Chapter 21

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jalanan malam distrik merah itu lebih ramai dari biasanya malam ini. Namun, keramaian yang ditimbulkan berbeda. Keadaan begitu kacau dan rusuh. Bahkan, beberapa kali suara tembakan terdengar. Para pengunjung yang niatnya ingin menikmati 'hiburan malam' jadi tunggang langgang menyelamatkan diri.

Harus Urata akui, beraksi dengan menggunakan topeng seperti ini rupanya seru juga. Dia dan timnya begitu bersemangat menciptakan keributan dan melawan kumpulan personil mafia yang ada disana.

Saat tengah gila-gilaan itu, tiba-tiba terdengar gemeresak dari earphone yang ia kenakan sebagai alat komunikasi antar teman kelas. Tak lama kemudian terdengar suara dari sana.

"Semuanya, dengarkan aku."

Sebelah alis Urata naik. "Hm? Ama-chan?" Sakata yang berdiri di sebelahnya menggumam heran.

"Dengarkan ini baik-baik, karena ini sangat penting, kawan-kawan!"

"Kenapa tiba-tiba Amatsuki begini?" Soraru turut bertanya yang dibalas angkat bahu dari Mafu.

"Aku sudah sampai di ruang kendali. Aku yakin kerjaan kalian juga pasti berjalan dengan lancar..."

Eve, Sou, dan Shounen T berjongkok merapat ke dinding, menunggu beberapa penjaga gedung melewati mereka.

"Tapi, sepertinya kita punya masalah..."

Mengeratkan tangan, raut muka Kashi mendadak cemas, "Ama-chan..." lirihnya.

Araki yang masih menggantung di sisi luar gedung menyipitkan mata, Nqrse yang baru menumbangkan beberapa orang berdecih. Amatsuki di dalam ruang kendali kini sweatdrop. Tangan si brunette terangkat sementara moncong pistol hanya berjarak satu hasta dari wajahnya.

"Sayang sekali, kayaknya aku nggak bisa ambil alih ruang kendalinya..."

-

-

-

Kashi, Piko, Pak Shoose, dan Pak Tenchou sekarang sampai di lantai teratas gedung ini, yaitu lantai 22. Di depan mereka sekarang berdiri pintu baja yang begitu besar dan kokoh dijaga dua orang bertuksedo hitam. Dengan cepat Pak Shoose melesat ke arah mereka dan menembak keduanya sampai ambruk.

Sang wali kelas kemudian mengisyaratkan yang lain untuk mendekat. Selagi Kashi dan lainnya berjalan, beliau sudah sibuk lagi mengutak-atik password masuk pintu itu. Tak membutuhkan waktu lama, pintu segera terbuka, membuat Kashi dan lainnya terpukau.

"Keren..." decak si rubah kagum. "Pak Shoose jago banget, gila..." imbuh Piko.

Mereka mengendap. Akan tetapi baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba Pak Shoose tersentak dan langsung berseru, "Semuanya, berlindung di balik sofa!"

Saat itu langsung terdengar suara rentetan peluru memenuhi ruangan. Beruntung mereka sempat melompat ke balik kumpulan sofa yang ada disana. Tak lama, suara tembakan berhenti. Kini tampak barisan pria menghadang di depan sana.

"Wah, wah, wah... lihat ini siapa yang datang," ujar salah seorang dari mereka yang berdiri di tengah, tidak menodongkan senjata. Pak Shoose dengan hati-hati mulai keluar dari tempat persembunyiannya. "Hah!" ejek si guru, "Cuma kalian saja, nih? Mana bos kalian, huh? Saking takutnya dia kabur terbirit-birit, ya?"

Gertakan yang berhasil membuat musuh geram. Dengan sigap Pak Shoose berbisik pada si rubah, "Kashi, kau lihat pintu kayu di belakang mereka itu? Bapak yakin bos besar mereka kabur lewat sana. Bapak dan lainnya akan menangani yang disini. Begitu ada celah, kamu segera kejar lewat pintu itu. Paham?"

Tentu saja Kashitaro mengangguk paham. Para anggota eksekutif di hadapan mereka kini telah kembali bersiaga. Pak Shoose memberi isyarat 'tahan' selama beberapa saat, sebelum kemudian tiba-tiba beliau sudah melompat dan berputar di udara.

Musuh yang terkejut menembaki si guru. Tetapi entah bagaimana caranya berkelit, Shoose sama sekali tak tergores padahal jumlah mereka sangat banyak. Begitu mendarat ia langsung berada tepat di hadapan orang paling tengah tadi. Lalu belum sempat orang yang sangat terkejut itu mengeluarkan senjata, Pak Shoose sudah menebasnya hingga rubuh. Saat itu sang guru berseru, "Sekarang, Kashi!"

Dengan cepat si pemuda melesat melewati sang guru. Tiba-tiba salah seorang dari musuh mencoba menghadang, tetapi langsung terkena depakan dari sisi oleh Pak Tenchou. Piko juga sigap membantu kedua gurunya.

Kashi dengan mulus berhasil menebas daun pintu kayu keras itu, membuatnya terbelah beberapa bagian lalu lewat begitu saja. Para eksekutif yang ada di sana terhenyak sejenak. Pak Shoose menyeringai, "Hebat, kan, muridku?"

Mereka berdiri bertiga, membelakangi lubang menganga yang tadinya sebuah pintu. "Jangan sampai mereka melewati pintu ini," komando Pak Shoose, "kalau bisa, kita habisi semuanya sekalian."

-

-

-

Amatsuki kini harus berpikir keras. Bagaimana caranya ia bisa mengelabui orang yang kini berada di hadapannya. Tidak mungkin ia menunggu Nqrse. Dari suaranya, jumlah musuh di balik pintu sana terus-terusan bertambah. Gadis itu juga pasti cukup kewalahan.

Si brunette menenggak ludah. Hati-hati dia bertanya, "Kau... hacker juga, ya?"

"Hacker professional, tentu," balas si lawan bicara. Pistol masih setia ia todongkan pada si pemuda bintang. Kemudian orang itu mengusap dagunya, "Hm... kamu ini anak sahabatnya orang itu, kalau ngga salah?"

"...Eh?" Amatsuki tercekat. Hacker itu menjentikkan jari, "Oh! Rupanya aku benar. Iya, iya... aku, kan, yang cari semua informasi tentang kau dan temanmu itu."

"...Apa maksudmu?"

Sang hacker tertawa lepas cukup lama. Amatsuki hanya diam, menatap awas sembari menunggu tawa lawannya ini mereda. Ia juga sibuk memutar otak, mencoba mencari celah.

Kemudian si hacker akhirnya kembali bicara, "Beberapa hari yang lalu, kau diculik, kan?"

Sekali lagi Amatsuki tersentak. "Jangan-jangan, kau..."

Seringai tersungging, "Ya," balas si hacker, "aku yang mencari semua informasi tentangmu dan anak bernama Ito Kashitaro itu. Kau tahu peretas yang melawanmu saat insiden apartemen mati listrik di tempatmu? Dia adalah anak didikku. Sayang sekali dia ngga berguna..."

"...He..."

"Aku sudah sangat lama bekerja disini," lanjut hacker itu, "makanya, aku tahu sekali soal kalian. Terutama dulu, soal dua agen orangtua temanmu sekaligus sahabat ayahmu itu. Mereka lumayan sulit, tapi semua informasi soal mereka sangat menarik.

"Oh... Rupanya gara-gara kau..."

"Sayang sekali. Rencana soal kalian akan menyerang gedung ini juga sudah kuketahui. Maka dari itu, aku sudah meminta bala bantuan dari kantor cabang. Sebentar lagi mereka akan segera sampai. Saat itu terjadi, habislah kalian semua!"

"Jangan-jangan, soal rencana penculikan, percobaan pembunuhan Kashi, dan kecelakaan orangtuanya juga kau yang..."

Agak menaikkan pistol yang digenggamnya, Hacker itu menyengih, "Bagaimana? Kau merasa terpukul? Kalau begitu, sepertinya harus segera ku—"

"Hei," Amatsuki memotong, "jangan belagu dulu, b*ngs*t." Hacker itu tercekat. Amatsuki menatapnya dingin nan tajam, "Pertama, soal bala bantuan itu. Kau benar-benar yakin mereka akan datang?"

"...Apa...?"

Amatsuki kini tersenyum percaya diri, "Sayang sekali. Kami lebih unggul dari kalian."

Di dekat puncak Oriental Pearl Tower, Pak Anku kini telah fokus menelisik jalanan kota lewat teropong DSR 50 kesayangannya. "Kamu lihat serombongan mobil berat yang sedang lewat di jalan tepian sungai Huangpu itu?" tanya Pak Anku yang disambut anggukan Luz.

"Itu sepertinya bala bantuan yang sedang menuju Haining Royal Paradise," lanjut si guru Bahasa Inggris. Luz kaget, "Beneran, Pak?? Kalau gitu, prediksi Pak Shoose bener, dong. Woah, Pak Shoose keren banget!"

Pak Anku tertawa kecil, "Iya memang. Bang Shoose sudah bertahun-tahun hidup sebagai legenda. Pengalaman Abang itu segudang. Memprediksi kayak ginian doang, mah, gampil."

Kemudian mereka kembali fokus pada target. "Sekarang bagian pentingnya. Perhatikan baik-baik dan pelajari, ya, Luz. Bagi seorang sniper, menentukan posisi target, keadaan sekitarnya, dan cara tercepat melumpuhkan target itu hal yang sangat penting. Selain itu, jangan lupa perhatikan timing-nya. Kamu harus bisa menyesuaikan jarak target dengan kecepatan peluru dan pertimbangkan dengan gesekan udara yang ada. Masalah akurat, Bapak yakin skill kamu sudah bagus. sekarang Bapak mau kasih lihat ke Luz bagaimana cara timing yang tepat dan juga tricky," jelas Pak Anku panjang lebar.

Kemudian sang guru melirik muridnya. "Sekarang, coba Luz kasih tahu Bapak. Kira-kira bagaimana cara tercepat menghentikan semua mobil itu sekaligus dalam satu waktu, satu tembakan, dan tanpa membahayakan pengguna jalan lain?"

Si pemuda jangkung tampak berpikir sejenak, hingga sebuah ide melintas di kepalanya. "Ah! Tembak mobil yang paling depan!"

"Anak Pintar," Pak Anku mengangguk, "tepatnya, roda mobil bagian depan dari mobil yang paling depan. Nah, sekarang Bapak ajarkan masalah timing. Perhatikan, ya..."

Mereka berdua menunggu sejenak. Luz menenggak ludah, tegang menantikan aksi sang guru. Tak lama setelahnya tiba-tiba pelatuk ditarik. Proyektil tanpa suara meluncur tepat mengenai satu roda depan mobil yang paling depan. Mobil itu segera oleng, menyebabkan mobil di belakangnya tak sempat mengerem dan mereka tabrakan. Begitu juga dengan mobil-mobil di belakangnya. Mereka saling tabrak, dan karena sebelumnya melaju dengan kecepatan tinggi mobil-mobil itu juga tergelincir lalu hampir semuanya menabrak pembatas jalan hingga terpelanting tercebur ke sungai Huangpu yang besar dan dalam.

Luz tercengang. Hebat! Hanya dengan satu tembakan saja, semua mobil itu kena imbasnya! Dan lagi Pak Anku memperhitungkan jarak antara rombongan mobil itu dengan pengendara lain di belakang mereka agar pengguna jalan umum yang tidak terlibat bisa sempat mengerem dan tidak terdampak tabrakan beruntun. Selain itu pemilihan tempatnya juga pas! Ngga di dekat bangunan atau toko-toko yang ramai orang!

Kini pemuda itu beralih dari menatap tempat kejadian perkara yang mulai ramai, jadi menatap gurunya yang mengacungkan jempol dan mengedipkan sebelah mata, "Gimana? Bapak keren, kan?"

Jadi... inikah kemampuan sniper profesional kelas dunia? Levelnya jelas beda banget!

"...Sniper, katamu...?" si hacker tak percaya, "mustahil! Bagaimana bisa kalian langsung menyiapkan sniper padahal aku baru memanggil bala bantuan beberapa jam yang lalu?!"

Amatsuki masih tenang. "Sudah kubilang, kan, sejak awal kami memang lebih unggul dari kalian..."

"SIALAN! MATI KAU!!"

Hacker yang naik pitam menarik pelatuk pistolnya, berharap isi kepala si brunette berhamburan. Tetapi ia merasa heran karena tak terdengar bunyi tembakan sama sekali. Sang hacker masih mencerna keadaan, ketika tiba-tiba seonggok tangan yang menggenggam pistol terjatuh membentur lantai.

Menyadari tangannya terputus, si hacker langsung menjerit kesakitan. Amatsuki hanya memandang tanpa ekspresi, dengan cipratan darah membentang dari pipi ke pipi. Tangan pemuda itu kini menggenggam sebilah tantou yang juga telah berlumur darah.

Lawannya mengumpat-umpat, berusaha mengambil senjata lagi dengan satu tangannya yang masih tersisa. Tetapi si pemuda bintang dengan cekatan mendepaknya, kemudian dengan mulus berputar untuk menebas lagi satu tangan yang tersisa.

Kini hacker itu tersungkur, gemetaran kesakitan di lantai. Tetapi jerit dan rintihnya berangsur hilang ketika ia dapati wajah itu menatap tanpa iba, mengintimidasi. "T... tidak mungkin... kamu... punya skill bertarung juga?!"

Amatsuki mendengus santai, "Ada untungnya juga tiap pagi aku sakit-sakitan di dojonya Kashi. Kau tahu? Seorang hacker tidak cukup bermodal kemampuan meretas saja. Dia harus bisa membela dirinya sendiri."

Kemudian Amatsuki berjongkok di hadapan si hacker. Dengan santai tangan yang tadi ia putuskan diambil, lalu digunakan si brunette untuk menepuk-nepuk kepala lawannya sembari berujar, "Nih, tanganmu ini yang digunakan mengorek privasi orang-orang huh? Tidak tahu malu."

"Tangan ini sudah membuat sejumlah harta pusaka keluarga Kashi hilang, membuat Kashi diculik bahkan hampir dibunuh, mencelakakan orangtua Kashi dan membuat mereka mati, lalu juga barusan menodongku dengan pistol? Itu perbuatan ngga baik, loh..." tegur si brunette dengan tenang tanpa beban.

Hacker itu benar-benar ketakutan setengah mati. Seorang pemuda belasan tahun yang beberapa menit lalu terlihat lugu dan lemah, kini berjongkok memandangnya dengan tatap nyalang sambil menggunakan tangannya yang tadi putus untuk menepuk-nepuk kepalanya sendiri.

Seketika ia bertemu mimpi buruk.

Tiba-tiba pintu terbuka. Nqrse terkejut mendapati Amatsuki yang terkena cipratan darah, sambil jongkok hanya menoleh lalu tersenyum manis padanya. "Oh, Nqrse udah selesai? Syukurlah~"

Seketika itu juga, Nqrse sweatdrop, "Ama-chan," kata dia, "kamu... kayaknya kelamaan gaul sama si Mafeng, deh..."

Sementara itu, Kashi yang terus berlari tanpa menimbulkan banyak suara kini perlahan berhenti, melihat siluet seseorang di depan sana. Saat ini ia telah sampai di sebuah kamar, dengan hamparan hingar-bingar Shanghai menjadi latar di balik sisi kaca besar pada bagian kanan. Siluet itu berbalik. Kini Kashi bisa dengan jelas melihat raut ketakutan yang tampak di wajah itu.

"M...Mustahil... bagaimana kau bisa sampai disini?!" katanya gemetaran.

Saat itu Kashi sudah paham. Orang yang berdiri di hadapannya saat ini adalah bos besar Ekor Naga Emas. Terlihat dari ekspresi ketakutannya yang tak wajar seakan melihat mimpi buruk. Pemuda itu telah mempelajari dari membandingkan foto sang ayah dengan fotonya, rupanya benar, ia benar-benar sangat mirip dengan ayahnya.

"Ketemu juga akhirnya," gumam si rubah. "Harusnya kalian ngga usah nyari biar aku ngga tahu sekalian. Kalau begini, kan, kalian sendiri yang akhirnya repot."

"Tidak... jangan mendekat!"

Sebelah alis Kashi naik, "Hm? Kau yakin? Ngga mau tahu soal keberadaan benda yang kau cari-cari itu?"

Kini si bos besar kelihatan bingung, "Hah...? Apa maksudmu...?"

Kashi menyembur tawa, "Mereka bilang cari gulungan... gulungan... kukira apaan. Kakek dan Nenek juga sampai bingung dan susah payah mencari tapi ngga ketemu. Ternyata ini?"

Kemudian Kashi melepas topeng rubahnya. Ternyata topeng itu punya dua lapis. Ketika bagian atas digeser akan menimbulkan bunyi 'klek' dan bagian sela-sela topeng akan terbuka. Kashitaro mengeluarkan sekeping chip dari sana dan memainkan di sela-sela jarinya, "Siapa sangka ternyata 'gulungan' yang dicari-cari itu malah sebuah chip yang berisi semua data lengkap organisasi kalian ini? Sulit dipercaya, benda yang kuanggap oleh-oleh, sekaligus hadiah terakhir dari Ayah sebelum beliau meninggal, benda yang selalu kupakai dan selalu menemaniku sejak kecil rupanya menyimpan rahasia sebesar ini?!"

Seketika mata bos besar itu terbelalak. Si rubah menyeringai, "Kau yakin, ngga mau mengambil ini?"

Terlihat bos besar terpancing. Pria itu berteriak kencang dan mengambil sebuah pistol dari ikat pinggangya, kemudian menembak dengan kalap. Kashi menghindar dengan lihai. Sesekali diayunkannya katana begitu luwes menangkis bahkan memotong peluru-peluru yang diarahkan padanya.

Pertarungan yang sengit segera terjadi. Si bos besar tampaknya telah lupa dengan rasa takutnya yang tadi. Kashi paham benar, atas provokasinya orang ini merubah emosi ketakutan menjadi penuh amarah dan dendam. Si rubah sengaja melakukannya, tentu saja.

Lagipula sejak awal kenapa pihak mereka yang cari gara-gara duluan dengan keluarganya? Kalau saja pihak mereka tak mencoba macam-macam dengan mencuri harta pusaka keluarga, orangtuanya takkan bertindak. Tidak akan ada insiden balas dendam dan penyerangan kedua orangtuanya ke Shanghai. Kalau hal itu tidak terjadi, saat ini Kashitaro pasti masih tinggal bersama mereka berdua.

Si rubah mendecak, menggigit bibir. Hah... lagi-lagi emosiku nggak stabil. Apa, sih, yang barusan kupikirkan? Fokus, Kashi! Jangan biarkan dirimu dikuasai amarah! Batinnya menguatkan diri. Bukan saatnya ia lengah. Kali ini, ia bisa mati kalau meleng sebentar saja.

Baru sebentar dia menyuruh dirinya sendiri untuk fokus, si rubah sedikit lengah. Sebuah peluru tak sengaja mengenai topeng rubahnya, membuat benda itu retak dan sedikit pecah. Nahasnya, chip yang ada di dalam sepertinya juga terkena peluru.

Bos besar kini tertawa puas penuh kemenangan selagi kashi terduduk memegangi kepalanya yang sedikit berdarah. "Dasar bodoh!" ia mencela keras, "anak muda labil sepertimu memang masih sangat naif. Lihat itu barang penting yang kau gunakan untuk mengancamku malah hancur berkeping-keping!"

"Yah, tapi tak ada gunanya juga kalau kalian menyerahkan benda itu pada polisi. Kami punya koneksi. Jadi, chip itu tetap akan kembali ke tangan kami, bodoh! Hahah! Hahahahahahaha!!!"

"Pft!" seketika tawa si bos berhenti. Pemuda rubah itu berdiri, "Pak Shoose bilang level kalian berbeda dan kalian berbahaya. Memang iya, sih, di beberapa aspek. Tapi aku kaget pemikiranmu ternyata dangkal. Kayaknya kalau Soraru yang sekarang disini, dia bakalan bilang 'napa dah ni orang kok kepalanya kopong, kagak ada otaknya'..."

"Apa??"

Mata tajam si rubah menatap remeh, berkilat terpantul kilauan cahaya gedung diluar sana.

Si bos tercekat. Kashitaro melanjutkan, "Kau pikir aku bakal terang-terangan bawa hal sepenting chip itu lalu terang-terangan menunjukkannya padamu, kemudian tetap memakainya saat bertarung tanpa menyiapkan backup terlebih dahulu? Sakata aja kayaknya ngga sebodoh itu, deh..."

"Kau tahu? Hacker kami beberapa saat lalu memang bilang 'ngga bisa mengambil alih kendali' tapi itu bukan karena dia ngga mampu atau ngga bisa menghadapi masalah yang menghadangnya, melainkan karena dia tidak punya cukup waktu untuk melakukan dua pekerjaan sekaligus."

"Dua pekerjaan sekaligus?"

Kashitaro menyengih. "Sudah saatnya, deh, ini..."

Lalu si rubah beralih menatap barisan gedung diluar sana. "Kami ngga perlu polisi," ujar dia, "karena tanpa melaporkan pada mereka, mau tak mau masyarakat akan menuntut pemerintah untuk membereskan kalian."

"HAH?! JANGAN BILANG KAU—"

"Semua isi yang ada dalam chip itu sudah kupindahkan ke Ama. Jadi chip itu sejak awal memang sudah kosong. Dan sekarang semua yang ada dalam chip itu..."

Tangan kanan terangkat, Kashi menjentikkan jari, "... Akan disaksikan oleh seluruh masyarakat Shanghai."

Seketika itu juga papan-papan digital yang terpampang pada gedung-gedung diluar Haining Royal Paradise menampilkan hal yang sama; video slideshow berisi konten yang ada dalam chip. Otomatis perhatian orang-orang tertuju ke sana. Tidak cukup dengan itu, Amatsuki juga mengunggah hal yang sama ke internet dan platform-platform terkenal di kalangan masyarakat China, membuatnya menempati posisi trending hanya dalam waktu beberapa menit saja.

"SIAL! SIAL!" si bos merutuk kesetanan. Ia memandang penuh kebencian pada Kashitaro yang masih memasang wajah tenang. Si rubah sampai tak habis pikir, siapa yang sekarang harusnya menatap dengan penuh kebencian?

"Baiklah, sekarang pilihanmu cuma dua, Bos besar," Kashi kembali bicara, "Menerima kejatuhan kalian di tangan pemerintah, atau menerima kejatuhan kalian di tangan kami?"

Si bos besar menggertakkan gigi, mengeratkan kepalan tangan. Tak lama pria itu berujar, "Kalau memang harus jatuh..."

Kashi terkejut bukan main. Tanpa peringatan tiba-tiba Bos besar itu menerjang ke arahnya dan mereka berdua terlempar keluar kaca, terjun bebas. "KALAU MEMANG HARUS JATUH, AKAN KUBUAT KAU JATUH BERSAMAKU!"

"Cih!" pikiran Kashi kalut. Mana mungkin ia bisa selamat kalau harus jatuh dari lantai 22 begini? Si rubah terus mencari akal. Bagaimanapun, ia harus mencari cara untuk tidak jatuh ke bawah. Si bos tertawa puas, melihat si rubah tak kunjung menemukan cara untuk menyelamatkan diri.

Namun, dalam sekejap tawa itu tergantikan wajah pucat bercampur rasa tak terima dan putus asa ketika sesuatu menggapai tangan Kashitaro. Kashi mendongak, mendapati Araki yang tergantung pada tali pinggang yang ditambatkan pada sisi gedung kini menahan tangannya erat-erat. Alhasil, mereka hanya menatap dalam diam tubuh bos besar yang jatuh sendirian ke bawah sana, mati sia-sia.

"... Yok, gue lempar ke dalem, ya, lu berat," ujar Araki tiba-tiba.

Pikiran Kashi masih setengah jalan memproses perkataan si apel ketika yang bersangkutan lalu berayun beberapa kali, sebelum menghantamkan tubuh Kashi ke kaca gedung diikuti dirinya. Kashi terguling di koridor bagian dalam lalu berakhir kepentok, sementara Araki mendarat dengan mulus di tepi bingkai jendela. "Untung aja gue bawa peralatan Bokap. Ga jadi jatuh dah gue tadi."

Kashi bangun seraya meringis. Si rubah langsung kesal, "Hoi! Napa lu lempar gue, dah?? Sakit, bogeng!" Araki berseru ngegas tak mau kalah, "YA GIMANA LAGI LAH SITU BERAT. SUKUR MASI IDUP, LU, RUBAH!"

Keduanya lalu adu mulut. Beruntung tak lama kemudian tampak Amatsuki dan Nqrse berlari kecil menghampiri keduanya. Di belakang mereka rombongan Pak Shoose menyusul. Kashi agak terkejut mendapati cipratan darah di wajah Amatsuki, tetapi kemudian lega saat mengetahui pemuda itu masih baik-baik saja.

Sejenak kemudian Amatsuki menyadari sesuatu. "Kashi, topengmu..." Si rubah tersentak sebelum tersenyum tipis. Ia mengeluarkan topeng rusak yang untungnya sempat ia pungut lagi. "Iya, ngga sengaja tadi rusak. Sayang banget..."

"Yaudah kasih aja ke bokap gue," tukas Araki lantas menodongkan tangan, "Sini, ntar sama bokap pasti bisa dibenerin. Sayang banget itu kalo dibiarin rusak. Kan, kenang-kenangan berharga. " Kashitaro mengangguk, kemudian menyerahkan topeng itu pada si surai apel.

Mereka tak berlama-lama berada disana. Amatsuki segera mengumumkan pada semua anak yang lain lewat earphone, "Semuanya, misi sudah tuntas! Sekarang ayo kita semua kabur sebelum polisi sampai disini!"

***

Beberapa hari sudah berlalu sejak mereka kembali dari Shanghai. Pagi itu Kashi dan Amatsuki berziarah ke makam orangtua Kashi. Si rubah banyak bercerita, soal masalah yang ia alami hingga pada akhirnya berhasil membalaskan dendam kedua orangtuanya itu pada Ekor Naga Emas.

Berakhir sudah. Semua kemelut keluarganya dengan mafia Shanghai itu kini benar-benar telah berakhir. Ekor Naga Emas telah runtuh dalam semalam.

Keduanya baru akan mengakhiri ziarah, ketika mereka melihat Soraru, Mafu, dengan tambahan Senra juga ada di pemakaman. "Loh? Kalian ziarah juga?" tanya Amatsuki yang dibalas anggukan dari Mafu. "Aku nemenin Soraru ke makam ortunya, terus kita ketemu Senra yang habis patroli makam," si albino menambahkan.

Jadilah mereka berlima berjalan keluar makam bersama. Selagi melangkah mereka berbincang-bincang. Awalnya pembicaraan biasa, hingga tiba-tiba Kashi berujar, "Sebenarnya, ada satu hal mengganjal dari awal yang sampai sekarang aku masih belum dapat jawabannya..."

Sontak keempat kawannya yang lain menatap bingung. Beralih memasang wajah serius, Kashitaro melanjutkan kalimatnya, "Kenapa, setelah sekian lama baru sekarang mereka mencariku?"

Angin berembus pelan membelai dahan pepohonan di sekitar mereka. Kelimanya bisu, tak bisa menjawab pertanyaan misterius barusan.

***

To be Continued...

Hamdalah bisa up lebih awal dari biasanya:))

Yeay untuk arc Kashitaro dah selesai, gengs:D chapter selanjutnya bakalan bahas masalah baru bersama anaq baru:))

Oiya btw awet juga tuh topeng lu Kash. Dari jaman piyik ampe sekarang masi dipake aja bang?

Kashi: "Hooh tapi dlu masi bisa dipake di wajah sekarang dah gabisa, kecilan. Jadi buat hiasan rambut doang:v"

Kesian... Ngemeng-ngemeng itu si Ama kumat ya sikopetnya di chapter ini. Biasalah~~ emg kelakuan doang cem anak SD padahal mah dalemnya serial killer--/dibacok Ama n Kashi

-

-

-

-

Oiya Kafka... Ada samthing nieh...

-

-

-


Bayangin lu diiket, terus ngeliatin temen lu satu persatu pada mati di depan lu, abis itu lu dipaksa ngeliat sahabat baik lu yg lu sayangi banget disiksa sm dianu-anu abis"an sampe rusak jiwa raga, abis itu lu dibunuh pas di depan mata dia yg cuma bisa histeris ngeliatin lu mati. Itu yg bakalan terjadi sama si Mafeng klo cerita ini ketemu BAD ENDING.

Sorarunya gimana? Gabakalan tetep waras sih aing jamin. Dia bakal rusak mental sama fisik yg kata Kafka sih bakal seumur idup (ntahlah keknya idup dia jg gabakal panjang:v). Lebih kesian lagi.

Jadi... Menurut klean mending Kafka kasih Good Ending apa Bad Ending, nieh? :"")

Dahlah. Heheh, sampai ketemu chapter selanjutnyaa~~:D

-

-

-

Bonus headpat Kashitsuki:))

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro