13. Pandangan Positif

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bella berlari setelah turun dari angkutan umum. Ia sudah terlambat untuk sesi mengajarnya di rumah Zian. Mengurus berkas untuk seminar hasil ternyata tidak semudah yang ia bayangkan. Ia harus menunggu banyak tanda tangan dan malah berakhir pulang terlambat.

Napas yang terengah tidak membuat Bella melambatkan langkahnya. Ia terus berlari hingga tiba di depan rumah Zian. Gadis berponi itu memegang lutut setelah berhasil mencapai gerbang. Ia berusaha mengatur napasnya dan membuka pintu gerbang dengan gerakan pelan.

"Oh, gue kira lo nggak dateng." Bella disambut Alka yang tengah duduk di teras sambil membaca buku.

Gadis berkemeja putih itu hampir melompat dari tempatnya karena terkejut. Bella tidak suka terlambat, apalagi jika berhubungan dengan sesuatu yang profesional. Mengajar Zian adalah pekerjaan pertamanya karena Ayah tidak pernah mengizinkan untuk bekerja paruh waktu.

Bukannya merasa bersalah, Alka malah tersenyum. Laki-laki berkacamata itu melepaskan kacamatanya dan melangkah mendekat. "Zian udah bosen nunggu. Anaknya lagi di halaman belakang. Lo ke ruang belajar duluan aja, gue panggil Zian dulu."

"Oke." Bella berjalan menuju ruang belajar dengan langkah pelan. Begitu tiba di ruang belajar, ia berjalan-jalan untuk melihat buku yang ada di sana. Namun, sebuah tawa menarik perhatiannya. Akhirnya ia mendekat ke jendela besar yang ada di ruang belajar.

Mata besar Bella membelalak ketika melihat Zian tertawa lepas. Tanpa sadar, ujung bibir Bella tertarik dan membentuk sebuah senyuman tipis. Ia tidak pernah tahu kalau preman kampus yang selalu terlihat menyeramkan itu bisa tertawa selepas itu. Bella tidak pernah menyangka kalau ia akan melihat sisi lain dari Zian, preman kampus yang namanya terkenal seantero Jatayu.

Bella bertahan di sana hingga Zian dan Alka tidak lagi terlihat. Ia buru-buru kembali ke tempat duduknya begitu mendengar suara dua laki-laki yang semakin dekat.

"Bel, gue titip Zian. Lagi rada jinak sih, kayaknya." Alka tertawa kecil.

Zian menepuk pundak Alka dan membiarkan laki-laki berkacamata itu pergi setelah menyenggol lengannya.

"Hai, Bella. Gue kira lo izin buat selamanya. Seneng banget lo dateng lagi."

"Bella?" Gadis berkemeja putih itu mengerutkan dahi.

Zian tersenyum. Jenis senyum yang berbeda dengan seringai yang biasa Bella lihat. "Nama lo masih Bella, kan? Belom ganti?"

Bella hanya bisa mengerjap. "Belom, tapi tumben banget lo panggil nama gue."

"Emang biasanya?" Zian bertanya polos, tetapi sedetik kemudian ia sadar. "Ah, maaf untuk panggilan yang biasa gue pake buat lo."

Dalam hati, Bella bertanya-tanya. Sejak kapan Zian terlihat seramah ini? Namun, ia berharap ini akan menjadi awal baru dari hubungan mereka. Setidaknya, mood Zian terlihat bagus.

"Enggak apa-apa. Panggilan gue nggak itu doang, tau. Ada Cewek Ular, Cewek Rubah, Kura-kura sama Kupu-kupu, tapi gue yakin Cewek Ular jadi yang paling populer. Bahkan preman kampus kayak lo aja bisa tahu, kadang gue jadi ngerasa terkenal. Walau gue nggak suka seterkenal itu."

"Sebentar, lo panggil gue apa, tadi?" Zian memincingkan mata.

"Apa?" Bella merasa tidak memanggil Zian.

Zian menghela napas dan melipat tangan di dada. "Preman kampus?"

"Ah." Bella langsung menyilangkan tangan di depan dada. "Enggak gitu maksud gue."

"Terus?"

Kalau Bella tahu percakapan Zian dan Alka kemarin malam, ia pasti akan sadar kalau kata tersebut sering disebutkan oleh Alka yang menanti kelanjutan cerita.

Bella jadi salah tingkah. Ia sampai tidak tahu harus melihat ke mana.

"Gue tahu, kok. Gue sering dikatain preman kampus, mungkin karena penampilan gue yang begini."

Merasa Zian tahu diri, Bella jadi ingin melewati batas. "Ya, lo ke kampus kayak mau ke pasar. Pertama liat lo, gue kira lo preman pasar yang nyasar ke kampus. Aneh banget. Bisa-bisanya mahasiswa punya tindik sebanyak lo. Tindik lo ada berapa?"

Zian tertawa. "Nggak pernah ngitung. Terus?"

"Lo suka banget pakai baju yang warnanya udah luntur banget, bahkan ada yang sobek. Sama celana lo. Gue nggak pernah liat lo pakai celana yang nggak sobek-sobek. Atau lo emang nggak punya celana yang nggak sobek? Eh, enggak mungkin sih, lo kan anak orang kaya."

"Itu namanya mode, tau." Zian menjawab masih dengan senyum.

"Oh, satu lagi. Gue sempet rada takut waktu lihat tato lo."

Zian menyibak lengan kausnya. "Ini?"

Bella mengangguk.

"Alka juga punya, kali. Tato kami sama. Lo nggak pernah liat karena dia doyan pake baju panjang."

Bella menganga. Ia tidak menyangka kalau Alka yang kelihatan seperti anak baik-baik itu punya tato yang sama dengan preman kampus di hadapannya.

"Gue nggak nyangka kalo lo bisa secerewet ini. Gue kira lo pendiem parah." Laki-laki berambut cepak itu tertawa kecil.

"Semua orang pasti punya sisi yang begini. Lo beruntung karena bisa liat gue ngoceh sepanjang tadi. Kayaknya udah lama banget gue nggak ngobrol sama temen."

"Teman?" Zian memiringkan kepalanya.

"Gue nggak punya teman. Mungkin gue bakal cerewet kalo punya teman yang bisa diajak ngobrol."

Zian tersenyum "Lo bisa ngobrol sama gue."

Bella menyambut kalimat Zian dengan senyum. Kemudian ia mengeluarkan kertas materi yang sudah disiapkan. Dalam waktu dekat, Zian akan menghadapi ujian tengah semester. Jadi, Bella harus berusaha lebih keras untuk mengajar laki-laki itu.

Baru juga gadis berambut panjang itu menulis di papan, Zian tiba-tiba bertanya, "Bel, lo nggak risih dipanggil pake nama binatang gitu, sama anak-anak?"

Bella berbalik. "Risih, tapi gue nggak bisa nutup mulut semua orang, kan? Lagian keberadaan gue bukan untuk buat mereka bahagia. Gue ada, untuk kebahagiaan gue sendiri. Kalo nggak dengerin mereka bikin gue bahagia, buat apa mikirin hal yang nggak bikin gue bahagia?"

"Semudah itu?" Zian bergumam pelan. Sangat pelan hingga Bella tidak bisa mendengarnya.

"Oke, materi kali ini ...."

"Bella, lo nggak marah kalo gue panggil Cewek Uler?"

"Kalo lo panggil gue Cewek Uler bukan kerena mengganggap gue licik, nggak apa-apa."

Zian menggeleng. "Nama Bella lebih cantik daripada Cewek Uler dan lo nggak licik. Beberapa kali ketemu, buat gue mulai kenal lo."

Bella batal melanjutkan materinya, ia malah meraih paper bag yang ada di bawah meja. "Makasih buat kemejanya."

Zian menerima paper bag itu dan mengintip ke dalamnya. "Ada suratnya, surat cinta bukan?"

"Heh! Jangan halu. Itu cuma kartu ucapan terima kasih. Gue kira, lo bakal marah lagi hari ini, jadi gue berniat nitip itu ke Alka. Makanya dikasih kartu."

Zian tersenyum lebar. "Bau bajunya jadi nggak familer, tapi nggak apa-apa. Makasih udah dicuciin."

"Zi, kan, kita udah temenan, gue boleh minta nomor hp lo?" Bella menyodorkan ponselnya yang baru ia keluarkan dari saku.

Bulu kuduk Zian sampai berdiri karena pertanyaan Bella. Zian hampir lupa cara bernapas. Jantungnya berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Kalau tidak buru-buru menguasai diri, mungkin Zian bisa pingsan di tempat.

"Lo nggak mau ngasih nomor hp lo? Gue nggak punya niat terselubung, kok. Biar lebih mudah aja, siapa tau ada yang mau lo tanya, gitu."

Zian buru-buru menyambar ponsel Bella yang ada di depannya. Ia langsung mengetikkan nomor dan namanya di sana. Kemudian, ia menyerahkan ponsel itu kembali pada pemiliknya.

"Apaan, Zian Preman Kampus?" Bella tertawa.

Tawanya menular pada Zian. "Biar lo inget terus."

Pintu ruang belajar dibuka tiba-tiba. Laki-laki berkacamata muncul di sana. Sebuah senyum lebar menghiasi wajahnya. "Wah, ada apa, nih? Kok kalian ketawa nggak ngajak-ngajak?"


Aloha!

Zian Bella lagi akur, gaes.

Terima kasih sudah membaca dan memberi vote.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro