24. Calon Pacar?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bella baru tiba di rumah ketika ia melihat Ayah duduk di ruang tamu. Pria beruban itu duduk bersandar dan memeluk lukisan yang beberapa bulan lalu Bella lihat baru dilukis. Tatapan Bella beralih pada sepatu Ayah yang ada di rak sepatu. Ada tanah merah yang tersisa di sepatu Ayah. Bella tersenyum. Pasti Ayah baru pulang dari makam Bunda. 

Gadis yang masih mengenakan almamater itu duduk di samping Ayah dan mengamati wajah yang dihiasi keriput, tetapi tidak mengurangi ketampanannya. Ayah menggeliat dan mengedip pelan. 

"Bella, udah pulang?" 

Refleks, Bella tersenyum. "Ayah dari tempat Bunda?" 

Ayah tersenyum dan meletakkan lukisan yang ia peluk ke meja. "Gimana sidangnya?"

"Lancar, Yah." Bella memeluk Ayah singkat. "Aku udah lulus."

Bella bisa melihat kalau Ayah meneteskan mata karena terharu. Ayah menggenggam kedua tangan putrinya dan menatapnya bangga.

"Ayah mau sampaikan sesuatu." Ayah melepaskan genggaman tangannya dan menatap Bella dalam. "Kita pindah dari rumah ini, ya?" 

Bella mengangguk. "Ayah, Bella udah diterima di perusahaan yang wawancara dua minggu lalu. Tempatnya di luar kota. Jadi, aku pasti bawa Ayah. Kalo nanti aku udah dapat gaji, Ayah nggak perlu ambil kelas banyak-banyak lagi."

Bella masih tidak tahu alasan Ayah terus membuat mereka pindah rumah setiap tahunnya. Yang ia tahu, Ayah punya satu rumah atas namanya dan rumah itu disewakan selama dua puluh tahun terakhir, sedangkan mereka harus terus berpindah setiap tahunnya. 

"Hari ini, dua puluh tahun lalu. Bunda kamu pergi." Ayah berbicara dengan suara yang bergetar.

Bella sampai lupa kalau hari ini adalah hari peringatan meninggalnya Bunda. Ia terlalu fokus pada skripsi dan pelajarannya selama tiga hari terakhir, bahkan ia sudah tidak mengajar tiga hari. Untungnya Zian mengerti dan memberinya izin dengan mudah.

"Ayah nggak bisa tinggal lama di satu tempat karena Ayah takut, kalau Ayah tinggal di tempat yang sama lebih dari dua tahun, Ayah mungkin akan kehilangan kamu." Tubuh Ayah mulai gemetar. Air mata yang meluncur semakin deras. 

Bella menggenggam tangan pria yang paling ia cintai di dunia. Gadis beralmamater itu menguatkan genggamannya ketika Ayah menunduk semakin dalam. "Yah, nggak usah takut. Aku di sini. Aku masih di sini sama Ayah." 

Akhirnya Bella tahu, Ayahnya memiliki ketakutan untuk tinggal di tempat yang sama. Jadi, itulah alasan mereka selalu berpindah tempat setiap tahunnya.

Setelah Ayah tenang, barulah Bella mengganti pakaiannya dan bersiap berangkat ke rumah Zian. "Aku berangkat, ya, Yah."

"Hati-hati. Jangan sampai kamu luka."

Bella tertawa. "Ayah, udah berapa kali aku bilang, Zian itu baik. Ayah nggak perlu khawatir."

Ayah mendengkus. "Bella, semua orang itu baik, kalau ada maunya. Ayah nggak suka kamu terlalu dekat dengan Mas Zian."

"Iya, Ayah. Aku bakalan hati-hati."

Di perjalanan, Bella tidak banyak berpikir. Ia senang karena telah lulus dan mendapatkan pekerjaan. Namun, ketika gadis berambut panjang itu turun dari angkot, ia menerima email dari perusahaan yang ia lamar. Surat pemanggilan kerjanya sudah keluar. Ia diminta masuk mulai tanggal 15 yang artinya hanya lima hari dari sekarang.

Tiba-tiba kepala Bella pusing. Sakit kepala menyerangnya dalam sekali hantam. Ia tidak menduga kalau pemanggilan kerjanya akan secepat itu, padahal ia masih ingin menyelesaikan tutorialnya dengan Zian. Kini Bella tengah menimbang-nimbang cara untuk mengatakan hal ini pada laki-laki bertindik itu.

Kedatangan Bella disambut dengan tampilan tidak biasa dari Alka yang tengah mengenakan apron. "Khusus hari ini, jam tutorialnya diganti jadi acara masak."

Zian muncul dengan apron yang sudah siap dipasang pada Bella. Gadis berponi itu menurut ketika Zian mengalungkan apron dan mengikat bagian belakangnya untuk Bella.

Gadis itu masih bengong ketika Zian mendorongnya menuju dapur. 

"Dalam rangka merayakan kelulusan lo, gue sama Alka bakalan masak buat lo sebagai hadiah." Laki-laki bertato itu berseru penuh kebanggaan.

"Gue udah bilang, kan? Gue nggak akan lupa sama hadiah kelulusan lo." Alka melanjutkan.

Bella tertawa kecil. Ia meletakkan tasnya di meja yang menghadap dapur. "Ceritanya gue jadi tukang cicip, nih?" 

"Tepat sekali." Zian tersenyum lebar. "Sedikit warning, jangan jatuh cinta sama gue. Soalnya, gue seksi kalo masak."

Tawa Bella semakin kencang. "Idih, siapa yang bilang?"

"Alka." Zian malah cengar-cengir. 

Laki-laki berkacamata itu menggeleng cepat dan segera memukul lengan Zian.

"Kata Rara, deh, kayaknya." Zian langsung merevisi kalimatnya setelah dipukul oleh Alka.

Canda tawa itu berlangsung cukup lama. Beberapa saat setelahnya, wajah kedua kontestan yang ada di hadapan Bella langsung berubah serius. Keduanya sibuk dengan urusan masing-masing. Zian dengan sayuran dan Alka dengan adonan.

Zian mengubah posisinya. Sebelumnya, ia menghadap Bella sambil memotong sayuran. Kini ia tengah sibuk menghadap kompor. 

Gadis berkaus kuning itu sempat kecewa ketika Zian berbalik dan ia hanya bisa melihat punggungnya. Namun, belum juga lima detik, ia sudah tersenyum senang karena Zian berbalik dan tersenyum. Zian menggeser posisinya menjadi menyamping, sehingga Bella bisa melihatnya memasak. Hal itu membuat semua fokus Bella tersedot ke satu sisi. Matanya terkunci pada Zian dan hampir mangabaikan Alka kalau saja laki-laki berkacamata itu tidak menyerukan protes. 

"Silakan, dinikmati." Alka meletakkan sepotong pizza di piring yang ada di hadapan Bella. 

Gadis itu menggigit ragu, tetapi matanya langsung membelalak ketika ia mulai merasakan masakan Alka. "Enak banget. Lo bisa buat usaha pizza, deh, kayaknya. Gue suka banget."

Mendengar pujian Bella pada makanan Alka membuat Zian cemberut. Ia meletakkan capcai di sebuah piring kecil dan menyodorkannya pada Bella. "Mau pake nasi nggak?"

Bella tertawa karena pertanyaan Zian. "Indonesia banget, ya. Pake nasi."

Bibir Zian semakin maju karena cemberutnya semakin parah. "Gue serius. Nggak bercanda."

Bella mengambil satu sendok dan ketika ia mengunyah, Zian menelan salivanya beberapa kali. Ia gugup. Tidak yakin kalau masakannya akan sesuai dengan selera gadis itu.

"Enak banget." Bella berseru kagum. "Kalian belajar masak dari mana, sih? Kok jago banget? Beneran, masakan kalian enak banget."

Zian mengembuskan napas lega, tetapi jiwa kompetitifnya mulai muncul. "Jadi siapa yang menang?"

Bella berdecak. "Coba aja lo kompetitif sama nilai. Pasti rantai karbon nggak bakalan berjejer di transkrip lo."

Kata-kata Bella mampu mambuat Alka tertawa sampai sakit perut.

"Dua-duanya enak. Gue suka semua."

Zian mendengkus. "Pilih satu aja apa susahnya, sih?"

Alka langsung memberi kode pada Bella. Ia mengedipkan mata dan menunjuk Zian diam-diam. Untungnya, Bella langsung mengerti akan semua kode yang dilakukan Alka. 

"Punya lo lebih enak."

Zian menganga tidak percaya. "Beneran?"

Bella mengangguk. Melihat Zian berjingkrak dan Alka yang tertawa, ia jadi merasa berat untuk meninggalkan mereka. Mungkin kata meninggalkan terlalu tragis, tetapi itu akan benar-benar terjadi dalam waktu lima hari. Mau tidak mau, Bella tetap harus memberi tahu mereka. 

Setelah keduanya tenang dan mereka sudah duduk di meja makan untuk memakan masakan Alka dan Zian, Bella bedeham. "Gue mau kasih tahu kalain sesuatu."

"Apa, tuh?" Zian bertanya dengan senyuman di wajahnya. Entah mengapa, Bella jadi merasa bersalah.

"Gue diterima kerja di pulau seberang." Bella berbicara dengan suara pelan. Ia tidak sanggup menatap mata Zian.

"Wah, bagus dong. Selamat." Alka tersenyum lebar.

Bella tertunduk semakin dalam. "Empat hari lagi, gue sama Ayah bakalan pindah ke sana."

Senyuman di wajah Alka langsung memudar ketika mendengar hal itu. Zian diam, tetapi setelah lima detik, ia meletakkan sendoknya dan pergi masuk ke kamar. Bantingan keras dari pintu kamarnya membuat suasana menjadi mencekam.

Aloha! 

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro