2. Celah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lagi, sore ini Franaya mendekap foto mendiang Bunda sambil menatap langit-langit kamar. Boleh jadi plafon rumah yang berwarna putih itu kosong, tetapi kemelut pikirannya berhasil mewarnai si plafon. Speaker di meja rias tengah mengalunkan menemaninya melewati berbagai macam kenangan yang mengalir. Itu adalah salah satu lagu kesayangan Bunda yang kerap kali dinyanyikan saat karaoke di ruang tamu.

Meski sudah belasan tahun terlewat, Franaya pasti akan melakukan hal ini tiap pulang ke rumah. Bukan untuk mengenang Bunda dalam kesedihan, hanya saja inilah caranya mengikis rindu. Selalu, ia selalu rindu memegang tangan Bunda ketika berjalan menyusuri trotoar sepulang dari sanggar tari. Ia rindu merecoki Bunda di dapur. Segalanya. Ia rindu kepada masa yang tak akan pernah kembali.

Seminggu kemarin ia tak sempat melakukan ritual ini karena memikirkan kedatangan Ardi. Ah ya, laki-laki aneh itu pulang lebih dulu setelah memecahkan cangkir. Katanya Ardi punya urusan mendadak lain dan sangat terburu-buru. Entahlah, Franaya tak mau memikirkan laki-laki itu lagi. Mungkin saja kemarin adalah yang pertama dan terakhir. Mereka mungkin sudah gagal, mungkin. Terserah.

"Nay?" pintu diketuk dua kali.

"Ya?" tanya Franaya yang beranjak menghampiri pintu.

Decakan Ayah terlontar saat pintu terbuka lebar. "Kok kamu belum ngapa-ngapain?"

Sontak Franaya mengernyit. "Aku udah bantu masak tadi, nyiram tanaman juga." Ia memanyunkan bibir. Ayah pasti mau menuduhnya bermalas-malasan. "Masa iya masih dibilang belum ngapa-ngapain."

"Ardi di ruang tamu." Ayah mengarahkan dagu ke arah kanan. "Katanya kalian mau JJS."

"JJS?"

"Jalan-jalan sore," sahut Ayah sambil memainkan alis.

Ya, ayah dan perumpamaan kunonya.

Mata Franaya mengarah ke kanan, lantas merogoh ponsel di saku celana tidur. Layarnya kosong notifikasi. Ia mengernyit, lalu mengecek kontak Ardi yang sudah lama disimpan sejak mereka bertukar daftar riwayat hidup. Ruang chat mereka pun kosong, apalagi riwayat panggilan. Profil kontak laki-laki itu pun masih tanpa foto. Apa pun yang terjadi, ia tak ingin memulai lebih dulu perkara perpesanan dan semacamnya.

"Malah main handphone." Ayah tiba-tiba memutar tubuh Franaya ke arah meja rias.

"Ayah salah lihat mungkin. Kemarin tuh Mas Ardi duduk berdua sama aku lima menit aja nggak sanggup. Nggak mungkin dia balik lagi, Yah ...." Franaya menahan tubuhnya dari dorongan Ayah.

"Jangan sembarangan bicara. Kita sudah ngitung hari, Nduk." Ayah mengacak-acak rambut Franaya gemas.

"Beneran, Yah ... aku nggak bohong!" Franaya berbalik secara paksa bersama jari telunjuk dan tengah yang mengacung.

Ayah menghela napas. "Kemarin Ardi ada urusan mendadak, masa kamu nggak bisa mengerti?" Ayah menangkap jari Franaya, menempelkannya ke hidung gadis itu. "Jangan manja, baru ditinggal sebentar saja sudah ngambek."

Franaya menganga. "Yah ... dia kemarin mecahin cangkir, melotot, terus megap-megap pas lihat mukaku dari dekat! Lebih baik dia disuruh pulang aja, takutnya trauma--"

"Franaya ...." Kini Ayah mengangkat telunjuknya.

Bahu Franaya lunglai bersama embusan napas panjang. Ia menunduk dalam-dalam. "Iya, Ayah."

Sejak kecil telunjuk Ayah memang lebih ajaib dari mantra-mantra mana pun. Terbukti mulut Franaya langsung terkunci rapat-rapat. Dan sampai kapan pun Franaya tetaplah gadis kecil di mata Ayah.

"Tapi, Yah ...."

"Franaya ...." Lagi-lagi Ayah mengangkat telunjuknya.

Kenapa juga Ayah menyuruhnya dekat--ralat--menikah dengan laki-laki yang berdekatan dengannya saja sudah kelihatan trauma? Franaya mengembuskan napas keras, lalu mulai mengobrak-abrik isi lemari. Ia tidak tahu harus bagaimana menghadapi Ardi Mahesa hari ini. Bagaimana kalau nanti laki-laki itu tiba-tiba meninggalkannya di tengah jalan? Tentu ia bukan anak kecil yang tidak tahu jalan, tapi ... akan kelihatan begitu nahas pastinya kalau benar terjadi.

Kalau mereka sudah menikah, lantas bagaimana? Franaya harus membiasakan diri ditinggal begitu saja tanpa alasan? Kemarin mungkin masih bisa dianggap sepele, ditinggal di tengah jalan juga bukan hal berat, tapi kalau ditinggal dalam artian yang lain?

Tunggu, tunggu ..., belum apa-apa ia sudah takut ditinggalkan Ardi Mahesa?

Franaya bergidik mengingat ucapan ngawur Ayah. Ia menggeleng cepat. Kebiasaannya berspekulasi panjang-lebar cukup menyiksa.

***

Tidak banyak yang Ardi sukai dari Yogyakarta kecuali band Sheila On 7. Ia punya kenangan cukup buruk dan mengenang kejadian mengerikan bukanlah hal yang bagus untuk dikonsumsi memori. Otaknya saja sudah mirip kaset rusak, lantas mau dibuat bagaimana lagi? Semua orang pernah terpuruk dan keterpurukannya ada di kota ini. Meski berusaha keras untuk keluar, ia tetap terjebak.

Franaya Kansil. Gadis itu lahir dan tumbuh besar di Yogyakarta, maka tak ada pilihan lain selain datang kemari. Ardi bukan pengecut, tolong garisbawahi ini. Setelah hal memalukan kemarin, ia kembali menginjakkan kaki di rumah ini. Terkesan sangat tidak tahu malu memang, tetapi mau bagaimana lagi? Ia merasa harus memperbaiki apa yang terjadi di hari pertama pertemuan mereka.

"Maaf ya agak lama, Franaya kadang suka begitu."

Suara Adnan Prasetyo menggantikan gemerisik dedaunan yang tadi Ardi nikmati. Pria itu duduk di sampingnya. Setoples dodol, ampyang gula jawa, dan dua cangkir teh menghiasi meja bulat kecil di tengah-tengah mereka. Ardi belum menyentuh tiga kudapan itu sama sekali.

"Iya, nggak apa-apa, Pak."

"Oh ya, omong-omong ambil cuti berapa hari, Mas?"

"Tiga hari ditambah izin satu hari."

Adnan Prasetyo mengangguk-angguk. "Terima kasih banyak sudah mau meluangkan waktu ya, Mas."

"Malam ini Bapak, Ibu, dan Della pulang lebih dulu. Mereka titip salam buat Pak Adnan."

"Oh, iya, iya. Mas Raka sudah menyampaikannya kemarin. Kabari saya juga kalau mau pulang ya, Mas?"

"Iya, Pak."

Adnan Prasetyo merupakan salah satu kawan baik Bapak. Ardi bertemu dengan pria itu sebulan lalu setelah sekian lama, ketika ia berkunjung ke rumah orang tuanya. Sejak kuliah, ia sudah keluar dari rumah dan mencari banyak peluang bersama teman-temannya untuk bertahan hidup. Usai menggapai gelar sarjana mereka merintis sebuah konsultan konstruksi di Bandung. Ardi belum memiliki penghasilan besar dari CV rintisan mereka. Itulah sebabnya ia pun berani mengambil proyek di tempat lain. Dalam artian Ardi masih tergolong jauh dari standar laki-laki mapan.

Ketika Adnan memintanya datang, Ardi tidak benar-benar mengosongkan jadwal. Ia masih membawa pekerjaan untuk dikerjakan di penginapan dan kereta. Sepulang dari Yogyakarta, ia pun sudah berencana akan bekerja tiga kali lebih keras. Hidup Franaya Kansil sangat berkecukupan ketika bersama Adnan. Jangan sampai berotasi hingga 180 derajat karena Ardi tidak becus menjadi tulang punggung keluarga. Sungguh ironis. Satu tambahan lagi, Franaya masih kuliah. Dalam artian beban biaya kuliah Franaya juga ada di pundaknya nanti.

"Kira-kira suka bakpia rasa apa, Mas?" Adnan menyeruput teh di cangkir.

"Nggak usah repot-repot, Pak."

"Cuma bakpia, Mas. Di dekat keraton sana nomor satu rasanya." Saat Ardi hendak menyanggah, Adnan malah menghela napas panjang. "Kamu lama banget, Nduk. Ini Mas Ardi sampai kehujanan lho nunggu kamu."

Ardi menoleh cepat. Gaun selutut biru berlengan panjang itu lebih cerah dari langit sore menurutnya. Abaikan bualan norak tadi. Ternyata sorot mata Franaya lebih cemerlang dibanding piring antik kesayangan Ibu. Baiklah, ralat, harusnya Adnan Prasetyo tidak butuh setoples ampyang gula jawa, karena sudah ada Franaya.

Apa tadi?

Kedua alis Franaya terangkat. "Lho? Aku kan--"

"Franaya." Ayah mengangkat jari telunjuknya dan kalimat gadis itu tersendat bak keran ditutup paksa. "Silakan diminum dulu tehnya, Mas."

Sekadar untuk menghormati, Ardi buru-buru menyesap teh di cangkirnya. Sekawanan burung yang melintas seolah bertugas sebagai wasit. Ah, tetapi kenapa juga dia harus buru-buru?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro