Chapter 24

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Waktu itu cuma iseng saja...

Hari itu hari pertama mereka naik ke kelas 3 SD. Saat jam istirahat, Mafu dan Sakata yang baru kembali dari kantin tak sengaja melihat Eve dan Sou sedang membaca sebuah buku yang sangat tebal dan besar.

"Apa itu?" si albino bertanya penasaran.

"Biologi," Sou menjawab cepat.

Mafu kurang mengerti soal biologi, tapi ia penasaran kenapa dua bocah ini betah sekali membaca buku yang kebanyakan berisi hal-hal ilmiah yang sulit dipahami itu. Bahasanya ketinggian, Mafu jadi pusing.

"Aku pinjam, boleh? Bentaran doang gapapa, kok," tak ada angin, tak da hujan. Mafumafu entah kenpa refleks mengucapkan kalimat itu tanpa beban. Sou dan Eve saling pandang, kemudian menatap Mafu dengan mimik 'Serius? Lu lagi kesambet apanih?'. Sakata juga jadi bengong melihat temannya yang disuruh menghafal perkalian saja malasnya minta ampun, tiba-tiba bertransformasi menjadi anak rajin.

Mafu menjawab "Gatau deh. Pengen aja," dengan santai. Sikembar kembali saling pandang. Setelah menimbang beberapa saat, akhirnya mereka mengalah, "Yodah, boleh, deh. Tapi... sebenernya jilid buku ini nggak tahu kenapa diumpetin sama Ayah, jadi aslinya kayaknya kita nggak boleh baca... Tapi penasaran, sih! Hehe..." Sou berkata polos.

"Lha terus kalian ambil diem-diem, gitu?? Hish! Ngga baik tau!" Mafu mengomel. "Iih, heran deh. Padahal buat jilid yang lain kita boleh baca, kenapa ya yang ini enggak? Kan, nggak masuk akal!" Sou tak mau kalah.

Baru saja mau menanggapi, atensi Mafu ditarik sebuah kata asing yang tak sengaja tertangkap ujung penglihatan. "Hm?... 'ereksi' itu apa?"

"Oh!" Sou menepuk tangannya sekali, "iya ini tadi kita baru banget baca. Jadi, nih, katanya, ternyata nanti pas kita udah gede, 'burung' kita bisa jadi keras, tauk!"

Sakata dan Mafu memiringkan kepala, "... 'burung'...?"

"Iya! Ituloh... 'burung' yang ada di balik celana kalian!"

Seketika wajah Mafu dan Sakata jadi kagum,"EH? YANG BENAR??"

"Hooh..."

//Anak esdeh, kalian prontal sekali nak. Dan lagi keknya ini deh kenapa bukunya diumpetin ama si bapak. Belom umur klean buat belajar gituan, Dik:'''//

Mafu dan Sakata jadi ikutan penasaran juga. Mereka bergabung membaca buku itu. "Hm? Tapi kok disini dijelasin, katanya cowok itu aslinya udah bisa ereksi sejak balita. Kok, aku gapernah, ya?" Eve menggumam setelah membaca beberapa paragraf.

"Sama, aku juga belom pernah," Sakata menimpali, "malah baru tau loh..."

"Hooh aku juga baru tau. Gimana caranya, ya?" Mafu ikut bersuara.

"NAH RUPANYA DISINI!" tiba-tiba buku diambil. Mereka kaget spontan menoleh. "Pak Shoose??"

Si guru menghela napas, "Sou... Sou... ni Bapak ditelpon Ayah kamu, katanya buku beliau ada yang ilang terus panik takutnya kamu yang ambil. Eh lah ternyata betulan!"

Duh tercyduk itu minion.

"Yah... Pak, Sou kan penasaran, Pak... Sou pengen belajar lebih banyak!"

Puncak kepalanya dielus, Pak Shoose tersenyum lembut, "Iya, Bapak tahu maksud Sou baik. Tapi, kadang ada beberapa pelajaran yang kita belum boleh tahu sebelum waktunya. Termasuk ini. Dah, tenang aja. Ntar Sou bakal belajar, kok, kalo udah waktunya. Oke?"

Ah... jadi itu belum boleh mereka tahu? Mafu jadi merasa tak enak. Dia harus melupakan soal ini. Harus!

Tapi apa daya, ia sudah kadung penasaran. Kenapa pula rasa penasaran anak-anak harus sebesar ini sampai dia nggak bisa tidur?

Pada akhirnya ia duduk di tempat tidur. Si albino mengintip bagian dalam celananya, mengamati miliknya sendiri. Agak ragu tangannya maju, mulai dengan sengaja menyentuh-nyentuh organ privasi itu.

"EEHH??"

Pekikan refleks itu langsung ia tahan. Ia tak mau membangunkan orangtuanya. Benar, sekarang 'burung'nya bisa berdiri dengan tegak. Mafu saat itu girang sekali, meski sekian tahun kemudian ia menyesal pernah melakukan ini.

"...Mafu?"

Mafu berjengit. Soraru duduk sembari mengucek-ucek matanya. "Kaget aku... kenapa kebangun? Apa kamu ngga bisa tidur?" lirih si raven.

"Soraru, lihat!" pekik lirih si albino, "lihat, nih, 'burung'ku bisa berdiri!"

Tetapi yang Mafu harapkan Soraru ikutan takjub, rupanya tak sesuai. Anak itu sempat pucat sesaat sebelum dengan canggung menggaruk tengkuknya, "A-ah... Mafu udah bisa..."

Dan aksi berikutnya yang dilakukan si raven membuat Mafu kaget bukan main. Anak itu tiba-tiba melepas celana, lalu membuka kedua kakinya lebar-lebar. "B-biasanya aku... takut, soalnya sakit... T-tapi kalo Mafu... m-mungkin, ngga papa..."

"H...eh...? Apa maksudmu, Soraru...?" wajah Mafu perlahan memucat.

"Loh?" Soraru agak bingung, "K-kalo berdiri, harus masuk... sini, kan?"

"H...ah..? T-tapi, yang kulakuin ini, k-kita belum... boleh tahu, loh..."

"Eh?" raut Soraru semakin bingung, "Habisnya... Tuan juga... selalu begitu..."

Tapi, kadang ada beberapa pelajaran yang kita belum boleh tahu sebelum waktunya.

Seketika itu juga Mafu paham apa yang dimaksud gurunya. Apa yang sebenarnya terjadi, dan penyimpangan macam apa yang telah lama dirasakan oleh sahabatnya. Maka dari itu si albino menghambur, langsung memeluk Soraru sambil menangis tersedu-sedu.

"Huwaaa... Soraru... maaf... ini salahku, aku nggak tahu... huhuhu... maaf... maaf..."

"M-Mafu?? Kenapa? Kamu sakit? Kamu ngga papa??"

Tangis Mafu bukannya mereda, malah makin keras. Bahkan sampai membuat kedua orangtuanya bangun dan dengan panik datang ke kamar mereka, Mafu belum berhenti menangis.

***

Makian, umpatan, sumpah serapah, kata-kata yang vulgar nan kasar. Semua itu berbaur dengan suara pukulan bertubi-tubi tiada akhir yang samar bercampur suara ciprat darah. Baik Kradness maupun Kuroneko sama sekali tak berani untuk sekadar buka suara.

Mereka berdua lebih dari yakin bahwa orang yang kini bahkan wajahnya tak bisa lagi dikenali saking bonyoknya itu sudah lama tak bernyawa. Begitu juga beberapa sosok bertopeng yang tampak masih bergerak sedikit-sedikit, ketakutan. Tapi pemuda besurai putih itu tak berhenti. Tangan kanan menarik kerah, tangan kirinya telah belumur darah akibat tonjokan-tonjokannya yang keras. Mulutnya tak kunjung diam, terus mengeluarkan kata-kata dan kalimat yang kurang pantas untuk disebutkan secara langsung.

Tadinya mereka bertiga; Kradness, Kuroneko, dan Mafumafu kebagian jatah jadi tumbal kelas untuk pergi ke minimarket membeli stok jajanan buat istirahat pasca latihan rutin sore. Ditengah jalan gerombolan anak buah Culprit Master tahu-tahu menyerang secara mendadak.

Mulanya mereka memang bertarung bertiga, lalu entah sejak kapan Mafumafu jadi yang mendominasi. Tiba-tiba meradang, membabat habis tanpa ampun seorang diri.

Dan inilah sekarang, si putih tak berhenti menonjok mayat sambil terus memaki. Kradness dan Kuroneko tentu sangat kaget. Kalau dimintai keterangan dan kesan mereka saat ini, keduanya sepakat mengatakan bahwa bahasa Mafu ternyata bisa lebih kasar dan kotor dari Soraru. Lalu ekspresi menyeramkan itu, kalau tidak salah Araki dan Luz pernah cerita soal ini.

Rasanya, mereka seperti tidak sedang melihat manusia.

Karena itulah mereka tak berani menenangkan Mafu. Mereka tahu itu percuma, soalnya. Yang ada salah-salah mereka bakal ikutan bonyok. Tahu begini harusnya tadi usul saja biar Mafu ditemani pawangnya; Soraru. Kalau begini, kan, jadi mereka yang terjebak situasi bak makan buah simalakama.

Namun tiba-tiba tinju Mafu berhenti bergerak. Sekilas bayangan wajah ketakutan Soraru dan Araki sembilan tahun lalu saat ia membunuh orang-orang dengan benang muncul di ingatan. Mafu menggigit bibir,lalu berdecih.

Sialan, ini gara-gara aku ingat lagi soal masalah itu, Kontrol diriku jadi lepas!

Ia sudah berjanji akan menjadi pribadi yang lebih baik. Karena itu, ego nomor dua. Sekarang ia harus berhenti. 'Aku sudah besar, jangan bertindak naif dan gegabah' berulang kali ia camkan itu dalam hati. Karenanya Mafu berdiri, lalu melirik pada Kradness dan Kuroneko. "Telpon Pak Aisu," katanya dingin.

Tentu Kradness tak buang-buang waktu. Ia segera membuka ponsel. Sementara lirikan Mafu kini beralih. "Masih ada berapa orang yang bisa berdiri?... Ah, tiga. Kalian kulepaskan kali ini. Kabur sana, lalu sampaikan pada bos kalian..."

Mata semerah darah itu menatap nyalang, penuh amarah dan nafsu membunuh, "... Selanjutnya kita bertemu lagi, akan kukebiri dia..."

Musuh yang tersisa kabur terseok-seok. Mafu mengamati sosok mereka menjauh dengan wajah gelap. Tangannya terkepal, amarahnya kini telah sampai ke ubun-ubun.

"Saat itu Soraru masih bocah berusia tujuh tahun, br*ngsek!"

-

-

-

"Maaf, saya lepas kontrol," lirih Mafu sembari menunduk kala Pak Aisu mengomelinya sebab berlebihan. Kuroneko tengah membersihkan darah yang menempel di tubuh Mafu, yang, tentu susah apalagi kemejanya putih. Cipratan darah di wajah juga jadi PR tersendiri yang merepotkan untuk gadis tomboy itu.

Rombongan Pak Aisu telah pergi ketika Kradness datang membawa minuman kaleng, "Nyoh, dinginin dulu kepala lu, Maf." Mafu mengucap terimakasih seraya menampa teh kaleng tersebut. Si albino membuka tutupnya, lalu mulai minum.

"Gue dah ngasi tau keadaan kita ke Pak Shoose. Sumpah, Maf, Soraru cemas banget loh... Kok lu tiba-tiba kebablasan, sih?" tegur Kradness heran.

"Maaf..."

Kini pemuda konglomerat itu menghela napas. "Tidak, bukan maaf yang ingin gue dengar. Gue paham, Maf, lu pasti marah banget. Tapi jangan sampai jadi gelap mata... Sudahlah, lain kali hati-hati. Meski kita boleh membunuh mereka, tapi kalau salah langkah kita sudah bisa kejerat pidana juga, Maf."

"... Iya, aku tahu..."

Keadaan mereka hening untuk beberapa saat, hingga kemudian Kuroneko inisiatif bicara demi mencairkan suasana, "Oh iya, Krad, ngomong-ngomong tadi, kan, lu sempet mau ngomong sesuatu, ya? Yang pas sebelum kita diserang tadi. Lu mau ngomongin apa coy?"

"Yeilah si romlah, yang kek gini masi lu inget aja heh?" Kradness mencibir. Otomatis sebuah geplakan ia terima dari si lawan bicara. "Udah sih ngomong aja buset dah!" marah si kucing hitam.

Kradness ngedumel. Tapi itu tak lama. Dia juga ogah kalau terus terkungkung atmosfer tegang. "Haish... jadi gini, nih. Lu pada inget, kan, masalah si Sakata kemaren lusa yang soal ada orang tiba-tiba ngaku bokapnya?"

Mafu dan Kuroneko mengangguk antusias. Kradness melanjutkan, "Itu kan mereka ngasi tau ciri-ciri fisik orangnya, ya... Badannya tinggi gede, pake setelan jas warna gelap. Orangnya berjanggut dan kumis tebal, terus rambutnya ditata klimis dan sebagian sudah agak beruban. Di leher kanan kek ada tatonya. Bener, kan?"

Anggukan lagi dari kedua pendengar. Menarik napas sejenak, Kradness mendekatkan wajah mengisyaratkan Mafu dan Kuroneko mendekat juga. Kradness lantas berbisik, "Sebenarnya pas banget malem itu, Ayah kedatangan tamu yang ciri-cirinya mirip banget sama yang disebutin!"

Seketika Mafu menyembur tehnya. Yang nahas, mengenai Kuroneko. Tampolan sepatu kets langsung mendarat di pipi si albino menyebabkan pemuda itu terjungkal dengan epik masuk selokan di belakang tempat mereka duduk.

"APAANSIH ANJIR! JOROK BANGET LU MAF!"

"YA GIMANA NENG NAMANYA JUGA KAGET! AH, JADI KOTOR LAGI BAJU GUE!"

"SUKURIN! ITUNG-ITUNG NUTUPIN LAGI NOH BERCAK DARAH YANG MASIH NEMPEL DI BAJU LU!"

Kradness terdiam dengan wajah datar. Memang harus Kradness akui bahwa dia termasuk yang paling tidak ada akhlak di kelas mereka. Sudah begitu tukang kompor pulak. Tapi lain persoalan kalau sudah masalah ribut. Maksudnya, kalau temannya ribut tapi nggak ada pawangnya. Biasanya dialah yang justru paling waras.

Memijit kening, Kradness lalu membantu Mafu yang punggungnya encok sebab terjebak di selokan, tak bisa keluar. "Woelah, lu pada serius dengerin cerita gue kagak, sih??" gerutunya selagi mengurut punggung Mafu.

"Ya dengerin lah bro. Kalo kagak mana mungkin gue nyembur sampe rela sakit-sakitan nyebur selokan segala??"

Kradness sempat mencibir sebentar, kemudian kembali bercerita, "Beneran gue kagak bohong. Mirip banget anjir. Tapi bokap gue kayak udah kenal gitu sama orang ini terus mereka ngobrol bedua di rumah kaca. Keliatan harmonis banget, kok, kagak ada sesi adu urat apalagi adu otot. Kek temen aja gitu. Makanya gue jadi ragu dia beneran orang yang nyerang si Sakat apa bukan, nih."

"Terus, lu nanya nggak sama bokap lu?" Mafu menukas. Kradness langsung menjawab, "Kagak sempet. Abis si tamu pergi bokap gue langsung ada urusan di luar."

"Eh betewe, tadi pagi gue denger dari Senra, katanya pas kemaren itu sebelum insiden si Sakat, kan, si Senra sama Luz ngejar orang. Ciri-cirinya juga mirip banget sama yang disebutin Shima. Nah cuman kan sama Luz kakinya sempat ditembak jadi pincang. Pas Shima sama Sakat ditanyain tuh orang pincang apa kagak, mereka bilangnya orang itu nggak pincang, dong!" Kuroneko menimpali.

Mafu dan Kradness kembali terkejut. "Loh, kalo kayak gitu berarti mereka bukan orang yang sama?? Trus yang di rumah lu gimana, Krad? Kok aneh ya, kedengerannya?" celetuk Mafu.

Tentu saja aneh. Apalagi, kalau dipikir jarak antara pelabuhan dan supermarket juga cukup jauh. Rentang waktu antara kejadian pengejaran Luz dan Senra dengan penyerangan Sakata tidak terlalu jauh. Jadi, cukup mustahil seseorang bisa pindah tempat secepat itu apalagi dengan keadaan kaki pincang sehabis kena tembak.

"Ah, jarak antara supermarket dan pelabuhan dengan rumahku juga lumayan jauh, loh..." baru mengingat, Kradness berucap demikian. Apa-apaan ini? Kenapa situasinya jadi tambah membingungkan?

Tak ingin berlama-lama larut dalam pemikiran sendiri, pada akhirnya Kradness berdiri. "Untuk sekarang, kita simpan dulu pembicaraan ini. Ntar kita bahas lagi aja bareng Pak Shoose sama temen-temen yang lain. Nah, mending sekarang kita ke minimarket dulu deh nerusin kerjaan kita yang tadi," tandasnya bijak.

Mafu angkat tangan, "Gue gak ikut masuk, deh, ya."

Kuroneko dan Kradness sama-sama memandang heran ke arahnya. "Lah, Napa, Maf? Lu mau lari dari tanggung jawab?" Kuroneko kembali mulai emosi. Mafu menyahut tak kalah emosi, "Lu mau pegawai disana histeris terus nelpon polisi gegara ngira gue serial killer?? Ato lu mau para pembeli disana pada ngacir gara-gara nyium bau comberan??"

"Selow lah anjeng! Nanya doang juga!"

Kradness mengurut dada, berusaha sabar. Memang benar, harusnya tadi dia minta tukar saja dengan Soraru atau Amatsuki.

Latihan sore itu tetap berjalan dengan lancar. Usai latihan, sambil beristirahat mereka membahas masalah Sakata dengan serius. Kradness segera menyampaikan pembicaraan yang dilakukannya bersama Kuroneko dan Mafumafu siang tadi.

"Hm, memang benar ini cukup aneh. Seakan-akan mereka bertiga memang orang yang berbeda. Tapi... masa' iya mereka memang orang yang berbeda? Apa cuman kebetulan saja, ya?" komentar Pak Shoose sambil mengusap dagu.

Anak-anak yang lain sekarang juga jadi bingung. Sudah lah pusing ngurusin masalah mereka dengan Culprit Master, ini malah muncul lagi variabel baru. Kan, mereka jadi putek mikirinnya.

"Haah... padahal aku baru mau menghela napas lega karena masalah Kashi udah selesai, eh, ini malah muncul masalah baru," terdengar Kain berkomentar selagi memijit kening.

"Bener juga, ya," timpal Reol, "Entah kenapa rasanya kita nggak dibiarin hidup tenang barang sebentar."

Perkataan Reol barusan menyentak Amatsuki, "Kalau dipikir-pikir, masalah Kashi juga membingungkan, kan? Fokus kita jadi terbagi untuk dua masalah dan itu sempat bikin kita kelimpungan juga."

Setelahnya si brunette mengalih pandang, menatap Pak Shoose, "Kenapa masalahnya muncul pas sekali saat kita memulai game ini? Terus masalah Sakata, juga muncul setelah masalah Kashi selesai..."

"... Seolah-olah sudah diperhitungkan agar kita hanya berganti fokus ke masalah lain..." Soraru menyambung kalimat Amatsuki. Saat itu semua tersentak. Mereka semua baru menyadari soal ini.

Pak Shoose tiba-tiba menjentikkan jari, "Itu dia, Soraru!" pekiknya, "bagaimana kalau Culprit Master yang jadi kompor masalah-masalah itu? Agar fokus kita terbagi dan kemungkinan kita untuk kalah dalam game semakin besar??"

"Kalau begitu bahaya banget, dong!" Shounen T menggebrak meja. Shima yang duduk di sebelahnya menatap lelah, "Hahah, ini cepirit satu kok otaknya encer bener, sih. Bikin sakit kepala saja!"

Araki yang duduk di sebelah Shima menyambung, "Ya gimana, ya. Kalo kagak encer gak mungkin sampe sekarang dia bisa terus jadi buron tanpa ketangkep. Mana anak buahnya banyak bener lagi."

"Ekhem," Pak Shoose menginterupsi, mencegah anak muridnya ribut sendiri, "Yah, ini memang sulit banget. Tapi mau nggak mau, kita memang harus melalui semuanya. Oh iya, ngomong-ngomong... Ama, kemarin di grup kamu sempat bilang mau coba cari tahu soal ortunya Sakata, kan? Gimana? Udah dapet sesuatu, belom?"

"Eh? Ah... maaf, belum Pak..." Amatsuki menjawab lesu.

"Sama, aku juga belum dapat apa-apa," Luz menambahi, "semua informasi yang aku dapet cuman sebatas dulu Sakata pertama kali ditemukan di wilayah kumuh bersama seekor anjing liar yang sudah tua. Lalu, Sakata dipungut bandar pengemis tempat Urata, Shima, sama Senra berada. Selebihnya, gak ada lagi."

"Serius? Akh... buntu banget, dong..." Para murid mulai putek lagi. Masalah yang kali ini jauh lebih abu-abu ketimbang kasus Kashi. Tidak ada petunjuk sama sekali, semuanya kabur.

Pak Shoose kini beralih memandang Sakata. Ia bertanya, "Sakata, kamu nggak ada petunjuk, gitu? Misalnya ada barang yang dari kamu bayi selalu bareng sama kamu, atau sejenisnya?"

Sakata menggeleng. "Nggak, Pak, sama sekali nggak ada. Mungkin kalaupun ada, barang itu juga sudah nggak tahu kemana, deh, Pak. Tapi seriusan, dari awal Sakata memang sendirian. Kalau tanya para warga yang tinggal di daerah itu juga nggak ada yang tahu..."

Luz menambahi dengan angguk setuju, "Iya, aku juga nyoba ngutus orang ke daerah tempatmu bayi dulu buat tanya-tanya ke warga sekitar yang udah lama disana. Katanya, dari awal kamu memang udah diasuh sama anjing itu dan mereka sama sekali nggak pernah lihat orang yang bawa kamu kesana."

"Sak, elu... bener bukan anak anjing, kan?" celetuk Kradness tiba-tiba sambil menepuk bahu Sakata. "YA GAK MUNGKIN LAH GEBLEK!" yang bersangkutan menyahut emosi. Kradness masih berkilah, "Ya siapa tau kan lu aslinya persilangan anjing dan manusia?"

"Gabisa Bro... gak cocok sperma sama sel telurnya. Susunan kromosomnya beda woe. Emang si Sakat homunculus, apa?" tiba-tiba Sou menambahi.

"Bjir ni anak bawa-bawa teori. Jangan nambah beban pikiran lah cuk," Kogeinu kesal. Sou meletin lidah aja. Sambil sempat-sempatnya kompor, "Biarin, gue kan big brain, gak kaya elu doggo brain."

"Njer! Ngajak gelud ni minion!"

"HEISH!" Pak Shoose mulai hilang kesabaran. Kadang guru yang satu ini heran. Padahal pikirnya mengajar anak SMA tidak terlalu buruk karena mereka sudah mulai beranjak dewasa. Tapi rupanya enggak. Sama aja kelakuan mereka menguras kesabaran.

Wali kelas veteran itu menghela napas dan mengurut dada,mencoba mengumpulkan kembali pundi-pundi kesabaran. Sudah kebal dia dan Pak Tenchou sebenarnya. Kalau orang lain, pasti mereka udah lama minta resign.

Setelah dirasa sudah lebih tenang, sang wali kelas melanjutkan, "Oke, kalau begini menurut Bapak kita memang harus bagi tugas dan nambah kerjaan; ada yang khusus ngurus masalah kayak gini, dan ada yang khusus buat nyari tahu keberadaan si Culprit Master, biar game ini cepat selesai dengan baik. Karena ini sudah terlalu sore untuk bahas itu, kita akan mulai bahas besok di kelas. Gimana, paham?"

"Paham, Pak," para murid menjawab serentak.

Setelah itu mereka semua pulang. Begitu juga dengan USSS. Mereka pulang ke rumah. Mereka berempat masih tinggal di rumah Nenek, dengan toko kue di depan. Karena paginya harus sekolah, mereka memercayakan penjagaan toko kue pada orang yang dipekerjakan Ayah Luz untuk membantu mereka. Orang itu menyambut di toko kue. Urata mengucap terimakasih dan orang itu pergi lantaran tugasnya sudah selesai untuk hari itu.

Toko memang buka sampai malam. Urata yang memanggang kue di pagi hari sebelum berangkat sekolah, lalu toko kue dijaga orang, sorenya Urata akan jaga toko sampai malam. Begitu terus setiap hari. Kalau pas Urata pulang kuenya tinggal sedikit, ia akan memanggang beberapa lagi untuk sedikit menambah stok sampai malam.

"Wah, Dik Urata baru pulang, ya," Ibu-ibu tetangga sebelah masuk. Urata menyambut hangat, "Hehe... Iya, nih, Bu. Ada urusan tadi jadi agak telatan pulangnya. Ibu mau ambil pesanan yang kemarin, ya? Sebentar ya."

Urata segera menuju ke pantry untuk menyiapkan kotak kue. Saat itulah dua orang sejoli berambut merah dan pink masuk dari pintu depan. Yep, AraNaru comeback. Dengan tidak nyelon Nqrse menggebrak etalase kaca sambil setengah berseru, "Woe, rakun, pesanan gue mana woyy!!"

Dan Ibu-ibu tetangga sebelah cuma bisa ternganga kaget sekaligus heran. Barangkali dianya bingung. Ini di sebelah dia cowok apa cewek sebenernya.

Terdengar Urata mendecak sambil memberi kotak kue pesanan Ibu tetangga sebelah. "Ish! Dahlah masuk ngga pake permisi, langsung ngelabrak kek preman malak, ngata-ngatain, lagi! Lu lagi peemes, Nar?"

"Bacotlah, buruan mana pesenan gue?"

"Dih, anak gadis kok mulutnya kasar. Ntar susah jodoh loh," Urata mencibir.

Tau-tau malah Araki yang menyahut, "Kagak, kok, kan dah ada jodoh dia."

Urata dan Nqrse malah jadi gagal paham. Ni anak satu ngomong apaan dah? Tapi lalu Urata konek. Dia langsung menimpali, "Heleh orang sampe sekarang aja belom berani nembak, sok iye lu."

"Heh, ini tuh masalah kesiapan hati, tauk!" Araki membalas. Nqrse malah mengernyitkan dahi, "Kalian lagi ngomongin apa, dah?"

Seketika hening beberapa saat, hingga kemudian Urata pat pat pundak Araki. "Alhamdulillah, Senra punya temen."

"Eii buruan, dah, mana pesenan gue??" Nqrse mulai kesal. Urata masi santai, "Iye, iye.. lagian elu pesen ndadak amat baru tadi pagi. Ni jadi baru gue panggang, nih! Mendingan lu bedua nunggu dulu, gih, di dalem. Soalnya masih lumayan lama."

Araki dan Nqrse mengiyakan tawaran tersebut. Mereka berdua masuk ke dalam rumah, menunggu di ruang tamu rumah kecil empat sekawan itu. "Eh, Ur, mana yang lain?" tanya Araki begitu duduk di sebuah sofa. "Si Shima lagi mandi. Sakata mah di belakang ngangkatin jemuran. Kalo Senra lagi masak buat makan malem."

"Oh..."

Urata lalu kembali ke toko di bagian depan. Mulanya dua sejoli mainan hp, lalu kemudian Araki terlihat sedikit mendongak. "Nar, kok... kayaknya hawa orangnya nambah?"

"Hm? Ada pembeli di depan, kali?"

"Eh, masa? Tapi... kok kayaknya ni hawanya dari dalem rumah, deh, bukan di toko?"

Mendengar itu Nqrse tersentak, lalu berdiri. Gadis itu melihat sekelebat sosok memasuki sebuah kamar. Tentu saja dengan cepat ia menyusul, dan langsung menarik sosok itu lalu membanting dan mengunci tangannya ke lantai.

"Jangan bergerak!" ancam Nqrse sambil menodongkan pistol ke kepala sosok itu.

Terdengar gerudukan langkah kaki. Empat sekawan datang mendekat dengan tergesa. "Apa, ini? Kok aku denger ada ribut-ribut?" tanya Senra sambil masih berlari ke arah Araki dan Nqrse. Si rambut pink menjawab santai, "Yoi, kayaknya ada maling masuk rumah kalian, nih."

Melihat sosok yang ditangkap Nqrse, Shima tersentak. "... Ibu?!"

***

To be Continued...

Yak nongol lagi sibeban:v

Hwhw ternyata Kafka masi sempet apdet sebelom besok mulai masuk kuliah 〒_〒 iya gess, mulai besok kafka masuk kuliah lagi jadi entah masi bisa sering apdet apa engga. Semoga masih:""

Jadi hyehh, masalah semakin runyam bro. Makin gedek juga Kafka sm si cepirit:v

Btw soal AraNaru, iyess, Araki naksir sm Nqrse dari kecil. Mungkin readers lama yg dah baca dari book 1 pasti paham lah soal ini. Tapi Nqrse gimana?

Yah, seenggaknya nggak kayak Luz lah:v Luz mah parah bgt sumpah. Nqrse masi sadar kok perlakuan Araki ke dia udh kek pacar betulan. Tapi ya itu, dikiranya perlakuan Araki nih sebatas antarsahabat doang. Sabar ya Ki:)

Sebagai penutup,


Kafka lg demen banget dan ngebet bgt bikin story ttg Mafu preman semenjak yg live onlen bulan mei lalu. Sebenernya sempet kepikiran bikin cerita si Mafeng jadi berandalan sekolah gitu, di luar sekolah jg dia terkenal berandalan yg paling ditakutin n sering nerima 'pekerjaan kotor' gitu buat bertahan hidup. Terus ntar dia ketemu Soraru si ketos n murid teladan yg... Bakal jadi pawangnya:))

Tapi ntahlah bro, book saia sudah terlalu banyak jadi... Hem.

Baiklah karena sudah malam, Kafka pamit dulu. Sampai jumpa di apdetan berikutnya. Babaii~~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro