40. Puzzles

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'Til we got into an argument, you never really know someone.'

-Lany-

***

Semakin mengenal Alexia semakin Ryder tak tahu jalan pikiran gadisnya. Dia kira masalah di Wiltshire kala itu sudah tuntas diceritakan, namun ternyata ada hal lain yang sengaja diselundupkan Alexia rapat-rapat. Sebenarnya Ryder bisa saja menginterogasi Alexia dengan melempar botol-botol obat tepat di mukanya tapi tidak segera dilakukan karena masih banyak jutaan pertanyaan mengambang dalam kepala.

Bagai potongan puzzle yang perlu disatukan sesegera mungkin, Ryder meninggalkan apartemen Alexia tanpa berpamitan--kecuali pada Jhonny sebab Coco enggan meninggalkan lelaki kurus itu. Dia perlu mendinginkan emosi yang bergulung-gulung, menenggak secangkir kopi, atau melampiaskan amarahnya ke samsak. Ada sekelebat dugaan yang membisiki Ryder tentang asal muasal kenapa Alexia mengoleksi obat-obatan tersebut, tapi dia butuh bukti bukan sekadar alibi.

Alexia : Kata Jhonny kau pulang? Kenapa tidak membangunkanku?

Satu pesan masuk membuat lelaki itu menderam dan tidak membalasnya. Dia menginjak pedal gas, melajukan Bentley menuju dokter Richard alih-alih kediamannya sendiri. Ryder ingin bertanya langsung kepada sang dokter yang menangani atlet skating Golden Skate, apakah Alexia pernah memeriksakan diri terkait penggunaan obat-obatan tersebut. Jika memang benar, atas dasar apa Alexia harus mengonsumsinya di saat berat badannya pun di bawah normal menurut sudut pandang Ryder.

Tak berapa lama, kendaraannya berhenti di kawasan elite--Chelsea--dekat rumah Olive namun berjarak beberapa blok. Disambar ponselnya dan menghubungi dokter Richard sembari mengetuk-ngetukkan jemari kanannya ke kemudi.

Come on come on ... jawab panggilanku...

"Halo?"

"Hei, Dok!" sapa Ryder. "Apa kau ada waktu beberapa menit? Aku perlu menanyakan sesuatu yang genting."

"Sepagi ini?" Dokter Richard terdengar keberatan. "Oke ... apa masalahmu, Ryder?"

"Bisakah aku menemuimu? Aku di depan pintu rumahmu, Dok."

"Ah ... oke, masuklah."

Dokter Richard mengayunkan kakinya tuk menyambut Ryder di depan pintu bersamaan lelaki itu melesat keluar dari mobil Bentleynya. Dia melambaikan tangan, mengulum senyum simpul, namun tatapannya terkesan dingin. Buru-buru Ryder menaiki undakan tangga selagi mematikan sambungan telepon.

"Thanks, sudah bersedia bertemu, Dok," tukas Ryder masuk ketika Dokter Richard menyilakannya duduk di ruang tamu. "Aku langsung saja oke. Apa Alexia pernah menemuimu untuk berobat mengenai kesehatannya baru-baru ini?"

"Apa?" Dokter berperawakan agak pendek daripada Ryder dan mengenakan kacamata bulat, mengerutkan hidungnya tak paham. "Alexia?" Dia menggeleng cepat seraya mendudukkan diri di sofa. "Kenapa? Apa ada sesuatu yang tidak kuketahui?"

"Tidak kita ketahui lebih tepatnya," tandas Ryder mengoreksi lantas mengeluarkan ponsel dan menunjukkan foto botol obat diet dan pencahar ke dokter paruh baya itu. "Aku menemukannya pagi ini. Mungkin pikirmu terkesan normal, hanya saja dia punya stok banyak dan terkesan seperti disembunyikan, Dok. Kupikir, apakah dia pernah berkonsultasi mengenai sesuatu yang mengharuskan dirinya minum obat itu?"

Dalam diam sang dokter menelaah merek juga kandungan yang tertera dalam kemasan botol putih yang difoto Ryder kemudian menggeleng pelan. Meski usianya tidak lagi muda pun tanggung jawabnya sebagai dokter penanggung jawab atlet skating, dokter Richard masih mengingat betul rekam jejak kesehatan mereka dan kapan terakhir kali berkonsultasi padanya.

Harus diakui bahwa Alexia sudah hampir enam bulan mungkin lebih tidak pernah menemuinya lagi. Entah dia sengaja mengabaikan perintah pelatihnya atau menganggap kondisi fisiknya baik-baik saja. Terakhir kali Alexia datang pun karena mengeluh cedera ringan di kaki juga pergelangan tangan. Hanya sebatas itu bukan mengarah ke kondisi lain.

Di satu sisi, tidak pernah sekali pun dokter Richard meresepkan obat diet dan pencahar seperti ini. Jika memang atlet di bawah naungannya mengalami peningkatan berat badan akibat efek samping obat tertentu misalnya obat anti kecemasan, pastinya dia berkolaborasi dengan ahli gizi juga psikiater supaya tidak salah kaprah.

"Tidak, Ryder," ujar dokter Richard. "Alexia sudah lama tidak menemuiku untuk check up, dan aku juga tidak pernah memberikan kalian obat-obatan ini tanpa sepengetahuan ahli gizi. Jika ada indikasi diet, aku tidak pernah merekomendasikannya."

Damn!

Bahu Ryder melorot tanpa aba-aba. Tangannya mengepal kuat seperti ingin meremukkan ponselnya detik ini juga.

"Apa kau mendapatkan beberapa gejala yang kiranya bisa aku tebak diagnosanya?" tukas dokter Richard ikut penasaran. "Aku yakin Alexia tidak akan seperti ini jika seseorang menyuruhnya diam-diam."

Apa?

Kepala Ryder rasanya ingin pecah dan entah kenapa batinnya langsung tertuju pada Thomas. Selama di Golden Skate, hanya lelaki itulah yang menjadi pelatih Alexia di pertunjukan solo hingga sekarang dipasangkan dengannya. Matanya memejam beberapa saat merangkum hal-hal yang kiranya mencurigakan dari diri Alexia. Terutama kebiasaannya ke toilet sampai setengah jam.

"Aku tidak yakin, tapi ..." Ryder mendesis gemas, emosi kini membekapnya tanpa henti seperti ingin mengambil alih. "Setiap kami makan di restoran ... aku memerhatikan dia pergi ke toilet. Well ... itu lumrah tapi dia sampai lima belas menit atau dua puluh menit."

"Dua puluh katamu?" Alis tipis dokter Richard menukik lalu berpikir keras. "Apa dia makan sesuatu dalam jumlah banyak dalam sekali hidangan? Apakah postur tubuhnya berubah lagi dari awal kalian bertemu sampai sekarang?"

Kontan Ryder menjentikkan jari. "Iya, pertama kali kami bertemu dia kurus sangat kurus malah. Aku sempat mengoloknya pecandu lalu kami bertengkar hebat dan tidak bertemu selama beberapa minggu," ujar Ryder mengakui kebodohannya kala itu.

Dokter Richard terhenyak namun tetap menjaga ekspresinya karena tidak mungkin menjustifikasi bentuk badan seseorang hingga menyebutnya pengguna obat terlarang, apalagi Alexia berbakat dan selalu dinyatakan bersih dari dopping.

"Saat akhirnya kami bertemu lagi, aku melihatnya jauh lebih bugar dan tidak ringkih. Namun, akhir-akhir ini dia kembali seperti awal. Aku menyadari hal ini ketika kami makan berdua, Dok. Dia makan beberapa porsi yang menurutku tidak wajar untuk ukuran gadis sepertinya. Aku tidak masalah dia makan banyak, hanya saja ... aku melihatnya seperti orang kelaparan. Satu hal lagi, setiap kami latihan ... dia tidak pernah membawa makanan dan minuman padahal--"

"Itu mencegah hipoglikemi," sela dokter Richard yang dibalas anggukan mantap. "Ryder ... aku rasa perlu menemui Alexia secara pribadi."

"Wait, kenapa? Apa yang terjadi dengannya? Katamu akan mendiagnosa kan?" desak Ryder berharap menemukan secuil jawaban. "Lalu apa? Kenapa dia? Tidak mungkin kan gejalanya mengarah ke anoreksia?"

"Sejujurnya, bisa jadi. Tapi, aku butuh menemuinya langsung dan saranku, jangan kau hardik gadis itu saat ini, oke. Aku akan menelepon Alexia dan kau jangan ikut campur sementara waktu," putus dokter Richard. "But, aku akan tetap mengabarimu bila diperlukan."

"Dok ..." Ryder hendak memaki tapi ditahan kemudian beranjak begitu saja. Saat di ambang pintu dia membalikkan badan dan berkata, "Promise me! Aku tidak mau ada sesuatu yang disembunyikan lagi seperti kau menyembunyikan kondisi Cherry!"

"I promise." Dokter Richard bersumpah. "Hei, Ryder!"

"Ya?"

"Jangan libatkan amarahmu, oke?" titah Dokter Richard. "Dia hanya kehilangan arah dan bukan berarti dia salah, Ryder."

Sesaat Ryder terpaku atas permintaan dokter itu namun mengingat pertikaiannya dulu bersama Cherry yang berakhir tragis, mau tak mau Ryder melenggut mengerti. Tanpa menimpali tanggapan lagi, dia melengang pergi menuju apartemennya untuk mendinginkan emosi sebelum menemui Alexia.

###

Alexia mencebik menerima notifikasi pesan yang dikiranya dari Ryder ternyata bukan. Sesaat alisnya mengerut dalam mendapati dokter Richard yang tiba-tiba memintanya datang untuk pemeriksaan rutin. Tanpa berpikir panjang, dia mengiyakan undangan tersebut walau sejujurnya tidak pernah merasa ada keluhan apa pun.

Memangnya apa?

Matanya menangkap angka di sudut atas ponsel yang sudah menunjukkan pukul satu siang dan belum ada tanda-tanda Ryder datang. Apakah ada sesuatu yang telah terjadi? Padahal seharusnya kan dia bisa berpamitan ke mana dia akan pergi sehingga Alexia tidak perlu resah seperti ini. Sembari menghela napas dan menyingkirkan pikiran buruk, Alexia menaruh kembali ponselnya di atas konter untuk melanjutkan pekerjaan memasak kaserole sosis Inggris--rebusan sosis dengan saus kental--dibantu Jhonny.

"Seperti ini kan irisannya?" Jhonny menunjukkan hasil potongan tipis bawang bombai sesuai arahan kakaknya.

"Ya benar." Alexia menyiapkan wajan dan menuangkan sedikit minyak untuk memasak sosis dan bahan lain yang sudah disiapkannya bersama. "Kau tidak berbohong padaku kan Jo?"

"Apanya? Ryder?" tukas Jhonny. "Kalau Coco bisa bicara, tanyakan saja padanya. Jawaban kami bakal sama. Dia akan datang, Lex. Tumben sekali kau mencemaskannya."

Alexia memutar bola mata, memasukkan sosis-sosis ke dalam wajan hingga asap menyembul keluar. "Karena tidak biasanya."

Jhonny mendekati kakaknya dan bersandar ke konter sembari bersedekap. "Wow."

"Kenapa kau?" ketus Alexia. "Wajar saja kan?"

"Ya wajar saja, tapi jangan terlalu dipikirkan. Pria punya dunianya sendiri, Lex, jangan kau atur-atur kami seperti itu," tandas Jhonny. "Kau sendiri tidak suka diatur kan?"

"Itu hal berbeda, Jo," kilah Alexia meniriskan sosis yang sudah kecokelatan. "Tolong ambilkan bawang bombai dan mentega."

Jhonny menurut dan menuang irisan bawang bombai ke dalam wajan. "Seberapa banyak menteganya?"

"Satu sendok makan," jawab Alexia. "Kau tahu? Sebelumnya kami sering bertengkar hanya karena masalah sepele dan aku malas terlalu banyak drama," sambungnya mengaduk-aduk bawang sampai agak matang. "Tepung, Jo."

Yang diperintah mengambil tepung yang sudah ditakar Alexia dalam wadah kecil dan mencampurkannya ke wajan. "Ya ya ya, kau tidak suka drama tapi sikap diammu yang bikin masalah makin besar."

"Oh ya?" Alexia membeliak tak percaya. "Aku hanya mendinginkan kepala dulu daripada berteriak yang tidak-tidak."

Bahkan kepada Maxwell pun, aku bisa mengutuknya sesuka hati tanpa terkendali.

Sudut bibir Jhonny terangkat lalu meraih botol berisi kaldu balok untuk dimasukkan selagi Alexia mengecilkan bara api kompornya. "Tapi, sebagian besar pria tidak suka kau hanya diam saja. Maksudku menghindar sampai kapan? Seringkali kau berlagak menyelesaikannya sendiri, padahal sejujurnya kau tak mampu, Lex."

"Oh my ... adikku pintar bicara sekarang," ledek Alexia menyikut lengan adiknya. Selanjutnya dia menambahkan air dan saus barbeque, dan saus Worcestershire juga bumbu lain sebelum menuang kembali sosi yang sudah digoreng. "Kau sudah minum suplemenmu kan?"

"I did ..." Jhonny berpaling manakala Coco menghampiri dan menggesek-gesekkan badannya ke kaki. "Hei, Big boy ... Kau lapar huh?"

Sontak saja Coco menggonggong seolah mengerti.

"Mau kubelikan anjing seperti Coco?" tawar Alexia. "Siapa tahu dia butuh teman juga dan kalian bisa bermain."

"Serius?" Mata sayu Jhonny berbinar penuh antusias. "Well ... aku ingin Doberman sih, bukan Labrador. Golden retriever juga tidak apa-apa kalau kau tidak ingin anjing bertampang garang," ujar Jhonny mengusap-usap kepala Coco.

"Baiklah ... terserah kau saja," ujar Alexia.

###

Alexia : Is everything allright?

"Berlagak lagi," cibir Ryder begitu membaca pesan Alexia. Masih bertelanjang dada, Ryder baru selesai membersihkan diri usai meninju samsak sampai berpeluh keringat. Sengaja memang Ryder tidak membalas karena tidak mau terpancing emosi sesuai permintaan dokter Richard.

Namun, dia tidak yakin apakah besok bisa menghadapi gadis itu dikala bibirnya ingin mencecar berbagai macam pertanyaan mengenai kenapa obat-obatan tersebut ada di laci juga kabinet toiletnya. Jikalau dia mengalami masalah sembelit, itu masih dianggap normal. Hanya saja menyuplai berbotol-botol dan menyelundupkannya di balik deretan skincare pastilah menimbulkan kecurigaan. Siapa yang tidak berprasangka buruk sepertinya?

Jhonny : Hei, Dude. Are you ok?

Jhonny : Kakakku sedari tadi siang mencemaskanmu karena kau tidak datang

Ryder : It's ok, Dude. Aku ada urusan sedikit.

Jhonny : Aku paham hanya mengabari kakakku itu agak sering overthinking terhadap hal-hal sepele.

Ryder : Nope. Thanks sudah mengirim pesan padaku.

Dihempas dirinya di atas kasur, mengamati langit-langit sembari mengurai teka-teki ini. Kenapa Alexia selalu bertindak sendiri tanpa memikirkan dampak panjang dari obat-obatan yang ditelannya? Ambisi mana lagi yang ingin digapai gadis itu? Siapa dalang yang memaska Alexia? Apakah Thomas? Atau adakah orang lain yang diam-diam mendorong Alexia melakukan diet?

"Damn, jika aku menuduh begitu saja, aku takut Dad akan membunuhku," geram Ryder memukul-mukul pelan keningnya. Sesaat kemudian terlintas ide membuat jemarinya mengetik pesan yang dikirimkan ke Jhonny.

Ryder : Kau mau membantuku? Aku ingin bicara berdua denganmu tanpa diketahui kakakmu, bisa?

Jhonny : Ok. Beri aku alamatmu.

Ryder : Good. Bawa serta Coco tidak apa-apa sebagai alasan kau bisa keluar rumah.

Jhonny : Masalah alibi, aku ahlinya. Jangan diajari lagi.

"Baiklah, kalau kau main rahasia, aku juga bisa, Lex," gumam Ryder dengan mata berkilat. "Kita lihat sampai mana rahasia yang kau pendam sendiri dan aku siap membongkarnya sampai ke akar."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro