7. He and Our ego

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'I'd rather push on all your buttons to start a fight before I apologise.'

-Saint Harison-

***

"Beri aku kesempatan untuk membuktikan kepada Lucas bahwa anaknya mampu kembali ke ring, Lex," pinta Thomas tapi nada bicaranya terdengar menodong. Dia menemui Alexia di kediamannya setelah pertikaian dengan Ryder beberapa waktu lalu. "Aku yakin performanya yang turun akibat kecelakaan itu. Bantu dia, Lex, please!"

"Harusnya kau tidak menyeretku, Tom!" protes Alexia bersedekap dan membuang muka. "Mengingatnya saja sudah membuatku muak!"

"Empat puluh hari," tawar Thomas. "Empat puluh hari dan bila gagal, kau boleh mundur. Apa kata wartawan nanti jikalau kalian mendadak terpecah belah seperti ini?"

"Your fucking problem, not mine! Tidak ada pengaruhnya denganku, Tom!" sungut Alexia enggan ikut campur. "Aku masih bisa kembali jadi pemain tunggal, kau pikirkan saja si pecundang sombong itu!"

"Aku akan menunggumu di studio Lee Valley," tukas Thomas seraya beranjak dari sofa. "Just 40 days, Lex. 40 days."

Sialan!

Entah setan mana yang berhasil menghasut Alexia mendatangi studio off ice Lee Valley. Oke, anggap saja dia terkena puting beliung sehingga kewarasannya berceceran di antah berantah, menyisakan kegilaan hingga bersedia hadir ke tempat milik keluarga De Verley. Di sisi lain, nama Alexia terlanjur disorot media sebagai pasangan skater si pangeran es.

Sayangnya, mereka hanya tahu Ryder seorang pria menawan nan menggoda penuh prestasi, sementara di balik semua itu ada sosok pecundang angkuh yang memuakkan.

Sangat dan sangat memuakkan!

Sialnya, posisi Alexia sama-sama tidak menguntungkan sekarang. Bila tiba-tiba putus di tengah jalan, pasti bakal banyak rumor bermunculan meski dari pihaknya sendiri belum memberi klarifikasi resmi. Belum lagi wartawan dan netizen suka menggoreng sesuatu dengan menambahkan bumbu-bumbu ke dalam gosip. Alexia terlalu malas bila berkecimpung dalam drama ketika hidupnya sudah terlalu berat memikul beban.

Kalau dia nekat maju, otomatis harus berhadapan dengan Ryder. Dia tidak peduli lelaki itu gagal terus, tapi ... mendengarkannya mengoceh, menggerutu, bahkan suasana hatinya yang berubah-ubah, Alexia tidak yakin bakal betah.

Sementara itu, bukan hanya Thomas yang memelas supaya Alexia tetap bertahan, tapi juga Lucas yang meneleponnya secara pribadi dan mengajak bertemu sekadar membicarakan perihal anaknya.

"Aku minta maaf mewakili putraku, Ms. Ross," tukas Lucas manakala mereka duduk berhadapan di cafe. "Well ... kau tahu kan kalau banyak hal terjadi padanya semenjak kecelakaan itu? Kekasihnya meninggal tepat di depan mata Ryder, Ms. Ross."

Jadi, bagaimana mungkin Alexia bisa menghindar?

Siapa pun tolong cekik aku saja! jeritnya dalam hati.

Helaan napas berat meluncur dari hidung mancung Alexia bagai meruntuhkan ratusan ton beban di pundak walau nyatanya tidak berhasil. Dia sungguh malas bila harus bertemu Ryder dengan segala suasana hatinya yang meledak-ledak. 

Tutup telinga dan bibirmu untuknya, Lex! Anggap saja dia hantu berkepala alien!

Oke. Dia mengangguk menyetujui dewi batinnya agar tidak mengindahkan Ryder barang sedetik pun. Dia bertekad melakukan hal ini semata-mata membalas budi niat Lucas yang jauh-jauh menemuinya hanya untuk meminta maaf atas tabiat buruk putra keduanya. Semisal Ryder kembali mendepaknya, Alexia masih punya program sendiri di turnamen. Tak perlu menangis darah hanya karena pria bukan?

"Mana anak didikmu satunya?" tanya Alexia menyelesaikan pemanasan dan bersiap melatih lompatan sesuai catatan terakhir yang diberikan Thomas. Dia mengulang quad toe menggunakan jari kaki kiri dan berputar berlawanan jarum jam di udara selagi melebarkan kaki membentuk busur. Landasannya presisi dan lebih kuat manakala jari-jari kaki kiri mampu menahan beban tubuh sementara kaki kanan lurus ke belakang. "Aku yakin dia merajuk lagi."

"Entahlah." Thomas mengedikkan bahu sembari mondar-mandir berusaha menghubungi Ryder yang terlambat hampir satu jam.

"Empat puluh hari, Tom. Kalau kelakuannya masih seperti ini, aku tak mau jadi timnya," balas Alexia melakukan quad toe lagi. "Bagaimana?"

Thomas mengacungkan jempol. "Lebih bagus. Ah, sial! Dia kuhubungi--"

Kalimat Thomas terhenti manakala pintu bercat abu-abu tiba-tiba terbuka lebar menampilkan sosok yang sudah ditunggu akhirnya datang. Mengenakan puffer hitam, laki-laki itu meletakkan tas dan jaket di sudut studio tanpa melontarkan sepatah kata apalagi ucapan maaf. Dia bergerak ke sudut ruangan, menjaga jarak dari Alexia lalu melakukan pemanasannya sendiri tanpa merasa bersalah sedikit pun. Bahkan tanpa memandang pelatih juga partnernya.

Alexia geleng-geleng kepala mendapati sikap Ryder yang benar-benar di luar batas. Namun, dia tidak akan peduli. Sama sekali tidak akan menaruh kepedulian. Biarlah lelaki itu berbuat sesuka hatinya, toh yang rugi dia sendiri. 

Sedangkan Thomas berkacak pinggang sudah kehilangan stok kesabaran betapa kekanakannya sikap Ryder. "Kau yakin bisa menang dengan sikapmu ini, Ryder? Terlambat satu jam dan menyia-nyiakan segalanya? Dari mana saja kau?" tegurnya.

"Bukan urusanmu," jawab Ryder tanpa memandang pelatihnya dan memilih melatih lompatan-lompatannya yang hancur berantakan. Dia tahu Alexia meliriknya menuntut jawaban lebih dari sekadar itu. Namun, lidah Ryder terlalu kelu merangkai kata.

"Selamanya kau tak akan bisa bila hatimu terpaksa, Ryder," ujar Thomas. 

"Lebih baik pulanglah!" sahut Alexia. "Kau hanya membuatku tak fokus dengan kehadiranmu, dasar bodoh!"

Damn!

"What do you want!" tantang Ryder murka melempar tatapan nyalang ke arah Alexia seraya berkacak pinggang. "Aku memaksa diriku datang dan apa ini sambutannya? Dan apa tadi? Kau mengataiku bodoh?"

"Memang," balas Alexia tak takut. Dia hendak melanjutkan kalimatnya namun tertahan ketika Thomas melerai,

"Hei, hei... aku tidak membela siapa-siapa." Dia mendekati Ryder dan berkata, "Kesepakatan adalah kesepakatan, Ryder. Aku sudah menghubungimu puluhan kali tapi tidak tersambung. Apa ada masalah?"

Lagi-lagi Ryder tutup mulut lalu berpaling ke arah lain tak ingin dua manusia di depannya mengetahui apa yang sebenarnya dirasakan. Tentunya dia tidak mau dikasihani sebagai orang salah jalan. Dia juga tidak mau orang menganggapnya pria paling menyedihkan. Ini demi harga dirinya walau terkesan egois.

Semenjak memutuskan kembali ke turnamen, Ryder makin tak dapat tidur nyenyak. Setiap kali memejamkan mata, sisi lain dari dirinya terjaga untuk meratapi apa yang sebenarnya diinginkan. Hati kecilnya terus menerus memberondong Ryder dengan puluhan pertanyaan apakah dia benar-benar ingin seperti ini terus sebagai pecundang atau melanjutkan hidup layaknya orang lain. 

Aku ingin hanya saja bayang-bayangnya selalu membayangi seolah-olah tak rela aku kembali. Jadi, siapa yang ego?

"Ryder?" panggil Thomas mencoba mencairkan suasana yang terlanjur memanas. "Kita bisa bicarakan baik-baik, oke?"

"Aku hanya mencoba sebisaku," ketus Ryder. "Kalau kau ingin aku berhenti, akan kulakukan!"

"Wait!" seru Thomas menahan lengan Ryder. "Oke, I'm sorry. I just wanna know what do you want, Ryder. Aku tidak bisa menerkanya jika kau menghindar dan tidak mau terbuka kepadaku. Kepada kami."

"Just fuck off," desis Ryder pelan tapi menusuk. "Aku bisa sendiri." Dia melanjutkan latihannya dan tidak memedulikan ekspresi Alexia yang ingin menyemburkan umpatan.

"Okay fine!" putus Thomas angkat tangan. "Lakukan apa yang ingin kau lakukan. Aku hanya bisa mengawasimu, Ryder. Come on, Lex, lanjutkan yang tadi."

Ryder berupaya membiasakan kaki dan tubuhnya berputar sesuai langkah-langkah melakukan axel. Sialan! rutuknya kala hampir mengecup lantai akibat kehilangan keseimbangan. Tidak di sini, tidak di ruang gym-nya, kaki Ryder benar-benar lupa bagaimana seharusnya melompat dan berputar. Dia menggeram kesal, memukul kakinya membuat Thomas buru-buru memberikan contoh. Sementara Alexia memerhatikannya dalam diam. 

Ada yang salah dengan dia, batin Alexia. Oh tidak! Jangan pedulikan dia Lexi! Dia hantu berkepala alien. Dia hantu berkepala alien.

Tak sengaja mereka bertemu tatap, cepat-cepat Alexia membuang muka berusaha tidak menganggapnya ada.

Hantu berkepala alien. Hantu berkepala alien.

"Ya, Bagus, Ryder!" puji Thomas mendapati lelaki itu sedikit menemukan keseimbangan saat landing walau belum benar-benar sempurna. "Jangan tergesa-gesa mendarat, bahu dan pinggulmu!" Thomas kembali memperagakan axel yang benar.

Thomas mencari ancang-ancang lalu bergerak menggunakan kaki kanan kemudian melompat dan berputar selagi menjaga keseimbangan bahu dan pinggul. Detik berikutnya dia mendarat dengan kaki kiri begitu mulus sambil merentangkan kedua tangan dan mendorong kaki kanan ke belakang. "Jangan fokus ke putaran kalau pinggulmu belum siap, coba fokus bergerak ke lompatan dulu, Ryder. Otot pahamu aman kan?"

Ryder melenggut dan tanpa bicara.

Alexia menguping percakapan dua pria itu dan membatin kalau mungkin tebakannya ibunya benar. Masalah terbesar Ryder saat ini di koordinasi kaki yang sudah lama tidak dilatih skating. Dia menggeleng keras, lagi-lagi sisi baiknya menggoda untuk menaruh simpati.

Hantu berkepala alien, camkan itu!

"Hei, apa kau perlu menurunkan berat badan? Aku bisa menelepon dokter Richard nanti," tawar Thomas. "Kau mungkin perlu melakukan check up ulang."

"Bobotku masih sama," jawab Ryder datar.

"Sebaiknya dicek lagi supaya aku bisa menyusun daftar latihan untuk otot kakimu, Ryder."

"Terserah! Kenapa kau tidak suruh saja gadis di sana menaikkan berat badannya! Tak enak dipandang," hina Ryder yang kali ini benar-benar tak terduga.

"Who the fuck are you, Twat!" sungut Alexia tersinggung bukan main. Dia mencoba diam, bahkan tidak menyindir apa pun lagi. Sekarang lelaki itu berhasil menuang gas ke dalam api yang membakar emosi Alexia lagi. 

"Aku benar kan?" Ryder memindai Alexia yang lebih mirip sepotong kue jahe terlalu lama dipanggang, kecuali bagian dadanya yang sintal. "Tidak ada yang salah dengan ucapanku," lanjutnya melayangkan pandangan jijik. "Tubuhmu perlu diperiksa ulang, bukan aku. Seperti pecandu saja."

Bagai merapi yang berhasil memuntahkan lahar dan menghanguskan sekitar, wajah Alexia merah padam tak mampu meredam kemurkaan akibat cacian Ryder. Dia bergegas membereskan barang-barangnya secara asal seraya berkata, "I'm done."

Persetan dengan 40 hari! rutuknya.

Buru-buru Thomas menghampiri dan berbisik, "Lex. Dia hanya--"

"That bloody guy, Tom!" pekik Alexia menunjuk Ryder.

Air matanya hampir luruh karena tak mampu dibendung lebih lama. Tidak! Dia tidak boleh menangis di depan si bajingan itu. Satu tetes pun akan membuatnya merasa menang. Dia kira memberi kesempatan sekali lagi atas dasar kebaikan Mr. De Verley bisa memperbaiki hubungan mereka sebelumnya. Nyatanya tidak. Ryder si bajingan angkuh itu tetaplah sama.

"Aku tidak bisa meneruskan ini semua. I'm fucking done!" tegasnya lagi menyampirkan tas ke pundak.

"Lex!" cegah Thomas meraih tangan Alexia tapi berhasil ditangkis

Enggan memberi ucapan selamat tinggal, Alexia membanting pintu studio setelah melempar sumpah serapah kepada Ryder. "Bloody dickhead!"

(Dasar bodoh!)

***

Twat : british slang, stupid person. Mirip kayak jerk.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro