51. What Are We?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'Isn't it strange? How people can change from strangers to friends, friends into lovers and strangers again?'
-Celeste-
***

Holy fuck...

Satu kata itu mungkin dilontarkan Ryder ketika Alexia keluar dari ruang ganti sembari mengenakan balutan kostum skating perpaduan warna merah dan hitam. Namun, lidahnya kelu saat memindai dari atas ke bawah mengagumi mahakarya Sang Pencipta betapa cantik pujaan hatinya. Dari depan, kain tile transparan membentang di sepanjang bahu lalu urun membentuk potongan V rendah berhias manik-manik berkilau. Di bagian pinggang semburan warna hitam menciptakan ilusi lekukan pinggang Alexia yang kian menggiurkan dan ...

"Bagaimana?" Gadis itu memutar tubuh, memamerkan punggung telanjang yang sialan ingin Ryder tutupi dengan kain lain.

"Cocok bukan?" Rudy—desainer kostum—kenalan Alexia tersenyum bangga mengamati gadis itu. "Kulitnya yang indah langsung kontras seperti berlian, Ryder."

"Kau benar. She is fucking perfect." Ryder menghampiri Alexia yang masih mematut diri di depan cermin kemudian merengkuh pinggangnya dari belakang dan berbisik, "Makin sempurna bila hanya aku yang melihatnya, Little love." Jemarinya bergerak turun meremas bokong Alexia membuat gadis itu berjingkat kaget.

"Ryder!" Alexia menepis tangan nakal Ryder. "Ada CCTV!" Dia menunjuk kamera pengawas sebelum berpaling ke arah Rudy yang salah tingkah mendapati tingkah laku Ryder.

"Kutinggalkan kalian berdua dan Ryder..." Rudy memanggil memuat Ryder menatapnya melalui cermin. "Please, jangan robek kostumnya."

Ryder terkekeh lalu mengerlingkan mata. "Tenang saja." Dia membenamkan wajah di ceruk leher Alexia namun dibalas sikutan di ulu hati. "Aku bercanda, Little love."

"Aku tidak percaya," cibir Alexia. "Kau sudah merobek beberapa pakaianku setiap kali kita ... kau hilang kendali."

"Because you're so perfect and I'm so fucking lucky. That's why."

"Are you teasing me, Mr. De Verley?" Alexia tersenyum miring lalu mengambil ponsel dari dalam tas. Sesaat dia merapikan rambut kemudian mengambil foto di depan cermin untuk dibagikan ke teman-temannya. Poppy dan Norah sudah menunjukkan kostum mereka yang tidak kalah anggun, sayang Arya terpaksa mundur dari pertandingan usai mengalami cedera paha.

Selanjutnya, Alexia membalikkan badan sengaja memamerkan punggung—yang menjadi bagian favorit tubuhnya—sembari berpose seksi dan menyugar rambutke sisi kanan. Belum puas memotret, Alexia menaikkan bust cup agar dadanya yang besar makin terlihat menonjol sebelum menjepret melalui kamera ponsel. Tiba-tiba Ryder menutupi bagian tersebut dengan jaket.

"Tidak untuk yang satu itu, Nona. Posemu terlalu vulgar, aku tidak suka orang lain melihatnya," protes Ryder merebut IPhone kekasihnya. "Biarkan aku memotretmu."

Penuh percaya diri, Alexia bergaya walau beberapa bagian Ryder mengoreksi agar tidak terlalu sensual mengingat proporsi tubuhnya saat ini bakal mengundang ratusan pasang mata. Terakhir, Ryder mendekapnya dari belakang, menjepret di depan cermin untuk memberitahu bahwa gadis pirang ini adalah miliknya.

"Ganti bajumu," pinta Ryder mencium pelipis Alexia. "Kita ada latihan satu jam lagi."

"Aku tahu."

"Latihan terakhir sebelum turnamen." Dia memutar badan gadisnya dan menghadiahi sebuah kecupan singkat sementara tangannya tak mau diam. Meremas pantat Alexia begitu gemas. "Haruskah kita quickie di sini?" tawarnya saat menggesek-gesekkan hidung seraya menyesap wangi karamel Alexia yang sialan memabukkan.

"Jangan gila. Aku harus ganti, Ryder." Alexia mendorong tubuh Ryder lalu mengerlingkan sebelah mata dan menarik lelaki itu masuk ke dalam bilik.

###

Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba di mana seluruh peserta skater maupun cabang olahraga lain menanti giliran unjuk gigi. Seluruh gelanggang es di Sheffield dipenuhi sorak sorai penonton dari berbagai macam daerah entah kawasan persemakmuran maupun Britania Raya sendiri. Bagaimana tidak, mereka tak sabar menjadi saksi siapa yang bakal memenangkan juara nasional dan berkesempatan besar masuk ke kualifikasi Olimpiade.

Tabuhan, tiupan terompet penambah semangat juga teriakan penonton terdengar sampai ke arena persiapan di mana para skater yang meliuk-liuk di atas seluncur atau sekadar mendengarkan arahan pelatih.

Sementara itu, Alexia menatap diri di depan cermin sebelum keluar dari ruang ganti. Dilanda resah juga gelisah akibat demam panggung mendadak menyerang padahal ini bukanlah kali pertama tampil di depan publik. Dia mengepalkan tangan, lalu mengibas-ngibaskannya agar semua kegugupan itu lenyap selagi berjalan mondar-mandir.

Tidak ada waktu memedulikan tatapan penuh selidik maupun pandangan remeh dari peserta lain. Alexia memilih menenangkan irama napasnya yang terasa sesak juga sensasi dalam perutnya seolah-olah sedang dililit tali.

"Aku bisa ... aku bisa ..." Dirapal mantra tersebut dan tak sengaja kepalanya mendongak ke arah Arya yang berjalan di tengah-tengah Poppy dan Norah. "Hei!"

"Hei." Arya melambaikan tangan kanan. "Kau pasti gugup ya?"

Alexia mengangguk lalu merangkul ketiga temannya. "Sialan. Ini pertama kali aku tampil selain tes senior dan solo," gerutunya bercampur cemas.

Poppy mengelus punggung telanjang Alexia. "Yeah, tapi kuyakin kau lebih dari mampu, Babe. Kau sudah banyak melewati rintangan dan ini saatnya pembuktian diri."

"Tanganmu dingin sekali, Babe." Alexia menggenggam telapak tangan Poppy usai melepas pelukannya. "Kau Norah?"

"Jangan tanya. Perutku mulas sekali" keluh gadis manis itu.

"Perlu kuberi obat?"sahut Arya yang dibalas gelengan. "Mau minum?"

"Tidak. Aku tidak haus," elak Norah. "Hei, setelah ini, apa pun hasilnya kita akan rayakan bersama kan? Ingat konser di Budapest, girls."

"Kuharap kakiku segera sembuh supaya  tidak menyusahkan kalian," tukas Arya dan mendekap teman-temannya. "Ayo berdoa. Semoga Tuhan memberkati kita semua di perlombaan ini."

"Dan pria tampan," imbuh Norah. "Berkatilah aku bersama pria tampan."

"Dan mapan," sahut Alexia dibalas gelak tawa. 

Keempat sahabat itu memejamkan mata untuk memanjatkan doa setinggi langit agar tantangan hari ini bisa dilalui dengan mudah. Dalam hati kecil mereka, begitu besar harapan bisa masuk ke tiga besar supaya ada pulang mengikuti Olimpiade di Paris. 

Perasaan gundah gulana yang menggelayuti benak Alexia perlahan-lahan memudar setelah mendapat semangat dari teman-temannya. Lalu mereka pun keluar ruang ganti dan tidak jauh dari sana, Ryder berdiri menanti-nanti Alexia muncul.

Kontan seulas senyum lebar juga binar mata hijau yang memesona itu membangkitkan debaran dada Alexia. Dia membalas lambaian tangan Ryder saat Norah berkomentar,

"Fucking hot."

Mendengar hal itu, Alexia melirik sinis Norah yang buru-buru menutup mata. "Oh fuck, mataku bisa ternodai oleh pikiranku sendiri."

Alexia memutar bola mata. "Untung kau temanku," cibirnya kemudian membenarkan pujian Norah kalau kostum Ryder sialan menggiurkan. Apalagi pakaian yang senada dengan yang Alexia kenakan begitu melekat di lekuk tubuh Ryder yang kekar—terutama bokongnya yang sialan padat.

"Sorry. Kalau begitu aku harus pergi," pamit Norah. "Ayo, Poppy. Kau juga Arya!"

"Good luck, girls!" seru Ryder saat mendatangi kekasihnya. "Cantik sekali," pujinya.

"Kuharap ini segera selesai karena banyak orang yang ingin menanggalkan pakaianmu, Ryder," bisik Alexia.

Mau tak mau Ryder terbahak-bahak. "Ya ampun ... Yang mendesainnya juga kau dan Rudy kan? Kenapa menyalahkan mereka?"

Alexia melengkungkan bibir sembari mengedkkan bahu agak kesal.

Sebelah tangan Ryder terulur tuk menyisir untaian anak-anak rambut Alexia. "Kau siap?"

"Siap tapi gugup." Alexia meringis lalu menggenggam erat tangan Ryder. "Kau?"

"Sama. Tapi, aku merindukan euforia seperti ini." Digandeng tangan Alexia menuju arena persiapan. "Kau pasti bisa, Little love. Aku percaya padamu."

Di area persiapan di mana Levi telah menunggu untuk memberi beberapa wejangan terkait penampilan juga saingan yang perlu diperhatikan. Karena ini penampilan perdana sebagai pairs, Levi tidak terlalu menargetkan juara utama yang terpenting ketika anak didiknya tampil, mereka harus memperlihatkan hasil kerja keras terutama setelah insiden yang menimpa Alexia. Walau berita tersebut sudah tidak diperbincangkan lagi, Levi yakin ada segelintir orang yang meragukan kapabilitas Alexia maupun Ryder.

"Aku percaya pada kemampuan kalian berdua," ucap Levi menepuk pundak sejoli itu. "Tetap fokus dan bayangkan kalian dibakar gairah."

Refleks Alexia dan Ryder berdehem salah tingkah dengan wajah memerah.

Levi terkekeh lalu menyiratkan mereka berdua masuk ke arena seluncur untuk pemanasan. "Baiklah, kalian latihan sebentar ke sana karena kita dapat nomor urut lima."

###

Waktu bergulir begitu cepat manakala giliran Alexia dan Ryder lagi-lagi tiba. Usai menampilkan program pendek yang berhasil menghipnotis ribuan pasang mata dan mendapatkan skor yang cukup memuaskan baik dari elemen teknis juga komponen program. Sungguh tidak menyangka membawakan aransemen Khachaturian dan persiapan yang bisa dibilang sangat singkat mampu menembus hati juri. Manalagi mereka berdua sukses menyelesaikan lompatan solo hingga tiga putaran secara presisi tanpa tergelincir.

Sekarang Alexia dan Ryder masuk ke dalam arena untuk program bebas. Mereka meluncur sembari bergandengan tangan dan mengelilingi ice rink, saat pemandu acara menyebut nama.

Di antara ribuan penonton yang menyaksikan pertunjukan es saktinya itu, Nancy dan Maxwell duduk tanpa menghiraukan cibiran maupun pandangan tak suka orang-orang padanya. Sebagai orang tua yang pernah berbuat salah, tentu mereka ingin mendukung putri sulung kebanggaan mereka.

Tadi Nancy sempat melihat Jhonny bersama beberapa lelaki bertubuh tegap dan berusia beberapa tahun lebih tua darinya. Salah satu dari mereka adalah Nathan—adik Ryder—yang merangkul bahu Jhonny sembari terbahak-bahak entah membicarakan apa. Nancy ingin menghampiri, tapi urung dilakukan ketika menyadari kalau raut muka putra bungsunya tersebut jauh lebih cerah dibanding dulu.

Jhonny bersosialisasi. Punya teman. Tertawa bahagia.

"Kau tak mau menyapanya?" Maxwell membuyarkan lamunan Nancy.

Wanita itu menggeleng pelan seraya menyunggingkan senyum tipis. "Tidak."

Alexia dan Ryder berpose di tengah-tengah arena seluncur dengan menempelkan kening satu sama lain. Sayup-sayup instrumental Hans Zimmer mengalun memenuhi gelanggang bersamaan Ryder dan Alexia memulai koreografi. Dari balik iris biru terang Alexia, dia merasakan waktu berhenti berdetak menyisakan dirinya bersama Ryder. Lampu-lampu di sekeliling menyorot setiap gerakan mereka di atas es, sementara desiran darahnya kini melebur jadi satu oleh emosi atas apa saja yang telah dilalui.

Perselisihan saat pertama kali bertemu.

Penyesalan ketika Ryder menemuinya di apartemen.

Ciuman pertama di bawah salju.

Ratusan air mata yang jatuh ketika rahasia yang dipendam seorang diri terkuak oleh desakan dan amarah Ryder.

Hingga berakhir dengan pengakuan cinta.

Cinta yang tidak pernah dia dapatkan dari seorang pria.

Selagi melaju membelakangi Ryder yang memegangi pinggang Alexia bersiap-siap mengeksekusi double twist lift. Detik berikutnya, Alexia terbang ke atas seraya berputar cepat sebelum mendarat sempurna menggunakan kaki kanannya. Dia meluncur dan menaikkan sebelah kaki dilanjut manuver-manuver membentuk pola-pola lengkungan dan lingkaran.

Putaran sempurna langsung mengundang tepuk tangan begitu Alexia menunjukkan lompatan disusul gerakan serempak—triple toe dan double axel. Nancy yang melihat pertunjukkan tersebut dibuat menangis haru sebab di sana baru disadarinya bahwa Alexia benar-benar menjadi diri sendiri. Bukan gadis yang dipaksa melakukan diet ketat demi memuaskan ambisi.

Bukan hanya itu saja, wajah alexia tampak sumringah menikmati hentakan demi hentakan musik. Apalagi saat Alexia berdiri di atas paha Ryder dengan satu kaki dan melengkungkan punggung sembari menyentuh pisau skating, bersamaan Ryder meluncur menggunakan teknik spread eagle. Detik berikutnya, tubuh Alexia diangkat ke udara di mana bertumpu di tangan Ryder yang memegang pinggul. Saat mendarat, mereka berpencar dan berotasi dalam posisi sit spin dalam kecepatan tinggi.

"Putrimu luar biasa," puji Maxwell ikut berkaca-kaca.

"Putri kita," sambung Nancy kini bertepuk tangan manakala Alexia menampilkan dead spin.

Gerakan-gerakan akrobatik di sana berulang kali dihadiahi riuh pujian dan tepuk tangan. Saat lagu berakhir, Alexia hampir menangis karena berhasil menyelesaikan misi. Ryder merengkuh dalam dekapan sembari berbisik,

"Kau hebat, Little love. I adore you."

"Kau juga," balas Alexia tertawa bahagia lalu bergandengan tangan dan membungkukkan badan sebagai bentuk rasa terima kasih atas antusias penonton. Setelahnya mereka meluncur ke luar arena yang disambut Levi yang ikut bertepuk tangan.

"Kalian benar-benar luar biasa."

Tanpa diduga, beberapa orang melempari dua insan tersebut dengan buket bunga dibarengi teriakan, "Kalian sempurna sekali!"

"Thanks!" Ryder mengacungkan buket bunga tersebut dan hampir menitikkan air mata merasakan suasana yang amat dirindukan setelah sekian lama.

Aku berhasil, Cherry. Aku benar-benar berhasil.

Mereka bertiga pun duduk dan menunggu perhitungan skor program bebas melalui monitor. Beberapa kali rekaman video mereka menari di atas es diputar ulang dalam mode slow motion. Alexia menggenggam erat tangan pelatih dan Ryder sambil berkomat-kamit ketika pemandu acara mengumumkan nilai.

Layar kaca di depan mereka memunculkan angka 153, 30 menimbulkan euforia sebab berhasil meraih peringkat pertama mengalahkan saingan dari klub lain. Sungguh tidak pernah disangka bahwa usaha kerasnya sampai berdarah membawa Alexia dan Ryder di puncak podium nasional.

Air mata tumpah ruah saat Alexia memeluk Ryder penuh haru. Dia juga merangkul Levi sebagai ungkapan rasa terima kasih sudah mendidik juga menasihati layaknya orang tua.

"Aku hanya membantu sedikit, selebihnya kalianlah yang berhasil," ujar Levi menghapus jejak basah di pipi Alexia. "kau berhasil membuktikan dirimu, Lex."

"Terima kasih, Mr. Sutton."

Tak lama, Lucas bersama Maddison muncul tuk memberikan selamat. Lucas begitu bangga atas pencapaian Ryder walau banyak lika-liku yang harus dihadapi anaknya ini. Dia menepuk-nepuk pundak Ryder dan berkata, "Terima kasih, Ryder. Kau sungguh berhasil membuktikan dirimu mampu."

"Karena dukunganmu, Dad."

Senyum yang mengembang di bibir Ryder lenyap seketika saat sebuah suara memanggil Alexia. Dia berpaling dan bola matanya membulat mendapati pria—yang sangat ingin dihajar—mendadak muncul tanpa diundang. Pria yang mengenakan celana chino dan kemeja linen itu membawa sebuket bunga mawar tanpa melirik keberadaan Ryder juga Lucas.

"Drew!" Alexia berseru dan berlari menghampiri pria—yang sangat ingin dibantai Ryder. Tanpa sungkan, rasa bersalah Alexia menghamburkan diri ke dalam pelukan Drew.

Ryder membeliak bukan main mengamati kekasihnya dan teman sialanya sedang asyik dengan dunia mereka sendiri. Rahang Ryder gemeletuk dan tangannya terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih.

"Selamat! Akhirnya kau mendapatkan juara pertama, Darling!"

"Ya, I did it well!" Alexia menitikkan air mata lalu melepaskan rangkulannya. "Terima kasih banyak. Apa kau datang sendiri atau bertemu adikku?"

Drew menggeleng. "Aku datang sendiri. Sudah kubilang kan, aku selalu memberikan kejutan dan senang rasanya tak perlu beli tiket pesawat," candanya lalu menyodorkan buket itu. "Untukmu, Lex."

Alexia menghirup dalam-dalam rangkaian mawar indah sembari tersipu malu. Detik berikutnya, dia berjingkat kaget manakala Ryder membanting pintu meninggalkan ruangan. Alexia bingung semeentara Lucas, Maddison, dan Levi tak mau ikut campur atas cinta segitiga yang baru disaksikan di depan mata.

Tak sempat berpamitan, Alexia mengejar Ryder yang berjalan cepat menyusuri lorong tanpa mengabaikan orang-orang yang memberinya ucapan selamat.

"Ryder!" teriak Alexia berusaha mengimbangi langkah panjang lelaki itu. "Ryder!"

"Apa mereka bertengkar?" Seseorang berkuku-kusu mengetahui ada ketegangan yang tampak jelas di antara skater itu.

"Tidak mungkin, mereka baru memenangkan juara pertama."

Tak digubris, Alexia melempar buket bunga tepat mengenai kepala Ryder. Beruntung lorong yang dijejakinya cukup sepi sehingga tak perlu mengundang perhatian tukang gosip. Sontak saja Ryder berhenti melangkah tanpa membalikkan badan. Tangannya mengepal kuat tidak dapat membendung rasa cemburu menyaksikan keakraban Drew dan Alexia.

Bukan tanpa alasan, tapi sejak Alexia bertemu Drew di depan F1 Arcade, Ryder menangkap ada sinyal-sinyal lain yang dipancarkan lelaki sok tampan tersebut kepada gadisnya. Hanya orang aneh yang menganggap pertemanan mereka hanya pertemanan biasa sedangkan ada maksud terselubung yang Drew lakukan.

"Ryder. What's wrong with you?"

Ryder menendang buket bunga pemberian Drew lalu berkacak pinggang. Dia masih malas menanggapi pertanyaan Alexia yang semestinya sudah dipahami.

"Kau ini kenapa?" Alexia menyentuh bahu Ryder namun ditepis kasar ketika lelaki itu menunjuk batang hidung gadisnya.

"Kau!"

Kening Alexia mengerut tak mengerti. "Apa?"

"Apa selama ini kau berhubungan dengannya?" Ryder menatap nyalang. "Dengan si keparat itu di belakangku?"

Alexi menganga bukan main atas tuduhan tidak berdasar itu. "Apa? Are you jealous?"

"Jealous?" Ryder mengusap wajahnya frustrasi lalu berseru,"yes, I'm fucking jealous and I don't want his hand touching your fucking waist, Lex!"

"He's just my fucking friend and you—"

"Who the fuck Am I for you?" Sela Ryder. "Am I just like him?"

Hanya satu pertanyaan itu mampu mengunci bibir Alexia juga mendobrak-dobrak hati atas dilema yang membelenggu tanpa diketahui Ryder. Dia termangu cukup lama, tak sanggup memberikan jawaban kala Ryder menanti sebuah kepastian.

"Tell me, Is our relationship just platonic, Alexia?" Suara Ryder bagaikan cambuk dalam kepala Alexia yang menggema tanpa henti.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro