1. Lembayung Senja

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sudah hampir sekian puluh menit, Franaya masih terduduk di hadapan meja rias. Padahal riasan natural pada parasnya tak perlu dirisaukan, apalagi gaun terbaik yang sudah membungkus tubuhnya. Sekali lagi, ia menghela napas lalu menarik laci pada meja. Perlahan ia membuka secarik kertas lusuh dari sana, takut-takut kalau robek dan ia tak memiliki salinannya.

Franaya sayang,

Jadilah sosok wanita paling tegar dan kuat suatu hari nanti. Bunda belum tahu kenapa ingin menulis ini. Bunda juga tidak yakin kamu mengerti, karena sampai hari ini kamu masih berusia delapan tahun. Tapi Bunda ingin kamu membacanya.

Saat berhadapan dengan api yang baru terpantik, jadilah tetesan air yang menyejukkan. Saat berhadapan dengan karang besar, maka jadilah ombak yang menerpa perlahan tapi pasti.

Temani Ayah selama Bunda pergi, Nak. Temani Ayah minum kopi, ngobrol, dan nonton siaran berita.

Franaya sayang, percayalah bahwa apa pun yang terjadi dalam hidup ini adalah pilihan terbaik. Percayalah kalau Ayah dan Bunda menyayangimu lebih dari apa pun. Percayalah, jika angin kencang akan melembut seiring berjalannya waktu.

Tertanda,
Bunda

Ayah memberikan surat terakhir Bunda tepat ketika Franaya berusia tujuh belas tahun. Wajahnya langsung dibanjiri air mata, bahkan sebelum membacanya. Mungkin kalau Franaya menerima surat tersebut di umur delapan tahun, ia hanya akan menangisi kepergian Bunda tanpa tahu maksud dari setiap kalimat yang tertuai. Franaya menatap pantulan dirinya di cermin. Pertanyaan yang tersirat di kepalanya masih sama. Siapkah ia menghadapi hal-hal besar setelah keluar kamar, setelah keluar rumah, dan terlepas dari ayah?

Ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Ia menarik napas panjang, lantas beranjak membuka pintu.

"Aku kelamaan ya?" Franaya mengulas senyum yang disambut Bi Ratmi.

"Hehehe ... Bapak dan tamunya nunggu di depan, Nduk."

"Hehehe ... aku juga jadi hehehe nih, Bi."

Wanita baya itu merangkul Franaya, menuntunnya keluar kamar. Meskipun berat melangkah, meskipun ingin mengunci diri di kamar dan pergi tidur, ia tak mampu menepis tangan Bi Ratmi. Ayah sudah memberitahu tentang pertemuan sore ini tiga bulan lalu. Ia mengenal Ardi Mahesa sebagai sosok Mas-mas yang pernah beberapa kali berkunjung ketika libur semester sekolah. Kali pertama mereka berjumpa adalah saat Franaya masih mengenakan seragam putih biru, tetapi sebatas memandang dari kejauhan, sebatas mengenal nama serta paras masing-masing. Sekalinya mengobrol pun sekadar bertanya keberadaan ayah dan letak kamar mandi.

Umur Ardi Mahesa terpaut lima tahun di atasnya. Tidak terlalu fantastis untuk sebuah perbedaan, jikalau foto berdua pun tidak akan terlihat siapa yang lebih tua. Ardi Mahesa selalu bersama kedua orang tuanya jika berkunjung. Om Raka adalah teman baik ayah. Sisanya, ia buta akan perangai laki-laki itu.

Bisa dibilang pengalamannya menghadapi kaum Adam sangat nol besar. Franaya tentu pernah punya kekasih, tapi sayang seribu sayang, mereka berpacaran lewat inbox Facebook saja. Bertemu pun tidak pernah, kemungkinan foto profil laki-laki itu juga mengambil dari Google. Namun, tak masalah, intinya Franaya pernah punya kekasih kalau ditanya oleh teman sebaya.

"Nanti kalau sudah menikah sering-sering nengok Bapak ya, Nduk? Kan sudah ada yang nganterin."

Franaya mengulas senyum tipis. "Mudah-mudahan lancar ya, Bi."

Perlahan langkah Franaya mendekati ruang tamu. Terdengar suara Ayah disusul tawa kecil yang teramat ia kenal. Begitu tiba tepat di samping Ayah, senyap pun ikut bergabung. Semua pasang mata tertuju padanya. Bunda Arny--istri Om Raka--yang kali pertama menyambutnya dengan pelukan hangat.

"Kamu cantik sekali, Franaya," ucapnya usai mengurai pelukan.

"Makasih, Bunda."

Sebisa mungkin Franaya mengulas senyum terbaik. Sebelum mengenal Ardi Mahesa, Franaya lebih dulu mengenal Bunda Arny. Wanita itu sering kali mengunjunginya di masa liburan sekolah. Ia menganggap Bunda Arny seperti Tante dan ibu kedua. Sesekali ia akan menelepon wanita itu lewat ponsel si Bibi ketika merindukan mendiang Bunda. Tidak terobati sepenuhnya, tapi sedikit mampu melepaskan rasa sesak.

Usai menduduki sofa single yang tersisa, Franaya menemukan laki-laki itu tepat di hadapannya. Selama kuliah di Depok, ia belum pernah lagi bertemu laki-laki itu dan sekarang rasanya aneh. Sorot mata Ardi Mahesa seketika menghujam jantungnya. Denim shirt dengan lengan tergulung separuh itu tidak menampilkan umurnya yang terpaut lima tahun di atas Franaya. Kacamata yang membingkai wajah Ardi pun tidak menampilkan kesan cupu sama sekali. Justru memberi penegasan, bahwa laki-laki itu merupakan sosok yang tidak pernah salah langkah atau memprediksi peluang.

Franaya sendiri entah kenapa enggan menjatuhkan tatapan ke lain tempat. Ada sesuatu yang mengusik benaknya. Kalau Ardi Mahesa punya penampilan seperti ini dan mapan, untuk apa dia menyanggupi rencana pernikahan prematur ini? Franaya jelas bukan dara jelita yang dikejar pangeran dari seluruh penjuru negeri hingga menimbulkan peperangan dan pertumpahan darah.

Alasan sebatas orang tua mereka berkawan baik saja rasanya belum cukup.

"Ini sebatas pembukaan saja ya. Franaya, kenalkan ini Mas Ardi." Ucapan Bunda Arny memecahkan dimensi yang mereka bangun hanya lewat sebuah tatapan. "Ardi, ini Franaya."

Perlahan tapi pasti, dua sudut bibir Ardi tertarik sempurna. "Salam kenal, Franaya."

Apa-apaan tadi? Amboi benar ... suara dan senyumnya yang mahal itu.

Franaya butuh berkedip dua kali sebelum menyahut, "Mas, bisa panggil aku Naya."

"Iya, Naya."

"Baik, sudah bisa kita mulai ya?" tanya Ayah yang mengedarkan pandangan ke arah seluruh penghuni sofa.

Semua mengangguk, tak terkecuali Franaya dan Ardi yang akhirnya memutus kontak mata. Ayah menjelaskan panjang lebar tentang tanggal pernikahan yang bagus menurut weton.

"Bagaimana kalau resepsinya di dua tempat? Yogyakarta dan Samarinda?" Kali ini Bunda Arny yang bertanya.

"Saya ikut pendapat Franaya."

Suara Ardi membuat Franaya beralih dari lukisan pada cangkir teh. Pandangan mereka secara tidak sengaja kembali terpaut. Dalam satu detik, Franaya seolah menemukan jenis tatapan memuja dan mendamba dari laki-laki itu.

***

"Kamu tinggal sendirian di kos?"

Itu merupakan pertanyaan kedua setelah mereka berdiam cukup lama ditemani semilir angin sore. Mereka duduk bersebelahan di kursi kayu taman belakang berselimutkan kecanggungan. Jika Ardi tidak memaksakan diri mencari topik, mungkin mereka akan berdiam diri sampai burung hantu bergentayangan.

Franaya mengangguk. "Tadinya berdua sama teman, cuma enggak nyaman. Jadi, aku pindah sendiri."

Mereka bicara tanpa saling menatap satu sama lain. Dalam perundingan tadi, tidak ada penolakan sama sekali dari Franaya, sedangkan Ardi seakan mengikuti arus sungai yang mengalir. Perempuan di sampingnya merupakan sebuah tanggung jawab besar. Ia tidak mengerti apa itu rumus perjodohan. Ia hanya tahu, Franaya adalah perempuan baik-baik yang orang tuanya pinta secara baik-baik pula.

Niat Aldi saat menginjakkan kaki di Yogyakarta dua hari lalu adalah demi memenuhi permintaan orang tuanya. Kata orang, pasangan itu saling melengkapi. Sekarang, setelah ia mengesampingkan banyak keraguan. Sanggupkah Franaya menerima kekurangannya? Sedangkan ia sendiri tidak.

"Mas, pernah ke Ratu Boko?"

Senja mulai mengikis hamparan langit biru. Nyali Franaya belum cukup membuatnya berani beralih dari sandal yang dikenakannya. Kemudian menyelipkan sejumput rambut menjadi cara mengikis rasa gugup. Ardi Mahesa tentu bukan laki-laki yang pertama ia temui. Selama menempuh pendidikan di kota Depok, Franaya beberapa kali diantar pulang teman sekampus atau harus sekelompok dengan beberapa laki-laki untuk tugas tertentu. Hanya saja Aldi berbeda. Mungkin karena konteksnya adalah calon suami?

"Belum, kalau ke luar kota biasanya untuk urusan pekerjaan saja," jawab Ardi, kemudian ia menyesap teh yang dibawanya dari ruang tamu.

Taman belakang rumah Om Adnan tidak begitu luas. Namun, pemandangannya asri. Ada jajaran pot-pot mawar, sepasang ayunan, serta pohon mangga. Bebatuan kecil pun menghiasai jalan setapak dan beberapa area tertentu

"Kalau kuajak ke sana, Mas mau?"

Entah kenapa Franaya ingin mengajak laki-laki itu ke Ratu Boko demi mengisi masa pengenalan singkat mereka. Bukan sebuah masalah 'kan? Jikalau ia meminta semacam kencan pertama meski setelah menikah juga mereka bisa melakukannya kapan saja. Sekarang Franaya memainkan jemari bersama mata yang melirik ke kanan dan kiri, tetapi tetap menunduk.

"Boleh."

Franaya tersenyum simpul, lalu menoleh. Ia dapat merasakan tatapan Aldi yang melembut, menimbulkan denyutan berbeda pada jantungnya. Sulit dipercaya, tetapi ia berani mengakui, kalau senyum tipis Ardi Mahesa menarik. Namun, sedetik setelahnya, laki-laki itu justru mengernyit. Franaya menemukan secercah kekalutan ketika laki-laki itu terbelalak.

"Mas?"

Tiba-tiba Cangkir dalam genggaman Ardi terlepas begitu saja. Beradu dengan bebatuan sungai yang menghiasi jalan setapak.

"Mas, ada apa???"

Ardi memalingkan wajah tanpa berniat menjawab. Laki-laki itu memijat batang hidung dengan mata terpejam. Tatapan Franaya kemudian jatuh pada kaki Ardi yang terluka karena pecahan cangkir. Gadis itu berjongkok memunguti pecahan cangkir dengan hati-hati, menyingkirkannya dari kaki Ardi. Aneh. Dalam waktu kurang dari dua jam, Franaya bisa begitu peduli pada laki-laki itu.

Kini langit mulai menggelap. Suara sekawanan burung yang melintasi langit terdengar jelas. Laki-laki itu meninggalkannya tanpa sepatah kata. Ia lantas berhenti memunguti pecahan cangkir, menatapi punggung Ardi yang menjauh hingga menghilang di balik pintu.

Ada yang salah di sini ....

Ardi Mahesa. Laki-laki yang mampu membuat hatinya menciptakan taman indah sebelum kembali menjadi tandus dalam waktu kurang dari lima menit. Apakah Ayah benar-benar akan menikahkan Franaya dengan laki-laki seperti itu? Perubahan sikapnya secepat kilat menyambar tatkala hujan deras mengguyur Yogyakarta. Ini perkenalan pertama mereka setelah sekian tahun hanya mengenal nama, lantas mengapa denyut nyeri merayapi rongga dadanya?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro