Chapter 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Soraru mengencangkan ikatan dasinya. Ditatapnya pantulan tubuh itu di cermin. Setelah merasa semua sudah beres, ia mengambil tas.

Suara seorang wanita sedang bertelepon terdengar ketika Soraru berjalan menuruni tangga. Saat kakinya sudah menyentuh lantai bawah, si wanita menutup teleponnya.

"Bagaimana, Bu?" tanya Soraru.

Wanita itu menggeleng lemah, "Dia tidak ada di rumah Tomohisa. Aduh... anak ini! Dia kemana, sih??"

"Ibu sudah telepon ke teman-teman yang lain?" Soraru bertanya lebih lanjut.

"Aku sudah menghubungi Luz, dia bilang tidak melihat Mafu. Aku juga berpikir Mafu menginap di rumah Sakata dan ketiga temannya, tapi ternyata dia tidak disana."

Soraru menghela napas berat. Pikirannya kacau. Ia juga mengkhawatirkan keadaan anak itu saat ini.

"Tadi malam saat Mafu keluar, dia bilang apa?" masih berusaha mencari clue, Soraru bertanya lagi.

"Katanya dia mau menyusulmu ke minimarket. Tapi kamu ngga balik bareng dia, apa kalian tidak papasan di jalan?" kali ini si ibu yang bertanya.

Soraru menggeleng, "Melihat bayangannya pun tidak, Bu. Kami tidak berpapasan."

Sang Ibu menyandarkan tubuh ke tembok lalu beringsut turun ke lantai, menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Soraru segera menghampiri sang Ibu dan mengusap-usap bahunya.

"Aku juga mengkhawatirkannya, Bu. Bagaimana kalau hari ini aku absen saja untuk mencarinya?" sebuah ide menyembul di pikiran si pucuk biru itu.

Sang Ibu mengangkat wajahnya, memandang kedua sapphire Soraru sambil berkaca-kaca. Kepalanya menggeleng lemah. "Kamu tidak perlu sampai begitu. Berangkat saja! Lagipula, Ibu belum menghubungi Ito dan Amatsuki. Kamu coba tanyakan mereka di sekolah. Siapa tahu mereka melihat Mafu, oke?"

Soraru terdiam sejenak, lalu dengan berat hati, ia mengangguk setuju.

Sang Ibu kini tersenyum, ia mengacak rambut Soraru gemas, lalu berjalan menuju dapur, "Ayo, sarapan dulu! Kalau mau berangkat tenagamu harus banyak, lho..."

Soraru menurut, ia segera duduk di kursi dan mulai melahap makanannya.

Percuma, ia tak napsu makan. Pikirannya terus melayang mencari Mafumafu yang tak kunjung pulang sejak semalam. Apa yang bocah itu lakukan? Tak mungkin kan dia tersesat dekat kawasan rumah sendiri?

***

"Eeeh?! Semalam dia ngga pulang??," pekik Amatsuki kaget. Soraru dan Kashi segera mendesis sambil menutup mulut mereka dengan telunjuk. Gerakan yang kompak.

Amatsuki menutup mulutnya dengan telapak tangan lalu mengangguk paham. Setelah yakin anak itu benar-benar diam, Soraru menghela napas. "Terakhir aku melihatnya sebelum pergi ke minimarket. Dia sedang asyik nonton tv. Tapi pas aku balik, dia ngga ada di rumah. kata Ibu, dia nyusul aku ke minimarket, tapi, aku ngga melihat atau papasan dengan dia sama sekali."

"Dia ngga lagi latian jurus penghilangan diri, kan, Sor?" tanya Amatsuki ngaco.

"Kagak lah. Terakhir, kan, latian debus bareng lo sama Sakata," sambar Soraru seenak jidat.

"Ey, itu bukan debus tapi kuda lumping mendem, Sor! Yang debus itu Araki!" ralat Amatsuki.

"Gue pikir bambu gila," Kashi tahu-tahu nyeletuk.

"Lu picek, Kash? Emangnya kemaren mereka latian pake bawa-bawa bambu? Kagak, kan?" Soraru membidas.

"Engga, mata saya sehat wal afiat. Lagian, kan, Sor. Mereka latian gitu gara-gara liat aksi lu tidur sambil kayang," balas Kashi tak mau kalah.

"Eh kapan gua gitu Anjir?!!"

"Minggu kemaren itu apaan, hayo... Lu kan tidur, Sor, mana sadar kita perhatiin," Kashi mencibir. Amatsuki mengangguk mengiyakan, "Belum aksimu pas pelajaran olahraga kelas 8 dulu, Sor. Bisa ya lu tidur sambil berenang. Keren, loh."

"Oy, kita lagi bahas Mafu ini! Kalian niat bantuin gua apa kaga sebenernya??" Soraru mulai hilang kesabaran.

"Iya, iya, kami bantuin... ih! Hem... Tapi, aneh juga sih. Mafu ngga mungkin nyasar," balas Amatsuki.

"Nah ini dia aku jadi kepikiran, Mat..." Soraru setuju.

Kashi mengusap-usap dagunya, sibuk berpikir. Setelah agak lama diam, ia bertanya pada Soraru, "Hei, Soraru? Aku jadi kepikiran."

Soraru menyahut, "Hnn??"

Kashi diam sebentar, kemudian bertanya lagi, "Kamu tahu tentang kasus yang lagi heboh akhir-akhir ini?"

Soraru menaikkan alis, "Kasus yang mana?"

"Kasus tentang penculikan dan pembunuhan berantai remaja cowok di sekitar daerah ini," terang Kashi.

Manik Soraru membulat, "Apa kau mau bilang kalau Mafu juga jadi salah satu korbannya??!!"

"Woyy, selow woyy... bukan itu maksudku... ya... emang ada kemungkinannya juga, sih..."

"jawabanmu sama sekali ngga membantu, Kashi. Tapi kamu bikin aku panik beneran, nih! Aku harus gimana??? Bagaimana kalau Mafu benar-benar jadi korbannya? Aku gak mau itu terjadi! Tidak, Kashi! Aku harus apa sekarang??!!" Soraru kalang kabut. Ia benar-benar nggak kalem untuk saat ini.

Amatsuki menjitak kepala Kashi keras, "Ini salahmu! Kenapa kamu malah membuatnya semakin panik?" omelnya. Kashi meringis, "Ya mana kutahu dia bakal merespon begitu. Kan, aku hanya memberinya informasi..."

Amatsuki menggelengkan kepalanya, tak percaya Kashi bisa segeblek itu.

***

"Gue benar-benar bingung bagaimana harus menyingkapi kasus ini," cerita Aisu.

Shoose terdiam, kemudian menyeruput kopinya sebelum bertanya, "Sudah berapa banyak korbannya?"

Aisu menghela napas lelah, "Dua bulan ini sudah tiga orang. Waktunya selalu malam hari dan korban ditemukan dengan luka tusukan dan robekan. Pelaku benar-benar hati-hati. Dia tak meninggalkan jejak sama sekali."

Dahi Shoose mengernyit, "Itu saja?"

Aisu menatap Shoose agak lama, kemudian ia menghela napas lagi. "Oh, dan semua korban memiliki rambut hitam. Semuanya juga anak SMA kelas 1. Terlebih lagi... sepertinya mereka sempat dilecehkan sebelum dibunuh."

Kali ini Shoose menopang dagunya dengan punggung tangan kanannya. "Pelakunya sangat rapi, gue pikir... apa mungkin dia seorang profesional?" ia mencoba menduga.

"kemungkinan besarnya memang begitu," ujar Aisu setuju.

Hening untuk sesaat.

Setelah itu, Aisu bangkit, "Ah, sudah dulu, ya. Gue harus kembali ke kantor. Banyak yang harus diurus. Terimakasih sudah menerima gue bertamu."

Shoose tersenyum dan mengangguk, "Tenang saja, gue bakal bantu lo. Gue akan coba cari informasi mengenai ini. Lo bisa ngandalin gue."

Dan mereka berpisah tak lama setelah itu.

***

Soraru melangkah gontai melewati jalan di tepi sungai itu. Berkali-kali dia menghembuskan napas gusar. Waktu sekolah sudah usai dan ia belum menemukan Mafu. Ia sudah coba tanya kemana-mana, namun hasilnya nihil. Ia sudah kehabisan akal untuk mencari anak itu.

Tiba-tiba langkahnya terhenti, ia baru menyadari ada sesuatu di bawahnya. Bercak-bercak merah itu tak beraturan, dan basah.

Soraru terbelalak, "Darah?!"

Ia cepat-cepat menoleh ke belakang, mencari sumber darah itu. Ia menemukan jejak tadi berakhir di tepi sungai.

Lalu ia menoleh lagi ke depan. Jejak darah itu terus lurus di jalanan, kemudian berbelok arah menuju sebuah jalan yang mengarah ke hutan.

"Apa ini darah binatang?" gumam Soraru sendiri.

Awalnya soraru ragu, tetapi ia mempunyai firasat kalau dia harus mengikuti jejak darah ini. Akhirnya ia berlari, masuk ke hutan.

Soraru terus berlari, hingga akhirnya dia melihat sebuah rumah tua di tengah hutan. Nampaknya bangunan itu sudah tak berpenghuni, terlihat dari tampilannya yang tak terawat dan ditumbuhi tanaman-tanaman liar yang agaknya berusaha menghancurkan pelan-pelan.

Dengan langkah hati-hati, Soraru masuk. Jejak darah itu memang mengarah ke sini. Bisa jadi sang empunya memang berada di tempat ini.

Sayup-sayup, Soraru dapat mendengar suara orang bernapas. Arah suaranya berbanding lurus dengan arah jejak darah itu menuju.

Dari balik dinding retak yang berlumut, Soraru mencoba mengintip ke dalam. Ruangan itu benar-benar kotor. Masih ada beberapa perabotan usang yang lapuk. Langit-langit dan atap yang menutupi bagian tengah ruangan itu sudah berlubang, sehingga sinar mentari bisa masuk.

Sinarnya menyoroti sosok yang terkulai lemah di tengah ruangan itu. Napasnya tersengal. Tubuhnya basah, dan jejak darah tadi ternyata bermuara pada tubuhnya.

Melihat sosok itu memiliki surai seputih salju, Soraru langsung kaget, berlari sambil memanggilnya panik, "Mafu!"

Soraru terduduk, mengangkat tubuh itu ke pangkuannya dan mengguncangkan tubuh itu pelan sambil terus menyebut nama Mafu berkali-kali.

Perlahan, kedua matanya terbuka. Mafu merasakan tubuhnya menghangat, dan seseorang berada sangat dekat dengannya.

Namun, saat ia menyadari bahwa itu Soraru, kedua matanya langsung membulat. Pemuda itu memaksa dirinya bangun dan langsung menyeret tubuhnya mundur teratur.

"Soraru, kumohon jangan mendekat!" pekiknya histeris.

Soraru tersentak, "Apa yang kau katakan? Darimana saja kau? Kau...kau terluka parah! Tubuhmu juga dingin dan basah. Kau bisa sakit nanti!"

"Aku baik-baik aja, jangan pedulikan aku! Yang penting sekarang selamatkan dirimu, Soraru! Aku mohon, lari! Pergi dari sini!" potong Mafu cepat.

Soraru masih tak terima, "Maksudmu apa sih? Apa yang terjadi?"

Tiba-tiba terdengar suara ribut orang-orang di luar. "Sial! Mereka sudah menemukanku!" rutuk Mafu lirih.

"Mafu, apa yang—"

Dengan paksa Mafu mendorong Soraru, menggiringnya masuk ke sebuah lemari tua di dekat situ dan mengganjal pintunya dengan sebatang kayu.

"Hei, Mafu! Apa-apaan? Apa yang kau lakukan?" seru Soraru masih dalam kebingungan.

"Pokoknya, apapun yang terjadi, jangan bersuara dan jangan keluar dari situ, Soraru! Aku mohon!" pungkas Mafu.

Soraru tercekat ketika mendengar suara pintu dibanting. Ia menahan napas tegang.

Mafu sudah kembali ke tempatnya semula dengan susah payah, menjauhi lemari itu.

"Lihat! Sudah gue duga dia masuk ke sini!" seru seseorang yang Soraru tak ketahui.

Sekelompok orang itu mengepung Mafu yang sudah tak berdaya dalam sekejap. Salah seorang dari mereka maju. Ia menyambar kerah pakaian Mafu dan mengangkatnya ke atas.

Mafu mengerang lirih. Ia meronta, tapi apa daya tenaganya sudah habis. Ia tak bisa berbuat apapun.

Lalu dengan keras, orang tadi membanting tubuh kurusnya ke tembok, membuat Mafu mengerang semakin keras. Belum habis rasa sakitnya, orang tadi sudah mecekik lehernya dan menahannya ke tembok.

"Kau! Dasar bocah penguping! Kami harus membereskanmu sebelum dia tahu semuanya!" umpat orang tadi dengan membentak.

"A...Aaaa..." Mafu merintih. Cengkeraman di lehernya terasa semakin kuat, semakin merebut napasnya.

Lalu orang tadi mengambil sebilah pisau dari balik bajunya. Mafu menatap benda itu pasrah. Ia sama sekali tak bisa berbuat apa-apa ketika dengan cepat benda itu terayun ke arahnya.

Crassshh!!!

Mafu membelalak hebat. Cengkeraman di lehernya terlepas membuatnya terhempas. Darah segar terciprat, dan semua terdiam di tempat.

Hingga sepersekian detik, sebuah tangan jatuh, masih dengan sebilah pisau di genggamannya. Pemuda dark blue itu entah sudah sejak kapan berdiri di sana dengan sepotong kaca di tangannya. Ia menatap dengan dingin setiap insan di hadapannya.

Menyadari satu tangannya hilang, pria tadi langsung menjerit-jerit kesakitan. Soraru seakan tak dengar. Ia hanya menatapnya dengan wajah dingin yang berhias bercak darah.

Dengan santai ia mengambil pisau tadi, lantas menarik rambut si pria dan mengarahkan pisau tadi tepat ke leher pria itu. Ya, mengancam teman-teman si pria.

"Mendekat satu langkah lagi maka akan kugorok lehernya," ancam Soraru dengan nada tajam. Pria dalam cengkeramannya ketakutan setengah mati. Peluh merembes turun membasahi sekujur tubuhnya yang gemetaran.

"Heh! Lakukan saja apa yang lo mau," sahut salah seorang diantara mereka dengan santai.

"O-oii!" pria di genggaman Soraru protes ketakutan.

"Kami tahu lo ngga bakal berani melakukannya! lo hanya mengancam, dasar bocah! Lagipula kalau dia mati, itu salahnya yang tak hati-hati," salah seorang yang lain mengomentari. Yang lain menyambutnya dengan tawa mengejek.

"Kalau begitu, ya sudah," balas Soraru santai.

Lalu dengan sekali tebasan ia menggorok leher pria itu. Kembali darah memuncrat kemana-mana. Semua diam, tak percaya. Bahkan ketika pria yang digorok itu ambruk ke tanah, semua masih tak bergeming.

"So...raru?" Mafu menggumam lirih, agak tak jelas.

Lalu semua kembali ke dunia nyata. Salah satu dari mereka hendak maju menyerang Soraru, namun dengan gerakan yang sangat cepat Soraru menghindari serangannya dan langsung berputar menusuk orang itu dari belakang.

Seorang yang lain menodongkan pistolnya dengan takut-takut. Sebelum dia sempat menarik pelatuknya, Soraru yang baru menjatuhkan orang yang tadi ditusuknya langsung mengambil pistol di saku si 'korban' dan dengan tepat menembak kepalanya.

Semua terjadi begitu cepat. Tiga orang sudah tumbang di hadapan Soraru.

Si pucuk raven menodongkan pisau yang tadi ia jarah ke arah orang-orang yang masih tersisa.

"Siapa berikutnya?" ancamnya dengan nada tajam.

Orang-orang itu kaku, lalu dengan jerit ketakutan, mereka cepat-cepat melarikan diri dari sana.

Soraru menghembuskan napas dalam, ia berbalik menghadap Mafu, dan terkejut.

Manik crimson pemuda itu membelalak lebar. Tubuhnya gemetaran. Soraru tersentak, ia lantas menundukkan kepalanya.

"Maaf, apa kau... jadi takut padaku?" gumamnya lirih.

"So...Soraru..." si helai salju menyahut lirih. Ia berusaha berdiri, namun belum sempat kedua kakinya menopang seluruh tubuh, ia kembali ambruk.

"Ahh..." rintihnya pelan.

Soraru yang panik bergegas menghampirinya, "Mafu, kamu ngga papa?"

Perlahan mafu mengangkat kepalanya, menatap manik sapphire Soraru dengan tatapan sayu. "Aku... cuma kelelahan," jawabnya masih terengah.

Soraru tanpa pikir panjang langsung menggendong tubuh pemuda itu.

"Bertahanlah! Aku akan bawa kamu ke rumah sakit secepat mungkin!"

***

Finally ada juga waktu buat apdet...
Huehuehueeee Kafka lg sibuk banget jd book semuanya terlantar aduh...😣😣😣

Gimana gimana? Ada yg kurang?? Kualitasnya makin bagus apa makin jelek dah?? Hehe...

Sekian dulu apdetan kali ini. See you next update!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro