Chapter 23

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mulmednya ga nyambung, tapi Kafka gabisa berenti ketawa tiap liat itu jadi yahh:"")

"Kenapa sih kau harus lahir??"

Mana bisa pertanyaan itu ada jawabannya. Bukan masalah bocah itu masih terlalu kecil untuk paham, melainkan karena memang tak ada jawabannya.

Usaha sebelumnya untuk menenggelamkan si kecil ke danau di taman gagal. Malah, menarik banyak sekali perhatian orang-orang yang ada di sana. Kalau tak bisa disingkirkan dengan cara itu, bagaimana kalau memakai cara lain?

"Senra... kita jalan-jalan, yuk?"

Mana mungkin si bocah curiga pada perlakuan pasangan itu yang tiba-tiba baik. Dengan gembira si kecil bersorak semangat. Pikirnya, rupanya dia masih disayang.

Karena itulah ia benar-benar bingung ketika mendadak pasangan itu lari keluar gerbong tepat sebelum pintu ditutup. Senra kecil terkejut, kereta mulai berjalan seiring orangtuanya berlari menjauh. Tetapi bukan panik semacam kebencian yang ia rasakan, melainkan...

"Ayah, Ibu!! Berhenti, Ayah dan Ibuku ketinggalan! Ayah dan Ibu belum naik!! Berhenti!!"

Haa... bodoh. Senra merutuki dirinya yang saat itu masih terlalu naif dan polos, memercayai mereka berdua masih menyayanginya. Tapi tak masalah. Ia tak mau lagi peduli pada orang-orang itu.

Karena dia punya keluarga yang baru sekarang.

"Senra, cepat bantu aku! Nenek kambuh lagi!"

Mendengar pekik panik Urata, Senra tak kalah panik. Shima dan Sakata belum pulang, jadi hanya mereka berdua yang bisa membantu sang nenek. Senra cemas tak terkira mendapati tubuh renta itu gemetaran di tempat tidur, dibanjiri keringat dingin. Urata tengah sibuk menyiapkan kompres dan obat-obatan selagi dirinya berusaha menelpon si merah dan si ungu.

"Senra, Urata..." suara serak itu melirih. Keduanya terhenyak. "Tidak sekarang, Nek, tangan Nenek dingin sekali! Senra, cepat telepon ambulans saja, ambulans!"

Tentu si kuning setuju. Ia segera menekan tombol darurat tersebut, menunggu seseorang di seberang sana mengangkat. Suara batuk terdengar, keduanya semakin panik.

Akan tetapi, bibir keriput itu tersenyum, "Makasih banyak, kalian benar-benar anak yang sangat baik. Urata, Shima, Sakata, Senra... Kalian kuat, Nenek yakin kalian akan menjadi orang-orang hebat..."

Batuk lagi terdengar. Semakin lirih kalimatnya dilanjut, "Berkat kehadiran kalian berempat, hidupku jauh lebih berwarna, ngga sepi lagi... makasih, ya, kalian sudah mau menemani nenek tua ini... nenek... sayang sekali pada kalian..."

"Sebentar, Nenek, bertahanlah! Aduh kenapa ngga diangkat-angkat, sih..."

"...Senra..."

Si kuning terhenyak, melihat wajah pucat Urata yang dibasahi airmata. "Gimana ini, Senra? Nenek... ngga bernapas... nenek ngga bernapas, Senra..."


-

-

-

Klap!

Kedua tangan ditepuk, mata terpejam. Di depan nisan itu si surai kuning memanjatkan doa. Hari ini cukup lengang. Senra tak terlalu banyak pekerjaan. Selain membantu Urata di toko tadi dan sekarang patrol makam, Senra tak punya kerjaan lain lagi untuk hari ini.

Karenanya sebelum mengakhiri sesi patrol sore itu, Senra menyempatkan diri mampir ke kuburan sang nenek. "Nenek, kami berempat tumbuh sehat, loh. Kedai kue Nenek semakin laris. Urata jago banget, sih, ngikutin resep Nenek... Shima dan Sakata juga baik. Kelakuan mereka makin bener, kok. Shima udah mulai ngga malu-maluin lagi dan nilai-nilai sekolah Sakata juga naik, jadi..."

Semakin menunduk, Senra tersenyum kecil, "...Nenek tidak usah khawatir lagi. Istirahat yang benar, ya? Nenek rindu suami dan anak Nenek, kan? Sudah bertemu mereka? Nikmatilah waktu Nenek melepas rindu. Kami berempat ngga apa-apa. Seperti kata Nenek, kami kuat. Kami bisa hidup mandiri. Karena itu, Nenek berhentilah mencemaskan kami. Kami... selalu sayang Nenek."

Dengan meletakkan sebuket kecil krisan dan lili sebagai sentuhan akhir, Senra menyudahi ziarahnya. Kini pemuda itu berjalan keluar pemakaman, niat hati ingin ke supermarket untuk belanja kebutuhan dan bahan makan malam.

Akan tetapi ketika melewati pelabuhan, tak sengaja ia ditubruk seseorang bertubuh besar yang lari tergesa. Sempat bingung, si kuning dengan segera mendengar suara yang familiar.

"Senra! Kau ngga apa-apa?"

Luz menghampirinya yang baru terserempet. Senra meringis, tetapi segera menyahut, "Luz? Sedang apa kau—"

"Ceritanya panjang. Aku sedang mengejar seseorang..."

"Jangan-jangan, orang yang barusan nubruk aku?" Anggukan dari Luz sudah cukup menjadi jawaban. Senra menepuk bahu sang putra mafia, "kalo gitu, biar aku bantu."

Dua pemuda itu segera berlari menyusuri dermaga, mengejar sosok tinggi besar yang bergerak cukup lincah. Senra sudah mengabari Shima, jadi harusnya dia tak perlu khawatir bakal diamuk Urata karena tidak belanja ke supermarket.

Beberapa kali Luz melayangkan tembakan, namun rupanya orang itu cukup gesit. Keberadaan barang-barang berat dan besar di pelabuhan itu juga menjadi alasan mengapa menangkapnya begitu sulit. Berulang kali mereka berdua hampir kehilangan jejak, tapi untung saja itu tak sampai terjadi.

"Ngga bisa gini terus, Luz," gumam Senra, "kita harus melakukan sesuatu. Orang itu ngga biasa!"

Luz menganguk, "Aku memang cuma diperintahkan Ayah untuk mengejar orang ini jadi aku ngga tahu dia siapa. Tapi, aku cukup mengerti kalau orang ini berbahaya!"

Si kuning celingukan, berusaha mencari celah. Pada suatu saat ia tersentak, sebuah ide melintas di kepalanya. "Luz, aku ke kiri."

Senra segera melompat, dengan lihai nan cekatan menaiki sejumlah peti kemas dan lincah melakukan gerakan parkour. Karena itu, ia berhasil menyalip bahkan si target pengejaran. Ia segera melompat meraih sebuah tali galangan dan melepaskannya, rupanya itu terhubung dengan sejumlah alat kontruksi yang sengaja diikat. Mereka jadi rubuh, menutupi jalur lari si target.

Akibat robohnya alat-alat berat itu, si pria besar terhenyak sesaat sebelum ia sadar sebuah peluru menembus kaki kirinya. Si pria tersungkur, lalu memundurkan badan. Luz masih setia mengacung pistol sambil menatap tajam. Sementara, Senra bergegas turun dari bagian atas kargo.

"Ayah memerintahkanku untuk langsung menghabisimu," bunyi klik terdengar dari pistol. Luz masih menatap dingin. Pistol ia arahkan tepat ke kepala si pria. Namun...

Dor!

Senra dan Luz sama-sama terbelalak. Darah menyiprat dari lengan Luz. Ia tertembak.

"Luz!" teriak Senra selagi berlari panik menghampiri kawannya itu. Luz terduduk, meringis memegangi lengannya menyebabkan telapak tangan pemuda itu ikut berubah merah. "Cih, tanganku mati rasa!"

Memanfaatkan celah, pria itu segera kabur dari tempat. Bersamaan dengan sejumlah orang bertopeng dengan jumlah cukup banyak mengepung mereka. "Sial! Mereka ini anak buah si Culprit Master!" rutuk Senra jengkel. Luz turut berdecak, "Kau benar. Kemungkinan besar yang menembakku tadi juga salah satu dari mereka."

Kerumunan itu semakin mendekat. Keduanya siaga. "Senra..." bisik Luz, "aku minta tolong, kamu kejar orang yang kabur barusan."

Hal itu membuat Senra tersentak, "Apa maksudmu?? Kau mau aku meninggalkanmu disini? Di kerumunan musuh gini?!"

"Kita ngga punya pilihan lain, kan?? Aku ngga apa-apa, jadi tolong kau kejar dia—"

"Tapi tanganmu sendiri mati rasa, kan? Tidak! Mana bisa aku meninggalkanmu!"

"Senra—"

BUGH!!

Belum selesai Luz berucap, si kuning sudah menonjok seorang musuh yang tiba-tiba sudah berada di belakang Luz. Si netra kecubung tersentak, fokusnya jadi berkurang gara-gara sibuk meyakinkan Senra tadi. "Duduk saja disitu dan pulihkan dirimu," ujar si pirang, "aku yang urus mereka!"

"Senra, sudah kubilang aku ngga—"

Dor!

Satu lagi tembakan. Luz terkejut tapi untungnya sempat berkelit. Karenanya peluru barusan hanya menggores pelipis. Senra justru yang kalap. Dengan cepat orang yang barusan melayangkan tembakan sudah tepar dalam satu hantaman.

Keadaan semakin kacau. Terlebih karena Senra tak membiarkan Luz terlibat sama sekali. Jengkel? Tentu saja. Luz juga ingin membantu, terutama karena tubuh si pirang mulai dihiasi luka-luka akibat harus bertarung secara solo.

"Agh! Persetan!" ujar Luz seraya memaksa tangan satunya bergerak. Baru akan meraih pistol, mereka berdua dikejutkan erangan beberapa orang yang ambruk. Sejumlah musuh terpental sana sini. Ada juga yang menghantam tanah dengan sangat keras.

"Duh... kalian berdua ini gimana, sih?"

Mereka tercengang melihat sosok yang kini berjalan santai melewati begitu saja barisan musuh yang mundur. Sosok itu melirik Luz dan Senra bergantian, lalu menghela napas. "Kalo kaliannya ngga fokus sama lawan, kalian yang bakal dibantai! Ini kok ya malah debat sendiri gini."

"...Kak Giga??" lirih Luz dan Senra bersamaan. Saat itulah seorang musuh diam-diam hendak menyerang dari belakang, tetapi dengan cepat dibanting begitu saja.

"Ampun... Aku sampe rela telat ketemuan sama Dosen, nih. Huh! Habis ini ntar aku pasti diceramahi habis-habisan," pemuda yang merupakan Kakak Reol itu mencibir. Ia sedikit merendahkan badan, "Makanya..."

Secepat kilat Giga sudah dibelakang Senra, langsung menarik empat orang dan membanting semuanya ke tanah sampai retak. Tatap dingin ditunjukkan sang kakak, "...Kalian berdua jangan mati, loh."

Senra dan Luz segera tersadar dari lamunan. Dengan sigap Senra membantu Giga. Pertarungan sengit pun segera terjadi. Luz juga sesekali menembak meski hanya satu tangannya yang bisa digerakkan. Meski dibilang bertarung bertiga, tapi Senra dan Luz merasa tidak berbuat banyak.

"Kak Giga itu orangnya brutal banget!"

Perkataan Reol yang pernah mereka dengar itu ternyata ngga bercanda. Meski jumlah musuh jauh lebih banyak, Giga dengan mudah menghabisi mereka semua. Jadi seakan-akan sekarang dua pemuda ini ngga perlu turun tangan lagi.

"Fiuhh..." si Giga mengelap peluh di dahi dengan santai. Semua musuh sudah tumbang, tak satupun masih sadarkan diri. "Dah lama banget ngga hajar orang. Akhirnya lega juga... Sen, telpon Pak Aisu, biar mereka diamankan."

Senra menuruti perintah itu. Sementara ia sibuk menelpon, Luz menghampiri Giga, "Eum... Kak Giga kok bisa disini?"

Lagi, yang lebih tua menghela napas lelah. "Tadinya aku tuh dalam perjalanan mau janjian sama dosen buat bahas masalah tugas. Eh, nggak sengaja liat kalian lagi dikepung gini. Ya kubantuin! Berterimakasihlah kalian!"

"Lah, tumben Kak Giga baek," celetuk Senra yang baru selesai menelpon. Si Giga langsung menyahut emosi, "Heh! Kalo kalian sampe mati ntar adek gue bakal mati juga, blekok! Ya kali gue diem aja! Lagian napa sih kalian bedua malah berantem? Di tengah kepungan musuh, loh! Ngga kayak biasanya aja!"

Mendengar hal itu, Luz mendengus, "Ini gara-gara Senra, Kak. Huh! Aku jadi kehilangan orang itu!"

"Hah?? Kau gila, ya? Memangnya target itu lebih penting dari keselamatanmu?!" Senra tak mau kalah.

"Penting banget!! Argh!! Harusnya dari awal kamu dengarkan aku dan kejar saja dia!"

"Terus kau kubiarkan sendirian ngelawan para musuh ini padahal kamu lagi luka??"

"Aku nggak selemah itu, kok! Sudah kupikirin caranya ngelawan mereka..."

"Aku tahu kamu kuat, tapi aku ga bisa biarkan kamu yang luka gini bertarung sendirian!"

"Aku ngga berniat mati, tahu!" nada suara Luz sempat meninggi membuat Senra terkejut. Luz tersentak, kemudian membuang pandang. "... Aku ngga sebodoh itu, kok... kalau aku mati, kita semua bakal game over dan gagal melindungi Soraru, jadi..."

Tepuk jidat, Senra menghela napas panjang. "Ya, kau bodoh. Aku marah bukan karena masalah itu, tapi karena kamu terluka! Aku khawatir padamu, bodoh!"

Manik Luz mengerjap polos, "... khawatir aku mati terus kita gagal, kan? Tenang saja. Sudah kubilang aku ngga ada rencana mati, kok..."

"AARRGGHH!!! Haaah..." Senra mengacak-acak rambutnya sendiri, stress. Sejenak kemudian ia menata kembali kesabarannya, "...sudahlah, lupakan saja."

Luz sempat menelengkan kepala karena bingung, tetapi sejenak kemudian mengeluarkan ponselnya, "Aku mau kasih tau Ayah dulu kalau orangnya ilang. Aah... moga-moga Ayah ngga marah, deh..."

Giga puk-puk bahu Senra. "Wow... aku sering denger Reol mencak-mencak karena gemes sendiri liat Luz yang ngga pekaan. Ternyata se-enggak peka ini? Yang sabar, ya..."

"Hahah, iya, Kak, ngga papa aku dah biasa, kok..." balas si Senra dengan wajah lelah nan pasrah.

"Boleh kugeplak sekali, nggak? Gemes juga pen nabok nih. Siapa tau otaknya jadi bener."

"Jangan, Kak, ntar saya yang frustrasi."

Tak lama kemudian Aisu datang bersama sejumlah polisi dan mobil tahanan. Luz juga dibawa ke rumah sakit untuk diobati. Senra selaku teman yang baik mengantar dan menemani Luz. Mereka nggak ingin membebani Kak Giga lagi.

Tak butuh waktu lama untuk mengobati Luz. Setelah semua beres, Luz dan Senra memilih langsung pergi dari rumah sakit. Toh, Luz bilang sudah biasa begini. Kini mereka berdua berjalan beriringan.

"Woah lihat, nih, si Kogeinu sama Shonen T diserang anak buahnya si cepirit master malah pamer di inst*gr*m. gilak, ya? Mana posisi selfienya begitu lagi," celetuk Senra. "Oh, bener," imbuh Luz, "selfienya enak banget tuh di depan muka-muka bonyok begitu. Itu yang lagi marah-marah di belakang... Pak Aisu?"

"Haduh kasihan ya Pak Aisu. Padahal baru ngurusin yang kita juga, loh..."

Tiba-tiba saja ponsel Senra berbunyi. Si kuning mendapati Urata menelponnya. Tentu saja telepon itu ia angkat.

"Halo, Ur, ngapa dah?"

"Sen, kamu dimana?"

Mendengar suara Urata yang gelisah, Senra terhenyak. "Aku... abis dari rumah sakit nganter Luz."

"Eh? Luz kenapa? Kalian diserang??"

"Un, udah selesai kok. Kami ngga apa-apa. Kenapa kau telepon?"

"Oh syukur deh kalo ngga apa-apa. Sen, pulang sekarang. Kita ada rapat keluarga."

Seketika Senra mengernyit, "Ada masalah?"

"Iya, masalah besar. Cepat pulang, oke?"

Telepon ditutup. Luz yang sempat mendengar percakapan itu segera berujar, "Em...kalo gitu sebaiknya kamu segera pulang, Sen."

"Eh, kamu ngga mau ikut aku saja?"

Gelengan sebagai jawaban, "Itu rapat penting keluarga kalian, kan? Ntar aku ganggu, lagi. Aku pulang saja."

"Kalau gitu mau kuanterin?"

Luz membalas dengan kekehan. "Ngga usah. Kamu pasti udah ditungguin. Hati-hati, ya."

Begitulah, setelah Luz menelpon anak buahnya dan mereka datang, Senra pamit undur diri. Si kuning bergegas lari menuju rumah. Rapat keluarga, istilah yang mereka berempat gunakan kalau ada suatu masalah besar dan genting yang harus dibicarakan dengan serius. Tentu saja Senra cemas. Apa gerangan yang terjadi?

Semoga bukan hal buruk...

"Lah, kukira pas lu ngomong lagi sama Luz, tuh anak bakal lu ajak sekalian kemari. Kayaknya dia bakal ngebantu..."

Celetukan Urata begitu Senra membuka pintu masuk membuat si kuning memasang tampang datar. "... Salah mulu dah gue perasaan! Mau ngajak takutnya ini masalah internal, nggak ngajak lunya protes. Maunya apa, sih??"

"Heish!" Shima yang melongok dari ruang makan memotong kesal, "buruan mulai njer. Kesian si Sakat makin meleyot, nih!"

Tentu saja pernyataan itu membuat Senra terhenyak. Sakata? Kenapa dengan anak itu?

Mereka berempat telah duduk di meja makan. Memang benar, Sakata yang biasa terlihat hepi dengan pancaran aura keahoannya itu kini terlihat diam dan muram. Tanpa menunda lebih lama, Shima langsung ke inti pembicaraan.

"Jadi, nih, tadi sore, kan, aku sama Sakata mau ke supermarket. Nah, kutinggal dulu tuh mau ambil duit di ATM. Pas aku balik, Sakata lagi diserang sama seorang yang tinggi besar gitu. Pakaian dia rapi kek berjas gitu. Karena kaget, aku jadi refleks batuin dia, dong. Tapi terus si orang gede itu kabur."

"Terus kalian kejar?" tanya Urata. Shima membalas dengan anggukan. "Iya, kami kejar. Tapi terus kami kehilangan jejak dia."

"Apa itu anak buahnya Culprit Master?" kali ini Senra yang bertanya. Shima menggeleng, "Kayaknya bukan, deh. Soalnya dia nggak pake topeng gitu. Tapi... ada satu kalimatnya yang mengganjal kami."

Keringat dingin menuruni pelipis Urata, "... Kalimat?" Pertanyaan si rakun dibalas anggukan oleh Shima.

"Sayang sekali pertemuan pertama kita harus sesingkat ini. Tapi aku senang melihat wajahmu, putraku..."

"HAH?!" refleks Urata dan Senra berseru terkejut. " 'Putraku' itu, maksudnya..."

Terlihat Sakata berdecak, kemudian meremat kepalanya sendiri. "Duh ngga tau deh! Aneh banget! Dia ngibul apa enggak, sih??"

Tentu saja, ketiga temannya juga merasa ini sangat aneh. Masa' iya, seorang penipu? Bisa jadi, sih. Tapi tetap saja masih aneh. Untuk apa orang itu menipu Sakata? Memangnya anak itu punya apa?

Tapi, kalau benar orang itu orangtuanya...

Urata beranjak, merogoh ponsel di saku celana. "Bagaimanapun, kayaknya lebih baik kita bagi tau teman-teman yang lain, deh. Ini masalah yang serius banget, loh..."kata pemuda bermanik zamrud itu yang disetujui tiga temannya yang lain.

Urata dengan sigap membuka grup kelas, membuat pengumuman disana. Sontak saja grup jadi rame. Anak-anak yang lain ikut kaget mendengar kabar ini.

"Sor, Sor, lihat grup kelas, Sor! Grup kelas!!"

Soraru yang lagi asyik makan ind*mie soto koala hampir tersedak karena lengkingan memekakan itu. Si albino tanpa dosa lari-lari turun tangga dengan gaduh ditambah suaranya yang sudah macam toa benar-benar merusak ketenangan batin.

Lemparan garpu mendarat mulus di jidat si Mafu. Soraru menatap sengit, "Berisik bangsul! Lu pikir jam berapa ni teriak-teriak macem di hutan begitu, hah?? Mau diamuk tetangga??"

Macam tak peduli soal garpu yang masih menancap di jidat, Mafu dengan heboh menunjukkan layar hp-nya pada si raven. "Ini, loh, Sor, Urata bilang ada orang yang tau-tau ngaku jadi bokapnya Sakata!"

"Eh, seriusan?? Mana sini!" lah taunya sibambang ikutan penasaran. Kan bagong.

Ia melihat teman-teman grup mulai menyelenggarakan sidang paripurna secara online. Bahkan Pak Shoose dan Pak Tenchou juga kaget dan ikutan penasaran soal masalah ini.

"Gue maklum aja, sih, pada heboh... soalnya, kan, dari lahir juga Sakata nggak pernah ketemu ortunya. Kok ini tiba-tiba ada yang nyariin kan aneh," Soraru berkomentar. Si albino mengangguk setuju. Aneh, dan kenapa orang itu begitu yakin kalau Sakata memang anaknya?

"Uwah, ini si Shima nambahin ciri-ciri fisiknya sekalian. Hm? Sama sekali nggak mirip dengan Sakata, ya... ini bukan penipuan?" Mafu menimpali.

Sebelah alis Soraru naik. "Hah? Kalaupun ini penipuan, motifnya apa? Sakata bukan anak berduit banyak atau punya sesuatu bernilai tinggi. Kan, dari kecil dia—"

Seketika manik sebiru samuderanya membelalak, begitu juga merah delima Mafumafu. Albino itu pun sadar dengan apa yang Soraru pikirkan, sehingga kemudian Mafu melanjutkan kalimat si raven, "—Dibesarkan anjing liar..."

Itu dia! Mereka berdua menyadarinya. Bagaimana bisa seorang bayi berakhir diasuh anjing liar? Kemana orangtuanya? Apa yang menyebabkan sang bayi jatuh ke tempat sekumuh itu sampai bukan manusia yang merawatnya?

Darimana anak ini berasal?

Dengan buru-buru Mafu mengetik di grup kelas, menyematkan pesan berbunyi, "Gaes, apa kita nggak sebaiknya nyari tahu soal asal-usul si Sakata? Kalau memang orang ini penipu yang tahu benar latar belakang keluarga Sakata yang sebenarnya, bisa repot banget, kan?"

Respon dari kawan-kawannya begitu positif. Mereka juga jadi merasakan hal yang sama dan setuju dengan argumen si albino. Amatsuki bilang akan mencoba mencari tahu. Kradness juga membalas hal serupa.

"Luz... kok nggak nongol?"

Sementara di tempat USSS, Senralah yang menyadari hal tersebut. "Biasanya kalau soal cari mencari orang, Luz bisa diandalkan. Tapi anak ini... kenapa nggak muncul di grup?" si kuning buka suara. Tiga temannya tersentak.

Baru saja akan dilanda kerisauan, ponselnya berdering. Senra langsung lega mendapati nama "Luz" muncul sebagai orang yang menelponnya. Langsung saja ia angkat telepon itu.

"Halo, beb, kenapa nelpo—"

"Senra, yang di grup kelas benar??"

"Eh? Iya... kenapa?"

"Ciri-cirinya... tanyain Shima sama Sakata. Apa orang itu pas lari pincang?"

Detik itu juga manik Senra melebar. "Luz, jangan bilang..."

Saat itu di tempat Kradness, pemuda penyuka pisang ini kaget mendengar bel pintu berbunyi di tengah keasyikannya menyimak kegaduhan grup kelas. Kradness beranjak menuju layar intercom, mengamati orang yang berdiri di depan pintu utama.

Pemuda itu amat kaget mendapati seorang pria bertubuh besar mengenakan jas berwarna gelap berdiri di depan pintu. "...Ayah..." panggilnya agak ragu, "ada... tamu itu, kayaknya?"

***

To be Continued...

Nama: Giga
Umur: 21 tahun
Status: Kakaknya Reol

Sekarang mahasiswa tahun ketiga fakultas hukum. Pernah menyabet medali emas judo nasional waktu SD dan SMP, lalu tiga kali berturut-turut medali emas turnamen judo internasional.

Hahahah dah lama banget rasanya Kafka ngga nongolin si Giga. Heheh:)

Yakk gess keadaan mulai genting lagi. Sekarang Sakata yg dalam masalah. Kira-kira itu orang siapa coba? Apa bener bokapnya? Atau sekadar penipu yang ngaku-ngaku jadi ortunya?? Apa latar belakang keluarga Sakata yg sebenernya???

Nantikan kelanjutannya:)) //digebuk readers

Eh betewe w jadi penasaran. Kafka jg yakin banyak readers yg penasaran juga. Sen, lu tuh mulai naksir Luz sejak kapan, sih? Dan karena kejadian apa?

Senra: "Weh? Hem... Keknya waktu itu gw kelas 7 SMP deh. Awet bgt kan sampe sekarang si doi ga peka-peka:v untuk kejadiannya... Hm..."

Yakk rupanya kerjaan si kang hode:v

Nqrse: "Heh waktu itu tuh gw nerima requestnya Tante Rahwia yg pengen bgt ngerasain punya anak gadis wwww jadi ya gw dandanin si Luz"

Pat pat Luz // etapi tbh lu emg lebi ke cantik, sih, Bang, sumpah dah. Cantek bet anjir si Luz:"""

Huahh baiklah sepertinya sekian dulu heheh. Sampai jumpa di chapter selanjutnya, yaa~~baibaiii

-

-

-

-

-

-

-

-

-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro