Chapter 22

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mafumafu PoV

Udara malam ini lebih dingin dari biasanya. Aku berjalan seorang diri menuju Ind*merad dekat rumah. Ibu nitip minta dibelikan susu beruang kalengan sementara Soraru nitip ind*mie goreng rasa soto koala sama teh gelas kemasan botol.

Beli sendiri, kek, bambang! Disuruh ikut nemenin malah ngacir ke kamar mandi.

Begitulah bagaimana aku berakhir pergi sendirian. Untung aku orangnya sabar. Kalau ngga? Yah... gabakal ngapa-ngapain juga, sih... Itu belati di kantong serem soalnya.

Sesampainya di minimarket pasaran yang namanya ada dimana-mana itu, dengan cepat aku memilih-milih pesanan dari Ibu dan Soraru, plus, pesanan Bapak yang tiba-tiba nge-chat nitip sekalian beliin kuaci kemis buat temen ngopi. Sialan, ini mesti si emak yang kagak kooperatif nih ngasi tau Bapak yang baru balek kerja kalo aku lagi keluar.

Setelah semua pesanan itu kudapatkan, aku juga mengambil beberapa stok camilan buat di rumah. Lumayan kalo lagi suntuk, bisa sambil ngemil. Setelah beres, aku segera berjalan menuju kasir untuk membayar.

Sejauh ini semua lancar. Ya, lancar. Kalau saja seseorang ngga diem-diem ngikutin.

Semenjak game menyebalkan dari si Cepirit Master itu dimulai, kami sekelas memang dituntut untuk waspada setiap saat. Karena itulah secara alami insting kami rata-rata jadi semakin tajam. Seperti untuk masalah yang satu ini.

Aku sudah mengamati bahwa orang itu terus mengikuti dari sebelum aku masuk ke minimarket ini. Di dalam minimarket pun meski tidak kentara, aku tahu dia mengikutiku. Karena itulah begitu keluar dari minimarket, aku langsung balik badan, yang ternyata tepat menghadap langsung si orang misterius.

Orang itu mengenakan hoodie hitam dan celana hitam pula. Tapi, sepertinya... dia ngga pakai topeng?

"...Aku tahu dari tadi kau menguntitku. Ada urusan apa kau denganku?" tanyaku to the point.

"Mafumafu...kan...?"

Baiklah, kini sebelah alisku naik, "Huh? Siapa kamu? Apa... kita saling kenal?"

Mulanya hening, namun lambat laun terdengar orang itu terkekeh lirih. Semakin lama tawanya mengeras, membuat keringat dingin meluncur di pelipisku. "Tentu saja, yaa... kau mana mungkin ingat!" ujar dia di sela tawa.

Kemudian dengan cepat ia berjalan ke hadapanku, menarik satu tanganku untuk membuka tudung hoodie yang menutupi kepalanya. Aku segera terperanjat, mendapati sebagian besar wajah orang yang kini menatap nyalang dengan seringai kebencian itu dipenuhi luka bakar.

"Kau tidak ingat?? Ini aku, orang yang kausiram air mendidih sebelas tahun yang lalu, saat kita masih TK, Br*ngsek..."

-

-

-

Hah...? Ini dimana?

Semuanya putih. Hanya aku seorang yang berdiri di antah berantah ini.

"Kamu melarikan diri, huh?"

Tersentak, aku balik badan menoleh ke sumber suara. Jantungku serasa mau copot mendapati anak kecil bersurai salju tersenyum padaku.

"Kamu melarikan diri... dasar iblis..."

"Tidak... ak-aku ngga lari... aku hanya..."

"Omong kosong," sosok kecil itu memotong sepihak. Tatapan mata ruby yang berkilat itu menatap hina, "Kalau kamu tidak kabur, kenapa sampai saat ini kau diam saja? Kenapa kau melupakan mereka semua?"

"Melupakan... mereka?" Bocah kecil itu mengangkat wajahnya, menyeringai lebar dengan mata menyalang padaku sembari berkata riang, "Kor~ban~mu~~"

"Pembuli!"

Sontak aku berbalik, melihat orang dengan luka bakar di wajah menatapku penuh amarah. Di belakangnya ada banyak orang berdiri dengan kondisi berbeda-beda. Ada yang tangan atau kakinya patah, ada yang kepalanya bocor, ada yang bibirnya robek, dan masih ada beberapa lagi yang semuanya tak bisa kulihat dengan jelas raut wajah mereka.

"Dasar pembuli! Kau monster!"

"Iblis! Kau benar-benar menghancurkan hidupku!"

"Kembalikan penglihatanku!"

"gara-gara kau kakiku ngga bisa berjalan normal!"

"Wajahku jadi begini karena kau!"

"Setan! Pergi kau ke neraka!!"

Tidak... tidak...

Aku berjongkok, menutupi kedua telingaku sebisa mungkin selama mereka terus melempar cacian, mengutukku. Sementara sosok kecil berambut salju dengan barkode di pipinya itu tertawa, menertawakan aku.

"...Benarkah...?"

Tersentak, aku mendongak, mendapati Soraru berdiri memandangku dengan raut tak percaya. "Mafu... kau... yang dulu membuliku...?"

"S-Soraru... ak-aku..."

Perlahan sahabatku itu merengkuh tubuhnya sendiri. Dapat kudengar mulutnya mulai meracau, "A-ahh... tega sekali... padahal... aku sudah sangat menderita di rumah... lalu suatu hari... tiba-tiba semua teman bersikap dingin padaku... aku dipukuli... dijauhi... aku... aku..."

Zraattss!!

Netra ruby ini melebar kala satu persatu luka-luka sayatan dan lebam bermunculan dengan sendirinya di tubuh ringkih itu. Aku ingin berteriak, memanggil namanya, tetapi lidah ini kelu. Dan tiba-tiba sosok kecil berambut salju itu muncul lagi, mematri seringaian pada wajahnya selagi merengkuh kepala si raven dari belakang.

Soraru menatapku putus asa. Entah mengapa yang mengalir dari pelupuk matanya bukanlah airmata, melainkan darah. "Kalau begitu... selama ini untuk apa kau berteman denganku?"

"AAAARRRGGHH!!!"

Refleks aku langsung terduduk di tempat tidur dengan napas memburu. Kedua mataku berair dan keringat dingin mengucuri sekujur tubuhku.

Mimpi... yang barusan cuma mimpi...

"Mafu, kamu kenapa?"

Lagi-lagi jantungku bak berhenti berdetak barang sesaat. Ketika perlahan kutolehkan kepala, wajah cemas Sorarulah yang langsung memenuhi kedua mataku.

"Kau bangun tengah malam begini... apa yang terjadi? Kau mimpi buruk?

Dia khawatir... padaku...

Saat itu juga kilat air menari-nari di kedua ruby milikku. Hamburan sesal ini mendadak tak terbendung, tumpah begitu saja.

"Soraru... Soraru..." aku meremat kepala sendiri, benar-benar gagal menahan sesak di dada. Soraru semakin panik, "Kenapa? Kau kenapa, Mafu?"

Tangannya terulur hendak meraihku. Namun dengan cepat langsung kutepis, "TIDAK! JANGAN!! AKU BERSALAH... AKU BERSALAH!!!"

"Mafu, tenangla—"

"Aku membulimu... aku membulimu... aku yang sudah membulimu... Maaf... maaf... maafkan aku... aku membulimu...maafkan aku.... Maaf... Soraru... maaf... aku membulimu... aku membulimu..."

Aah... aku mengatakannya. Sekarang dia akan benci padaku, kan?

Namun tiba-tiba saja sepasang tangannya meraihku, menarik dalam dekapan erat. "Ssh... tenang, tenang... jangan berisik. Kau ngga ingin Ayah dan Ibu bangun, kan?"

Pelukan sahabatku ini begitu hangat dan nyaman sampai rasanya enggan kulepaskan. Ia dengan sabar mengusap-usap punggung dan kepalaku. Hingga setelah beberapa waktu kemudian tubuhku perlahan rileks.

Wajah manis itu tersenyum teduh, "Mau duduk dulu di teras jendela?"

Aku kini telah duduk di teras kecil jendela sambil mendekap mafuteru. Soraru keluar sebentar, lalu kembali lagi dengan dua gelas teh hangat. Ucapan terima kasih kuberikan selagi menampa gelas teh darinya. Untuk beberapa saat, kami hanya diam menyeruput teh masing-masing. Hingga kemudian ia bertanya lembut, "Udah enakan?"

"U-um..." anggukan kecil kuberikan. Baru akan berkata lagi, tiba-tiba ia memulai duluan.

"Sebenarnya, aku sudah tahu."

Sepasang manikku melebar. Soraru melanjutkan kalimatnya, "Setelah upacara kelulusan SD, Ibu menceritakan semuanya padaku. Tentang kelalaiannya, tentang kamu yang dulu, dan tentang aku yang terlibat dalam hidupmu juga."

Ah, kalau dipikir-pikir, hari itu saat aku masuk rumah sakit setelah tertabrak karena menghindari Pak Shoose dan Soraru, saat kasus kleptomaniaku terungkap, aku memang menceritakan semuanya. Aku memutuskan untuk bangkit dari masa lalu dan mengungkap seluruh unek-unek yang ada dalam hatiku pada Ayah dan Ibu. Mulai dari pandanganku terhadap mereka berdua, kasus pembantu kurangajar, bagaimana parahnya aku membuli di sekolah beserta alasannya, hingga bagaimana Soraru tiba-tiba muncul dalam hidupku, bagaimana aku membulinya, dan bagaimana kemudian dia menjadi penyelamat hidupku. Semua, pokoknya semua.

Seketika Ibu menangis meraung-raung, menyesali dirinya sendiri yang gagal menjadi orangtua. Ayah juga tampak begitu terpukul dan tak berhenti mengucap kata maaf padaku. Sejak itulah hubungan kami semakin membaik. Dan atas dasar cerita itulah orangtuaku mempertimbangkan untuk mengadopsi Soraru.

Kembali ke masa kini, aku menatap netra birunya sangsi. "Kau... tidak marah padaku?"

Terdengar helaan napas dalam. "Jujur saja pertama kali dengar aku kaget dan lumayan kecewa. Terlebih lagi, karena kamu menyembunyikannya dariku."

Seketika kepalaku menunduk, "Maaf... aku hanya takut..."

"Aku paham, kok," Soraru menukas. Lagi-lagi wajahnya tersenyum manis kini disinari rembulan. "Itu bagian dari masa lalumu. Apa boleh buat, kan? Saat itu kau sedang terpuruk. Kau tidak tahu bagaimana mengambil tindakan yang benar."

Kekehan kecil lolos dari bibir merah mudanya, "Pada akhirnya, aku tak bisa membencimu. Meski kau menambah penderitaanku saat itu, tapi kemudian kaulah yang menyelamatkan hidupku. Kau juga yang memberiku secercah harapan untuk lepas dari kungkungan rasa sakitku. Dan pada saat ini, kaulah yang paling menyayangiku. Jadi..."

Jari kelingking teracung. Masih dengan senyum yang sama ia bertanya, "Sahabat selamanya?"

Aku tertegun. Tak bisa kujelaskan betapa membuncah kelegaanku saat ini. Rasanya airmataku mau meleleh, tetapi kutahan. Kubalas acungan kelingkingnya. Kini, jari mungil kami saling bertaut. "Sahabat selamanya," jawabku mantap.

Tapi kemudian senyumanku perlahan luntur, "Tapi tetap saja... korbanku ngga cuma kamu. Aku tak yakin mereka bakal sudi memberi maaf padaku yang bahkan ngga ingat wajah dan nama-nama mereka semua."

"Lalu kenapa?" dengan enteng Soraru menukas, "semua orang di dunia ini pasti memiliki setidaknya satu orang yang membenci mereka. Kau dan aku juga termasuk. Jadi, masalah mereka akan berlapang dada menerima maafmu atau tidak, itu terserah mereka. Lagipula, itu memang konsekuensi yang harus kau terima akibat kelakuanmu di masa lalu. Anggap saja mereka adalah bukti hidup yang akan mengingatkanmu ketika suatu saat kau nyaris salah memilih jalur."

Lagi-lagi, aku diselamatkan orang ini...

Soraru berdiri, membereskan gelas teh yang kini telah kosong. Pemuda itu berjalan santai berniat menaruh gelas kotor di dapur. Akan tetapi, langkahnya terhenti saat ia mencapai pintu kamar.

"Oh iya, Mafu."

"Hm?"

Mata kami bertemu. Soraru kembali tersenyum, "Besok aku mau ke rumah nenekku. Kau mau ikut?"

***

Rumah nenek...

Pasca kejadian itu, Ayah dan Ibu memang meminta tolong ayah Luz untuk mencari tahu soal keluarga asal Soraru. Selain demi mempermudah proses adopsi, mereka juga ingin Soraru setidaknya bertemu keluarga yang lain. Beruntunglah ayah Luz berhasil menemukan keberadaan ibu dari ibunya Soraru alias neneknya. Kadang-kadang Soraru memang main kesana, tapi ini pertama kalinya aku ikut dengan dia.

Kami berdua turun di sebuah stasiun kecil. Hari ini hari minggu, jadi kami berangkat tadi pagi-pagi sekali dan baru sampai di tujuan menjelang siang. Saat kami keluar dari stasiun, seseorang terlihat sedang menunggu di depan jalan.

Soraru menghampiri orang itu, jadi aku mengikutinya. Tak lama kemudian orang itu diperkenalkan padaku. "Maf, kenalin, ini Omku, adik dari ibuku, namanya Yorukichi," kata si raven.

Om Yorukichi mengulurkan tangannya, mengajak salaman. Aku membalas uluran tangan itu sambil balik memperkenalkan diri. Om Yorukichi langsung terlihat senang, "Oh... ini Mafumafu saudara angkatnya Soraru, ya? Makasih ya selama ini sudah menjaga keponakanku..."

"Aah... iya, bukan apa-apa, Om..." aku membalas agak kikuk.

Sebentar kemudian kami bertiga sudah naik mobil menuju kediaman nenek Soraru. Tempat ini terbilang masih pedesaan. Hawanya sejuk dan suasananya menyenangkan. Tak butuh waktu lama bagi kami untuk sampai di sebuah rumah kecil sederhana di tepi sawah. Rumah yang kelihatan nyaman dan cocok melepas lelah.

"Aku pulang..."ujar Om Yorukichi begitu membuka pintu. Terdengar jawaban selamat datang dari seorang wanita tua yang baru keluar dari dapur, menyambut di pintu masuk. Ia segera bungah ketika melihat Soraru, lalu menghambur memeluk si raven.

"Wah, Sorako, kamu berkunjung, Nak? Sudah lama ngga melihatmu, Ibu kangen. Harusnya kamu mengabari dulu biar Ibu masakin makanan kesukaanmu..."

"Bu," Om Yorukichi tersenyum getir, "Ibu lupa lagi, ya? Ini Soraru, anaknya Kak Sorako, cucu Ibu..."

"Oh!" nenek itu menutup mulut dengan tangan. Wajahnya terlihat merasa bersalah, "Nenek lupa lagi... maafin Nenek, ya, Soraru..."

Soraru terkekeh, "Ngga apa-apa, Nek... Soraru ngerti, kok..."

Sejenak kemudian mataku bertemu dengan si nenek. Canggung aku membungkuk memberi salam sambil tersenyum. Nenek Soraru kemudian menghampiriku tergesa dan berkata gembira, "Aduh aduh... Sorako, kamu datang bareng Shunsuke? Lama sekali Ibu ngga lihat wajahmu, Nak... apa kabar? Gimana kerjaan? Lancar, kan?"

Huh? Siapa lagi itu Shunsuke? Aku melirik Soraru minta penjelasan, tapi yang kudapati justru dia terdiam dengan pipi merona merah. Om Yorukichi tepok jidat. "Aduh... lupa lagi, dia..."

Segera Om Yorukichi menjelaskan siapa diriku pada Nenek. Lagi, seperti sebelumnya si Nenek kaget lalu meminta maaf padaku. Aku bilang tak apa, setelah itu mendekati Soraru yang masih diam dengan wajah memerah. "Sor, Shunsuke itu... siapa, ya?"

Tak ada jawaban darinya membuatku sedikit cemas. Aku bertanya lagi, "...Sor...?"

"Shunsuke itu..." Soraru memainkan jemari, menjawab lirih, "... Nama Ayahku..."

"Oh... nama ayah... EEHH???" baru memproses, aku ikut-ikutan merona. Kami jadi saling diam, canggung.

Om Yorukichi tertawa melihat tingkah kami. Pria itu lantas berkata padaku, "Mohon dimaklumi, ya, Nenek Soraru memang sudah cukup lama mengidap demensia. Soraru setiap main kesini saja harus bolak-balik mengingatkan kalau dia cucunya, bukan anaknya..."

Nenek mengajak kami masuk, "Ayuk, Sorako, Shunsuke, masuk dulu. Ibu buatin minuman." Yah, lupa lagi dia. Sekali lagi Om Yorukichi menghela napas, lalu setengah teriak kembali megingatkan ibunya kalau kami bukan anaknya.

Aku dan Soraru saling pandang beberapa saat, sebelum tawa menyembur dari mulut kami. Om Yorukichi menatap kami sambil tersenyum, lalu menuntun kami masuk ke dalam. Kami diantar ke ruang tengah, dimana pintu kaca geser disana sengaja dibuka menampilkan pemandangan sawah sejauh mata memandang.

Aku mengikuti Soraru berjalan menuju altar di pojok ruangan, dimana foto sepasang suami istri ada disana. Soraru berdoa, dan aku juga ikut berdoa disisinya.

Di sela kegiatan itu, sempat kulirik foto kedua orangtua Soraru. Ibunya sangat cantik. Perawakannya sangat mirip dengan Soraru. Mata birunya, rambut raven ikalnya, mirip sekali. Bedanya rambut si ibu panjang.

Pantas saja Culprit Master jadi tergila-gila pada Soraru.

Sejenak setelahnya aku mengamati foto si ayah. Mengernyitkan dahi, aku heran. "Kagak ada mirip-miripnya tuh denganku. Selain gaya rambut dan warna mata yang lumayan mirip, selebihnya beda banget. Muka aja beda, kok," aku membatin bingung. Kenapa tadi si nenek salah mengira aku ini menantunya, ya?

Selesai berdoa di altar, aku dan Soraru duduk di beranda samping rumah, menikmati pemandangan sawah yang menghampar begitu luas. Suasananya enak. Hati jadi tentram dan tubuh jadi rileks. Memang tempat ini cocok jadi pelarian dari penatnya urusan hidup.

Tak lama kemudian, Nenek Soraru datang membawakan minuman dingin yang segar. Kami berdua mengucap terima kasih. Dan lagi-lagi, mengingatkan si nenek kalau kami bukan anak dan menantunya.

"Nenek pasti juga terpukul," Soraru menggumam. Netra birunya menerawang luasnya hamparan padi di depan kami. "Om Yorukichi bilang Nenek mulai mengalami demensia sejak Ibu menghilang. Saat kabar kematian orangtuaku sampai ke telinga nenek, beliau menangis sejadi-jadinya sampai mengamuk."

Kepalan tanganku tanpa sadar mengerat. Soraru melanjutkan, "Kau tahu? Saat pertama kali aku datang kemari, Nenek juga langsung menghambur memelukku sambil menyebut nama Ibu berkali-kali. Waktu itu, sumpah, aku pengen banget nangis."

Tiba-tiba Soraru berdiri. "Bentar, ya, aku mau ke toilet," ujarnya sebelum berlalu. Aku hanya membalas dengan anggukan, membiarkan punggungnya semakin menjauh.

Angin semilir berembus. Lama-kelamaan kantuk mulai menyerang. Saat mataku hampir-hampir terpejam, sebuah sapaan mencegahku terlelap, "Lho, sendirian saja, Mafumafu?"

Om Yorukichi tampak berjalan mendekat, kemudian duduk di sebelahku. Aku menjawab dengan kekehan dan menjelaskan kalau Soraru sedang ke toilet. Kami kemudian berbasa-basi.

"Oh, iya, sudah lihat foto orangtuanya Soraru?" tiba-tiba saja Om Yorukichi bertanya. Awalnya aku sempat terkejut, tapi kemudian menjawab dengan anggukan pelan. Om Yorukichi tertawa kecil. "Gimana? Soraru memang mirip banget sama ibunya, kan?" Lagi, pertanyaan itu kujawab dengan angguk pelan.

Beberapa saat kemudian, aku memberanikan diri bertanya, "Em, itu... Orangtua Soraru, mereka orang yang seperti apa, ya?"

Terlihat Om Yorukichi juga sempat terkejut, seperti aku sebelumnya. Tapi kemudian orang itu tersenyum seperti tengah mengenang sesuatu.

"Kak Sorako itu... gadis yang sangat cantik, manis, dan baik. Baik banget malahan. Dia juga aktif dan selalu terlihat ceria. Kalau Kak Shun kebalikannya. Orangnya mageran, tapi pinter banget. Meskipun mukanya hampir selalu datar nggak berekspresi, Kak Shun orang yang sangat penyayang. Dia juga orang dengan pikiran terbuka."

Oalah, memang bener deh. Biar ngga pernah ketemu pun, buah nggak akan jatuh jauh dari pohonnya.

"Oh, iya, setiap kemari, Soraru selalu cerita soal kamu, loh," lanjut si Om tiba-tiba, membuatku hampir tersedak minuman. "Seriusan?" aku bertanya setengah tak percaya. Om Yorukichi mengangguk. "Iya. Dia bilang kau teman pertamanya, dan kamu juga yang selalu menyelamatkan dia di kala terpuruk. Dan kamu adalah sosok yang selalu memberinya harapan hidup ketika ia tidak diperlakukan dengan baik oleh orang yang menculiknya itu."

Mendengar hal itu aku tertegun, diam-diam tersenyum tipis. Ah, rupanya begitu... pandangan kami terhadap satu sama lain adalah sama. Kami saling mengobati, dan memperbaiki diri sendiri.

Kami berjuang dan bertahan hidup dengan bergantung pada satu sama lain, bahkan sampai saat ini.

Tak lama kemudian Soraru kembali. Si raven sempat curiga dengan apa yang aku dan Om Yorukichi bahas. Tapi untungnya, pembicaraan itu bisa dialihkan oleh nenek yang datang membawa sepiring semangka.

Cukup lama kami menghabiskan waktu disana. Hari mulai beranjak sore. Aku dan Soraru pamit pulang. Kami diantar ke stasiun menggunakan mobil yang tadi pagi, kemudian aku dan Soraru melanjutkan perjalanan kami naik kereta.

Sambil melihat pemandangan yang berlari cepat diluar sana, aku kembali termenung, memikirkan kejadian seharian ini. Tiba-tiba pundakku terasa agak berat. Rupanya Soraru sudah tertidur. Mungkin dia kelelahan. Kepalanya bersandar pada bahuku.

Tersenyum, aku mengusap lembut helaian ikal miliknya. Kemudian dilanjutkan bisik lirih,

"Makasih banyak untuk selama ini, ya, Aibou..."

-

-

-

"Woy, Sak, si Senra bilang keknya dia ga bakal sempet belanja, jadi kita yang suruh ke supermarket ntar abis beres kerjaan," seru Shima pada Sakata yang tengah mengelapi meja kafe.

"Dih, ngapa, dah? Bukannya kerjaan dia cuman patrol makam sore ya hari ini?" si merah tak terima.

"Urgent katanya. Tadi dia ga sengaja ketemu Luz yang lagi ngejar orang di pelabuhan jadi dia bantuin," Shima membalas.

"HALAH MODUS ITU, MODUS!!" Sakata menukas dengan cibiran keras. Shima terbahak melihat sohebnya ini sibuk ngedumel sambil melanjutkan pekerjaannya.

Saat keduanya tengah kembali menyelesaikan urusan masing-masing, manajer kafe tempat magang mereka datang. "Sudah beres, anak-anak?" tanya wanita paruh baya itu yang dibalas acungan jempol oleh kedua pemuda. "Wah, bagus, bagus. Sekarang kalian sudah boleh pulang."

Keduanya menghela napas lega. Mereka mengucap terima kasih pada si manajer. "Nggak, nggak," balas manajer itu, "justru harusnya saya yang berterimakasih sama kalian. Sejak kalian kerja sambilan disini, pelanggan saya jadi tambah banyak soalnya. Kapan-kapan ajak lagi ya temen yang rambut kuning sama rambut cokelat itu. Biar makin rame kafe ini, hehe..."

Yaiyalah rame orang pegawainya aja cakep-cakep gini.

Selesai berkemas, keduanya berjalan meninggalkan kafe. Kini tujuan mereka adalah supermarket. Sambil berjalan, keduanya berbincang.

"Tagihan listrik bulan ini udah, kan?" Sakata bertanya.

"Udah kemaren si titan yang bayar sekalian bayar air. Sumpah bro tagihannya bengkak gara-gara si rakun." Shima menjawab.

"Napa dah?"

"Biasalah, Yamadanuki dah nyalain kipas angin, AC kagak dimatiin, TV juga nyala terus padahal ga ditonton, lampu rumah dinyalain semua padahal siang terang benderang. Si Urata juga dah bolak-balik dibilangin kalo lagi nyetrika tuh jangan sambil masak nasi sama manggang roti ntar listriknya jeblok ya masih ngeyel juga."

"Oalah, pantes itu kemaren si Senra balik dari bayar token langsung mencak-mencak terus ceburin si Yamadanuki ke sumur."

Shima menghela napas panjang. Netra violetnya menatap lekat angkasa yang menjingga. "Masih untung kita ngga perlu bayar sekolah. Buat bulan depan kita harus lebih hemat lagi, nih," ujarnya.

Sakata paham betul, kini mereka hanya berempat. Sang nenek telah tiada tiga tahun yang lalu, makanya mereka harus benar-benar hidup mandiri saat ini. Meski keempatnya mendapat bantuan dari ayah Kradness dan ayah Luz, untuk biaya sehari-hari seperti ini mereka lebih suka menggunakan uang hasil jerih payah sendiri. Maka dari itu, mereka berempat banting tulang kerja sambilan sana sini.

Tidak apa, ini sudah biasa. Kehidupan mereka di jalanan dulu jauh lebih keras. Demi sepotong roti basi yang hanya didapat sekali sehari, ia rela berpanas-panasan di jalan, berimpitan diantara orang-orang, seringkali dimaki bahkan dipukuli. Belum kalau kembali ke bandar tanpa memenuhi setoran, ia akan dihajar lagi.

Kehidupan sekarang sudah jauh lebih nyaman menurutnya. Apalagi, bagi anak yatim piatu yang dibesarkan anjing liar seperti dirinya. Kadang Sakata penasaran apakah saat ini orangtuanya masih hidup atau tidak. Dan kalau masih, kenapa mereka membuang dirinya? Apakah seperti Shima yang dijual karena masalah ekonomi, atau seperti Senra yang dari awal tak diinginkan orangtuanya?

"Shima...?"

Keduanya terkejut dan menoleh. Seorang wanita kisaran empat puluh tahunan ke atas tampak menghampiri mereka, tepatnya si surai ungu. "Benar Shima, kan?"

Melihat wajah wanita itu, Shima terkejut. Meski ingatannya samar karena waktu itu ia masih sangat kecil, Shima masih bisa mengenali rupa wanita itu "...Ibu...?"

"Oh, tuhan! Rupanya benar!" wanita itu terlihat senang. Shima hanya memandang datar, tanpa minat. Wanita itu bicara lagi, "Kau habis pulang kerja, kah? Baguslah kau punya kerjaan. Ayahmu di rumah tidak berguna. Sudah pengangguran, kerjanya mabuk-mabukan pula. Berkat dia keadaan kami semakin sulit. Ibu saja bingung bagaimana membayar cicilan hutang yang terus menggunung, belum bunganya!"

Apa ini? Apa-apaan ini?

"Aduh... andai saja Ibu punya orang yang bisa dimintai tolong... Ibu sedang butuh banget duit saat ini..."

Setelah sekian lama tak bertemu, omong kosong apa ini yang ia katakan di depan anaknya sendiri?

"...Apa hanya itu yang ingin Ibu katakan pada anak yang sudah bertahun-tahun nggak Ibu temui?" si manik violet menggumam. "...Apa?" si Ibu malah bingung.

Shima mendengus, tersenyum mengejek, "Jangankan mendengar kata maaf. Ibu bahkan ngga bertanya 'Bagaimana kabarmu, Nak?' 'Sekarang kelas berapa?' 'Apa kehidupan sekolahmu baik?' 'Kamu sehat-sehat saja, kan?' atau sejenisnya. Yang ibu bicarakan begitu bertemu denganku justru masalah uang? Tak bisa dipercaya!"

Sorot mata violetnya sendu, "Padahal aku sudah berusaha memaklumi. Mungkin kalian memang ngga punya pilihan lain selain menjual darah daging kalian sendiri pada bandar pengemis. Mungkin dengan aku merelakan diri diinjak-injak, aku bisa menjadi anak berbakti yang membantu kalian agar bisa hidup dengan lebih baik. Rupanya aku salah. Sampai akhirpun kalian hanya menganggapku sebagai penghasil uang."

"T-tidak, Shima, bukan begi—"

"Hei," sang anak memotong, "aku tahu, kok, arah pembicaraan Ibu tadi bakal kemana. Ibu mau minta uang, kan, dengan alasan bayar hutang? Padahal aku yakin bakal dipakai buat mabok dan berjudi lagi. Ibu mau dengan tidak tahu malunya meminta uang hasil kerja keras yang kulakukan sampai kurang istirahat, tanpa memedulikan apakah aku sendiri sudah berkecukupan atau belum. Ibu pikir keadaanku sekarang nggak pas-pasan?"

Kemudian ia mengajak Sakata pergi dari sana. "Aku nggak tahu darimana atau dari siapa Ibu tahu aku tinggal di kota ini, tapi sekarang kita sudah tidak ada urusan satu sama lain lagi. Jadi, aku harap kedepannya Ibu berhenti menemuiku saat butuh uang."

Dia abaikan si Ibu yang terus memanggil berulang kali, tetap berjalan lurus ke depan tanpa penyesalan. "Apa ngga papa begitu saja?" tanya Sakata.

Shima mengangguk, "Mereka sudah tega menjual anak mereka sendiri. Itu adalah fakta yang sudah ngga bisa diubah. Sesulit dan semendesak apapun keadaan ekonomi orangtua, kalau memang mereka beneran sayang sama anak, mereka ngga akan menjadikan opsi jual anak sebagai pilihan."

Keduanya kini sampai di supermarket. Shima meminta Sakata menunggu dulu di parkiran selagi ia pergi ke ATM untuk menarik uang. Si pucuk merah menurut. Ia menunggu sang kawan selesai sembari mengunyah permen karet.

Saat tengah menatap lalu lalang orang yang masuk dan keluar supermarket, tiba-tiba tangannya ditarik kasar oleh seseorang. Sakata terkejut, menoleh mendapati raut pria asing yang sama sekali belum pernah ia temui. "Rambut dan matamu... tidak salah lagi. Kau pasti anak itu."

Dengan refleks yang bagus Sakata menepis dan langsung melayangkan tendangan. Pria bertubuh besar itu berhasil menahan tendangan si merah, membuat pemuda itu mendecih dan menjaga jarak dari orang itu.

"Wow, rupanya kamu bisa berkelahi? Aku sangat terkejut, loh..." ujar pria itu santai.

Alis Sakata menukik tajam, ia waspada. "Siapa kau?" ia bertanya was-was.

Si pria mengusap-usap dagu. "Hm, kalau dilihat-lihat perawakanmu persis sekali dengan wanita itu. Mulai dari warna rambut, mata, bahkan sampai muka juga? Aku jadi sedih tidak ada ciri fisikku yang menurun sama sekali..."

"Hah? Bicara apa kau?"

"Hei, Nak," orang itu bicara lagi, "kau sama sekali ngga penasaran siapa orangtuamu?"

"...Eh...?"

***

To be Continued...

Uuuu.... Gimana tuh Sak?👀 Ortumu siapa coba?

Betewe apdet malam minggu biar kalian ga ngenes" amat para jombs.

Apa jangan" pada masi jomblo karena standarnya ketinggian? Misal minimal kek Soraru gitu—

Ekhem, mari kita tukar topik (modus kabur) Jadi setelah baca bagian sormaf diatas, kebayang kan kalo salah satu dari mereka mati, yang satu bakal sehancur apa?

Soalnya mereka hidup berdua saling healing, saling support satu sama lain. Soraru hidup untuk Mafu, Mafu hidup untuk Soraru. Kalo salah satunya mati, ya... Yang satunya ga mungkin tetep waras, pastinya.

penasarankah klean sama ortunya Soraru gimana sih wujud mereka? Nih, Kafka kasi liat gimana rupa ortunya Soraru

-

-

-

-

-

Bruhh pantes anaknya bibit unggul orang mak bapaknya gudluking—

Ehem, ya, mirip banget, kan, ibunya sm si Sorar?

Si ibu tuh seorang florist, loh. Klo sekarang masi idup, beliau pasti dah punya toko bunga sendiri. Sementara bapaknya Soraru itu dosen muda yg pinter banget. Bahkan pas baru nikah sm ibunya Sorar, gelar bapaknya udh profesor. Ni Dosen ngajar apa? Ngajar fisika:)

Tapi yah... Gimana yah. Takdir berkata laen:""))

Okeh, paling segini aja sih cuap" dari Kafka. Sebagai penutup, Kafka kasih sneakpeak chapter berikutnya niih:))

-

-

Nahloh abang Luj napa bang:""

Nantikan di chapter selanjutnya yaa... Bubaii~~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro