25. Keputusan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Zian tidak keluar dari kamarnya hingga Bella pergi dari sana. Ia sengaja menahan dirinya di sana karena kalau ia kesal, bisa saja ia mengeluarkan kata-kata yang mungkin menyakiti Bella. Ia masih duduk di balkon dan memandangi punggung Bella yang semakin menjauh dari pandangannya. Tidak lama setelah itu, pintu kamarnya diketuk. Ia menghela napas panjang sebelum beranjak dari sana. 

"Kenapa?" Zian membiarkan pintunya terbuka dan ia berjalan, lalu duduk di ranjangnya.

"Lo nggak apa-apa?" Alka bertanya sambil bersandar di pintu.

Laki-laki bertindik itu kembali menghela napas. "Gue nggak tau. Gue seneng dia diterima kerja, tapi gue kesel karena dia pergi terlalu cepet."

Alka tertawa. "Itu artinya, lo nggak baik-baik aja. Gimana? Jadi mau tembak Bella?"

Pertanyaan Alka membuat Zian mengingat kejadian ketika Alka bertanya tentang hubungannya dengan Bella. Keduanya kompak menjawab dengan senyuman, tetapi Bella buru-buru meralat jawabannya. Ia mengatakan kalau mereka tidak akan berpacaran kalau Zian tidak menembaknya lebih dulu.

"Gue nggak tau."

Alka kembali tertawa. "Lo tau, cuma nggak mau ngaku. Kenapa? Karena dia mau pergi? Atau karena lo nggak percaya diri?"

Zian terdiam. Ia sendiri tidak yakin akan jawabannya.

"Zi, Bella bilang, dia jadi jauh lebih percaya diri setelah dia kenal sama lo. Dia jadi lebih berani setelah dia kenal sama lo. Terus, apa yang buat lo jadi nggak percaya diri?"

"Gue ngerasa nggak pantes. Lo sendiri udah liat, kan? Dampak berteman sama gue aja bisa sebesar itu buat reputasinya. Gue takut jadi penghalang buat jalannya, kalo gue bilang perasaan gue. Belom tentu juga dia suka sama gue."

Alka hanya bisa tersenyum. "Jadi, lo mau nyerah gitu aja? Gue yakin, lo juga tahu kalo Bella suka sama lo."

"Dia juga suka sama lo, Ka." Zian mengelak.

Alka tertawa karena kebodohan natural dari saudaranya. "Dia suka sama gue sebagai temen, Zi." 

Zian kembali diam. Ia berusaha mengintrogasi dirinya sendiri untuk mempertanyakan isi hatinya yang sebenarnya.

"Katanya, level tertinggi dari mencintai itu, berani ngelepasin. Kalo lo nggak mau jadi penghalang buat dia, kenapa lo malah bersikap kayak tadi? Bella keliatan sedih banget pas lo banting pintu."

"Gue takut ngamuk karena terlalu kesel. Makanya gue cabut." Zian menjelaskan dengan terbata. Ia tidak percaya kalau sikapnya sudah membuat Bella sedih.

"Jadi, menurut lo gimana?" Alka bertanya untuk memastikan.

"Gue harus minta maaf sama Bella." Zian langsung sibuk mencari ponselnya.

"Terus?" Seperti biasa, kata itu akan keluar kalau Alka belum puas dengan jawaban saudaranya.

"Kayaknya gue bakalan lepasin Bella buat pergi."

Alka tersenyum. "Apapun keputusan lo, gue bakal dukung. Toh, katanya, jodoh nggak kemana."

Zian mendengkus. "Jodoh, jodoh. Lulus dulu!"

"Kata anak yang hampir dikeluarin dari kampus. Nilai lo, beresin dulu."

Mereka tertawa bersama. Namun, diam-diam Alka khawatir. Bella berhasil membuat Zian kembali belajar dan mempunyai mimpi lagi. Ia takut, kepergian Bella akan membuat saudaranya kembali seperti dulu.

Begitu Alka pergi, Zian langsung menghubungi Bella. Ia menunggu hingga panggilannya dijawab. Namun, setelah tiga panggilannya tidak dijawab, laki-laki bertindik itu segera mengambil jaketnya dan berlari keluar rumah. Ia berlari hingga dadanya terasa sesak dan kakinya terasa panas.

Benar saja, gadis berbaju kuning itu masih ada di dekat halte. Ia kelihatan sibuk menunggu angkot yang sesuai dengan tujuannya. Zian menyentuh pundak gadis itu dan ia tersenyum, meski napasnya terengah-engah. 

"Bella, maaf." Laki-laki bercelana sobek-sobek itu masih berusaha mengatur napasnya.

"Kenapa?" Bella langsung panik karena melihat Zian yang berlari menghampirinya.

"Boleh duduk di sana sebentar?" Zian menunjuk satu bangku taman yang terletak tidak jauh dari sana. 

Bella mengangguk. Mereka segera berpindah ke bangku tersebut. Bella menatap Zian lebih lama dari yang seharusnya. "Kayaknya, gue bakalan kangen sama lo."

"Boleh dengerin gue aja?" Kini napasnya sudah normal, tetapi keringat muncul menghiasi dahinya yang terekspos karena rambut yang disisir ke belakang.

Setelah melihat Bella mengangguk, Zian langsung melanjutkan, "Maaf karena tadi gue bersikap gitu. Gue seneng banget lo diterima kerja, tapi gue nggak nyangka kalo waktunya secepat itu. Gue tau, gue nggak punya hak buat marah sama lo, makanya gue minta maaf."

"Gue udah maafin lo. Gue tau, lo pasti punya alasan untuk itu."

Zian menyeringai. "Boleh dengerin gue dulu?"

Seringai yang kelihatan cukup mengintimidasi, tetapi Bella tidak merasa takut sama sekali. Namun, tidak lama setelahnya, wajah tegas itu berubah menjadi lebih serius. Melihat perubahan ekspresi Zian, gadis bermata besar itu langsung terdiam. 

"Lo gue izinin untuk pergi. Lo boleh siapin kepergian lo sesegera mungkin. Besok lo nggak usah dateng lagi buat tutorial. Gue anggep kontrak kita selesai. Lo nggak punya utang lagi sama gue. Jadi, lo boleh pergi dengan tenang." Laki-laki bermata sipit itu berbicara tanpa melihat Bella. Matanya lurus menatap jalanan yang ada di depannya.

Bella segera membuka kalender di ponselnya. "Gue masih punya utang lima belas pertemuan lagi. Lo yakin?"

"Gue yakin."

"Gue yang nggak yakin. Utang tetap utang. Kalo gue udah punya cukup uang, gue bakal bayar balik senilai lima belas pertemuan yang gue tinggalin."

Zian benci pada kata ditinggalkan. Dalam hidupnya, ia terlalu sering ditinggalkan, pertama ditinggalkan oleh ibunya yang selingkuh dan menikah lagi, kedua ditinggalkan oleh ayahnya yang terjebak kasus korupsi dan membuatnya harus hidup dengan segala keterbatasan, kini ia ditinggalkan oleh Bella. Namun, Bella juga tidak salah menggunakan kata itu karena ia benar-benar akan meninggalkan Zian. 

"Lo udah banyak bantu gue. Gue bakalan berusaha lulus mata kuliah itu, supaya waktu yang udah lo buang buat gue nggak sia-sia."

Gadis bermata besar itu mengerjap. "Gue nggak pernah ngerasa ngebuang waktu sia-sia. Gue bahagia punya teman kayak lo."

"Gue juga, tapi lo nggak bisa terjebak di kebahagiaan kecil kayak gue dan nyerah sama mimpi besar lo." Zian mengulurkan tangan. "Terima kasih udah mau kenal gue."

Bella menyambut uluran tangan itu dan menggenggamnya erat. "Kayak kita nggak bakalan ketemu lagi. Gue pasti bakalan main ke rumah lo. Entah itu bulan depan atau beberapa bulan ke depan, buat cek lo sama Alka."

Zian tersenyum. Diam-diam ia berharap kalau Bella tidak akan berbohong padanya. Ia benar-benar berharap kalau gadis itu akan menepati kata-katanya. Namun, apakah Zian punya hak untuk sekedar berharap?

Aloha!

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro