My Dear Precious (Special Luz)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gue beneran ga habis pikir, kenapa gue bisa terjebak di situasi kayak gini.

Niatan awal gue itu cuma dateng ke rumah Luz buat nganterin buku-buku paketnya yang ketinggalan di kelas. Yah berhubung ada pengosongan kelas, jadi barang-barang siswa yang ketinggalan jadi tanggung jawab gue sama Pak Tenchou buat balikin ke anak-anak.

Eh taunya, pas gue dateng lagi ada drama keluarga.

Bapaknya Luz keliatan lagi pundung di pojokan sementara Rahwia mengusap-usap bahu suaminya sambil mengkritik sekaligus menghibur. Di dekat sana terlihat Kanon yang sedang ngedumel ke Bapaknya.

"Pak Shoose, maaf ini lagi begini keadaannya. Ada perlu apa ya datang kemari?" sambut Rahwia sambil mempersilakan agar gue duduk di sofa yang tersedia.

"Anu ini, karena perbaikan gedung jadi ada pengosongan kelas. Saya mau mengembalikan barang-barang Luz yang ketinggalan di kelas," gue mengutarakan tujuan. Sebentar kemudian gue melongok sedikit, "Ngomong-ngomong —

"— Ini ada apa, ya?"

Rahwia mencibir sesaat. "Yah biasa lah suami saya ini, sukanya asal jeplak kalau lagi gusar. Padahal ya Luz cuma bercanda."

Alis gue saling bertaut. "Luz?"

Sebuah anggukan dari Rahwia. "Tadi Luz papasan sama ayahnya ini, kan... Nah terus nyapalah itu anak. Tapi, Ayahnya ini lagi stress jadi bawaannya badmood mulu. Jawab sapaan Luz ketus dia. Nah terus si Luz ini nyeletuk, 'Ayah ini kayak lagi ngomong ke anak pungut aja.'

"Lah terus kok ya bisa-bisanya si bapaknya ini malah bales, 'Iya kamu anak pungut! Kenapa emang?' Ya kagetlah si Luz."

"Terus, Luznya percaya?" Gue menukas.

"Lah dari pagi Kak Luz keluar rumah gitu sampe sekarang belum balik. Ditelponin pun ga diangkat," sambar Kanon masih menatap ayahnya dengan sengit.

"Aduh lagian kenapa si Luz musti nyebut 'anak pungut' sih?! Saya ga bermaksud begitu, Pak... Ini efek karena saya kesal. Salah satu anggota eksekutif Cityfog kena masalah sengketa anak pungut dan saya dibawa-bawa! Stress banget saya makanya jadi ngga pikir panjang..." Ayah Luz membela diri.

Ya elu tau sendiri anak lu itu sangar-sangar mayoi inu. Dikibulin Sakata aja percaya loh dia.

Memijit kening, gue menghela napas. "...Saya akan infokan ke anak-anak. Siapa tahu Luz lagi bareng sama salah satu atau beberapa temennya."

-

-

-

Diantara jajaran nisan kompleks pemakaman yang menghadap ke laut, pemuda itu berjongkok di depan salah satu nisan dengan posisi tangan berdoa. Sang surya sudah turun setengah jalan. Senja mulai menyirami tubuh sang pemuda yang berbalut coat hitam.

"Walah, rupanya disini?"

Pemuda coat hitam itu menoleh, mendapati pria jangkung berdiri tak jauh dari tempatnya sembari berkacak pinggang.

"...Senra? Kenapa kamu di kuburan?"

Sosok itu — Senra — menjawab selagi berjalan mendekat, "Kamu ngga tahu? Aku ada kerja sambilan disini."

"Di kuburan?"

"Iya, patroli makam sore. Omong-omong..."

Ia menunjukkan layar ponsel ke hadapan sang pemuda. "Di grup kelas, pada ribut nyariin kamu, loh, Luz."

Pemuda coat hitam yang rupanya Luz itu mengerjapkan mata. Kepala dimiringkan. "Nyariin? Kenapa?"

Senra segera mengusak belakang kepalanya sambil menghembus napas kasar. "Dari situ, toh? Hadeh... kamu ini katanya dari pagi keluar rumah sampe sekarang ga balik-balik. Dihubungin pun ngga bisa. Ada masalah apa, sih?"

"Oh," Luz masih menatap polos, "baterai hp-ku habis. Tadi pas keluar ngga ngecek dulu sama ngga bawa charger."

Didapatinya ekspresi datar dari Senra. Luz yang mulai panik langsung menambahi, "A-ah! Maaf aku sudah buat masalah..."

Senra segera mengibaskan tangannya. "Yah, aku lega sih ternyata bukan masalah besar. Betewe kamu ribut sama Ayahmu, ya?"

Sekarang dahi Luz mengernyit, "Ribut?"

"Loh, iyakan?"

Luz menimbang sejenak. Setelah itu ia menjentikkan jari. "Oh yang tadi pagi, ya?" Selepas mengatakan itu, wajahnya langsung murung. Luz memeluk lututnya sendiri.

"Ayah bilang Luz anak pungut..."

Senra tepuk jidat sambil menghela napas panjang. "Itu ngga beneran, Luz... Duh, aku heran kok kamu percaya aja, sih?"

Luz mengangkat wajah, netranya menatap Senra bingung. "Ngga beneran?"

"Iya," Senra mengangguk, "Ayahmu lagi stress karena banyak pikiran jadi ngga sengaja asal jeplak gitu. Pak Shoose tadi yang bilang di grup."

"Jadi Luz bukan anak pungut?"

"Bukan, lah."

"Sungguh?"

"Iya..."

Sekarang Luz terdiam sebentar, kemudian tersenyum tipis. "...Syukurlah..."

Senra sempat tertegun menatap Luz, kemudian beralih ke layar ponselnya. "Pokoknya aku kasih tahu di grup, kamu lagi sama aku sekarang."

Luz mengangguk sementara Senra sibuk mengetik. Tak lama, Senra beralih menatap nisan yang berdiri di depan Luz. Di depan batu nisan, tergeletak buket mawar pink dan putih yang masih segar. Artinya, Luz pastilah yang jadi pelaku peletakan bunga itu.

"Ini makam Ibuku," ujar Luz seakan sadar Senra terus menatap nisan itu penasaran. Saat itu Senra teringat. Ibu kandung Luz sudah tiada sejak usianya masih tiga tahun.

Senra ikut berjongkok. Beberapa saat mereka saling hening, sebelum Luz kembali mulai bicara. "Saat sedang sedih tadi, aku rasanya kangen Ibu. Makanya aku mampir kesini. Bukan berarti aku ngga senang dengan Mama Rahwia. Mama Rahwia orangnya baik, kok. Sayang sama Luz dan Kanon juga. Hanya saja..."

Senra mengangguk. "Iya, kok. Aku paham."

Terlihat senyum masam di bibir Luz. "Tapi terkadang, ketika datang ziarah begini aku merasa menjadi seorang pengecut," ungkapnya agak lirih.

"Kenapa?"

Luz diam sejenak. Ia sedikit mendongak menatap nama ibunya yang terpahat pada nisan. "Ibu meninggal karena melindungiku. Dengan kata lain, Ibu meninggal karena aku tidak bisa berbuat apapun, kan?"

"Yang begitu... mana mungkin benar..." Senra menyangkal.

Luz sempat mengerjap padanya sebentar, lalu tertawa kecil. "Senra menghiburku? Makasih, ya." Setelah itu netranya kembali menatap teduh.

"Tapi sungguh, terkadang aku merasa tidak berguna. Dalam lubuk hatiku rasanya ingin menjadi orang yang bisa melindungi Ibu.

"Aku tahu ini permintaan yang sangat egois, tapi kenyataannya begitulah yang kurasakan. Meskipun baru mengenalku sebentar, Ibu berani pasang badan agar aku tetap hidup. Ibu... benar-benar sangat sayang padaku.

"Saat ini, yang bisa kulindungi hanyalah kenanganku bersamanya. Tapi... tentu saja sulit, Senra. Saat Ibu meninggal aku masih sangat kecil. Aku tidak begitu ingat memori-memori apa saja yang sudah kuukir bersamanya. Seringkali, hal ini bikin aku menyesal."

Senra menepuk-nepuk punggung Luz, merasa simpati. "Karena itu kamu belinya mawar pink dan putih?"

Mendengar itu, Luz agak terkejut. Tetapi itu tidak lama karena dia segera mengangguk. "Aku ingin tunjukkan, kalau aku benar-benar kagum dan sangat sayang sama Ibu. Aku tidak minta yang macam-macam, mulai sekarang aku harus bisa melindungi orang-orang berharga di sekitarku."

Senra yang mendengar kalimat itu membalas senyuman Luz. "Bagus, ini baru Luz yang kukenal," katanya yang disambut tawa lirih Luz.

Setelahnya, Senra menengadah, menatap langit senja di atas mereka. "Aku... tidak begitu ingat masa kecilku," katanya, "Yang jelas, aku tahu kedua orangtuaku sama sekali ngga menginginkan aku."

"Kok begitu?"

Senra tertawa getir. "Saat itu umurku empat tahun, aku ingat betul pasangan yang sebelumnya kusebut 'Ayah dan Ibu' membawaku keluar dengan dalih piknik. Lalu, mereka sengaja meninggalkanku di sebuah kereta.

"Aku yang ngga tahu harus apa, menangis mencari-cari mereka. Aku tiba di kota yang sangat asing. Disanalah aku bertemu dengan seorang bandar pengemis yang mempertemukan aku dengan Shima, Urata, dan Sakata."

Luz masih diam mendengarkan.

Senra melanjutkan, "Mereka bertiga keadaannya ngga jauh beda denganku. Sakata bahkan tidak tahu siapa orangtuanya. Sejak bayi dia dibesarkan seekor anjing liar. Urata kehilangan kedua orangtuanya sejak bayi. Tidak ada satupun kerabat mau menampungnya jadi dia ditelantarkan. Shima juga... dia bilang dia sengaja dijual orangtuanya."

Tiba-tiba tangan Luz maju, mengusap-usap kepala Senra. "Yoshi, yoshi..." ujarnya membuat Senra membelalakkan mata. Sebentar kemudian Senra berdehem, lalu segera berdiri.

"Aku lanjutkan patroli sebentar, ya. Tunggu aku di pintu masuk makam. Nanti kita pulang bareng."

Luz hanya mengangguk patuh selagi Senra melangkah pergi. Sepanjang jalannya meniti area pemakaman, Senra tidak berhenti termenung. Sesekali ia mengusap kepalanya sendiri, lalu tersenyum tipis.

"Dasar, aku sudah lama tidak peduli soal itu juga, kok..."

Lagipula Senra paham, sekarang keluarganya adalah Shima, Urata, dan Sakata. Dia sama sekali tidak mempermasalahkan tindakan orangtuanya dulu. Malah sebenarnya dia berterimakasih. Karena dengan itu, dia bisa bertemu tiga sahabatnya sekarang, yang baginya adalah keluarga sejati.

Rupanya Luz benar-benar menunggunya di pintu masuk pemakaman. Jujur saja Senra agak kaget. Padahal pikirnya, kalau sudah capek Luz pasti balik sendiri.

Jadilah mereka berjalan beriringan dibawah spektrum jingga yang sudah bertabrakan dengan violet, diatas jajaran batu paving jalan di sisi pagar pembatas laut. Cakrawala senja menjadi latar belakang keduanya, membuat permukaan laut bak hamburan mutiara yang berkilauan.

"Oh iya, Senra," panggilan Luz membuat langkah keduanya terhenti. Senra menatap Luz penuh tanya.

"Apa setiap hari seperti ini?"

"Apanya?"

"Itu, anu..." Luz agak ragu melanjutkan kalimatnya. Namun, karena Senra kelihatan semakin penasaran, akhirnya dia berucap juga, "Apa setiap hari, kamu kerja jadi pengawas makam begitu?"

Mendengarnya, Senra mengedikkan bahu. "Yah, aku termasuk yang paling rajin cari kerjaan, sih... yang lain juga begitu, kok. Sejak kami tinggal berempat, rupanya semakin banyak yang harus kami lakukan. Kalau tidak ada kerjaan, ya, mau makan apa kami? Kami pikir juga ngga bagus terus-terusan bergantung sama kamu dan Kradness. Jadi, ya, kami banyak mencari kerja sambilan.

"Urata jaga toko kue seperti biasa. Sakata sama Shima kerja jadi pelayan restoran sama kasir minimarket. Aku... kadang jadi cleaning service, kadang bantu di toko kelontong juga. Aku juga sering join Sakata dan Shima di restoran. Sama ya... ini, jaga makam."

Luz menatap cemas. "Apa tidak terlalu banyak? Memangnya Senra ngga kecapekan dengan kerjaan sebanyak itu?"

Senra tergelak, "Kamu yang hampir tiap hari kurang tidur karena ngerjain urusan mafia jangan ngomong begitu, deh. Kerjaanmu pastinya lebih berat. Tapi... benar juga, sih... akhir-akhir ini aku memang menambah jatah kerja sambilanku."

"Eh, kenapa?"

Terlihat Senra menyunggingkan senyum simpul. "Luz, kemarikan tanganmu," pintanya. Luz menurut. Setelah tangannya terulur, Senra merogoh sesuatu dari kantung celananya lalu meletakkan sebuah bungkusan di telapak tangan Luz, membuat pemuda itu terkejut.

"Ini..."

"Otanjoubi omedetou, Luz," kata Senra dengan senyuman hangat.

Ah, Luz bahkan hampir lupa hari ini adalah hari ulang tahunnya. Masih dengan raut terkejut, dia berkata agak lirih. "Senra... yang pertama bilang hari ini..."

Yang bersangkutan tertawa. "Nggak, eyy... dari pagi teman-teman udah pada bilang loh di grup kelas. Cuman kamunya aja ngga buka hp..."

Luz sedikit menunduk. "M-maaf..."

Senra mengibaskan tangannya. "Ngga perlu minta maaf, lah... Itu, kan, bukan salahmu. Oh iya, teman-teman lain juga ada nyiapin hadiah, loh, buat kamu. Tapi berarti ini aku curi start! Hehe..."

Luz tertawa kecil, lalu membuka bungkusan itu. Ia semakin terkejut melihat apa yang ada di dalamnya.

Sebuah anting mawar dengan liontin berwarna kecubung menggantung.

"Kamu suka pakai anting di telinga kananmu. Minggu kemaren anting itu hilang, kan? Ini aku belikan yang baru."

"Senra... menambah jam kerja untuk membelikan Luz ini?"

Senra menggaruk punggung kepalanya rikuh. "Yah karena lumayan mahal, sih, buatku... tapi mungkin anting Luz yang sebelumnya lebih mahal dan bagus. Maaf, ya..."

Senra memalingkan wajah, agak menunduk. Luz yang sempat tertegun beberapa saat mendenguskan napas. "Tidak, kok," katanya sambil memakaikan anting itu pada telinga kanannya.

Lampu-lampu jalan mulai dinyalakan. Perlahan Senra mengangkat wajah, menoleh pada Luz yang saat itu tersenyum manis disinari cahaya lampu jalan berpadu rona terakhir sang senja.



"Aku... sangat suka ini. Aku akan jaga baik-baik. Makasih, ya, Senra."

Pemuda berambut pirang itu hanya bisa tertegun beberapa saat. Tanpa sadar ia sudah merona. Luz cantik, kenyataan ini dari dulu sama sekali tak bisa ia bantah.

"Um... Senra?"

Sadar dirinya terus melamun, Senra segera menggelengkan kepala. Setelah itu ia tersenyum pada Luz. "Bagus dipakai kamu, cocok banget" ia memuji.

Terlihat Luz berbinar. "Wah, yang benar? Baguslah!" katanya riang sambil mulai kembali meniti langkah. Senra menghela napas maklum sambil menggeleng sekali. Ia lalu menyusul langkah Luz.

"Ah, sekali-sekali aku ingin ditabok teman-teman sekelas," kata Senra yang membuat Luz bingung. "Eh? Kenapa?"

Terlihat senyum jahil di wajah Senra. "Karena pada tahu kamu ngga bisa on di grup, mereka jadi bahas di grup kelas."

"Apaan?"

Senra terkekeh, senyum lebar ia patri sempurna sebagai deklarasi kemenangan.

"Jangan kaget, ya. Nanti pas sampai di rumah, teman-teman sudah nungguin di rumahmu dengan pesta kejutan. Ada Pak Shoose, Pak Tenchou, sama Bu Lon juga, loh..."

Luz menatap datar kali ini. "Kamu... Pasti ditabok teman-teman sekelas."

-Fin-

Halo-halo~~
Ada yg kangen Kafka ngga nieh? Hehe...

Iya, ini Kafka up spesial birthday Luz hehehehe... (sebenernya udh jadi dari kemarin, tapi karena satu dan lain hal baru bisa update sekarang)

Untuk update biasa, Kafka masih belum tahu bisa mulai kapan, mengingat urusan irl Kafka sebenernya blom selesai:((

Kafka usahakan cepet deh ya:D

Oh iya, ada lagi nih. Jadi, dalam waktu dekat Kafka akan meluncurkan proyek mayor Kafka sama temen" Kafka nih

Nih dia proyeknya:

https://www.instagram.com/p/CC97Yd4D__P/?igshid=mlv1fnq16zv8

Aa, apa link-nya gabisa dibuka? 🤔🤔🤔
Kalau gitu, kunjungi akun IG kami di @project_satire.

Readers: "Yeu bangke lu Kaf book sendiri aja ditelantarin kok ya garap yg lain!!!"

Aduh ini Kafka jelasin di awal ya, proyek besar itu udh rencana dari lama. Konsepnya lebih mateng dan lebih dulu daripada book ini atau book Kafka yg lain malah.

Jadi ya, emg udah rencana dari jauh" hari kami bakalan rilis Juli 2020.

Mampir ya gaess😆😆😆 ceritanya gak kalah seru dengan book ini lhoo... Malah bisa dibilang, proyek itu adalah "cikal bakal" dari book ini.

(sedikit bocoran, mungkin kalian bakalan menemukan jawaban kenapa Kafka sering nulis genre aksi di proyek besar itu:))

Okay ini sebuah bonus dari Kafka

Ah yg ini udh diupload ke IG sih tapi yaudahlah:v

Maaf ya Kafka akhir" ini jarang update. Kafka usahakan segera deh ya, biar kalian ga kelamaan digantung mulu:"))

Makasih banget kalian udh pengertian sma Kafka.
Kafka sayang kalian 💕💕💕
Sampai jumpa di chapter selanjutnya, yaa😆😆😆

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro