28. Ending

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bella melangkah masuk ke rumah yang sudah lima tahun tidak ia kunjungi. Tidak ada yang berubah dari rumah itu, warna cat dan tata letak di ruang tamu masih sama. Namun, ia menyadari sesuatu yang berbeda di ruang tengah. Posisi piano bergeser menjadi lebih dekat dengan jendela besar yang menghadap halaman samping. Mata besar Bella langsung tertuju pada Zian yang tengah berbaring di sofa. Ia menatap pria yang berpenampilan preman itu lebih lama dari seharusnya.

"Tumben Zian tidur di luar?" Bella bertanya dengan suara pelan, takut mengganggu tidurnya Zian.

Alka langsung menahan Bella yang hendak mendekati saudaranya. "Kita ngobrol di belakang dulu." 

Bella sempat terkejut karena Alka menggandeng tangannya, tetapi ia menurut dan mengikuti Alka ke halaman belakang. "Gue kira dia bakalan berubah setelah lima tahun, ternyata masih kayak preman."

Pria berkacamata itu duduk di kursi yang ada di halaman belakang. Ia segera melepaskan genggaman tangannya setelah tiba di sana. "Penampilannya yang kayak gitu cuma dia lakuin setahun sekali. Katanya, biar seseorang nggak lupa sama dia. Dia berubah, kok. Dia berhasil lulus dengan IPK 3.2. Dia juga udah kerja. Hidupnya kelihatan baik-baik aja, tapi nyatanya enggak."

Bella turut duduk di samping Alka. "Kenapa?"

Alka kembali menghela napas, kelihatan tidak berminat menjawab pertanyaan Bella. Wajahnya berubah serius. "Kenapa lo dateng?"

Wanita berambut panjang itu mengerjap. Ia tidak menduga pertanyaan seperti itu dari Alka. 

"Gue tanya, kenapa lo dateng? Kalo lo cuma mau nengok Zian sebentar, terus ngilang kayak waktu itu, gue saranin lo pergi sebelum Zian bangun. Gue nggak mau saudara gue tambah sakit karena ketemu lo." Suara Alka semakin keras.

"Zian sakit?" Bella malah salah fokus. 

Alka langsung buang muka. Ia melihat Zian dan memastikan kalau pria berpenampilan preman itu tidak terbangun dari tidurnya.

"Ka, gue nanya lo. Zian sakit?"

Akhirnya, Alka melepaskan kacamatanya dan menatap Bella dalam. "Dia selalu sakit setiap tanggal 27 April. Lo inget, 27 April? Dia selalu milih untuk nggak tidur buat ngelewatin hari itu."

Awalnya Bella bingung, tetapi ia langsung paham begitu ingat hari itu. 27 April adalah tanggal ketika ia dan Zian sepakat untuk mengakhiri kontrak tutorial. Bella menjawab dengan terbata-bata. "Gue nggak tau, kalo Zian sampe kayak gitu."

"Sekarang lo udah tau, kan? Kalo niat lo cuma mau nyapa Zian doang, lebih baik kalian nggak ketemu. Lo bisa sampein semua ke gue."

Bella tidak lagi melihat Alka, kini matanya tertuju pada punggung pria yang tengah tertidur di sofa. "Zian begitu setiap tahun, karena gue?"

Lagi-lagi, Alka menghela napas. "Menurut lo karena apa?"

Tangan Bella mulai gemetar. Air matanya meluncur tanpa peringatan lebih dulu. Sebelumnya, ia kira hanya dirinya sendiri yang menderita karena perpisahan itu. Ia kira, hanya dirinya yang menahan semuanya sendirian. Ternyata Zian juga merasakan hal yang sama, bahkan kelihatan lebih menderita.

"Bell, lo nggak apa-apa?" Alka bertanya, kali ini tampak khawatir.

Pertanyaan Alka malah membuat tangis Bella semakin menjadi. Gadis itu menatap Alka, meminta izin untuk mendekati Zian dan bicara pada pria bertindik itu. 

Meski ragu, Alka mengangguk. Ia membiarkan Bella menghambur ke pelukan saudaranya. Laki-laki berkacamata itu malah berjalan menjauh dari area rumah, mencoba memberi mereka ruang lebih banyak. 

Bella berjalan mendekat dengan langkah hati-hati. Ia memandang wajah tenang itu sejenak, sebelum ia menyentuh lengan bertato itu. Bella menyentuh lengan Zian dengan lembut, berharap pria itu segera bangun dan bisa mendengar penjelasannya. Namun, setelah beberapa saat, Zian tak kunjung bangun. 

Dengan suara bergetar, Bella memanggil nama Zian, tetapi tidak ada jawaban. Akhirnya Bella menangis. Ia menangis sambil mengguncang tubuh yang dibalut kaus lusuh dan celana sobek-sobek itu. 

"Maafin gue, Zi. Maafin gue." Bella menenggelamkan wajahnya di dada Zian. 

Ada lega bercampur khawatir yang memenuhi dada Bella ketika pria di pelukannya mengaduh. 

"Zian." Bella masih menangis dan menggenggam tangan Zian.

"Apaan, sih?" Zian mendorong Bella setelah membuka mata. Namun, kepalanya langsung diserang sakit luar biasa karena mengubah posisinya dari tidur menjadi duduk secara mendadak. 

Bella masih membeku di tempatnya. Ia kesulitan bicara karena masih menangis.

Zian menopang kepalanya sambil mengerjap tidak percaya. Kemudian ia menyeringai. "Kayaknya gue udah gila betulan." 

"Zi, maafin gue." Bella berbicara terbata-bata.

Bukannya menjawab, Zian malah tertawa. Setelah tawanya reda, pria bertindik itu berteriak. "Ka, Alka. Gue perlu ditampar kayaknya. Ka!" 

"Gue sayang sama lo." Bella berbicara dengan suara yang cukup keras. 

Zian hanya bisa mengerjap, masih tidak percaya pada mata dan telinganya sendiri.

"Gue mutusin dateng ke sini setelah lima tahun, cuma mau bilang, gue sayang sama lo." Bella kembali bicara, dengan suara lebih lembut dari sebelumnya.

Tanpa menjawab, Zian langsung menarik Bella dalam pelukannya. "Lo pulang? Lo beneran pulang?"

Bella mengangguk. Ia masih tidak bisa menghentikan air mata yang terus meluncur.

"Makasih karena udah dateng." Zian melepaskan pelukannya dan menepuk tempat kosong yang ada di sampingnya.

Akhirnya, Bella duduk di samping Zian. Tangan keduanya masih tertaut. Pria bermata sipit itu tidak bisa berhenti tersenyum. 

Zian mengusap wajah Bella untuk menghapus air mata yang terus keluar. "Gue udah maafin lo. Udahan ya, nangisnya. Jadi, selama ini lo kemana aja?"

Bella sudah cukup tenang untuk menjawab tanpa suara yang bergetar. "Gue pindah dua kali. Pertama ke ibu kota, terus dua hari lalu, gue balik lagi ke sini."

Zian tersenyum. "Lo keliatan baik-baik aja. Kerjaan lo lancar?"

Bella mengangguk. "Lancar banget sampe bikin gue kurang tidur." Wanita berkemeja kuning itu menatap Zian dan tersenyum. "Kabar lo, gimana?"

"Kayak yang lo liat. Gue baik-baik aja, masih preman yang lo kenal."

Bella menyentuh dahi Zian dan menggeleng. "Lo nggak baik-baik aja. Kata Alka lo selalu sakit tiap tanggal 27 April?"

Zian mengusap tengkuknya dan tersenyum konyol. "Kenapa lo nggak hubungi gue lagi? Lo nyerah setelah seminggu. Gitu katanya sayang."

"Ngapain memperjuangkan orang yang nggak nanggepin chat gue? Gue kira, lo beneran mau mutusin semua kontak sama gue."

"Iya, sih." Zian kembali tersenyum. 

"Sebenernya, berkali-kali gue mau dateng ke sini, tapi gue dilarang sama Ayah. Beliau beneran nggak suka sama lo. Gue ngerasa, kalo gue dateng ke sini, gue bakalan durhaka sama Ayah. Makanya gue berenti chat lo atau Alka."

"Terus?" Zian mengeluarkan kata andalannya.

"Gue tetep cari tahu keadaan kalian dari adek tingkat gue. Tadinya, gue kira cukup tau kabar lo bakal bikin gue puas, tapi nyatanya enggak. Lo tetep masuk ke mimpi gue, hampir tiap malam."

Zian malah cengar-cengir. "Gue kira, lo nggak suka sama gue."

Bella langsung cemberut dan memukul lengan Zian. "Gue udah ngaku, ya, tadi!"

"Iya, iya, Sayang. Eh. Sorry." Zian melepaskan tautan tangan mereka. Kemudian ia menyeringai. "Fyi  aja, nih. Gue belom mandi dua hari."

Bella langsung menarik diri. Ia memundurkan tubuhnya. "Pantes gue mencium bau tidak sedap."

Zian tertawa. Kemudian ia bangkit berdiri. "Gue mandi dulu. Lo jangan ke mana-mana. Urusan kita belum selesai." 

Bella mengangguk. "Lo udah makan? Mau gue buatin sesuatu?" 

"Belom, sih. Lo pesen makan aja, nggak usah repot-repot masak. Eh, iya. Alka mana?" Zian baru sadar kalau saudaranya tidak ada di sana.

Bella melihat sekeliling dan tidak mendapati Alka. "Tadi dia di halaman belakang."

"Oh, mungkin lagi main sama Rara." 

Bella menunggu sambil memesan beberapa makanan melalui jasa ojek online. Ia terlalu sibuk memantau pergerakan makanan yang dipesan hingga tidak memperhatikan kalau Zian sudah berdiri di hadapannya. 

"Oy, baju kuning." 

Bella langsung mendongak. Ia tidak mampu berkedip setelah mendapati penampilan pria yang berdiri di depannya. Hidung Bella mencium wangi sampo dan sabun yang berbaur menjadi satu. Seketika itu juga, mood-nya jadi membaik. Pria yang biasanya mengenakan celana bokser dan kaus tanpa lengan itu, kini mengenakan celana panjang dan kaus lengan panjang yang digulung hingga siku. Bella baru sadar kalau kulit Zian semakin cerah. Rambutnya yang tidak lagi cepak itu ditata menutupi dahi. Semua tindik di telinganya juga sudah di lepas. 

Bella masih menahan napas karena terpesona ketika Zian menjentikkan jari di depan wajah wanita itu. 

"Jangan sampe lupa napas." Zian tertawa karena melihat Bella yang gelagapan. "Gimana? Udah jatuh cinta?"

Bella menjawab dengan suara pelan. "Mode preman aja gue cinta setengah mati, apalagi yang model begini."

"Hah?" Bukannya tidak mendengar, Zian hanya ingin memastikan.

"Udah jatuh cintanya, dari dulu." Bella menjawab sambil menatap ponselnya.

"Bella." Zian berbicara dengan suara pelan. Ia meraih tangan kanan Bella dan menangkupnya dengan kedua tangan. Mata sipitnya menatap Bella dalam. "Terima kasih sudah terima gue apa adanya. Terima kasih lo udah jadi alasan buat gue sampe ke tahap ini. Terima kasih juga karena lo akhirnya dateng."

Bella tersenyum. "Lo sampe di sini bukan karena gue. Saat gue menghilang, lo pilih jalan lo sendiri. Gue yang harusnya berterima kasih karena lo mencintai gue sebegitu besarnya. Maaf untuk semua rasa sakit yang harus lo tanggung selama ini."

"Jadi?" Zian bertanya dengan seringai mengejek.

"Jadi?" Bella malah melontarkan pertanyaan yang sama sambil tersenyum lebar. Sangat lebar.

"Jadi, siapa yang mau bayar makanan segini banyaknya?" Alka muncul dari pintu depan dengan tangan penuh kantong plastik berisi makanan.

Bella dan Zian bertukar tatap. Kemudian keduanya tertawa. Zian bangkit dari duduknya dan segera keluar untuk membayar pesanan mereka. 

"Gimana?" Alka bertanya sambil membuka plastik pembungkus makanan mereka. 

Bella hanya tersenyum.

"Gue harap, kalian selalu bahagia dan nggak akan ngelakuin hal konyol kayak lima tahun lalu."

Bella mengangguk. Ia setuju pada Alka. Kalau saja, sebelum pergi, Bella berani mengungkapkan perasaannya. Kalau saja, Zian tidak melepasnya begitu saja, mungkin mereka akan menemukan akhir yang berbeda dari saat ini.

"Terus bokap lo?" Alka bertanya sambil berbisik.

Bella tertawa. "Ayah gue udah nyerah. Katanya beliau bosen denger gue ngigau nama Zian mulu. Makanya hari ini gue ke sini. Ayah bilang, semua terserah gue."

"Bagus, deh. Seenggaknya restu udah di kantong." 

"Ngomong-ngomong, emang Zian biasanya seganteng dan serapi itu, ya?"

Mendengar pertanyaan Bella, Alka langsung tertawa. "Dibilangin, dia udah tobat setelah lulus. Lo belom liat aja kalo dia ke kantor, dijamin lo bakalan jatuh cinta lagi."

"Kalian ngomongin apa, sih? Suara ketawanya sampe depan."

Alka dan Bella kompak menggeleng. Kemudian keduanya tertawa.

"Zi, kapan kita lamaran ke rumah Bella? Biar gue mulai siap-siap?" Alka bertanya dengan wajah menggoda.

Wajah Zian memerah, tetapi ia tetap menjawab, "Secepatnya."

Bella tidak pernah menduga kalau tingkah nekadnya menggantikan Ayah untuk menjadi tutor preman kampus nomor satunya Jatayu akan berakhir manis. Dari Zian, Bella belajar kalau penampilan seseorang tidak menentukan kepribadian seseorang. Seperti Zian yang sengaja berpenampilan seperti preman hanya untuk mendapatkan lebih banyak perhatian, tetapi nyatanya ia hanya seorang anak yang kesepian dan butuh kasih sayang. Laki-laki yang berpenampilan layaknya preman itu ternyata sosok yang begitu baik dan tulus.

Aloha! 

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.

Akhirnya, kita ketemu ending Tell Me Why. Terima kasih sudah menemani Zian, Bella dan Alka selama sebulan penuh. Mohon maaf kalau ada kesalahan dan keterlambatan update. 

Sampai ketemu di cerita berikutnya.  


"Tenang, Zian udah aman sama gue."

Sebelum mandi dan setelah mandi.

"Udah gue bilang, gue bukan orang ketiga."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro