9. Sour Scars

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'Give me back my mind. My thoughts that you've taken. Starve me to care.

-Weird Genius-

***

"Cherry!" seru Ryder membuka mata menyadari bahwa dirinya baru saja hanyut dalam mimpi buruk.

Fuck!

Kali ini bukan kilasan insiden motornya menghantam pembatas jalan, melainkan dia tengah bercinta penuh hasrat bersama Cherry yang berlumuran darah juga luka-luka di wajah. Gadis itu menatap kosong ke arah Ryder disusul seringai menakutkan juga kedua tangannya menjulur ke leher tuk mencekiknya.

"Bukankah seharusnya kau mati, Babe?" bisik Cherry disertai tawa membahana. "This is your fault. You killed me."

Kulit zaitun Ryder basah akibat keringat dan tampak berkilau disembur cahaya rembulan di balik jendela kamar. Bukan keindahan bak dewa Yunani yang terlihat, melainkan pria bergelut kesedihan tanpa akhir sampai napasnya engap-engapan. Dia menggeram, memukul kasur lalu memijit kening manakala rasa letih selalu menyergap ke dalam benak sebelum menghajar mentalnya lagi.

Ekor mata Ryder mencerling sebentar ke arah jam digital yang menunjukkan pukul dua pagi lewat dua menit. Dia mencebik kemudian menyambar ponsel dari atas laci dan mendapati ada puluhan pesan masuk dari Thomas. Alih-alih mengurangi emosi, sang pelatih malah menambah beban dengan mendesak Ryder agar meminta maaf kepada Alexia sebab gadis itu mendadak menghilang dan tidak bisa dihubungi.

Thomas : Jangan sampai aku mendengar berita buruk tentangnya, Ryder.

Rasa frustrasi makin menjadi-jadi, Ryder mengumpat seraya melempar ponselnya sembarangan di kasur.

Kau tak perlu kembali ke turnamen. Nikmati rasa bersalahmu, Ryder!

Seharusnya malam itu kau yang tewas, bukan Cherry!

Kemampuanmu hilang, Ryder! Kau malah jadi beban timmu sendiri!

Kau hanya iri pada Alexia sampai membentaknya kan?

Riuh dalam kepala Ryder kian menggaung menyakitkan telinga. Dia mengeplak-ngeplak pelipis menampik bayangan Cherry dikala kata-katanya makin merunjam dada. Selanjutnya, Ryder bangkit dan meninju dinding kamar sekeras mungkin tanpa memedulikan sensasi ngilu bermunculan menjepit sarafnya. Tidak hanya itu saja, dia membanting apa pun yang ada di sekitar diiringi teriakan memilukan saat pertikaiannya bersama Cherry lagi-lagi bergulir di kepala.

"What the fuck is wrong with you, Cherry!" jerit Ryder mengetahui sang pujaan hati memeriksakan kesehatan tanpa sepengetahuannya. Tak sengaja dia membaca surat kontrol Cherry dan mendapati bahwa gadis itu mengalami tendonitis--robekan mikro di tendon disertai ketegangan di otot pinggul. "Apa kau akan membahayakan kakimu dengan kondisi seperti itu, huh!"

"I'm fucking fine, Ryder! Cedera ini tidak akan jadi masalah jika kau diam!" balas Cherry menatap nyalang. "Don't fucking care about me!"

"But I care about you!" sungut Ryder marah. "Aku akan lapor ke Thomas kalau kita akan mundur dari pertandingan," putusnya merogoh ponsel dari dalam saku celana jeans.

Cherry merebut ponsel Ryder dan melemparnya sampai retak. "Aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini, Ryder! Please!"

"Kau tahu risikonya jika memaksa, Cherry! Are you fucking nuts!"

"I am! Dokter sudah memberiku suntikan sementara, Ryder!" gertak Cherry. " Ini pilihanku! Medali emas itu, Ryder! Itu mimpiku!" Cherry hendak pergi namun ditahan Ryder. "Let me fucking go, Bastard!"

"Jangan membuatku mengatakannya dua kali Cherry, kau pulang bersamaku!" tegas Ryder menarik tubuh Cherry menuju motornya.

"Damn, apa yang sebenarnya kau inginkan, Ryder?" desisnya membanting diri di atas kasur dan meratapi langit kamar yang memantulkan potongan kebersamaan mereka sebelum malam nahas itu terjadi. Matanya terpejam, merasakan dirinya didorong ke dalam jurang nestapa tak berdasar tanpa ada yang sanggup menariknya keluar. Jiwa Ryder terkungkung dalam gelap, berlumur kesalahan, dan terperangkap dalam keputusasaan. 

Sekelebat wajah Alexia muncul di depan matanya. Bagaimana gadis itu tercengang atas kalimat yang dilontarkan Ryder. Masih terekam jelas dalam benak, betapa murka sekaligus kecewa Alexia terhadap sikap Ryder. Sebelah tangannya mengusap wajah begitu frustrasi menyadari jika tindakannya terlalu kelewat batas, manalagi Alexia sempat menawarinya bantuan.

Kau benar-benar bajingan yang melukai perasaan wanita.

###

Coco menyalak tatkala pintu rumah Ryder terbuka dan menampilkan sosok Lucas mengenakan mantel hitam masuk tanpa permisi. Dia melempar senyum masam ke arah anjing manis tersebut lantas bergegas mencari-cari keberadaan sang putra. Hati Lucas geram bukan main setelah mengetahui Ryder menyerang Thomas di studio juga menghina partner skatingnya--Alexia.

Lelaki macam apa itu? pikir Lucas berang.

Jikalau bukan karena laporan Thomas, Lucas tidak akan pernah tahu masalah yang sedang dihadapi Ryder. Dia mengira tiga tahun sudah lebih dari cukup untuk pemulihan diri, nyatanya Ryder memantik pertengkaran akibat tak terima diberi saran. Bukankah itu terlalu kekanakan? batin Lucas ingin membalas perlakuan Ryder terhadap Thomas.

"Ryder!" teriak Lucas mendapati Ryder tengah memukul samsak di ruang gym tanpa menyadari kehadiran pria paruh baya itu.

Yang dipanggil menoleh, tercengang atas kedatangan ayahnya yang terkesan mendadak. Sial! Ryder mengumpat dalam hati kenapa dia lupa tidak mengubah kombinasi sandi kediamannya supaya Lucas tidak sembarang masuk tanpa ijin. Dengan napas memburu dan bermandikan keringat, Ryder melepas sarung tinju di saat Lucas tiba-tiba melayangkan tamparan padanya. 

"Mais putain! Pikirmu kau jagoan bisa menghantam pelatih juga mengolok partnermu, hah!" hardik Lucas.

(Sialan!)

Sensasi panas menjalari permukaan pipi Ryder menerima gamparan tersebut. Tangannya mengepal kuat lantas memicingkan mata membalas Lucas tanpa rasa takut. "Apa Tom meneleponmu seperti pengecut, Dad?"

Lagi-lagi pukulan di pipinya kembali diterima. 

"Kau menyebut dirimu atlet tapi tidak bisa menghargai orang lain, Ryder?" desis Lucas menunjuk-nunjuk dada telanjang Ryder yang basah nan berkilauan diterpa sinar matahari.

"Apa kau menyebut dirimu ayah jika--"

Lucas mengangkat tangan kanannya ke udara dan melayangkan pukulan ketiga membuat Ryder langsung bungkam seketika. "Qu'est-ce que vous avez dit? Aku selalu mendukungmu, bocah sialan! Dan apa ini balasannya?"

(Apa kau bilang?)

"I tried my best, but always failed! You didn't understand, Dad!" seru Ryder dengan mata memerah.

"Buat kami mengerti, Ryder, bukan malah menyulut pertengkaran!" bentak Lucas mendorong bahu Ryder. "Kau perlu menemui Denny! Emosimu ... kau perlu menata ulang emosi dan mentalmu, Ryder! Ini pasti ada hubungannya dengan Cherry kan?"

Ryder membuang muka, enggan bertemu pandang dengan Lucas yang langsung menangkap inti permasalahan yang berkecamuk dalam kepalanya.

"Sudah kubilang berapa kali, Ryder, kecelakaan itu bukan salahmu! Kau hanya harus melanjutkan hidup seperti dulu, apa susahnya! Jika sikapmu seperti ini terus, kau bisa membunuh orang lain!" cerocos Lucas menyadarkan sang putra bahwa insiden bahas tersebut bukan sebuah dosa yang harus direnungi bertahun-tahun.

"She's dead because of me!" pekik Ryder menumbuk dada kiri dengan kepala tangan. "Aku mencoba bermain di atas es, yang kulihat ..." kalimatnya menggantung di udara, ragu apakah Lucas bakal memahami jikalau pria tersebut masih menghakimi. Bibir Ryder bergetar, tangannya mengusap wajah gusar selagi menarik napas yang rasanya begitu berat dibanding angkat beban.

"Kau perlu menemui Denny," pinta Lucas mengeluarkan ponsel tuk menghubungi psikiater Ryder lalu berlalu begitu saja tanpa menoleh ke belakang mendengar lirihan yang diucapkan sang putra.

I'm broken, Dad ...

###

Disambut keheningan juga penerangan yang minim di gelanggang Lee Valley, Ryder berdiri di depan pintu masuk arena seluncur selagi mengamati dalam diam permukaan es. Semakin kuat genggaman buku-buku jarinya yang memutih, semakin hebat hantaman memori yang menonjok-nonjok perut sampai timbul rasa mual. Kilasan demi kilasan pertengkaran kala itu kembali merantai bersamaan oksigen di sekitar lamat-lamat menipis mengakibatkan paru-paru Ryder terasa pekat. Dinding yang menjadi saksi bisu kemalangannya ini menjelma menjadi malaikat yang siap menodong sebilah belati tajam tepat di urat nadinya, menanti-nanti apa yang akan Ryder perbuat.

Fuck!

Decit motor dan klakson mobil yang menabraknya malam itu kembali menggema mengakibatkan tubuh Ryder gemetaran. Irama napasnya makin tak konstan seiring karotisnya menyembul jelas akibat seribu dosa yang dilakukannya sampai Cherry meregang nyawa. 

Seharusnya Ryder berpura-pura tak peduli dan membiarkan Cherry pergi. Seharusnya Ryder bisa berpikir jernih bahwa menunggangi motor dalam keadaan marah bakal berujung malapetaka. Seharusnya ...

Dia menjerit hingga suaranya terpantul di setiap dinding gelanggang. Dipukul-pukul pahanya agar mau masuk ke arena seluncur sembari memaki-maki bahwa dia bukanlah pecundang seperti yang disematkan orang-orang.

"Come on, Bastard! Kau ... kau bisa, Ryder!" gertaknya memajukan satu kaki dan hampir tergelincir sampai harus berpegangan pada dinding pembatas arena es. Sesaat dia terpaku merasakan sekelilingnya perlahan-lahan berputar dan menyeretnya ke malam nahas itu. 

Sekarang, di depan mata Ryder bukanlah ice rink melainkan dua manusia yang tergeletak di atas jalanan basah bersama motor yang hancur usai menubruk pembatas jalan. Dia menggeleng cepat sembari merapalkan mantra bahwa di depannya ini hanyalah halusinasi semata. Sialnya, salah satu dari tubuh tak berdaya di sana menoleh ke arahanya sembari berkata lirih, 

"You killed me, Ryder."

Sontak Ryder ambruk di atas permukaan seluncur tak mampu menahan lebih lama serangan panik itu. Nyeri menggerayangi belakang kepala Ryder tidak sebanding kepedihan atas kematian seseorang akibat keegoisannya. Tak ada bara api yang mampu menghidupkan kembali semangat Ryder yang sudah padam.

Dia memang sembuh. Siapa pun bakal melihat bahwa secara fisik, Ryder seratus persen pulih. Namun, siapa yang tahu bahwa jiwanya cacat total? Siapa yang bisa menebak isi pikirannya yang selalu riuh atas malam nahas tersebut? Siapa yang sanggup menghentikan mimpi buruk setiap kali matanya terpejam? Siapa?

Tidak ada.

Bulir-bulir kristal bening menetes membasahi pelipis saat Ryder menatap langit-langit gelanggang. Bibirnya bergetar disusul isak tangis menyayat hati. Dia memang pecundang besar yang enggan mengakui diri bahwa ketakutannya kembali ke ring karena mendiang Cherry.

Aku tidak pantas di saat Cherry tinggal kenangan. Aku tidak pernah pantas mendapatkan apa yang seharusnya dia dapatkan.

"Aku menghancurkan mimpinya." Ryder tergugu sampai suaranya sumbang dipenuhi penyesalan tanpa batas. "Aku membunuhnya."

Ekspresi terakhir Cherry sebelum ajal menjemput turut menari-nari di pelupuk mata. Binar hazel memesona diiringi senyum lebar penuh kebanggaan. Kalimatnya yang menggebu-gebu tentang poin tinggi yang berhasil mereka cetak di kompetisi terakhir. Gerakan dramatis di atas ring, dekapan hangat juga cumbuan mesra memabukkan jiwa saat berpose di tengah arena.

"I love you, Ryder," ungkap Cherry usai menghadiahi kekasihnya kecupan di bibir.

"I love you more, Mon Cheri," balas Ryder mengangkat tubuh Cherry dan berputar-putar di tengah arena yang disambut tepuk tangan penonton.

Sayang, warna-warni itu berubah suram saat Ryder mendengar Cherry memelas serta membujuknya agar mengabaikan cedera kaki yang menimpa. Semakin keras percakapan terakhir mereka, maka semakin teriris-iris dadanya. Seolah-olah dihunjam ratusan pisau tajam tak cukup menghukum Ryder atas kecelakaan itu. Andai kata bisa bertukar nyawa, Ryder rela mati daripada hidup di bawah bayang-bayang kematian Cherry yang belum bisa diterima.

Seandainya ...

Seandainya diberi kesempatan untuk kembali...

Seandainya malaikat maut mau mendengarkan permintaan kecilku...

Seandainya saja aku tidak melintasi jalanan itu ...

Seandainya ...

Seandainya kami tidak bertengkar ... kami tidak akan berpisah dengan cara seperti ini...

Seandainya ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro