14. Apa begitu terlihat?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Waktu kecil, Bella pernah menonton sinetron yang menunjukkan adegan penculikan. Bella menontonnya tanpa menampilkan ekspresi yang jelas. Ia malah sibuk mengunyah kerupuk. Namun, diam-diam ia menyimpulkan sesuatu. Tampilan penculik yang ada di sinetron itu jadi diasosiasikan dengan ciri-ciri orang jahat menurutnya. 

Rambut cepak yang ditutupi kupluk, tindik di telinga dan tato yang menghiasi lengan adalah deskripsi singkat dari preman yang ada di televisi. Kadang ditambah proporsi tubuh kelewat kekar. Secara tidak sadar, ia jadi memandang orang yang berpenampilan seperti itu secara negatif. Hal ini juga yang mempengaruhi cara pandang Bella pada Zian.

Penampilan Zian mirip seperti preman yang melakukan penculikan di sinetron yang pernah ia tonton. Bedanya, laki-laki berambut cepak itu tidak suka memakai kupluk. Kalau Zian suka memakai kupluk, pasti Bella langsung kabur dan tidak mau berurusan dengan laki-laki itu. Namun, setelah mengenal Zian hampir sebulan lamanya, Bella sadar, menilai orang lain dari penampilan itu sangat salah. 

Meski penampakannya bisa bersaing dengan preman yang melakukan kejahatan di sinetron, Bella tahu kalau Zian punya sisi lain yang sangat ramah. Apalagi kini keduanya sudah berteman, Zian jadi lebih ramah dari sebelumnya. Tindik dan tato di tubuh laki-laki itu tidak kelihatan menakutkan sama sekali. Bella jadi antusias untuk bertemu Zian setiap harinya.

"Tumben cepet banget datengnya." Seperti biasa, Alka membuka pintu dengan cepat. Bella bisa melihat sebuah buku ada di tangan laki-laki berkacamata itu. 

Bella melihat jam di layar ponselnya dan mendapati kalau ia datang setengah jam lebih awal. Kepalanya berusaha mencari alasan sesegera mungkin. "Soalnya minggu ini Zian ujian. Mungkin butuh lebih banyak waktu buat belajar."

"Ziannya lagi keluar, beli sesuatu. Lo mau nunggu di ruang belajar atau mau liat-liat rumah ini?" Alka menawarkan, seolah tahu kalau Bella benar-benar penasaran dengan seisi rumah super besar itu.

"Emang boleh?" 

"Gue udah nawarin, masa nggak boleh?" Alka tertawa kecil. Kemudian ia melangkah lebih dulu.

"Kayak yang lo tahu, ini ruang tamu." Alka berbicara sambil mengarahkan tangannya ke sofa yang ada di ruangan itu. "Ya, dalam setengah tahun terakhir kami belom punya tamu, sih."

Bella tertawa setelah melihat Alka menggaruk tengkuknya. Kelihatan bingung.

"Oke, lanjut ke ruang tengah. Ini ruangan paling besar di rumah ini, kalo lo lihat ke jendela besar di sana, view-nya langsung nunjukin halaman samping. Itu salah satu spot favorit gue. Ini piano kesayangan Zian. Oh, iya. Lo bisa dansa?"

Dahi Bella berkerut. "Kenapa tiba-tiba nanya?"

"Gue pengen banget main piano buat Zian, ada satu lagu yang udah selesai gue pelajarin. Kayaknya asik aja gitu, kalo lo bisa dansa, kalian bisa nikmatin musik gue sambil dansa."

Tanpa sadar, semu merah merambati wajah Bella. Gadis itu tertunduk malu. 

Alka sadar kalau Bella tengah malu, akhirnya ia buru-buru melanjutkan. "Lo bisa pikir-pikir dulu. Siapa tahu, nanti tiba-tiba bisa dansa, kan?"

Mereka kembali berjalan ke arah belakang. "Ini ruang makan. Agak aneh, ya? Kami emang tinggal berdua, tapi meja makannya gede banget."

"Gue sering liat yang begini di TV. Bukannya orang kaya emang gitu? Beli banyak hal yang sebenarnya nggak dibutuhin." 

Ah, gadis ini memang berbeda. Alka bersuara dalam hati. Ia sudah menyadari perubahan pada Zian. Laki-laki bertindik itu mulai banyak belajar, sesekali ia juga bertanya pada Alka yang sebenarnya tidak begitu pandai. Namun, melihat usaha Zian, Alka jadi terharu. Ia merasa sudah melakukan pilihan yang tepat dengan menjadikan Bella sebagai tutor sahabatnya.

"Oke, lanjut ke dapur." Alka masih memimpin langkah. "Ini dapurnya. Agak klasik, tapi gue suka."

Bella sempat tercengang. Dapur yang ada di rumah ini, berukuran lima kali lipat dari dapur yang ada di rumahnya. Belum lagi kitchen set yang kelihatan mewah.

"Klasik apanya? Kompornya udah pake kompor tanam gitu." Bella jadi sensi.

Alka hanya bisa tertawa. Laki-laki berkacamata itu membuka pintu belakang dan membiarkan udara luar masuk. "Ini spot favorit gue sama Zian. Nggak terlalu besar memang, tapi cukup buat kejer-kejeran sama Zian sampe capek."

Lama-lama Bella jadi kesal pada Alka. Laki-laki berkacamata itu menggunakan kata 'tidak terlalu besar' pada halaman yang luasnya hampir sama dengan lapangan sepak bola yang ada di Jatayu.

"Kalo ruangan yang di sana, lo sudah tahu, kan? Ruang belajar. Lo mau liat-liat ke atas atau mau langsung ke ruang belajar aja?"

Bella melihat tangga yang meliuk. Ia benar-benar penasaran dengan lantai dua, tetapi ia menahan rasa penasarannya demi kesopanan.

"Di atas cuma ada tiga kamar, sama satu ruang terbuka. Kamar gue, kamar Zian sama satu kamar yang tadinya dipake sama Pak Dwipiga. Kalo asisten rumah tangga, dulu tinggalnya di pavilliun belakang." Alka menjelaskan karena Bella kelihatan enggan naik ke lantai dua.

Bella masih menimbang-nimbang untuk bertanya sebenarnya apa hubungan Alka dan Zian, tetapi lagi-lagi ia menahan diri demi kesopanan.

"Kalo ke atas, lo juga nggak akan bisa liat kamar Zian atau kamar Pak Dwipiga soalnya Zian sensi banget sama hal-hal yang pribadi. Bahkan gue, yang udah hampir dua puluh tahun kenal dia, nggak bisa masuk ke kamarnya sembarangan."

Bella mengangguk, tidak berniat menanggapi.

Suara motor matik yang memasuki halaman membuat Alka dan Bella bergerak ke pintu depan.

"Udah?" Alka bertanya.

"Udah gue taro di garasi. Rara manja banget, deh. Harus banget yang merek itu. Capek gue keliling-keliling." Zian melepaskan helm dan turun dari motor.

"Makanya jangan bucin!" Alka meledek, lalu tertawa.

"Ye, ngaca. Lo juga bucin."

Bella mendengar percakapan itu dari balik pintu. Ia bertanya-tanya, siapa Rara? Apa status pertemanannya dengan Zian tidak bisa membuat laki-laki itu bercerita tentang kisah romansanya?

"Bella udah dateng, nih." Alka membuka pintu lebih lebar. Hal itu membuat Bella tersenyum canggung.

"Loh, udah sampe aja. Kirain bakalan telat kayak kemarin."

"Gue yakin, lo pasti lagi ngeledek."

Zian tertawa. "Itu tau."

Alka langsung menyadari sesuatu setelah melihat senyum dari dua orang yang ada di hadapannya. Percakapan sesederhana itu mampu membuat keduanya tersenyum sangat lebar.

"Gue ganti baju dulu." Zian berbicara pada Bella. "Lo duluan aja ke ruang belajar."

Bella menurut. Ia berbalik dan langsung menuju ke ruang belajar.

Alka tidak bisa diam di tempat, ia membuntuti Zian. Setelah memastikan kalau ruang belajar sudah ditutup, barulah laki-laki berkacamata itu bersuara.

"Zi, lo suka sama Bella?"

Satu pertanyaan itu berhasil membuat Zian berhenti dan membeku di tempat.

"Ngaku aja, gue pasti bantuin. Siapa tahu Bella bisa bantu lo bertobat."

Zian tidak fokus pada kata-kata Alka, pertanyaan sebelumnya masih terngiang di telinganya. "Emang, sekeliatan itu, ya?"

Aloha!

#Alka bukan orang ketiga 🤣

Terima kasih sudah membaca dan berkenan memberi vote.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro