3. Sejauh Dua Benua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Naya," panggil Ardi. Bagaimana ya memulainya? Tolong, Ardi sangat payah merangkai-rangkai kata-kata. Jangankan itu, ia bahkan tak mampu merangkai sisa-sisa ingatan masa kecilnya. "Saya ... minta maaf."

Ya, minta maaf. Chandra bilang perempuan hanya butuh maaf jika sedang dalam mode mengamuk. Namun, kalau dilihat-lihat wajah Franaya tak menampilkan raut marah ataupun sejenisnya. Gadis itu hanya membisu di sampingnya. Bagus, sangat bagus, Ardi mulai frustrasi karena bisa membaca banyak kegagalan dalam rencana mereka hanya karena hal bodoh kemarin.

"Nggak apa-apa, Mas," sahut Franaya.

Ardi bernapas lega. Ia pikir gadis itu akan mengabaikannya sepanjang jalan. Secara refleks ia meraih kedua tangan Franaya. Mereka saling berhadapan. Tersadar jikalau kemarin ia meninggalkan Franaya bersama pecahan cangkir berserakan.

"Tangan kamu ada yang luka nggak?" tanya Ardi yang mengamati tangan seputih pualam itu, nyaris tanpa celah. Mulus.

Ah, lantas untuk apa ia bertanya?

Dalam sekejap Franaya merasakan pipinya menghangat. Jangan tanyakan apa kabar dengan jantung Franaya. Perhatian kecil Ardi tentu sangat bagus untuk kesehatan jantungnya. Ia bahkan tak perlu berlari keliling alun-alun dan mengeluarkan setetes keringat pun.

"Tangan aku nggak ada yang luka, Mas." Franaya menarik tangannya pelan. "Jangan khawatir."

Ardi berhenti memerhatikan tangan sehalus sutra dalam genggamannya. Sesungguhnya ia ingin menyelami lautan hitam pekat milik Franaya Kansil. Si gadis kecil yang rasanya baru kemarin memakai seragam putih abu dan menyapanya ketika berpapasan di dapur rumah Adnan Prasetyo. Namun, ia memilih meminimalisir kejadian bodoh kemarin terulang kembali dengan berpaling cepat. Ayolah, laki-laki macam apa yang meninggalkan seorang gadis di tengah jalan?

"Syukurlah," ujar Ardi pelan. "Kemarin saya ada urusan mendadak. Saya minta maaf karena nggak pamit sama kamu."

Franaya mengangguk, meski merasa janggal dengan alasan tersebut. Entah, ia tak berani menerka-nerka. Di matanya, Ardi Mahesa seakan punya banyak rahasia. Dan kalaupun benar, semoga rahasia-rahasia di belakang Ardi bukanlah hal yang mengerikan.

"Oh, ya. Kita mau ke mana, Mas?" Franaya berusaha mengalihkan topik sekaligus mengalihkan pikirannya sendiri.

"Saya belum tahu."

Jadi, mereka mau berjalan tanpa arah sampai tiba di Jakarta, begitu? Franaya menggenggam erat tali tas selempangnya. Kalau begini caranya, kemungkinan besar pernikahan prematur mereka pasti gagal total dalam hitungan hari.

Mana ada pilot yang nanya arah sama pramugarinya? Eh, cocok nggak sih perumpamaan itu? racau Franaya dalam hati. Ia terpejam.

Baiklah, itu berlebihan, sangat berlebihan, Nay, racaunya lagi.

"Kamu ada ide?" tanya Ardi.

Seperti yang pernah Ardi jelaskan pada gadis itu. Ia beberapa kali berkunjung ke Yogyakarta hanya untuk singgah sementara. Urusannya pun sebatas pekerjaan, maka wajar saja kalau sore ini Aldi menjadi orang yang berjalan tanpa rencana. Sama sekali bukan gayanya, tapi tak ada salahnya mendengarkan usul Franaya.

"Kalau naik becak?" Franaya menunjuk ke arah beberapa tukang becak yang mangkal di pinggir jalan.

"Boleh."

Jawaban spontan itu membekukan Franaya sesaat. Mereka naik becak berdua? Mata Franaya berkedip sebanyak empat kali sebelum Aldi menariknya menuju sekumpulan tukang becak. Dalam sekejap sekeliling mereka memburam. Jika diibaratkan lensa kamera, titik tajam hanya tertuju pada mereka berdua.

Atmosfer aneh seolah menulikan telinga Franaya. Ia tak mendengar apa yang dikatakan laki-laki itu pada salah satu tukang becak. Franaya hanya melihat senyum Aldi mengembang, bahkan ada tawa kecil yang juga terselip. Tidak ada semilir angin berembus. Namun, kesejukan menembus relung hati Franaya. Ia pernah melihat laki-laki manapun tersenyum dan tertawa. Akan tetapi, milik Ardi Mahesa seperti melodi asing yang menyenangkan.

Tiba-tiba kelap-kelip lampu jalanan sudah mengiringi perjalanan mereka. Perjalanan yang belum Franaya tahu arah tujuannya, karena ia tak mendengar perkataan Ardi dan sungkan bertanya. Perjalanan yang membuatnya duduk tanpa jarak bersama laki-laki itu, padahal jarak hubungan mereka kemarin sejauh dua benua. Perjalanan yang mungkin, tak akan pernah ia lupakan.

"Sekolah kamu dulu dekat dari sini, Nay"

"Lumayan, tapi aku biasa naik angkutan umum atau diantar Ayah."

Franaya lega bisa menjawabnya tanpa terbata-bata seperti orang gagap. Kata orang, kesan pertama adalah kesan selamanya. Ia tak ingin calon suaminya berpikir kalau akan menikahi perempuan gagap yang memalukan. Kamus hidupnya tak pernah menyebut nama Ardi Mahesa sekalipun. Laki-laki itu pun bukan seseorang yang kerap terlintas di kepalanya. Namun, ia harus tetap bersikap sebagai calon istri yang baik 'kan?

"Mas, suka makan bakmi?"

"Saya pemakan segala."

Senyum kecil Franaya terbit. "Omnivora gitu?"

"Kayaknya begitu."

Franaya merasa lega ketika menoleh, karena bisa melihat sekilas segaris senyum Aldi Mahesa. Mereka tak saling bertatapan, tetapi hati Franaya tetap menghangat. Aroma parfum laki-laki itu sesederhana pembawaannya. Tidak memabukkan, tidak juga membuat mual.

"Lima atau tujuh meter lagi ada tempat bakmi yang kebanyakan orang bilang, enak, Mas."

"Berarti kamu juga belum pernah coba?"

Ardi beralih dari jalanan. Ia menjumpai rambut hitam legam Franaya Kansil, sebab gadis itu memandangi jajaran pedagang kaki lima di sisi kiri mereka. Ardi menikmati posisi seperti ini. Ia merasa lebih baik saat hanya menatap rambut Franaya dibanding bertatapan langsung dengan bola mata polos gadis itu.

"Belum, Mas."

Nada suara Franaya terdengar sedikit lebih ceria dibanding sekian puluh menit lalu. Ardi seketika kembali mencari objek lain karena ia yakin gadis itu tengah menoleh.

"Eh, maksudku, aku pernah coba sekali terus lupa rasanya. Karena udah lama banget," lanjut Franaya.

Untuk kali pertamanya, Ardi merasa sedikit berhasil mencairkan suasana dan kecanggungan konyol dengan perempuan asing. Saran dari Dea ternyata sedikit manjur, meski agak tersendat-sendat.

Semoga hari esok, atau nanti. Kamu bisa melupakan kekurangan saya semudah kamu melupakan rasa bakmi, Nay. Maafkan saya.

"Kita udah sampai, Mas."

Kali ini gadis itu yang menarik tangannya. Sesuai tebakannya, Franaya Kansil seumpama pelangi yang penuh warna-warna cerah menyenangkan. Berbanding terbalik dengannya yang lebih mirip dinding kusam. Ardi melepaskan perlahan tangan gadis itu.

"Kamu cari tempat, nanti saya nyusul."

"Oh, oke Mas ...."

Franaya menggigit bibir bawahnya ketika Ardi membelakanginya. Sungguh, itu hal sepele. Akan tetapi, kenapa Franaya merasa sedikit sedih karena saat pertama kali berupaya menggenggam tangan Ardi, laki-laki itu langsung menepisnya seolah mengartikan sebuah penolakan kecil. Kenapa? Kenapa ia harus mencari tempat lebih dulu? Kenapa mereka tidak mencari tempat duduk bersama-sama? Franaya bisa menunggu.

Jangan berlebihan, Nay. Dia cuma bayar ongkos becak. Kenapa sih kamu? Ini bukan masalah sama sekali, Naya. Nggak usah dibikin rumit.

Franaya mengetuk-ngetuk dahinya sendiri sambil berjalan. Untungnya Ardi Mahesa bukan seorang cenayang. Karena akan sangat memalukan kalau sampai laki-laki itu bisa membaca isi hati dan pikiran Franaya barusan. Ah, tapi ia tak bisa terlalu percaya diri juga. Bagaimana jika Ardi Mahesa nantinya melakukan penolakan terhadapnya lebih dari sebatas genggaman? Lebih dari sore aneh kemarin? Mereka hanya dua orang yang saling mengenal sebatas nama lengkap.

***

Nggak apa-apa lahya isinya dikit, yang penting on go meski slowly banget juga 😂

With love,
Pariskha Aradi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro