Chapter 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sore itu, sehari selepas penyerangan mereka ke rumah Soraru. Luz ingat, dia diajak Mafu menjenguk Soraru di rumah sakit.

"Katanya masih di ruangan perawatan khusus, sih... tapi kata kakak perawatnya kita udah boleh jenguk, kok. Luz ikut, ya," itu yang dikatakan si albino.

"Un!" Luz menjawab setuju.

Mereka berjalan berdampingan, menyusuri bangsal rumah sakit. Sesekali mereka bertanya kerena tersesat. Bahkan, sempat-sempatnya beli jajan dulu di kantin rumah sakit.

"Kenapa?"

Mafu yang nyaris memasukkan yakisoba ke mulutnya jadi berhenti, karena pertanyaan mendadak dari Luz.

"Kenapa Luj yang diajak? Kenapa bukan Ama atau yang lain?"

Mendengar itu, Mafu tersenyum. "Mafu mau berterimakasih. Kalau bukan karena tembakan dari Luz kemarin malam, Araki juga ngga akan bisa masuk. Kalau Araki telat masuk sebentar saja, Soraru... pasti udah ngga ada. Mafu yakin, kok, Soraru juga ingin berterima kasih sama Luz."

"Eh? Kalau begitu kenapa Alaki ngga diajak?"

"Katanya ntar nyusul, kok. Dia lagi bantuin kerjaan ayahnya dulu katanya."

"Oh, begitu..."

Mereka ingat, kondisi mengenaskan yang mereka jumpai di kamar rawat intensif sore itu.

"Ah, maaf, ya, Luz, Mafu... Soraru belum bisa duduk dulu... habis dijahit karena robek." Soraru tampak meringis, menahan pinggangnya ketika berusaha duduk.

Selang infus, selang oksigen, perban dimana-mana. Bau obat, bercak darah, bekas jahitan.

Ah... Luz benci ini.

Luz muak melihat pemandangan ini.

Bocah kurangajar mana yang kemarin-kemarin bilang mau melindungi temannya, justru membiarkan teman yang harusnya dia lindungi sampai seperti ini?

"Colalu, apa itu... cakit? Yang dijahit?"

Terlihat tatapan Soraru sendu. "Ah, sakit... banget... Tapi sekarang udah ngga apa-apa, kok. Sebentar lagi pasti sembuh," bocah itu meringankan intonasi suaranya pada kalimat akhir.

Luz merasa ngga berguna.

Klap!

Pintu tertutup. Luz dan Mafu masih terdiam di depan pintu kamar Soraru itu tanpa mengatakan apapun. Hingga tiba-tiba saja...





"B*ngsat."

Luz tercekat. Ia perlahan menoleh ragu. "Mafu... apa Mafu balu caja-"

"Hei, Luz."

Ucapan Mafu memotongnya sepihak. Luz kembali bungkam. Wajah itu... wajah yang ia lihat kemarin malam...

"Aku butuh kamu."

"Eh?"

"Aku butuh kalian semua."

Suara perawat hilir mudik mengisi kekosongan. Bisa Luz lihat wajah Mafu tidak main-main saat ini.

"Kalau bertemu orang itu lagi... Mafu pastikan bukan hanya tangannya yang bakal hilang. Makanya... Luz mau bantu Mafu?"

Ah... Sakit... Banget...

Deg!

Realita seakan kembali menariknya. Luz mengepalkan tangan erat. Ia kembali mengingat ketidakmampuannya. Menyalahkan dirinya sendiri atas semua itu. Mafu juga sama, bukan? Marah pada dirinya sendiri karena gagal melindungi sahabatnya. Terlebih, iya, sahabatnya. Soraru pasti lebih berharga di mata Mafu.

Makanya kalimat inilah yang terlontar dari bibir Luz kala itu.

"Kenapa Mafu macih tanya? Jelac Luj ikut, lah!"

Dan Mafu tersenyum. "Iya, makasih, ya, Luz..."

-

-

-

Ah!

Luz tersadar dari lamunannya. Suara cicit burung di luar menariknya kembali pada kesadaran penuh.

Pemuda itu melirik. Ah, sudah jam berapa sekarang?

"Kak Luz!"

Luz menoleh. Seorang bocah SD berusia sekitar 8 tahunan berlari ke arahnya.

"Ah, Kanon... kamu baru selesai mandi, ya? PR udah dikejain?"

"Udah, dong, hehe... Oh iya, kemarin sore Kanon berhasil menembak objek bergerak dari jarak 7 meter, loh! Ayah beliin Kanon es krim habis latihan!"

"Wah, iya? Baguslah," Luz mengusap pucuk kepala anak itu lembut.

Selesai mendapat belaian dari Luz, Kanon melompat girang. "Oh, iya, Mama sama Ayah udah nunggu di bawah, loh. Sarapan udah siap. Nanti Kak Luz telat."

Kemudian anak itu berlari meninggalkan Luz. Luz menghela napas sembari tersenyum. "Aduh, anak itu semangat sekali."

Kanon, adiknya, mendapat perlakuan kurang-lebih sama dari ayah mereka. Memang harus Luz akui pelatihan Kanon tidak seketat dan sekeras dirinya dulu. Mungkin karena posisinya lebih santai? Bisa jadi. Kanon baru diajari ilmu menembak dan bela diri mulai masuk kelas 1 SD. Tidak seperti Luz yang pistol pertamanya ia pegang saat masih berumur 3 tahun.

Tak buang waktu, Luz memilih untuk turun dari kamarnya. Tampak di ruang makan semua sudah duduk.

"Pagi, Luz..."

Luz tersenyum. "Pagi, Mama Rahwia," ia membalas.

Baru saja Luz akan duduk, terdengar bel rumah berbunyi. Ayah Luz mengernyitkan dahi. "Siapa pagi-pagi begini udah datang? Kalau yang datang si pirang sialan itu mau langsung kubacok saja rasanya."

"Ayah..." Luz tepok jidat.

Akhirnya Luz memutuskan untuk membukakan saja pintunya. Dan...

Iya, sih, pirang. Tapi pirang yang ini bodyguardnya cuma tiga pemuda tulul yang suka ngehalu dan tingginya di atas dia.

"Woi kampr*t lu kira jam berapa sekarang?? lu kagak inget kita yang dipiketin di kebun belakang hari ini??" Urata yang paling - ekhm - tidak tinggi diantara tamunya ini berteriak ngegas.

Luz terkejut. Dia baru ingat gara-gara flesbeknya sejam lalu. Pemuda itu buru-buru masuk ke dalam, mengambil taperwer dan langsung membungkusi sarapannya.

"Mama, Ayah, Kanon, Luz berangkat dulu, ya!"

"Ey, ngga makan bareng, Luz?" cegat si Ayah.

"Engga, Yah, Luz udah telat!"

Jadilah, mereka berlima lari menuruni bukit tempat kediaman Luz.

"Yang piket kan cuma gue ama elu, Rat, kenapa si Shima sama Sakat dibawa buru-buru juga?" Luz bertanya heran.

"Bodo, biar kompak!"

"Buset dah... Sen, itu kenapa rambut lu klimis bat hari ini? Tumben loh." Luz menyadari perubahan gaya rambut Senra yang berbeda hari ini. Shima langsung nyeletuk, "Yaiyalah, tadi, kan, dia mau menghadap calon mertua-"

"Lu bisa diem ngga, Shim?! ngomonginnya ngelantur aja!" potong Senra sambil menendang Shima keras. Akibatnya itu bocah nggelinding di jalan sampai nabrak gerobak cimol.

Shima mau mengumpat, tapi ngga jadi lantaran inget Soraru. Iye, dia kagak bakalan bisa menandingi kosakata lelaki itu yang udah level dewa. Akhirnya cuman bisa minta maaf ke abang jualan cimol sebelum lari menyusul empat kawannya yang lain.

"Yosh! Gerbang sekola udah di depan mata! Ayo cepat, gaes!" seru Sakata saat mereka telah sampai di simpang empat dekat SMA Nico-nico.

Saat itulah, Luz sadar. Ia merasakan sengatan tak mengenakkan pada tengkuknya. Perasaan yang familiar. Pemuda itu menoleh ke satu arah, terbelalak, kemudian menerjang ke arah Senra.

"Senra, awas!"

DOR!!

Sebuah lubang dengan asap tipis mendadak muncul di aspal dekat mereka. Luz langsung berdiri, menyambar pistol yang selalu ia bawa dan mengarahkannya ke arah tadi.

Tak ada pergerakan lanjutan. Selebihnya pandangan Luz awas, seluruh inderanya dipertajam. Ia memasang mode waspada penuh saat itu. Senra dan yang lain menyusul. Keempatnya ikut waspada.

Keadaan itu berlangsung hampir tiga menitan. Sebelum akhirnya Luz menghela napas lega. "Sepertinya orang tadi sudah pergi," kata dia. Urata dan yang lain turut menghela napas lega.

"Ini hari ketiga setelah telepon di rumah sakit itu. Ternyata orang itu ngga main-main," gerutu Shima geram. Senra mengangguk. "Iya, kamu benar. game-nya... Dimulai hari ini. Kita ngga boleh lengah."

Mereka lalu berjalan lebih tenang masuk sekolah. Saat hendak masuk ke lobi, mereka mendengar suara-suara dari halaman belakang sekolah.

Mereka yang penasaran akhirnya memutuskan mengikuti arah suara tadi. Begitu sampai di halaman belakang, mereka terkejut sekaligus terpukau...

Mafu memutar-mutar sebilah tongkat bambu dengan pisau dapur diikat di kedua sisinya. Pemuda itu lantas mengayunkannya ke depan.

Soraru dengan cepat menghindar, melompat ke samping. Mafu berdecak. Sedetik kemudian ia memutar tubuh dan mengarahkan tongkatnya ke arah lain.

Ia menyerang Soraru dari atas. Dengan sigapnya Soraru menunduk, menghindari sabetan tongkat sejajar kepalanya. Dengan tumpuan tangan kanan memijak tanah, ia meluncur ke samping. Nyaris tak memberi Mafu kesempatan berkedip, ia melompat ke belakang pemuda itu.

Mafu berdecih. Ujung pisau tongkatnya menyeret mengiris tanah seiring terayunnya ujung lain ke belakang.

Trang!!

Apa-apaan itu? Sejak kapan kedua tangan Soraru menggenggam dua buah belati?

Pemuda dark blue itu segera memutar, menjauh dari Mafu. Mafu sendiri kembali menodongkan tongkatnya. Soraru menarik napas dalam. Ia merendahkan posisi badannya sedikit, memasang ancang-ancang. Sedetik kemudian raib dari posisi awalnya.

Luz terbelalak kaget. 'Cepat sekali!' Batinnya.

Belati kembali beradu dengan pisau tongkat. Kali ini agak lebih lama. Ritme Soraru semakin cepat. Kedua kakinya seakan tak sampai sedetik memijak tanah, sebelum berpindah ke posisi lain. Mafu semakin kewalahan. Tetapi ia masih bisa mengendalikan situasi.

Si albino memutar tongkatnya sekali, dan melayangkan tusukan pamungkas ke arah Soraru.

"Lambat."

"Apa-?!"

Belati hanya beberapa senti dari lehernya kala Mafu berbalik. Entah sejak kapan, Soraru sudah berada di belakang pemuda itu tadi.

Soraru tersenyum angkuh. "skakmat,"katanya. Mafu sweatdrop. Seringai Soraru ia balas dengan seringai dan dengusan lain.

"Baik, baik... itu kalian sudah cukup bagus,"terdengar suara interupsi dan tepukan tangan empat kali dari arah lain.

Luz, Urata, Shima, Sakata, dan Senra refleks menoleh ke sumber suara. Rupanya sejak tadi Pak Shoose berdiri di sana, melihat mereka.

"Pak Shoose? Sedang apa Bapak dengan Soraru dan Mafu di belakang sini?" Luz memberanikan diri bertanya.

Shoose mengedikkan bahu. "Oh, mereka berdua minta latih tanding tadi sama Bapak. Mereka benar-benar serius. Jadi, Bapak ngga bisa menolak karena mereka meneror Bapak dari subuh tadi. Yaudah Bapak latih sekalian di sini."

"Tapi tetap saja, keren banget dah kalian berdua," celetuk Senra sambil menggaruk punggung kepalanya, "Soraru, kayaknya gerakanmu jadi makin cepat, ya, dari yang terakhir kali?"

"Begitu? Aku ngga merasa, sih," balas Soraru santai sambil mengelap bilah salah satu belatinya dengan saputangan. Kemudian, ia menyimpan benda itu di sarung yang terkait pada ikat pinggang.

"Tapi,"katanya sambil menengadah ke langit. Matanya menyipit. Pantulan angkasa yang biru terpatri pada matanya, "Kali ini aku ngga akan kalah. Aku akan pastikan dia bertanggung jawab atas semua kejahatannya."

Luz tersenyum, begitu juga Mafu, Senra dan ketiga temannya. "Kamu ngga sendirian, Sor, kami semua disini, bantuin kamu,"Urata berujar sembari menepuk bahu Soraru. Yang ditepuk menoleh, tatapan mereka bertemu.

Soraru memandang Urata datar beberapa saat sebelum mendengus. "Ah, dasar tanuki boncel. Bisa aja lu ngomongnya."

"EH KUTIL NGAPAIN LU NGEGAS BGSD! NGACA WOEY! SENDIRINYA JUGA BONCEL!!" Urata emosi.

"Seenggaknya gue lebih tinggi dari lu bambang."

"SIK*MPREETT!!!!!"

Mafu berbunga-bunga. "Pada udah gede, ya~ sekarang yang kasar ga cuma Soraru~"

"WOE DASAR SETAN LU MAF!"

"...Jadi pengen ikutan ngumpat."

***

HUAHAHAHAHAHAHAHAHAH BAHASANYA UDAH MULAI PADA KASAR WAKAKAKAK

Ekhm

Nah! Jadi di book ke-2 ini emang lebih banyak adegan aksinya gaes. Dan adegan aksinya itu juga lebih DETAIL.

Eheheh, tapi mohon mangap ya kalo di tengah jalan ntar kalian justru jadi pusing dan bingung apalagi yang ga kebiasa baca cerita aksi. Terlebih Kafka masih noob kalo urusan bikin aksi dalam bentuk narasi gini.

Jadi, ya...

Mohon maaf, kan Kafka juga manusia:v

Okey, semoga kalian ga jenuh dan ga bosen baca cerita ini, ya, gaes. Sampai jumpa apdetan selanjutnyaa!!!!










Yang ngga tau kapan:v

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro