2. Murid Paling Menyusahkan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah diabaikan oleh Cewek Ular yang terkenal seantero kampus, Zian jadi tidak semangat untuk melanjutkan kegiatannya menodong mahasiswa lain. Ia tetap berdiri di tempat itu dan menatap punggung Bella dengan sengit. Tatapan penuh dendam itu perlahan memudar ketika Alka menepuk pundaknya.

"Jangan berurusan sama cewek itu." Alka melepas kacamatanya, lalu benda tersebut digantung di saku kemeja.

"Gue enggak pengen berurusan sama dia, tapi dia cari gara-gara sama gue!" Laki-laki berpotongan rambut cepak itu berseru penuh emosi.

"Dia bukan cewek biasa." Melihat tatapan penuh emosi dari Zian membuat pria yang tidak lagi menggunakan kacamata itu menarik tangannya cepat.

Zian menyeringai. Ia menggeser tubuhnya agar berhadapan dengan Alka. "Jangan bilang, lo suka sama dia?"

Alka cukup terkejut mendengar pernyataan sahabatnya, tetapi ia tidak menunjukkan perubahan ekspresi yang signifikan. Laki-laki berambut cukup panjang itu malah menyibak rambut. "Dari sekian banyak cewek yang gue kenal, Arabella adalah orang yang paling sedikit mengeluarkan suara. Ngomongnya selalu kelewat irit. Makanya lebih baik lo nggak berurusan sama dia, katanya orang pendiam itu jauh lebih nyeremin daripada orang yang banyak ngomong."

Bukannya fokus pada ceramah Alka, pria bermata sipit itu malah tertawa kecil. "Gue juga nggak mau berurusan sama cewek aneh kayak gitu."

"Kita ada kelas lima belas menit lagi. Kalo mau makan bakso dulu, lo harus makan buru-buru."

Zian mendengkus. Ia malah melepaskan tas ranselnya. Kemudian ia melemparkan benda itu ke rumput. Gerakannya itu disusul dengan sebuah jaket yang melayang. Zian menggunakan jaket tersebut untuk alasnya dan tas ranselnya sebagai bantal. Laki-laki yang mengenakan kaos rombeng dan celana sobek-sobek itu malah tertidur dengan posisi terlentang.

"Zi, kita ada kuliah 15 menit lagi. Lo nggak ada waktu buat tidur di sini." Alka berbicara setelah menghela napas panjang.

"Gue nggak mood kuliah, mending lo aja yang berangkat kuliah. Gue mau tidur di sini."

Alka diam di tempatnya. Ia tidak bicara hingga 10 menit berlalu. “Zi, kalau lo nggak mau dapat E di mata kuliah ini, gue saranin lo harus masuk kelas sekarang.”

“Persetan dengan semua nilai itu! Gue enggak peduli. Mending lo aja yang kuliah, gue nggak minat.”

Alka tidak lagi mendebat. Laki-laki berambut cukup panjang itu malah menyibak rambutnya. Kacamata yang semula berada di saku, kembali ia kenakan. Tanpa banyak bicara, Alka duduk di samping Zian. Diam di sana, bersama sahabatnya dan melewatkan satu kelas penting.

Setelah petang tiba, barulah keduanya beranjak dari bawah pohon besar itu. Zian bangkit lebih dulu. Ia mengulurkan tangannya dan membantu Alka berdiri.

"Kenapa lo malah duduk di sini? Mau bolos kuliah? Padahal lo bisa aja ninggalin gue dan masuk kelas. Gue tau, lo punya minat untuk kuliah."

Bukannya menjawab, Alka malah tersenyum. Laki-laki berkulit pucat itu membersihkan celananya, kemudian merogoh sebuah kunci dari saku. "Tugas gue adalah selalu mendampingi lo. Kuliah bukan bagian dari tugas gue."

Zian menyeringai. Jenis seringainya berbeda dengan seringai yang biasa ia tunjukkan ketika mengancam orang lain. "Harusnya lo gue minta purnatugas sebelum bokap pergi."

Alka tertawa kecil. Ia berjalan mendahului Zian sambil memutar kunci yang ada di tangannya. "Kayaknya gue nggak akan pernah purnatugas. Soalnya lo nggak ada tanda-tanda buat bertobat."

"Istilah yang lo pakai nyebelin banget, tau!" Meski nada bicara Zian terdengar kasar, tetapi laki-laki itu bicara sambil merangkul Alka tanpa tujuan untuk mengintimidasi.

Zian dan Alka tiba di rumah setelah menempuh setengah jam perjalanan. Dua laki-laki itu tiba di depan gerbang tepat setelah matahari tenggelam. Seorang pria dengan rambut dipenuhi uban, sudah berdiri di depan gerbang terkunci itu.

“Ngapain, sih, itu orang masih aja dateng ke sini? Enggak capek apa gue usir selama ini?” Zian menggerutu sambil membuka gerbang.

“Selamat sore, Mas Zian. Hari ini jadwal belajar bersama saya, ya.” Pria tersebut berbicara dengan wajah semringah.

Zian mengabaikan kata-kata pria tersebut dan melenggang masuk ke rumah begitu saja.

“Maaf, Pak. Sama seperti sebelumnya, Zian nggak berminat untuk ikut tutor sama Bapak. Jadi, mungkin Bapak bisa pulang ke rumah dan nggak perlu nunggu di sini sampai waktu belajarnya Zian selesai.”

Pria beruban itu mengangguk mencoba untuk memahami kalimat yang dilontarkan oleh pemuda yang ada di depannya.

"Saya tahu, Bapak sudah dibayar oleh ayahnya Zian, tapi saya rasa Bapak nggak perlu menghabiskan waktu dengan duduk di teras. Zian nggak akan mau belajar, bahkan hari ini dia melewatkan semua kelas kuliahnya.” Alka menghela napas lelah.

“Saya hanya menjalankan kewajiban saya, Mas. Saya sudah dibayar oleh ayahnya Mas Zian untuk jadi tutor selama satu tahun ke depan. Nggak mungkin saya meninggalkan tugas, padahal bayarannya sudah saya terima penuh.” Pria paruh baya itu berbicara dengan sopan sambil mengangguk beberapa kali.

Alka paham betul situasinya. Dia tahu kalau Zian memang tidak memiliki semangat belajar, tetapi ia lebih suka Zian melewatkan sesi tutornya dengan damai dibanding harus melihat laki-laki itu memaki-maki tutor yang usianya jauh lebih tua dari mereka. "Mending Bapak pulang aja, ya. Kalau saya undang bapak masuk, Zian pasti bakal ngamuk."

Pria yang mengenakan kemeja putih yang sudah berubah menjadi kekuningan karena termakan usia itu akhirnya mengembuskan napas pasrah. "Saya akan tetap tunggu di sini, Mas. Setidaknya sampai jam kelasnya Mas Zian berakhir. Saya nggak mungkin pergi dari sini, padahal sudah dibayar."

Alka kehabisan kata-kata. Ia turun dari motor yang dikendarai, setelah memarkirkannya di garasi. Alka melewati pria paruh baya yang tetap kekeh untuk berada di sana, ia mengangguk sebagai tanda hormat, kemudian berlalu masuk ke dalam rumah.

Hujan turun ketika Zian mulai memainkan gitarnya. Alka setia duduk di ruangan yang sama sambil mengawasi Zian dengan melirik sesekali.

Setelah menyelesaikan satu lagu, laki-laki bertindik itu melangkah ke arah jendela. Alka menatap pergerakan Zian dengan seksama, seolah tidak mau kehilangan setiap detik momen pergerakan laki-laki itu.

"Gila, masih aja nunggu tuh orang. Lo nggak usir apa? Gue lagi males ngamuk. Capek." Zian berbicara sambil menyibak tirai yang menutupi jendela.

Alka segera beranjak dari tempatnya. Ia sempat tertegun melihat pria paruh baya yang berdiri di depan rumah sambil berusaha menghangatkan tubuh dengan menggosok tangan dan memeluk dirinya sendiri. Kemeja putih tipis yang membalut tubuhnya kelihatan tidak membantu sama sekali.

"Zi, boleh gue ajak masuk? Di luar pasti dingin banget." Alka mulai khawatir karena hujan semakin lebat.

"Nggak. Apa-apaan! Suruh siapa dia ngotot nunggu sampe sesi selesai? Tinggal pulang apa susahnya, sih?" Zian melempar tirai yang sebelumnya ia genggam.

"Beliau cuma melaksanakan tugas. Pak Jaya orang baik, nggak sepatutnya lo jahatin gini. Boleh gue ajak masuk, ya?" Alka berbicara dengan nada sehalus mungkin, ia mencoba membujuk Zian dengan segala kemampuan yang ia punya.

Zian tertawa mengejek. Kemudian ia berbicara dengan nada menusuk. "Oh, jadi lo ngatain gue penjahat? Nggak sekalian lo bilang ke semua orang kalau gue anak penjahat?"

Alka terdiam. Ia langsung mengunci mulutnya rapat. Jika Zian menyinggung masalah itu, berarti ia sudah sangat marah.

Aloha!
Hari ini ngaret pake banget updatenya.

Nggak apa-apa, ya. Yang penting ketemu Zian sama Alka.

Selain punya banyak tindik, Zian hobi pake baju gembel.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro