder rindukan.

Jatuh cinta.

Gadis yang awalnya dia benci.

Gadis yang awalnya dia tolak setengah mati.

Tapi, justru gadis inilah yang membuatnya hidup kembali.

Bagaimana dia mengumpulkan puing-puing kepercayaan diri Ryder yang kandas.

Bagaimana Ryder mengagumi mimpinya sebagai skater terlepas masa lalu keluarganya yang kelam.

Bagaimana dia membuat perasaan Ryder menjadi tak menentu setiap kali dia didekati pria.

Bagaimana dia menyentuh relung hati Ryder yang sudah lama mati.

Gadis ini ...

Gadis bermata biru ini ...

Gadis yang berhasil menggetarkan jiwanya.

"You make me alive, Little love. For the first time ever, I feel like I can breathe," tutur Ryder tulus.

Ada jeda cukup lama di antara mereka, sementara Alexia tertegun mendengar pengakuan Ryder. Setiap kata yang keluar dari mulutnya bagaikan madu dan racun dalam waktu bersamaan. Dia bisa mendengar degup jantung lelaki itu sama-sama kencang seperti dirinya, namun selalu ada keraguan menyelinap tanpa permisi. Seakan-akan ketakutan itu didasari apakah Ryder melabuhkan cintanya karena terbiasa atau sekadar terbawa emosi semata.

Akhirnya Alexia hanya melenggut tanpa menanggapi pernyataan Ryder. "A-aku harus memanggang pie spagetinya," ucap Alexia terbata-bata.

Bukannya membiarkan Alexia pergi, Ryder malah mengurungnya di antara lengan selagi mensejajarkan pandangan.

Ketegangan di dapur makin pekat menguasai dua manusia yang saling mendambakan cinta. Detak jarum jam di ruang tamu tak lagi terdengar kecuali debaran dada saling bertalu-talu dan berirama, mengirim gelenyar panas juga sengatan listrik saat tangan kanan Ryder terangkat tuh mengusap bibir bawah Alexia.

Jarak yang makin lama makin terkikis menaikkan adrenalin yang mengalir deras di pembuluh darah Ryder, merasakan setiap embusan napas lembut gadis itu membelai permukaan pipinya.

Hingga bibir Ryder bertemu bibir Alexia, membuat gadis itu memejamkan mata tak ingin memulai apa yang seharusnya dimulai. Alexia merasakan bibir Ryder berkedut ketika berucap,

"Hei, Sugar, let's forget about that pie, I wanna taste your lips first."

Bisikan Ryder berhasil membangunkan seluruh bulu roma Alexia juga menjungkirbalikkan perutnya. Tungkai Alexia nyaris meleleh seperti mentega jika saja dia tidak meremas kuat pinggiran kulkas. Dia yakin sebagian besar kesadarannya telah menguap entah ke mana kala Ryder menggodanya lagi dan lagi.

Dewi batin Alexia mendesaknya membuka mata, mencari celah apakah ada kebohongan lain di balik rayuan Ryder. Tidak. Tidak ada. Kejujuran yang dipancarkan lelaki itu berselimut kebutuhan yang butuh diselesaikan saat ini juga. Tatapan Alexia turun ke lekukan bibir Ryder yang setengah terbuka menanti kapan gadis itu akan membalas pagutannya.

"Then I should put my cream pie on my lips," balas Alexia begitu parau sekaligus penuh damba sebab menginginkan lidah Ryder menguasainya lagi.

Bagai mendapat persetujuan, Ryder melingkari tengkuk Alexia lalu memagut bibirnya perlahan tanpa terburu-buru. Dia ingin mencecap setiap rasa diri gadis itu, mengabadikannya ke dalam kotak kenangan dan berharap waktu berhenti berputar agar membiarkan momen ini tidak berakhir. Lidahnya bertemu dengan milik Alexia, menggodanya juga mengisapnya sembari mengerang rendah memuji betapa nikmat bibir gadis itu. Sungguh Ryder ingin bertekuk lutut kepada semesta yang sudah menciptakan Alexia begitu sempurna.

Gairah makin membakar hasrat mereka, ciuman yang tadi pelan lamat-lamat makin liar bagai oase di padang tandus. Ciuman memabukkan sarat akan dahaga yang hilang. Tidak ada satu senti dilewatkan Ryder, menjelajahi mulut manis Alexia.

Secara otomatis tangan Ryder membawa Alexia duduk di atas konter tanpa memutus cumbuan mesra mereka, sementara sebelah tangannya tanpa diperintah menelusuk masuk di balik tank top tuk menggapai-gapai sesuatu yang dicarinya.

"Ryder ..." Desauan rendah meluncur dari mulut Alexia yang mendongak akibat nyaris kehabisan napas dan membiarkan Ryder memberikan jejak-jejak kepemilikan di leher juga menggoda titik-titik sensitifnya.

Lidah lelaki itu bergerilya memuja setiap inci kulit lembut nan harum Alexia lantas menyingkap tank top dan mengulum begitu serakah puncak dadanya yang mengeras. Tangan Ryder tak tinggal diam, perlahan-lahan merambat ke bawah sebelum berhenti di antara sela paha Alexia yang mungkin saja merindukan sentuhan seperti yang dilakukannya beberapa waktu lalu. Bagaimana dia dengan takjub merekam ekspresi Alexia yang tersipu saat mendapatkan orgasme.

"Ryder... "

Hanya nama pria itu yang bisa digaungkan Alexia manakala otaknya tak mampu menggapai kesadaran penuh. Seluruh tubuhnya kini bersimpuh atas belaian sensual Ryder. Bahkan pie spaghetti yang tadinya ingin diselesaikan tak lagi begitu penting ketika kenikmatan ini berada di depan mata. Alexia membusungkan diri setiap kali jemari Ryder begitu lihai mengobrak-abrik dinding pertahanannya untuk kedua kali.

Fuck!

Ditarik kaus yang menempel di badan Ryder hingga lelaki itu bertelanjang dada. Alexia melompat turun, mendorong Ryder membentur konter wastafel lantas melumat bibirnya lebih serakah. Kini dia memegang kendali, mencekik leher Ryder sembari menghadiahinya gigitan kecil di sepanjang tulang selangka sebab lelaki itu berhasil membangkitkan sisi liarnya yang sudah lama terlelap lama.

"Take it off," pinta Ryder menantang Alexia. Sorot matanya berkilat-kilat ingin mengagumi bentuk tubuh gadis itu tanpa sehelai benang.

Alexia terdiam, namun seringai tipis tersungging di bibirnya. Tanpa takut.

"You heard me, Little love? Take. It. Off." Perintah Ryder memindai gadis itu dari atas sampai bawah.

"Why don't you do that?" balas Alexia mengalungkan lengannya ke leher Ryder seraya berjinjit dan menjilat daun telinga lelaki itu. "I like your fingers on me," bisiknya sensual.

Ryder terkekeh dan mengerang pelan ketika Alexia melanjutkan kegiatannya menciumi garis rahangnya yang kasar. Sesaat kemudian, Alexia terkesiap ketika tangan Ryder melucuti kardigannya dan merobek tank top sekuat tenaga.

"Damn beautiful," puji Ryder menarik Alexia dan melumat bibirnya lagi. "Bagaimana bisa kau secantik ini, Little love?" ucapnya seraya membuka kaitan bra hitam itu begitu lincah kemudian mengusap-usap puting Alexia yang makin sensitif di bawah sentuhannya. "You drive me so fucking crazy, Lex..."

Alexia tak mampu menjawab, mulutnya sibuk meloloskan erangan dan tidak sengaja menangkap ada ukiran tato di tulang selangka juga bawah ketiak kanan Ryder. Dia tak sempat bertanya manakala tangan Alexia ikut bergerak menemukan sesuatu sekeras batu di balik celana Ryder yang menanti-nanti tuk dipuaskan.

Bertumpu pada lutut, Ryder menurunkan celana jogging Alexia dan merobek lapisan terakhir yang menghalangi nirwana yang ingin disinggahi dengan lidahnya. Diangkat sebelah kaki Alexia agar bersandar di bahu kanan Ryder bersamaan dirinya menenggelamkan diri menyapa lembah kewanitaan yang amat sangat dirindukan.

"Fuck ..." maki Alexia melempar kepalanya ke belakang merasakan desakan lidah Ryer begitu kasar memorak-porandakan dirinya. Tangannya berpegangan pada pinggiran konter, sementara tangan lain sibuk menahan kepala lelaki itu agar tidak berpindah dari bawah pusatnya. "Eyes on mine, pretty boy."

Tatapan mereka bertemu menimbulkan rona merah di wajah Alexia makin bersemu. Kilatan penuh gairah di balik iris hijau Ryder membakar setiap lapis nafsu yang terpendam dalam dada Alexia. Masih menahan kepala Ryder di bawah sana, sebelah tangan Alexia membelai dan meremas gundukan dadanya sendiri sembari melenguh pelan.

"Oh God..."

Semakin liar permainan Ryder, maka semakin berceceran kewarasan Alexia. Apa yang di hadapannya kini tak jelas menyisakan kabut-kabut yang akan membawanya sampai ke puncak. Emosi mencekiknya, tapi Alexia menyukai sensasi ini seolah-olah keresahan yang tadi membelenggu ikut hilang tanpa bekas.

Alexia mendesis nyaris memekik manakala jemari Ryder mengusap biji kewanitaannya, membuat otot-otot Alexia makin menegang bercampur perutnya terasa diaduk-aduk tak karuan. Desiran darahnya tak mampu dia kendalikan, bahkan detak jantungnya pun tak dapat dia rasakan. Dia tak yakin apakah rongga dadanya masih mampu memasok udara di kala atmosfer di sekitarnya berganti feromon yang membutakan indra. Ya Tuhan ...

"Your pussy tastes like sugar," bisik Ryder seraya bangkit tuk berbagi kenikmatan dari pusat tubuh Alexia.

"You like it that much, hm?" Alexia menarik tangan Ryder dan menjilat serta mengulum jemari yang tadi menjamah kewanitaannya. Lantas dia membuka resleting celana Ryder, membebaskan dirinya yang sialan keras nan panas di bawah sentuhannya. Sedangkan Ryder merogoh bungkusan pengaman dari saku belakang celana.

"Holy shit, kau ternyata sudah persiapan," cibir Alexia menyeringai nakal selagi membelai kejantanan Ryder.

"Setelah merasakanmu di rumah Olive, aku terpaksa bawa ini," tukas Ryder memasang pengaman itu. "What did you do to me, Alexia?"

Alexia berjinjit dan berkata lirih, "I want you to fuck me now, Ryder. Hardly. Deeper."

"Such a good girl, Little love."

Dapur menjadi saksi bisu ketika penyatuan itu terjadi, Ryder membawa tubuh Alexia ke duduk di atas konter selagi melumat bibirnya makin beringas. Di antara ciuman itu, dia mengerang merasakan betapa menyenangkan surga dunia yang dipersembahkan Alexia untuknya. Menghunjam lebih dalam memenuhi diri Alexia dan mengklaim sebagai miliknya. Hanya miliknya. Tubuh gadis itu diciptakan untuknya seorang. Ryder meringis kala kejantanannya diremas-remas oleh dinding-dinding kewanitaan Alexia.

"Fuck..." geram Ryder mencengkeram pinggul Alexia seiring tempo yang meningkat menyambut gelombang kenikmatan yang akan datang. "You're so fucking good, Alexia. Your little cunt just made for me, right?"

"Oh God..." Alexia menancapkan kukunya di punggung Ryder saat milik lelaki itu makin mendesak dirinya begitu kasar.

"Yeah, worship me, Alexia. Say my fucking name with your pretty mouth. Beg me like my whore." Sebelah tangan Ryder mencengkeram leher Alexia dan melumat bibirnya yang sudah membengkak.

"Ryder..." erang Alexia mendongakkan kepala seraya memejamkan mata nyaris menggapai klimaks pertama. "Give it to me, please."

"Look at me, Lex!" pinta Ryder bagai perintah yang memaksa gadis itu menghubungkan kontak mata bersamaan sesuatu menyembur memenuhi liang Alexia. "Fuck... " geramnya lagi membenamkan wajah di ceruk leher Alexia.

Butuh beberapa menit bagi mereka menarik napas juga mengembalikan akal sehat yang sempat pupus. Irama nadi perlahan-lahan berdenyut konstan selepas penyatuan luar biasa itu. Tanpa menarik diri masing-masing, tawa merekalah yang memecah keheningan seolah-olah ada hal ajaib yang baru terjadi.

Dan memang sudah terjadi.

Aroma dapur bercampur keringat juga sisa-sisa percintaan mereka berbaur jadi satu. Alexia masih enggan mengangkat wajahnya dari pundak Ryder akibat malu, sementara lelaki itu membelai rambut Alexia yang berantakan.

"Ini gila." Ryder bersuara.

"Kau yang memulai," balas Alexia menggerakkan jemarinya menggambar pola abstrak di dada Ryder yang basah oleh keringat. Dia bertanya-tanya apa makna di balik huruf yang tercetak di tulang selangkanya juga tiga angka sembilan di bawah ketiaknya.

"Aku tidak menyesal," ujar Ryder menangkup wajah Alexia dan mengecupnya lembut. "Kau membuatku seperti terlahir kembali, Lex. I adore you." Dia memberi ciuman-ciuman kecil di seluruh wajah Alexia hingga gadis itu terkikik geli. "Terima kasih untuk segalanya," imbuhnya menyatukan kening.

"Kurasa kita harus mandi dan melanjutkan memasak pie," ujar Alexia.

Ryder berpikir sejenak lalu mengangkat tubuh gadis itu menuju sofa. Masih menyatukan diri. "Beri aku beberapa menit untuk menikmati hidangan pembukaku."

"Damn, Ryder!"

***

3436 kata. Rekor terpanjang ini mah wkwkwk moga nggak mabok ya bacanya~~

Sefruit audio bab ini ada di Instagram-ku ya. Kalian bisa dengerin suara Ryder dan Alexia di sana. Cari aja reels Tease Me Baby part 13 dan 14.

Gimana menurut kalian? Gerah atau kurang gerah?

Yuk komen 💅

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro