Chapter 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

/Shoose PoV/

Orang itu, sejak kapan dia ada di sana? Gue sama sekali ngga merasakan hawa keberadaannya sejak tadi. Apa orang ini pakai ilmu hitam?

Tiba-tiba, Aisu dan rekan-rekannya menunjukkan posisi hormat pada Pak Sekihan. Gue dan anak-anak bengong. Nih orang ngapain pake hormat ke Pak Sekihan segala?

"Komandan, apa yang membuat Anda sampai berkunjung kemari?" tanya Aisu dengan sopan.

Gue diem, anak-anak diem. Komandan? Komandan? KOMANDAN??!!

"Ehehehe..." Piko ngusek-usek hidung dengan muka inosennya. Seakan dia menikmati pemandangan wajah absurd kami semua yang kagak ngerti apa-apa.

Pak Sekihan mengisyaratkan Aisu dan bawahannya untuk berhenti bersikap formal. Kemudian beliau maju, menghampiri gue.

"Selamat sore, Pak Shoose. Sepertinya Anda terlihat kebingungan."

Ya elu kagak usah nanya juga udah liat sendiri coeg!

"A-anu... ini sebenernya ada apa, ya, Pak. Kenapa Bapak bisa tiba-tiba ada di sini?" akhirnya gue bertanya dengan perasaan campur aduk. Antara bingung, heran, dan curiga serta was-was.

Pak Sekihan kini menghela napas panjang. Orang itu dengan santainya menyeret sebuah kursi lalu duduk di atasnya. "Biar saya jelaskan dulu. Ceritanya memang panjang."

Akhirnya gue ikutan duduk di hadapan beliau karena Reol tiba-tiba mbawain kursi buat gue. kini gue siap mendengarkan.

"Sebenarnya, pekerjaan utama saya memang sebagai komandan tertinggi badan intelijen negara. Yah, kerjaan saya sebagai kepala sekolah itu untuk mengisi waktu luang saja. Tetapi dengan pekerjaan itu, saya bisa lebih dekat dengan kasus-kasus yang ada dalam masyarakat. Dampaknya, info yang saya dapatkan untuk membantu penyelidikan para bawahan saya lebih akurat."

Sepertinya orang ini punya terlalu banyak waktu luang.

"Kemudian pada suatu tahun, saya curiga dengan data seorang anak yang mendaftar di SD Niconico. Surat-surat yang ada terkesan kurang jelas dan bukan surat resmi. Saya tidak mendapatkan data tentang orangtua anak ini ataupun riwayatnya sebelum masuk ke SD Niconico."

"Dan anak itu adalah Soraru..." potong gue dengan nada yang serius.

Pak sekihan mengangguk, kemudian melanjutkan, "Awalnya saya ragu, tetapi kemudian saya menemukan indikasi pergerakan otak kriminal paling dicari selama ini. Saya curiga ada kaitannya dengan anak itu. Karena dari awal, meskipun ditutupinya dengan rapat, saya dapat melihat dan merasakan adanya tanda kekerasan fisik pada anak itu..."

Soraru menunduk. Yang lain masih mendengarkan dengan serius.

"Lalu secara tidak sengaja saya mengetahui bahwa anak itu tinggal dengan otak kriminal terbesar yang paling dicari. Meski begitu, saya masih kurang bukti untuk bisa menangkap dan menyeretnya ke ranah hukum."

Pak Sekihan tersenyum, kemudian menyapu seluruh ruangan ini dengan tatapan lembut dan bangga, "Karena itulah saya memilih kalian untuk menjadi teman sekelas Soraru. Saya menyelidiki latar belakang kalian semua satu-persatu dan menemukan fakta bahwa kalian semua anak-anak yang hebat. Saya yakin, dengan menggabungkan kekuatan tak biasa yang kalian miliki sejak dini akan menumbangkan bahkan penjahat besar seperti orang yang dicari ini."

"Eh? Kalau begitu..." Luz berpikir dengan mengusap dagunya, "berarti sejak awal Anda sudah tahu saya putra seorang bos mafia paling berbahaya?"

Pak Sekihan mengangguk, "Tadinya saya berencana membuat Black Light menyerahkan diri ke kepolisian. Tetapi melihat kamu anak yang baik dan tulus membuat saya berpikir dua kali. Belum lagi kenyataan bahwa kamu punya kemampuan menembak yang luar biasa. Sayang sekali kan kalau masa depanmu hancur karena tak didampingi orangtuamu?"

Gue spontan membelalakkan mata, "Jadi... perintah dulu itu untuk melepaskan Black Light..."

"Iya," tukas Aisu, "itu semua perintah Komandan Sekihan."

Lagi-lagi, Pak Sekihan tersenyum dengan lembutnya. "Siswa yang hebat takkan berguna tanpa guru yang hebat pula. Masalah yang mereka pendam sendiri banyak. Saya tahu itu karena latar belakang mereka pun mendukung. Karena itu saya juga memilihkan guru yang akan terus membimbing mereka."

Pria itu kemudian melemparkan pandangan penuh arti pada gue, "Apa Bapak tidak penasaran kenapa sampai sekarang Bapak masih menjadi Wali kelas mereka semua dan Pak Tenchou menjadi Wakil Wali Kelas?"

Gue tersentak. Memang benar, ketika mereka semua naik ke jenjang SMP, gue dan Pak Tenchou juga dipindah ke SMP. Susunan siswa yang biasanya diubah tidak berlaku untuk kelas kami. Hingga kini mereka kelas 1 SMA, gue dan Pak Tenchou lagi-lagi dipindahkan ke SMA dan menjadi pengampu kelas mereka, 20 anak yang sekarang menjadi kelas X-C.

"Jangan-jangan... Anda sudah memprediksi kejadian ini akan terjadi, Pak?" Kashi yang langsung nyambung nyeletuk.

Pak Sekihan terkekeh, "Yah, saya memang sudah memprediksi mengingat dia bukan penjahat sembarangan. Nyatanya dia kini sudah menghimpun kekuatan baru, bukan?"

Kini Pak Sekihan berdiri, menatap kami percaya diri.

"Maka dari itu, dengan ini saya menawarkan kepada kalian, murid-murid kelas X-C, untuk turut membantu agen intelijen mengusut kasus yang sangat rumit ini. Dan saya berharap dari mantan anggota kemiliteran, Pak Tenchou dan seseorang yang sangat luar biasa, Pak Shoose untuk membimbing anak-anak dalam melakukan tugas ini."

Kami semua terdiam. Terpesona dengan wibawa yang terpancar dari Pak Sekihan ini.

Gue tersenyum, Ah, jadi ini alasan beliau menunjuk gue untuk mengatasi anak-anak ini? Sejak awal gue mendaftar jadi guru pun, gue yakin beliau sudah menyelidiki masa lalu gue. pengalaman gue yang bisa gue bilang bejibun itu.

"Kalau memang si 'Tuan' ini orang yang sangat berbahaya, kenapa dia tidak dijatuhi hukuman mati sekalian saja? Kenapa dia dipenjara dulu? Kan bisa kabur jadinya..." Kuroneko bertanya penasaran, memecah keadaan yang sebelumnya hening.

Iya ya, kok gue ngga kepikiran sampai sana?

"Warga sipil memang ngga tahu," kali ini Aisu yang menjawab. "Sebenarnya saat ditangkap dulu, dia memang dijatuhi hukuman mati. Tapi lalu dia kabur dengan mudahnya dengan cara yang tidak kami ketahui. Dia seakan lenyap dari sel-nya begitu saja."

Tentu saja kabar baru ini membuat kami gempar bukan main. Setelah bertahun-tahun, kami baru tahu kenyataannya sekarang.

"Kami sengaja tidak memberitahu agar tidak membuat resah. Selama ini kami selalu melakukan perburuan. Tetapi tetap saja susah. Dia sudah terlalu lihai melarikan diri. Karenanya dia menampakkan diri secara terang-terangan seperti ini merupakan sebuah keuntungan dan kesempatan bagi kita," terang Pak Sekihan panjang lebar.

"Itu artinya, dia boleh dibunuh, kan?" tanya Araki sambil menampakkan seringai. Nqrse berdecak kesal melihat tingkah laku sohebnya itu, "Kau ini yang dipikir cuman membunuh saja!" dan Araki memeletkan lidah menanggapi omelan Nqrse.

"Sekarang, semuanya tinggal keputusan dari Soraru," Pak Sekihan berujar sambil menatap pemuda raven berambut ikal itu. Mengikuti arah mata Pak Sekihan, semuanya juga menatap anak itu kini.

Soraru terdiam, memejamkan matanya sejenak. Kemudian ia tersenyum tipis, membuka mata dan menampakkan wajahnya.

"Kenapa Anda masih bertanya? Selama saya bersama dengan teman-teman yang lain, saya yakin bisa mengalahkan dia."

***

Angin malam berhembus dengan semilir. Gue menerawang angkasa raya. Tak ada hujan, tak ada awan. Langit begitu cerah dengan bintang gemintang bertebaran dengan sinarnya yang terang-padam. Warna sang langit...langit malam yang misterius...

Sama seperti kamu, Soraru.

Gue menghela napas panjang. Dari awal gue bertemu dengan dia, anak itu terlihat misterius. Ekspresinya tidak bisa dibaca, begitu juga tindakan dan jalan pikirannya. Sifatnya tak menentu, kadang juga ia terlihat seperti dirinya sendiri sekaligus orang lain dalam waktu yang bersamaan.

Sampai sekarangpun, kamu tetap misterius. Bapak ngga bisa membaca kamu sama sekali. Apa yang kamu rasakan, apa yang ingin kamu lakukan, apa yang sedang kamu pikirkan, semuanya terasa kabur, Nak.

Gue yakin sekali, dia yang sekarang belum sepenuhnya gue kenal. Meskipun sudah bertahun-tahun gue mengenalnya, masih ada diri Soraru yang 'lain' yang bahkan tidak ia sadari sama sekali. Firasat gue berkata demikian.

Gue jadi ingat, waktu hari kelulusan kelas IX, anak itu tiba-tiba menghadap gue di bangku walas.

"Pak Shoose," katanya. Gue yang sedang merapikan berkas-berkas terpaksa berhenti untuk mendengarkannya. "Iya, kenapa, Sor?"

Anak itu menundukkan kepala. Suaranya sangat lirih, tetapi gue bisa mendengarnya dengan jelas, "Hukuman gantung."

Gue spontan mendelik, "Apa? Sor? Kamu barusan bilang apa?"

"Hukuman gantung," ia mengulang kalimatnya, "Sebelum Bapak datang ke tempat saya malam itu, Tuan.... melecehkan saya..."

Gue lemas, sudah gue duga. Soraru...

"Waktu itu saya melihat semuanya dengan jelas. Melihat semua yang selama ini kerap dilakukannya terhadap saya saat hukuman itu," jeda sebentar. Bocah itu menarik napas dalam-dalam, "Selama ini hanya merasakannya saja saya sudah gemetaran. Tapi, Pak, Pak... Saya melihat apa yang dia lakukan, saya juga merasakan apa yang dia lakukan pada saya selama ini..."

Wajahnya merah padam, ia menutupi mukanya dengan kedua telapak tangan. Isakan terdengar, "Pak Shoose, katakan pada saya... Apakah saya... masih seorang laki-laki?"

Gue refleks berdiri, menghampirinya, dan memeluk raganya yang sebenarnya rapuh itu. "Soraru ngga salah...Nak... Soraru ngga pantas dapat perlakuan seperti itu. Maafkan Bapak, Nak, maafkan Bapak. Bapak ngga menyadarinya dari awal. Maafkan Bapak..."

Gue tersenyum kecut, senyum miris. Sampai sekarang gue masih menyesalinya. Menyesali kenapa gue ngga menyadarinya lebih cepat, kenapa gue ngga datang ke rumahnya lebih cepat. Gue sering mengutuk diri gue sendiri. Apa gunanya gue menjadi seorang guru kalau tidak peka terhadap muridnya sendiri?

Setetes embun jatuh membasahi pipi gue, "Soraru... Maafin Bapak..."

-

-

-

Soraru menatap langit malam dengan tatapan sayunya. Di tangannya terdapat sebingkai foto berukuran sedang. Foto kelulusan SMP. Diusapnya foto itu perlahan.

"Bukan, Pak," gumam Soraru sendiri, "waktu itu, Soraru bukan mau menyalahkan Bapak..."

***

Sebuah Omake

Shoose sudah menerjang keluar ruangan, mengejar si master yang lari keluar dari rumah itu.

"Mafu, Araki, Luz, tolong itu borgol Soraru dilepas dulu! Bapak akan coba cari kotak P3K!" titah Pak Tenchou. Beliau lalu dengan tergesa lari ke ruangan lain mencari kotak yang dimaksud.

Perkara mudah buat Araki. Dengan cepat bocah tersebut membuka kunci borgol Soraru menggunakan peniti.

Soraru terjatuh, langsung ditangkap Mafu. Terdengar rintihan samar nan parau. Mafu terdiam. Sahabatnya sekarat sekarang.

"Aaah...  Gimana nih? Darahnya ngga mau berhenti..." gumam Araki kala menyadari cairan merah tak hentinya mengalir diantara dua kaki Soraru.

"Luz, pegang Soraru. Jagain bentar," kata Mafu tiba-tiba sambil menyerahkan Soraru ke pangkuan Luz.

"Eh? T-tapi... Mafu mau kema—!!"

Luz tak berani melanjutkan kalimatnya. Yang ia lihat di hadapannya kini...

Adalah ekspresi yang belum pernah ia lihat sebelumnya...

"Ma... Fu...? "

Tanpa berkata apa-apa, Mafu pergi, keluar dari ruangan itu. Sementara Luz dan Araki mematung di tempat. Diam seribu bahasa.

***

Halo:)

Masalah semakin complicated ya...

._.

Jan mikir macem" ke Kafka ya, kayak Kafka terlalu tega atau apa. Soalnya di book sebelumnya Kafka udah bilang, kan?

Kasus yang menimpa Soraru itu BASED ON TRUE CASE.

Iya, literally TRUE CASE.

Menimpa orang yang Kafka kenal.

Waktu itu juga Kafka masih kecil.

Sekarang sih orangnya udah gapapa gaes. Kafka angkat kasus dia juga udah izin dulu. Katanya gapapa biar jadi pembelajaran buat yang lain.

Oke, clear ya? Clear? Clear dong 😊😊

Selamat menikmati chapter selanjutnya sebelum Kafka - ekhem - back to real life again.

Nugas lagi gatau bakal apdet kapan.

Enjoy aja lah ya ceritanya. Jaa naa

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro