1. Terhantam Kenyataan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jika ditanya hal yang bisa membuatnya bahagia, Bella akan menjawab tidur tanpa berpikir panjang. Gadis berusia dua puluh tahun itu memang suka tidur, tetapi tidak sesuka itu hingga bisa menghabiskan waktu seharian di atas kasur. Bella suka tidur dengan waktu yang cukup, lima hingga delapan jam sehari. Menurutnya, tidur adalah hal paling membahagiakan dan bisa membuatnya rileks.

Sepanjang hidupnya, Bella menghabiskan satu per empat waktunya untuk belajar, satu per empat lainnya untuk membaca buku dan sisanya untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan rumah tangga dan tidur.

Bella masih berpelukan dengan bantal kesayangan, ketika tubuhnya menolak untuk diajak tidur lebih lama. Gadis itu menyerah akan ingatan biologis tubuhnya. Akhirnya, ia bangkit dan mengikat rambutnya asal.

"Selamat pagi, Yah." Bella menyapa pria beruban yang sudah sibuk dengan koran dan secangkir kopi, meski matahari belum terbit.

"Pagi, anak kesayangan Ayah."

Gadis berambut panjang itu tertawa kecil. "Gimana nggak kesayangan? Aku anak Ayah satu-satunya."

Ayah melipat koran dan melepaskan kacamata yang sedari tadi ia kenakan. "Bella, kamu sendiri tahu alasannya."

Bella cengar-cengir. "Kalo Bunda masih ada, pasti aku punya adik. Gitu, kan?"

"Nah, itu kamu tahu." Ayah tersenyum, lalu mengambil cangkir dan menyesap kopi pelan.

Bella tahu betul, di balik senyum Ayah, ada sebuah luka yang tidak bisa diukur dalamnya dengan satuan apa pun. Pria beruban itu masih suka melukis wajah Bunda. Semua gambarnya menampilkan sosok wanita muda yang sama karena waktu seolah berhenti untuk Bunda. Wanita itu tidak menua. Wajah tanpa kerutan dan senyuman indah yang hampir setiap hari Bella lihat. Ingatan wajah itu, abadi hanya untuknya.

"Hari ini, Ayah ada kelas?"

Pria beruban itu mengangguk. "Dua kelas di lembaga dan tiga privat ke rumah. Tumben, kamu tanya-tanya."

Sejak kecil, Bella tahu kalau Ayah bekerja sebagai guru di beberapa lembaga. Lembaganya terus berubah seiring perpindahan rumah mereka, bahkan gadis itu tidak ingat nama lembaga tempat Ayah bekerja kini. Kebiasaan pindah rumah adalah salah satu alasan yang membuat Bella tidak punya teman. "Enggak apa-apa. Kalo kelasnya kebanyakan, aku bisa bantu. Semester ini, aku tinggal nyusun skripsi aja."

"Kamu, yakin?" Ayah tidak membuka korannya lagi. Kini pria beruban itu lebih tertarik pada putri semata wayangnya yang kelihatan serius.

Bella mengangguk. Tatapan matanya berubah sendu. "Aku nggak mau Ayah pingsan kayak kemarin."

Ayah tersenyum. "Ayah yang nggak yakin. Kamu fokus sama skripsimu aja. Urusan pekerjaan, biar Ayah yang tanggung jawab. Kamu siap-siap ke kampus, sana. Katanya, mau ketemu dosen pagi-pagi."

Gadis bermata besar itu mengerjap dan menepuk dahi. Ia bergegas untuk bersiap. Jarak kampus dengan rumahnya yang cukup jauh, membuatnya harus pergi lebih pagi dari mahasiswa kebanyakan.

Bella duduk di bus sambil melamun. Ia merasa mengambil andil paling besar dalam menghabiskan penghasilan Ayah. Uang kuliah yang baru dibayarkan adalah jumlah yang cukup besar untuk keluarga mereka yang super pas-pasan.

Bella tidak bisa mendapatkan beasiswa karena ia tidak aktif di organisasi apa pun. IPK sempurna miliknya seolah tidak punya kekuatan untuk membantunya mendapat beasiswa. Rektor Jatayu berpendapat, nilai baik tanpa kecerdasan sosial, sama dengan kura-kura dalam tempurung. Padahal, Bella sudah cukup muak dijulukii sebagai mahasiswa kupu-kupu. Harus berapa banyak hewan yang menjadi pembanding untuk dirinya?

"Tuh, Si Rubah udah dateng. Pasti mau ketemu Pak Sopar."

Bella mengabaikan kata-kata teman seangkatannya. Ah, mungkin tidak cocok disebut teman. Mereka hanya satu angkatan di prodi yang sama.

"Masih semester 7, udah mau seminar hasil aja. Penelitiannya ngapain aja, ya?"

Bella menghela napas. Ia sudah sering mendengar hal itu. Ketika nilainya sempurna, tidak ada yang memberinya selamat. Semua mata malah menyudutkannya dan menghakimi tanpa sebab. Ketika ia mulai berbicara pada orang lain, mereka pasti langsung menuduhnya macam-macam. Hal itu membuat Bella selalu lebih nyaman sendirian.

"Arabella, draft kamu sudah saya koreksi. Revisinya saya tunggu Senin depan. Kalau semua sudah sesuai, kamu bisa seminar hasil."

Bella bisa merasakan tatapan sinis dari berbagai penjuru. Tatapan tidak suka itu terasa menusuk. Gadis berbibir tebal itu mengangguk dan segera berlalu dari sana. Ia berjalan menuju sebuah pohon besar dekat kolam.

Konon katanya, pohon itu angker. Sering terdengar suara gadis menangis dari sana, tetapi itu lebih baik dibandingkan harus mendengar kata-kata menyakitkan dari orang lain. Memang benar, manusia itu lebih menyeramkan dari makhluk apa pun. Manusia bisa membunuh tanpa menyentuh.

Perhatian Bella tiba-tiba teralih pada tiga orang laki-laki yang berdiri tidak jauh dari tempatnya duduk. Seorang pria dengan pakaian berantakan, celana jeans sobek dan telinga penuh tindik membuat Bella penasaran. Setelah menyipitkan mata, ia sadar kalau laki-laki itu adalah Zian. Di sampingnya, ada seorang laki-laki berkacamata yang tetap diam meski Zian mencengkram kerah laki-laki lain yang ada di hadapannya.

"Gue udah bilang, setoran dua puluh ribu sehari itu wajib! Lo mau gue hajar atau bayar?"

Bella mendengkus begitu mendengar kalimat klise dari Zian. Ia tidak kenal mereka, tetapi ia tahu kalau mereka adalah Zian --cowok paling bermasalah di Jatayu, entah mengapa tidak kunjung di-drop out-- dan Alka --cowok berkaca mata yang selalu menempel pada Zian--.

Lelah dengan apa yang ia lihat, Bella akhirnya beranjak. Ia bangkit dan menepuk celananya pelan. Tanpa terduga, satu seruan membuat gadis itu membeku.

"Oy."

Dalam hati Bella berharap kalau panggilan itu tidak ditujukan untuknya.

"Oy, baju kuning. Lo denger nggak, sih?"

Seruan Zian kali ini, lebih keras dari sebelumnya. Bella menguatkan diri untuk berbalik tanpa kelihatan terintimidasi. Ia menatap Zian tepat di matanya.

Pria berbibir tipis itu menyeringai. Seringai yang mampu membuat siapa pun yang melihat, bergidik ngeri. Keberadaan tindik yang memenuhi telinga dan ujung alisnya mampu membuat pertahanan Bella goyah.

"Oh, nggak budeg ternyata." Zian tertawa kecil.

Bella mengingsut dan mundur dua langkah. Namun, ia tetap mempertahankan wajah dinginnya.

"Lo, Si Uler, ya?" Zian bertanya seraya melangkah mendekat. Ia kelihatan tidak peduli pada laki-laki yang ia ancam sebelumnya.

Dalam hati, Bella ingin mengumpat. Setelah kura-kura, kupu-kupu, rubah, kini ia disebut ular. Gadis bermata besar itu melotot. Tidak peduli yang ada di hadapannya kini adalah Zian, pembuat onar nomor satu di Jatayu.

"Lo punya dua puluh ribu, nggak? Bagi, dong! Pengen makan bakso, nih." Tidak lupa Zian menutup kalimatnya dengan seringai menyeramkan.

Rasanya kepala Bella mendidih. Ia sudah mengepalkan tangan kuat-kuat. Gadis itu mengentakkan kaki dan berlalu begitu saja dari sana.

"Wah, nggak sopan! Gue udah baik-baik, ya, karena lo cewek! Heh! Uler!"

Bella tidak peduli pada seruan heboh Zian yang memanggilnya. Ia tidak mau berurusan dengan berandalan tidak jelas seperti laki-laki itu.


Aloha!
Seneng banget bisa ketemu lagi.
Kali ini kita ketemu sama Bella, Zian dan Alka, yaa.

Semoga suka.

Terima kasih sudah baca dan berkenan vote.

Poker face Bella

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro