8. Your Fault

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'I didn't wish that I could be your man or maybe make a good girl bad.'

-Sleep Token-

***

"Oh crap!" geram Thomas tidak berhasil membawa Alexia kembali ke studio setelah berusaha membujuknya di koridor. Dia menutup pintu berpelitur abu-abu tersebut dengan kasar lalu berseru kepada Ryder, "How fucking you are, Ryder!"

Thomas mengusap wajahnya frustrasi atas ujaran Ryder yang benar-benar keterlaluan. "What the hell is wrong with you, Ryder!" hardiknya lagi menggema seluruh studio yang menyisakan mereka berdua.

Yang diamuk hanya terdiam seribu bahasa seolah-olah tidak peduli bahkan sampai menendang matras yoga begitu saja karena suasana hatinya ikut-ikutan memburuk. Ryder merasa dongkol pada diri sendiri menyadari ketidakmampuannya di atas ring sekaligus omong kosong yang dilontarkan Alexia. Peduli setan! umpatnya dalam hati.

"Mau ke mana kau?" tanya Thomas murka menghadang Ryder yang sudah menyampirkan tas di pundak.

"Menurutmu?" balas Ryder terdengar menantang. Thomas menahan lengan kanan Ryder membuatnya makin terbakar amarah. "Let me fucking go, Tom. Suasana hatiku sedang--"

"Apa ini cara mainmu menolak Alexia?" potong Thomas memicingkan mata tak terima.

"I never asked you, Tom," sangkal Ryder merendahkan suara mirip harimau siap menerkam mangsa. Iris hijaunya menggelap menghunus tepat di pupil Thomas. "I'm done." Dia menyentak tangan pelatihnya begitu kasar.

"Kau pengecut!" pekik Thomas saat Ryder memegang kenop pintu studio. "Caramu sialan murahan, Ryder! Kau tidak menghargai orang lain juga mimpi orang tuamu agar kembali ke turnamen. Yeah, you got it! You did it well, Kid! Kembalilah ke apartemen dan tiduri anjingmu, Ryder!"

Ryder mengepalkan tangan lantas melempar tasnya ke sembarang arah hendak menyerang Thomas. Dia menarik kerah mantel pelatihnya kuat-kuat dengan napas memburu dan mata melotot tajam. Gigi Ryder gemeletuk sementara sebelah tangannya mencengkam kuat, bersiap meluncurkan bogem mentah hingga tulang hidung juga rahang Thomas patah. Namun, tidak segera dia lakukan karena tidak mau masalahnya makin runyam.

"You don't know me, Tom." Nada bicara Ryder seperti peringatan bahwa dirinya berbeda dari yang dulu. "You don't fucking know me."

"I know you, Ryder. Kau hanya kehilangan kendali karena kapabilitasmu di atas arena," balas Thomas menatap nyalang. "Kau tidak bisa berbohong padaku sekeras apa pun pukulanmu. I'm fucking your coach for the first time till now. I know you, I know Alexia!"

Ryder mendorong Thomas hingga terhuyung beberapa langkah di belakang.

"Sudah kubilang sejak awal, beri aku waktu empat puluh hari atau ... paling tidak satu bulan agar kau bisa beradaptasi lagi, Ryder," tukas Thomas yang kini membalas menarik kerah puffer Ryder. Dia benci kalau tidak dihargai seperti ini. "Just try this damn skating! Bukannya marah dan labil tidak jelas! Apa ini ambisimu sebenarnya? Menghancurkan orang lain agar merasakan hal yang sama denganmu?"

Refleks Ryder mendaratkan pukulan telak tepat di pipi kanan Thomas sampai terjungkal membentur lantai studio. "Piss off!" Dia berjalan cepat meninggalkan pelatihnya seorang diri di studio setelah membanting pintu.

###

Butir-butir salju turun perlahan-lahan bersamaan suhu makin turun menusuk tulang. Sayang, dinginnya udara tak sanggup mendinginkan amarah yang masih meledak-ledak dalam kepala Alexia. Akibat celaan tak senonoh Ryder, dia memutuskan pergi ke drive thru McDonalds dan memborong beberapa menu; burger, ayam, kentang, hingga cola. Memang terkesan serakah, tapi ada dorongan hebat dalam benak Alexia untuk memenuhi perutnya sampai tak tahu kapan desakan ini berhenti.

Salah apa aku sampai hati dia seperti itu?

Derai air mata tak henti-hentinya membasahi pipi Alexia di saat mulutnya dipenuhi burger double patty and cheese. Dia tergugu, mengumpat pelan sembari menonjok setir mobil. Mimpi buruk macam apa yang menimpa sampai dia dipertemukan bersama Ryder. Jikalau memang sedari awal Ryder enggan kembali ke kompetisi, kenapa tak menolak saja? Kenapa dia menerima Alexia kemudian menyiksa batinnya seperti ini?

Kepalan tangan Alexia memukul dadanya begitu sesak seolah-olah banyak bebatuan runcing menggerombol di sana. Sakit. Sungguh sakit kalimat Ryder. Bila disuruh memilih pun, Alexia akan lebih suka ditusuk sebilah pisau hingga berdarah-darah daripada menerima hinaan.

"Kenapa tak kau suruh saja dia?"

"Tak enak dipandang!"

Kalimat Ryder menggaung di kepala Alexia seperti menumpahkan racun ke dalam mulutnya. Dia menengadah, berusaha mengambil napas sebanyak mungkin tapi tak sanggup saat racun-racun itu kini bersatu bersama darahnya. Sebagian dari diri Alexia tenggelam dalam lautan kesedihan, memilih mengakhiri diri daripada dihadapi manusia keji seperti Ryder. 

Kenapa setega itu? Kenapa dia harus menyinggung penampilan Alexia? Kenapa dia tega menyebut Alexia sebagai pecandu? Tahu apa dia tentang Alexia? 

"Seperti pecandu saja."

Lengkingan tak terelakkan menyesaki mobil Mercedes itu, tapi tak lantas mengurangi luapan kemurkaan Alexia. Dia memukul-mukul dasbor sampai makanan yang ada di tangannya berceceran. "How dare you bastard!" pekik Alexia meneguk cola mengabaikan sensasi geli dari gelembung-gelembung soda menggoda hidung lancipnya yang memerah. "Fuck you!" sambungnya melahap gigitan terakhir burger lalu beralih pada ayam berlapis tepung renyah yang masih hangat. "Fuck you Ryder! Fuck you!"

Perut Alexia terasa penuh, tapi otaknya tak mampu mengakhiri nafsunya menghabiskan makanan-makanan ini. Batinnya belum menemukan lapang. Hatinya remuk redam menjadi kepingan tak bisa bersatu layaknya semula. Bibirnya gemetaran meloloskan sumpah serapah dan air matanya masih berderai tanpa tahu kapan akan selesai.

"Aku tidak akan memaafkanmu, Ryder," desis Alexia bersumpah pada diri sendiri sambil menggigit ayam dan beralih ke es krim vanila lalu meneguk cola sampai habis. "Aku bersumpah tidak akan mengampunimu!"

Ekor matanya menangkap panggilan Thomas dari navigasi mobil dan membiarkannya hingga menjadi belasan panggilan tak terjawab. Ini juga kesalahan Thomas yang terlalu mendesak Alexia di saat si bodoh Ryder masih betah berlindung di balik cangkang.

It's your fault, Tom!

###

Samsak menjadi sasaran yang pas untuk meluapkan amarah sekaligus kebencian yang menggerombol menjadi bongkahan-bongkahan menyakitkan dalam dada Ryder. Bermandikan keringat dan napas putus-putus, Ryder terus meninju bantalan tersebut tak peduli tangannya bakal memar-memar. Dia menderam, menghajar makin beringas bak kesetanan seakan-akan samsak adalah kumpulan episode-episode terendah hidup Ryder. Yang ingin dia hempaskan tanpa sisa.

Di satu sisi, kalimat demi kalimat Thomas masih terngiang-ngiang di telinga. Pria tak tahu diri itu mengejek bahwa ambisi Ryder saat ini hanyalah sekadar menjatuhkan mental orang lain supaya bisa merasakan apa yang dirasakannya. Ketakutan dan kegagalan.

Damn! Damn! Goddamn!

Ryder memekik memaki Thomas yang tidak benar-benar mengenalnya setelah kecelakaan itu. Tidak ada orang yang bisa memahami Ryder sekali pun mereka mencoba peduli. Mereka hanya penasaran tanpa mau memberi jalan keluar. Termasuk Alexia.

"Fuck!" Ryder menghantam samsak sekali lagi lalu berhenti sebentar tuk menghirup udara memenuhi rongga paru-parunya yang hampa. Pedih sekaligus nyeri menyergap Ryder bagai ditusuk puluhan pisau, tidak ada darah namun rasa sakitnya tak kunjung musnah. Sebanyak apa pun obat yang ditelannya tak lantas melenyapkan betapa sengsara dirinya sekarang. 

Gerombolan kristal bening di pelupuk matanya pecah sebelum lebur bersama keringat yang membasahi tubuh. Bibirnya terkatup rapat namun bahunya gemetaran hebat. Kepalanya tertunduk mirip manusia kalah perang mengamati kaki telanjangnya yang begitu tak pantas berpijak. Setiap detik udara yang diisapnya pun rasanya tak layak dinikmati Ryder, bahkan setiap denyut nadi juga tak sepadan menghidupi nyawanya ketika ada orang lain telah terbelenggu dalam fana. 

Dan dialah penyebabnya... 

Bertekuk lutut, Ryder terisak dan menanggalkan satu demi satu topeng keangkuhan yang menjadi perisainya selama tiga tahun ini. Kini yang tertinggal hanyalah seorang pria malang yang teronggok tanpa daya. Jeritan tak terelakkan menggema ruang gym kala Ryder memukul-mukul kepala kenapa harus dirinya yang diberi kesempatan berada di dunia. 

Dia merasa hidupnya tak lagi bermakna semenjak kecelakaan itu. Dia memang hidup. Dia memang bernapas. Tapi, tidak ada yang tahu bahwa jiwa juga masa depannya telah hancur berantakan. Dia merasa tidak pernah layak mendapatkan hidup kedua. 

Sejurus kemudian, ekor mata Ryder mencerling ke arah Labrador Retriever berbulu cokelat nan berkilau bernama Coco. Anjing jantan yang meringkuk di atas sofa kulit tersebut sedari memerhatikan tuannya dalam diam sebelum bangkit menghampiri Ryder. Dia menggosok-gosokkan bulu-bulunya seolah-olah ingin berbagi kesedihan. 

"Apa kau mau mengolokku juga, Coco?" tanyanya sesenggukan.

Anjing jantan itu menggonggong seperti menyangkal pertanyaan Ryder.

"Jadi, kau mengasihaniku, huh? Apa aku tampak sangat menyedihkan, Dude?"

Coco terdiam, menelengkan kepala membenarkan ucapan Ryder. 

"No one can understand me, Coco," gumam Ryder mengamati punggung tangannya yang berkedut-kedut kemudian beralih ke arah jendela. 

Butiran salju turun lamat-lamat, membarengi kepiluan Ryder manakala pemandangan di depannya berganti menjadi area pemakaman. Bagaimana kala itu, orang-orang dalam balutan pakaian hitam tersedu-sedu melepas kepergian Cherry yang terlelap dalam damai di peti mati. Bagaimana orang-orang mengenang gadis ceria tersebut dan berkata akan merindukannya selama sisa umur mereka. Bagaimana mereka mengutuk insiden kecelakaan itu tanpa tahu bahwa jauh di belakang gerombolan sana, ada seorang pria duduk lemas di atas kursi roda. Pria yang menjadi penyebab Cherry meregang nyawa. 

"Ini kesalahanku! Jika kami tidak bertengkar, aku yakin Cherry hidup!" jerit Ryder di kamar rawat inap dengan perban-perban yang menghiasi tubuhnya. "Aku ... seharusnya aku saja yang tewas! Jangan dia!"

"Ryder!" teriak Maddison--ibu Ryder--mengguncang bahu putra keduanya. "That wasn't your fault!" bentaknya menyadarkannya agar tidak terus-menerus menyalahkan diri sendiri.

"A-aku ... ti-tidak seharusnya lewat jalan itu ... a-aku ... Cherry ..." suara Ryder terputus-putus lantas mendekap tubuh ibunya dan menangis tersedu-sedu.

"That wasn't your fault, Ryder ... That wasn't ..."

Sebongkah penyesalan itulah yang menjadi beban Ryder selama tiga tahun. Dia tidak pernah bisa mengampuni diri sendiri, memaki keputusannya kenapa harus mengajak gadis itu pulang bersama. Andai kata dia membiarkan Cherry pergi, mungkin saat ini kekasihnya masih menghirup udara yang sama. 

"Jika memang bukan, kenapa dia selalu menghantuiku, Mom," gumam Ryder lalu mengatupkan bibirnya rapat. Giginya gemeletuk meredam emosi yang akan meledak tuk ke sekian kali. Namun, sebaliknya, kristal bening makin berderai mewakili betapa lelaki itu masih dibalut duka tanpa ujung. Isakkannya makin lama keras, dia terduduk merangkul lutut dan membenamkan wajahnya begitu pilu. 

Dia hanyalah manusia yang kehilangan arah. 

Tersesat dalam kegelapan tanpa tahu mana yang terang.

Jalan yang dilewatinya begitu tajam, namun dia melaluinya dalam kesendirian.

Ketika merangkak keluar bertemu orang, mereka hanya menyambut tanpa bertanya bagaimana hari-harinya menghadapi mimpi buruk. 

Tidak ada orang yang peduli.

Tidak ada yang mau tahu. 

"It's my fault, Coco ..." Suaranya serak dan memilukan, korneanya terasa pedih. Lalu dia tertawa sumbang mengolok nasib yang tidak tahu ke mana akhir berakhir. Dia bertanya-tanya, apakah Cherry tengah bersorak melihatnya menderita seperti ini? Apakah dia sudah puas kalau Ryder telah mendapatkan karma segitu besarnya?

Ryder kembali memukul-mukul kepala membuat Coco bereaksi dengan memajukan moncongnya agar sang majikan menghentikan aksi gilanya itu. Isak tangisnya kembali pecah dan dirangkul erat anjing manis tersebut penuh penyesalan. 

Entah kenapa kau sekarang membuatku benci dan cinta dalam satu waktu, Cherry. Sialnya lagi, aku melampiaskan kemarahanku pada orang lain. Apa kau akan terus menghukumku seperti ini, Babe?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro