Bab 1. Dia yang Datang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Berjalanlah tanpa melihat kembali ke belakang. Jika kau masih terus terpaku pada jejak yang kau tinggalkan, maka yakinlah dirimu tak akan pernah lepas dari bayang masa lalu.

~ Aluna ~

Aku kembali mematut diri pada cermin di depanku,meneliti penampilanku sekali lagi sebelum bergegas ke sekolah. Blazer biru dongker dipadu dengan celana panjang warna senada seragam hari Senin. Sebagai pemanis, kusematkan sebuah bros perak dengan hiasan batu berwarna-warni disekelilingnya, tepat di kerah sebelah kiri. Setelah dirasa semua sudah sempurna, aku mengambil tas ransel hitam yang berisi buku, dompet dan laptop. Sedikit tergesa saat melihat jarum jam telah menunjukan pukul enam pagi.

I hate Monday.

Ya, aku sampai lupa kalau hari Senin lalu lintas kota pasti sangat padat. Kusambar kunci motor yang tergantung di samping kusen pintu kamar. Bergegas keluar sembari memakai sepatu pantofel hitam yang ... damn-aku lupa menyemirnya-terlihat sedikit kusam. Oke, sepertinya ini Senin terburukku bulan ini.

Setelah mengunci pintu, aku berlari menuju Si Hitam Manis. Motor kesayangan yang selalu setia menemani perjalananku setiap hari. Tanpa buang waktu, aku memakai helm dan menstarternya.

Baru saja aku keluar gang rumah, suguhan lalu lintas nan padat merayap sudah tersaji di depan mata. Membuatku kembali merutuki nasib.. Seandainya aku tadi berangkat lebih pagi, pasti akan terhindar dari kemacetan panjang ini.

Mataku mulai mengedarkan pandangan. Mencari celah sesempit apapun yang bisa dilewati agar segera sampai di tempat tujuan. Walau harus mengambil jalur di sebelah kiri di luar aspal jalanan, aku tetap nekat melewatinya. Kulajukan motorku dengan lincah agar segera terlepas dari jalur "setan" ini. Dan kegigihanku membuahkan hasil. Akhirnya aku bisa melewati kemacetan itu dan melajukan motorku dengan kencang.

Sesampainya di sekolah, pintu gerbang sudah hampir tertutup. Aku menekan klakson motor agar Pak Yadi-satpam sekolah-mengurungkan niatnya untuk menutup gerbang. Untunglah dia menyadari kedatanganku.

"Makasih ... Pak!" teriakku dari balik helm sambil berlalu.

Tanpa membuang waktu, aku segera masuk ke garasi sekolah dan memarkirkan motor. Setelah merapikan rambut dan wajahku melalui kaca spion motor, dengan langkah terburu-buru aku memasuki ruang guru dan meletakkan tas serta kunci motor di atas meja kerjaku. Dan, ah ... aku lupa mengisi absen. Kutinggalkan segera barang-barangku lalu menempelkan ibu jariku pada mesin absen di samping pintu kemudian bergegas ke lapangan tempat upacara bendera akan segera dilaksanakan.

Semua guru telah berdiri, berjajar rapi di hadapan para murid yang kini sudah membentuk barisan per kelas. Aku menyelinap di samping Nania-teman sejawatku sekaligus sahabat sejak kuliah-yang kini tengah melirik ke arahku.

"Telat lagi!"

Aku hanya meringis mendengar teguran halusnya,dan tersenyum malu sambil menundukkan kepala kepada beberapa orang guru yang juga melihat ke arahku. "Macet, Nan," bisikku di telinganya.

"Ya kale Jakarta nggak pernah macet? Nunggu lebaran dulu baru lengang tuh jalanan. Klise banget alasannya. By the way, udah berapa lama tuh sepatu nggak dicuci?" tanyanya berbisik saat melihat sepatuku yang kusam.

"Hehehe ... lupa. Kemarin pulang ke Bogor. Semalam sampai kontrakan udah kemalaman. Tepar deh sampai nggak inget apa-apa lagi. Nah tadi pagi, aku juga nggak sempet."

Nania memutar matanya saat aku menjelaskan kronologi sepatu kusam sialan ini.

"Alasan aja. Emang dasarnya aja males," sahut Nania menyunggingkan senyum mengejek.

Aku melirik tajam dan merengut kesal karena ledekannya. Nania selalu bisa membuat mood-ku menjadi semain buruk. Belum sempat membalas kata-kata Nania, suara berdeham di sebelah membuat aku dan Nania terdiam. Kami kembali berdiri tegak mengikuti upacara bendera pagi ini.

***

"Lun, cari makan yuk! Laper nih!"

Nania berdiri di hadapanku yang sedang mengisi laporan administrasi kelas di meja kerja.

Aku mendongak dan memberi senyum manis padanya. "Nitip dibungkusin aja boleh nggak? Mager ini, lagian nanggung lagi ngisi buku administrasi. Nggak kelar-kelar dari kemarin."

Wajah Nania merengut seketika karena niat bulusku.

"Please, Nania yang cantik pacarnya Mang Ujang penjaga sekolah. Mau ya?" rayuku.

"Auww..." pekikku kemudian, karenaSebuah jitakan sukses mendarat di kepalaku.

"Ngeledekin sekali lagi. Lo-gue-end ya! Enak aja gue disandingin sama mang Ujang. Mendingan sama Pak Dwi guru komputer yang sedap dipandang mata," ujar Nania dengan wajah berseri.

"Yee bayangin laki orang! Trus Papih Bagas mau dikemanain Nania. Bilangin ya sama Papih kamu suka bayangin cowok lain," ancamku bercanda. "Masih pacaran aja manggilnya papih, ntar kalau beneran nikah manggil kakek dong, Nan!" Aku terkekeh membayangkannya.

"Sirik aja, lo! Terserah gue ya mau manggil apa. Weee!" Nania menjulurkan lidah padaku yang membuatku semakin terkekeh melihat kelakuannya. "Ya udah mana sini duitnya.Sekalian ongkos jalan?" Nania menadahkan tangannya di depan mukaku yang kubalas dengan cengiran lebar. Kalau Nania sudah mengeluarkan panggilan lo - gue, tandanya dia sudah mulai kesal. Jadi, sebelum amarahnya muncul, maka segera kukeluarkan selembar uang berwarna hijau dan meletakkannya di atas tangannya.

"Cuma dua puluh ribu, ini mah buat nasi padang sebungkus sama teh manis. Lah terus buat gue mana?" omel Nania sambil mengibaskan uang kertas dariku.

Aku mengangkat bahu tak memedulikan omelannya dan kembali berkutat dengan pekerjaan. Walau masih mengomel, ia tetap pergi untuk membeli makan siang.

Aku melanjutkan pekerjaanku. Mengisi data siswa baru tahun pelajaran ini. Tahun ini tugasku lebih berat karena mengampu kelas 5. Bukan hanya berat dari segi pembelajarannya, namun sisi psikologis siswa yang beranjak remaja membuat aku harus ekstra hati-hati dalam memberi pengajaran yang baik pada mereka. Karena pada fase inilah mereka baru memulai belajar mengenal jati diri masing-masing. Sebuah nada chat masuk menghentikan kegiatanku untuk sesaat. Aku membuka aplikasi chat sejuta umat ini dan tersenyum saat kulihat sebuah pesan dari laki-laki yang kurindukan. Laki-laki yang selama dua tahun ini menjadi kekasihku.

Mas Arya♡ : Morning sunshine! Merindukanku 😘.

Segera kuketik balasan kepadanya.

Aluna: Kirain udah lupa punya pacar sampai dua hari ga ada kabar? Rindu? Pikir aja sendiri. 😡

Mas Arya♡ : Jangan marah ya, Sayang. Nanti sore aku jemput ya. Kita makan malam bareng. 🍕🍦

Aluna : Males ah ... aku bawa motor. Lagian kan aku lagi ngambek sama Mas.

Mas Arya♡ : Ya udah kalo gitu aku culik aja trus aku bawa ke apartemenku dan kucium habis-habisan di sana. Biasanya sih kamu ga nolak kalo aku cium. Malah mendesah. 😈😅😚😚

Seketika itu juga aku merasakan wajahku memanas membaca pesan mesumnya.

Mungkin bila ada cermin di depanku, aku bisa melihat wajahku pasti memerah seperti tomat.

Aluna : MAS MESUMMMM!!!!!😈😈😠😠😠

Mas Arya♡ : Hahahaha tapi kamu suka kan.. Ngaku !!!

Aluna : Bodooo ahh!

Mas Arya ♡ : Love u, Lun.

Kata-kata seperti inilah yang kurindukan selama dua hari ini. Mas Arya selalu bisa membuatku tersenyum, merengut dan menjadi manja bila bersamanya. Mas Arya kakak kelas saat di kampus dulu. Kami beda jurusan tapi tempat kost kami berdekatan sehingga intensitas pertemuan kami tinggi. Pertemuan pertama kami yang terbilang ajaib pun sampai saat ini masih membuatku merona malu.

"Neng penghuni baru yang dari Bogor itu?" tanya wanita paruh baya yang menyambutku di pintu kos.

Aku mengangguk,"Saya Aluna, Bu. Yang mau sewa kamar di sini. Ibu pemilik kos-kosan ini bukan ya? Ibu Rahma?" tanyaku ragu.

"Iya, saya Bu Rachma pemilik kost ini. Tapi maaf ya, Neng, Ibu mau ke pasar sudah ditunggu tukang ojek di depan. Neng naik aja ke lantai dua. Kamar Neng persis di sebelah tangga. Habis saya bersihkan tadi jadi nggak dikunci kamarnya. Neng masuk saja, kuncinya ibu gantung di pintu bagian dalam. Sudah ya Neng, ibu tinggal dulu." Bu Rahma langsung berlalu keluar rumah dengan tergesa.

Aku hanya mengangguk - angguk mendengar intruksi Bu Rachma yang tanpa jeda. Aku masuk ke dalam rumah kos ini dengan pandangan bingung lalu mengikuti instruksi Bu Rachma, mencari tangga dan naik ke lantai dua. Sesampainya di atas, aku semakin bingung kamarku katanya tepat berada di samping tangga, namun aku lupa menanyakan sebelah kiri atau kanan. Tadi bu Rachma terlalu cepat berbicara dan pergi begitu saja. Bimbang, aku mencoba mengingat dengan jelas, namun nihil. Mengikuti kata hati, kubuka pintu di samping kanan tangga. Tidak terkunci, berarti aku tidak salah membuka pintu. Aku pun bergegas masuk dan segera mengunci pintu yang memang benar tergantung di bagian dalam. Akhirnya aku bisa segera beristirahat. Membalikkan badan, tubuhku menjadi kaku saat melihat pemandangan di depanku.

"Aaarrggghhhhh!!" Aku berteriak sambil menutup wajah dan segera berbalik berusaha keluar dari dalam kamar ini. Tapi karena terburu-buru kuncinya malah terjatuh dan terlempar entah kemana.Dalam keadaan panik seperti ini aku hanya bisa menunduk. Menyembunyikan wajahku di lutut sambil menempel di pintu. Terdengar suara kaki mendekat, membuatku semakin mempererat tubuhku. Yang terdengar selanjutnya adalah suara kunci terbuka.

"Kalau kamu masih di depan pintu, gimana saya mau membukanya? Minggir!"

Suara berat nan jahil mengintruksi, membuatku mengangkat kepala hingga tatapan kami bertemu dan ia masih bertelanjang dada dengan rambut basah dan handuk melingkar di pinggangnya. Sebuah senyum jahil tersungging di bibirnya. Ia kemudian menggelengkan kepalanya hingga membuat tetes-tetes air di rambutnya jatuh membasahiku. Membuatku sontak berdiri dan segera membuka pintu kamar untuk keluar. Brengsek!

"Lain kali jangan salah masuk kamar lagi ya! Untung kamu nggak sampai melihat aset berharga saya walaupun saya seneng-seneng aja sih kalau kamu sampai melihatnya. Hahahaha."

Mukaku memanas entah karena malu atau marah dengan ucapannya. Sialan!

Sejak kejadian itu Mas Arya selalu menggodaku. Membuatku jengkel sekaligus senang, karena ia selalu bisa menempatkan dirinya di segala suasana hatiku. Menginjak tahun kedua kuliahku, setelah Mas Arya selesai mengikuti ujian skripsinya, secara tiba-tiba dia "menembak"ku di depan teman-temannya. Romantis bukan? Yang lebih romantis lagi, ia memberikan salinan skripsinya sebagai pengganti bunga yang katanya akan hancur suatu saat. Tapi bila berbentuk skripsi akan selalu tersimpan dan kenangannya tak akan lekang oleh waktu.

"Aluna, skripsi di tanganku ini nantinya akan membawa jalanku pada masa depan. Tetapi masa depanku tak akan lengkap tanpa seorang pendamping yang akan menggenggam tanganku menyusuri langkah bersama untuk meraihnya. Jadi, kalau kamu mau menemaniku terimalah tanda cintaku dan masa depanku ini di genggamanmu. Jika tidak bisakah kita tetap berteman?"

Saat itu aku tidak langsung menjawab pernyataannya, hanya memberi pelukan selamat atas kelulusannya dan meminta waktu.Aku butuh waktu untuk menata hati atas segala kejadian yang pernah terjadi di dalam hidupku.

Namun ternyata Mas Arya sangat gigih, hingga aku pun luluh dengan usahanya. Seminggu setelah hari "penembakan" itu, aku pun menerima cintanya. Tentu dengan kejujuran tentang segala kekurangan diriku dan hebatnya, dia memahami dan menerima segalanya.Karena menurutnya, dia mencari masa depan bersamaku, bukan mencari masa lalu. Sebab hidup selalu berjalan ke depan, bukan ke belakang. Maka mulai saat itu dialah yang akan menggenggam tanganku untuk berjalan bersama menuju masa depan dan meninggalkan masa lalu.

"Lun, nih nasi bungkusnya!"

Sebuah plastik hitam yang diletakkan di meja membuatku tersentak kaget. Ternyata Nania telah kembali dari warung.. Wajahnya dihiasi peluh di sekitar kening. Dia mengambil beberapa helai tisu yang berada di mejaku.

"Fuhh ... panas banget di luar, padahal baru jam sembilanan." Nania mengelap kening dengan tisu dan mengipasi dirinya sendiri dengan tangan. "Wajah kamu kenapa, Lun? Kok merah kayak gitu?" tanya Nania memperhatikanku yang masih terkejut sambil melirik ponsel di tanganku. "Cieee yang lagi chatingan sama Mas Prabu Arya Kusumanegara. Udah nggak galau lagi nih sekarang. Kemarin aja ngegalau gara-gara Mas Prabu nggak ada kabarnya. Eh malah sekarang chatingan sampe muka merah gitu. Chatting apaan sih? Pasti yang mesum-mesum deh." Nania meledeksembari mencoba merebut ponsel di tanganku.Untung sajaaku lebih sigap cepat-cepat menjauhkan ponselku dari jangkauannya. Ya, dia selalu meledekku, senang sekali menyebut nama panjang Mas Arya atau memanggil dengan nama depannya.

"Apaan sih, Nan. Kepo banget. Udah sana ah. Aku mau makan," usirku sembari memasukan ponsel dalam kantung baju. Aku mulai membuka bungkusan nasi yang langsung menyebarkan aroma yang membuat air liur menggenang di mulut.

"Huh ... bukannya bilang makasih kek udah dibeliin nasi bungkus malah diusir. Nasib gue sial amat ya hari ini. Udah sisa uang jalan cuma dua ribu ditambah diusir pula. Ngenes hidup gue." Dan Nania pun mulai mengeluarkan jurus dramanya. Seharusnya dia itu dulu masuk teater saja, bukan Pendidikan Matematika seperti yang tertulis di ijazahnya. Too much drama.

"Iya deh, makasih ya Nania. Besok aku nitip lagi aja, ya," ucapku semanis mungkin.

"Ogah, kapok deh. Udah ah mau makan juga, laper gue ampe pengen makan orang," sindir Nania yang kubalas dengan tawa ringan. Dia kembali ke mejanya sendiri.Aku baru akan menyuapkan nasi ke dalam mulutku saat terdengar panggilan dari pengeras suara di ruang kepala sekolah. Aku menghela nafas panjang, dengan berat hati beranjak meninggalkan makananku. Namun belum sempat aku berdiri, Bu Yayuk, wali kelas 4 menahanku agar tetap duduk.

"Udah, Lun, kamu makan aja dulu. Biar ibu yang ke sana, sekalian mau tanda tangan buku nilai. Dah, kamu habisin dulu makananmu nanti ibu kasih tau Bapak Kepala Sekolah kalau kamu lagi makan. Kalau memang penting, selesai makan kamu baru menghadap."

"Makasih banyak ya, Bu. Emang lagi laper banget ini. Ya dah kalau begitu, Bu."

Bu Yayuk mengangguk sembari berlalu.. Aku pun melanjutkan sesi makanku yang tertunda.

Setelah selesai makan,aku merapikan meja kerjaku dan bersiap kembali mengajar karena jam istirahat pertama akan selesai.

"Aluna!" panggil Bu Yayuk yang saat ini tengah berjalan menghampiriku bersama seorang anak perempuan yang berjalan pincang di sebelahnya.

"Iya, Bu, ada apa?"jawabku masih sambil memandang anak tersebut.

"Ini ada siswi pindahan baru yang akan masuk ke kelasmu. Tadi kamu dipanggil Bapak karena ingin memperkenalkan siswi baru ini. Tapi sudah ibu wakilkan tadi, jadi tugasmu selanjutnya perkenalkan dia di kelas ya. Administrasinya nanti menyusul," jelas Bu Yayuk.

Aku mengangguk dan menghampiri siswi tersebut. Tingginya sepantar anak-anak seusianya. Rambutnya hitam legam sebatas bahu dengan hiasan bando berwarna pink. Kulitnya putih, bersih, dan terawat.

"Makasih ya, Bu," ucapku saat Bu Yayuk berlalu dari hadapan kami berdua.

Aku setengah menunduk untuk menyapanya, "Hai, saya Ibu Aluna wali kelasmu. Siapa namamu?"

Dia tidak langsung menjawab, hanya memainkan jemarinya memilin ujung baju seragamnya. Sepertinya dia gelisah, entah belum bisa beradaptasi atau canggung berhadapan dengan orang lain.

"Ka ... Kaila, Bu," sahutnya terbata. Masih menunduk menyembunyikan wajahnya.

"Oke, Kaila, mari ikut ibu ke kelas. Kita berkenalan dengan teman-temanmu!"

Aku menuntunnya dengan sabar menuju kelas yang untungnya berada di lantai dasar. Hanya berberapa ruang dari ruang guru jaraknya. Mungkin karena itulah Bapak Kepala Sekolah menempatkan Kaila di kelasku. Selain karena ruangan yang bisa selalu di awasi oleh guru yang lalu lalang setiap harinya,tentu juga karena kekurangan fisik Kaila yang menjadi bahan pertimbangannya.

"Siang anak-anak!!" sapaku saat memasuki kelas yang tengah ramai oleh celoteh dan canda siswa-siswi. Seketika itu juga mereka terdiam dan kembali pada kursi masing-masing.

Tatapan mereka langsung terfokus pada Kaila yang tengah menunduk, merasa penasaran

"Murid baru ya,Bu? Cantik, Bu!" celetuk Lingga, sang ketua kelas yang langsung disambut koor ledekan..

"Lingga, jaga sikap! " tegurku.

Seisi kelas kembali sunyi, aku pun meraih bahu Kaila agar lebih mendekat padaku. "Baik anak-anak, kelas kalian kedatangan siswi baru. Namanya Kaila. Nah, Kaila ayo perkenalkan diri pada teman-temanmu!"

Kaila menatapku kemudian mengedarkan pandangannya ke penjuru kelas lalu kembali menunduk dan mulai memilin ujung seragamnya dengan kedua tangan. Dilihat dari gelagatnya, aku menyimpulkan bahwa ia sedang gugup. Maka aku merendahkan tubuhku, berlutut hingga sejajar dengannya. Aku menggenggam kedua bahunya.

"Ayo, nanti ibu bantu Kaila untuk memperkenalkan diri. Kaila nggak perlu takut, teman-teman Kaila semua baik, kok." Kaila mendongak, menatapku dengan raut kebingungan. Namun akhirnya dia tersenyum dan menarik nafas sembari memandang ke depan untuk memulai perkenalan dirinya.

"Hai ... na ... ma ... saya Kaila Maharani Putri. Kalian bisa panggil aku Kaila," ucapnya lantang walau di awal sedikit terbata. Sepertinya kepercayaan dirinya mulai muncul.

"Hai, Kaila," sapa seisi kelas.

Wajah Kaila cerah seketika, tersenyum manis saat menerima sapaan dari seluruh siswa hingga menularkan senyumnya padaku. Aku kembali berdiri, sedikit menepuk celana bagian lutut yang terkena lantai untuk menghilangkan debunya.

"Baiklah anak-anak, ibu minta kalian bisa saling bersikap saling menghormati dan menghargai kepada sesama. Kaila bisa duduk di bangku kosong sebelah Febi dan kita akan memulai pelajaran hari ini." Aku menunjuk sebuah bangku pada Kaila dan berjalan menuju meja kerjaku yang berada di pojok kelas.

Baru beberapa detik kelas sunyi, aku mendengar para siswa mulai berbisik satu sama lain. Aku melihat para siswa memperhatikan Kaila yang sedang berjalan menuju bangkunya dengan terpincang-pincang.. Sebagian siswa masih terpaku ke arahnya, sebagian lagi sedang berbisik-bisik dan menertawakannya. Aku berdeham cukup kencang hingga seluruh siswa terdiam dan melihat ke arahku,sedangkan Kaila kembali menunduk saat duduk di bangkunya.

Sedikit banyak ia pasti mendengar perkataan teman-temannya walau berupa bisikan. Tapi kulihat ia mulai mengangkat kepalanya dan mengeluarkan buku pelajaran. Aku melihat ada kesedihan di matanya, namun ia mencoba untuk tegar. Mungkin karena ia telah terbiasa mendapat ejekan seperti itu sehingga tidak terlalu mempengaruhinya.

Aku mengambil buku pelajaran hari ini dan membukanya. "Anak-anak sekarang buka buku matematika bab satu halaman lima belas tentang Bilangan Prima. Siapa yang tahu apa itu bilangan prima?"

*****

Bunyi bel panjang tanda jam pelajaran telah selesai menggema di seluruh ruangan, membuat para siswa bersorak riang. Aku pun menutup pelajaran hari ini dengan sebuah tugas pekerjaan rumah yang membuat sorak sorai mereka meredup berganti gumaman kekecewaan. Setelah seluruh siswa rapi dan berdoa sebelum pulang,satu per satu mereka keluar dengan tertib dan menyalamiku. Ketika hendak berdiri , kulihat Kaila masih berada di kursinya. Aku pun menghampirinya.

"Kaila belum pulang? tanyaku saat telah berada di hadapannya.

"Kaila nunggu kelas sepi dulu, Bu. Nanti Kaila pulang kok. Yayah juga mungkin sudah ada di depan gerbang," jelasnya.

"Yayah? Kalau ibu boleh tahu, yayah itu siapa?" tanyaku.

"Yayah itu panggilan sayang Kaila buat Ayah Juna," jawabnya riang.

" Ohh... terus kenapa Kaila nunggu kelas sepi? Kasian nanti Yayah nunggu kelamaan," tanyaku lagi. Aku menyejajarkan diriku hingga setinggi dirinya dengan duduk di kursi kosong di depannya.

"Emm...Kaila malu, Bu. Jadi Kaila nunggu sepi dulu baru keluar. Lagipula Yayah udah biasa kok kalau Kaila keluar paling akhir," jawabnya kembali dengan binar kebahagiaan saat menceritakan kebiasaan ayahnya.

"Kalau gitu, gimana kalau ibu temenin Kaila ke depan gerbang. . Mau nggak?"

Kaila tersenyum lebar dan mengangguk antusias menerima tawaranku. Aku pun berdiri lalu berjalan ke meja kerjaku, mengambil tas dan ponsel di atas meja yang langsung kumasukan ke dalam saku baju.

"Ayo, Kaila," ajakku mengangsurkan tanganku yang langsung disambut olehnya.

Kami berjalan beriringan hingga mencapai gerbang sekolah. Kaila mengedarkan pandangan mencari seseorang lalu tersenyum lebar saat menemukan apa yang dicarinya. Ia menarik tanganku menghampiri seorang laki-laki yang tengah membelakangi kami yang sedang menerima panggilan dari ponselnya. Dari postur tubuhnya yang ramping dan tegap dengan otot bisep yang tercetak jelas dari balik kemeja abu-abunya, aku mengira umurnya masih di bawah tiga puluh tahun. Atau bisa saja sudah berumur lebih dari itu karena aku belum melihat wajahnya. Namun semakin dekat jarakku dengannya,aku merasa gugup. Ah...mungkin saja karena sosoknya mirip dengan seseorang yang kurindukan saat ini. Akhirnya kami berada di belakang laki-laki itu dan Kaila menarik tangannyadengan antusias. Merasa ada yang menyentuh tangannya, laki-laki itu menunduk kemudian mengakhiri pangilan teleponnya.

"Yayah, Kaila ingin ngenalin bu Guru Kaila!"

Laki-laki itu berbalik dan seperti déjà vu saat melihat manik mata cokelat laki-laki itu. Mengingatkanku akan seseorang. Seseorang yang telah lama kurindukan. Aku terpaku. Tenggelam dalam tatapan mata itu. Saling memandang hingga suara Kaila menarikku kembali ke permukaan.

"Ibu, ini Yayah Kaila. Yayah, ini ibu guru Kaila yang baru. Namanya Bu Luna," ucapnya riang.

Aku mengulurkan tanganku, "Aluna."

Dia menjabat tanganku dan menggenggamnya. Hangat.

"Arjuna," ucapnya dengan senyum yang bisa membuat semua wanita terlena karenanya. Dan itu kembali mengingatkanku pada dia yang telah menghilang.

Aku melepas genggamanku, bergerak salah tingkah tak tahu harus berucap apalagi hingga Kaila menarik tanganku,menarik perhatianku. Gerakan tangannya yang memintaku untuk menunduk padanya. Aku pun melakukannya, menunduk hingga kepalaku sejajar dengannya.

Cup

Kaila mengecup pipiku. "Terima kasih,Bu Luna," ucapnya tulus.

Aku tersentak kaget dengan tindakannya namun membuatku tersenyum lebar. Aku mengelus rambutnya pelan, "terima kasih kembali, Kaila."

"Aluna!!"

Sebuah panggilan mengalihkan perhatianku. Menoleh pada asal suara, senyumku berkembang. "Mas..."

TBC


Sesuai Jadwal Hari jumat ..... Menulis disela kesibukan tugas kuliah yang menggunung itu sesuatu banget! Happy reading Guys!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro