Bab 2. Dia yang Kembali

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku berdiri gelisah tanpa bisa melihat apa-apa karena saat ini mataku tertutup. Hanya mengandalkan indera pendengaran yang membuatku tak nyaman. Aku melingkarkan kedua tangan di dada sambil mengusap kedua lenganku untuk mengurangi kegugupan yang kurasakan saat ini. Entah apa yang sedang direncanakan Mas Arya padaku. Setelah tadi dia menjemputku di sekolah dan memaksa untuk ikut dengannya ke suatu tempat. Dan, di sinilah aku berada, bersandar pada sisi mobil di sebuah tempat yang aku tidak tahu berada mana dengan sebuah sapu tangan menutup kedua mataku. Mas Arya bilang ini sebuah kejutan untukku. Sebelum pergi, dia memintaku untuk menunggu sebentar di sini. Tapi sudah lebih dari lima belas menit aku berdiri di sini, tapi tanda-tanda keberadaan Mas Arya tak kurasakan.

Sebenarnya ini di mana sih?! Kenapa jadi menakutkan begini suasananya?!

Samar-samar aku mendengar suara langkah kaki mendekat. Apa itu Mas Arya?

"Mas, itu kamu? Mas, jangan main-main ya. Nggak lucu, Mas!" Aku mulai merasa ketakutan, menjadi tidak yakin itu suara langkah Mas Arya atau orang lain.

Semakin lama suara itu semakin mendekat, dan ketika ada tangan menggenggam pergelangan tanganku, membuatku tersentak kaget dan sejenak berhenti bernapas.

"Ini aku, Sayang! Kamu sampe kaget kayak gitu sih."

Aku mendengus sebal, dia yang mengagetkanku seperti ini. "Lagian Mas jalannya mengendap-endap begitu. Ini penutup matanya udah bisa dibuka belum sih, Mas? Aluna risih nih. Nggak enak banget ditutupin begini. Buka sekarang aja ya?" pintaku sembari mencoba melepaskan simpul ikatan di belakang kepalaku.

Mas Arya dengan sigap menahan tanganku yang mencoba membuka sapu tangan ini. "Eits ... nanti dulu dong, Lun. Kan aku mau kasih kejutan buat kamu. Tunggu sebentar lagi ya," pinta Mas Arya sambil menurunkan tanganku. Dia memegang kedua bahuku lalu membimbing langkahku berjalan ke suatu tempat..

"Dua langkah ke depan ada tangga. Kamu pelan-pelan ya naiknya. Cuma tiga undakan kok."

Aku semakin penasaran, kejutan apa yang Mas Arya buat untukku,karena sekarang yang kudengar hanya suara semilir angin malam dan nyanyian jangkrik yang menemani, membentuk alunan melodi yang menenangkan.

Langkahku terhenti saat Mas Arya menahan bahuku. Kemudian dia membuka simpul ikatan yang penutup mataku. Aku mengerjap perlahan, menyesuaikan intensitas cahaya. Apa yang kulihat di depanku, membuat aku tak bisa berkata apa-apa.

Kata-kata yang sudah berada di ujung lidah tertelan kembali saat melihat pemandangan yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Sebuah taman dengan hiasan lampu berwarna-warni membentuk tulisan love dengan meja dan kursi di tengah-tangahnya. Diterangi cahaya lilin, terlihat dua piring hidangan makan malam lengkap. Di atas rerumputan kelopak-kelopak mawar berbagai warna bertaburan menyebarkan aromanya. Dan ini sungguh romantis.

"Surprise! Do you like it?" Mas Arya melingkarkan kedua tangannya di pinggangku dan menopangkan dagunya di bahuku.

"Mas Arya yang buat semua ini? Kok bisa indah seperti ini?" ucapku mencoba mencairkan suasana gugup yang mendera.

"Kamu ya, Lun. Seneng banget sih menghancurkan suasana," sahutnya sambil mengecup pipiku.

Aku terkekeh, "Aluna bercanda, Mas. Terima kasih buat kejutannya. Mas berhasil dan sekarang Aluna nggak tahu harus ngomong apa buat semua ini," ucapku tulus, membalas ciuman di pipinya. Namun Mas Arya punya caranya sendiri dengan cepat bergerak sehingga bibirku bertemu bibirnya.

"Ngambil kesempatan banget sih, Mas", ucapku saat menarik bibirku darinya.

"Abisnya aku kangen sama kamu, Lun." Mas Arya kembali mencium pipiku namun tak langsung melepaskannya, malah bibirnya merajalela turun ke rahang dan leherku. Membuat tubuhku meremang.

"Mas, ini ruang terbuka. Malu!" Aku mencoba memberi alasan agar Mas Arya menghentikan aksinya itu.

Dapat kurasakan bibirnya tertarik membentuk sebuah seringai mesum khasnya. "Malu sama siapa, Aluna. Di sini hanya ada kita berdua. Nggak ada orang lain lagi."

Aku memperhatikan sekitar lebih seksama. Mas Arya benar karena taman ini dikelilingi oleh tembok besar. Taman sebuah rumah yang besar. Aku menoleh ke belakang, melihat pintu gerbang rumah yang tertutup. Kami benar-benar hanya berdua. Aku menilik Mas Arya yang kini tersenyum lebar.

"Wajah kamu ngegemesin banget kalau lagi bingung gitu," ledeknya.

"Ini kita di mana sih, Mas?"

"Kamu mau tahu?" tanyanya menatapku lekat. "Cium dulu baru aku kasih jawabannya."

"Mas Arya mesum banget sih dari tadi. Kangen sih kangen, tapi masa nyosor melulu. Udah ah kalau nggak mau jawab ya nggak usah. Lagipula Aluna udah lapar, Mas. Dari siang belum makan. Tadi kan Mas Arya jemput langsung nyuruh Aluna taro motor di kontrakan. Trus Mas langsung ngajak ke butik dan—"

Mas Arya mengecup bibirku cepat hingga aku terdiam. "Iya ... iya. Ayo kita makan dulu. Keburu dingin nanti makanannya." Mas Arya menarik tanganku menuju ke meja yang telah dia siapkan.

Aku mengulum senyum saat Mas Arya mulai merajuk seperti ini. "Mas ngambek? Jelek ih Mas wajahnya kalau ngambek gitu..." rayuku sembari mengusap rahangnya yang sedikit kasar karena bulu-bulu halus yang mulai tumbuh.

Dia tiba-tiba bergerak, menggigit kecil jemariku. Membuatku terpekik kaget karena ulahnya dan tertawa puas melihatku.

Aku merengut sebal karena Mas Arya berhasil mengusiliku. "Mas jahil banget sih!"

Dia masih tertawa sampai memegang perutnya. Melihatnya tertawa lepas, tanpa sadar aku ikut tertawa bersamanya. Dan aku menyadari bahwa aku rindu saat-saat seperti ini.

"Ya udah ... kita makan yuk, Lun, lapar juga kebanyakan ketawa gini," ucapnya tersengal.

"Yee ... ini kan gara-gara, Mas," sungutku.

Mas Arya menarik kursi untukku laiknya lelaki sejati. Aku pun mendaratkan bokongku pada kursi dan melihat hidangan menggiurkan di depanku. Sedangkan Mas Arya berjalan menuju kursinya.

"Ini semua Mas Arya yang masak??" tanyaku tak percaya. "Aluna nggak yakin," sambungku lagi.

Mas Arya mengangguk, "Emang kamu lihat ada orang lain lagi di sini? Aku lama tadi karena nyiapin ini semua. Udah nggak usah banyak nanya, tadi katanya lapar," goda Mas Arya sambil menyuapkan segulung spaghetti ke mulutnya.

Aku mulai mengambil garpu yang tergeletak di hadapanku. Mengaduk spaghetti yang telah dibubuhi saus bolognaise dengan potongan daging asap dan taburan keju di atasnya. Aromanya membuat air liurku berkumpul di bawah lidah. Aku menggulung spaghetti menggunakan garpu menjadi sebuah gulungan kecil dan memasukannya ke dalam mulutku. Rasanya enak, manis, sedikit rasa asam, dan gurih karena taburan keju. Pas di lidahku. Kami makan dalam diam hingga seluruh spaghetti di piringku tandas tak bersisa. Begitu pun dengan piringnya, sepertinya kami berdua kelaparan.

Mas Arya mengambil serbet di hadapannya, dan mengelap mulutnya.. Aku pun mengikuti dan menghabiskan orange juice milikku. Mas Arya mengulurkan tangan kepadaku, membuatku mengerutkan kening. Bingung. 

"Would you dance with me?" pintanya.

"Where is the music?" tanyaku bingung karena aku tidak mendengar alunan musik di sini.

"Just ... let's do it. And the music will comes. Feel the nature around us." 

Ide gila Mas Arya membuatku tergelak. Aku menerima uluran tangannya dan berdiri mengikutinya ke tengah hamparan kelopak bunga. Sayang sekali harus kuinjak kelopak cantik ini. Mas Arya membawa kedua lenganku melingkar di lehernya sedangkan tangannya mengelilingi pinggulku. Kami berdua berdansa dalam alunan suara alam. Aku menampukan kepalaku pada bahunya, bergoyang ke kiri dan kanan. Aku merasakan Mas Arya mengecup kepalaku lama, kemudian melepaskannya.

 "Aluna ... maukah kamu menjadi istriku?" Aku terdiam. Menghentikan gerakan kakiku dan mengangkat kepalaku agar dapat melihat wajahnya. Tatapan kami bertemu. Apa yang Mas Arya ucapkan tadi? Apa dia tadi telah melamarku?? Ini pasti mimpi, kan?? Tapi kenapa terasa nyata??  

"Aluna, aku menunggu jawabanmu..." ucap Mas Arya. Membuatku kembali pada realita. Aku mengerjapkan mata berulang, kembali mencerna ucapannya. "Mas Arya ngelamar, Aluna?" Pertanyaan bodoh itu terlontar begitu saja dari mulutku.

  Aluna bodoh!! Bodoh!!

Mas Arya terkekeh dengan pertanyaanku. "Bukan, aku lagi ngelucu dari tadi," dengusnya. "Kamu tuh selalu bisa aja merusak suasana ya, Lun," imbuhnya sambil menggelengkan kepala.

Aku menjadi salah tingkah, apalagi tatapan Mas Arya kini penuh pengharapan. Dan aku semakin bingung dibuatnya. Aku ingin segera menjawab:"iya, iya aku mau menjadi istrimu Mas.",tapi kenapa rasanya sangat sulit.

"Aaaluna, mau –" Ucapanku terhenti karena hujan deras turun tanpa tendeng aling-aling. Aku dan Mas Arya kaget, spontan kami berdua berlari menuju rumah yang berada tak jauh dari taman. Tubuhku sedikit basah terkena air hujan. Setidaknya kami sudah tidak kehujanan lagi di teras ini. Mas Arya membuka pintu rumah tersebut yang membuatku kembali bertanya-tanya rumah siapa ini. Dengan santai Mas Arya masuk sembari menggandeng tanganku. Kami memasuki sebuah ruangan yang terdapat sofa kulit melingkar dengan meja di tengahnya. Sebuah TV plasma di atas rak minimalis berwarna hitam putih. Mirip seperti sebuah ruang keluarga. Aku menatap Mas Arya yang tengah mengibaskan rambutnya agar tetes air hujan yang membasahinya jatuh ke lantai.

"Mas, ini rumah siapa? Kok kita bisa seenaknya aja masuk ke dalam?" tanyaku bingung.

Mas Arya mendongak padaku, bibirnya menyunggingkan senyum cerah dengan binar kebanggaan. "Ini rumahku, Aluna. Dan akan menjadi rumah kita nantinya kalau kamu segera menjawab pertanyaanku tadi." Mas Arya berjalan ke arahku dan menggenggam kedua tanganku. "Jadi apa jawabanmu?" tanyanya lagi.

Aku menatap matanya dalam, binar cintanya padaku terlihat jelas. Aku meyakinkan diriku dan mengangguk, "Aluna mau menjadi istri Mas."

Mas Arya langsung memeluk dan mengangkat tubuhku lalu berputar. Tawanya menggema, meluapkan perasaannya saat ini. Aku ikut tertawa bersamanya sambil memeluk bahunya erat.

"Mas, udah donk! Aluna pusing nih." Mas Arya berhenti memutarku dan menurunkanku. Dia kembali mengecup bibirku.

"Terima kasih, Aluna. I love you. I love you so much!" Mas Arya memelukku erat dan melepaskannya saat aku mulai merasa sesak. Kegembiraannya meluap, ia tak berhenti tersenyum sembari mengecup bibirku berulang kali. Membuatku menepuk lengannya pelan karena sebal dengan tingkah mesumnya ini. Ia hanya tersenyum miring dan kembali memelukku.

"Bagaimana kalau sekarang kita berkeliling melihat rumah kita. Kamu nggak penasaran?" tawar Mas Arya saat mengendurkan pelukannya.

Mendengar kata 'rumah kita' membuat hatiku menghangat. Tak menyangka Mas Arya telah mempersiapkan segalanya. Aku mengikuti langkah kaki Mas Arya yang menggandeng tanganku. Kami memasuki ruang dapur bergaya minimalis dengan kitchen set yang terbuat dari kayu mahoni hitam. Warna cokelat dan putih mendominasi dengan sebuah kulkas dua pintu di sudut ruang dapur. Setelah itu kami menelusuri ruang makan yang telah dilengkapi dengan meja makan kaca bundar dengan empat kursi yang mengelilinginya. Sebuah dispenser terdapat pada sisi ruang yang memudahkan untuk menjangkaunya.

Mas Arya kembali menuntunku ke sebuah kamar dengan kamar mandi dalam yang akan dibuat sebagai ruang kerja sementara sebelum kami mempunyai anak. Ah... pemikiran mempunyai anak dari Mas Arya membuatku merona.

Setelah puas melihat ruang-ruang lainnya, Mas Arya membawaku ke kamar utama, kamar yang nantinya akan kami tempati. Mas Arya membuka pintu kamar tersebut, mencari saklar lampu dan menyalakannya. Terlihat wallpaper dengan corak batik berwarna coklat dan putih. Di tengah kamar terdapat ranjang kayu dengan empat tiang penyangga dengan kelambu putih menjuntai terikat di sisi masing-masing tiang, khas ranjang klasik jaman dahulu dengan sprei putih dan bed cover berwarna hitam. Dua nakas diletakkan di masing-masing sisi ranjang dan sebuah lemari kayu besar dengan cermin di salah satu pintunya berada di pojok ruangan. Ada sebuah pintu di sisi lainnya yang kurasa kamar mandi.

Mas Arya menarik tanganku masuk lalu mendudukkanku di pinggir ranjang. Dia kemudian berlutut di hadapanku sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya. Sebuah kotak beludru berwarna hitam. Ia lalu membuka dan menunjukkannya di hadapanku. Sebuah cincin emas polosdi dalamnya. Mas Arya mengeluarkan cincin tersebut hingga terlihat ukiran inisial kami berdua 'A&A' di dalamnya. Tanpa sadar aku menitikkan air mata bahagia akan segala perlakuannya saat ini.

"Give me your hand!" ucapnya yang langsung kuulurkan tanganku padanya.

Dia menyematkan cincin cantik tersebut pada jari manisku dan mengecupnya. Tangis bahagiaku pun tumpah. Dia tersenyum menatapku dan menghapus air mata di wajahku. Kedua tangannya menangkup pipiku dan membawa bibirku pada bibirnya yang hangat. Ciuman ini lembut, lamat dan dalam,seakan tengah menyalurkan kebahagiaan kami. Mereguk setiap rasa yang bisa diraih dalam momen ini. Aku melingkar tanganku pada lehernya, membuat Mas Arya semakin memperdalam ciumannya dengan menekan tengkukku. Aku mulai terbuai akan rasanya saat lidah Mas Arya mengajakku untuk saling bertautan, membuat ciuman lembut ini semakin menuntut. Menimbulkan rasa nikmat dan membangun "sesuatu" yang lain.

Entah sejak kapan aku telah terbaring pada ranjang besar ini dengan Mas Arya berada di atasku. Ciuman kami semakin liar tak terkendali. Mulai membangkitkan gairah di dalamnya. Membuatku hilang akal karena kenikmatannya.

Bibir Mas Arya mulai menjalari rahangku, mengecup setiap inci kulitku,menghantarkan gelenyar yang membuatku mendesah. Dia memberi hisapan kecil di belakang telingaku—daerah sensitifku yang membuatku mendesah lebih keras. Mas Arya mengeram pelan, tangannya kini mulai bermain di dadaku, membuatku semakin lupa diri. Hingga kurasakan sesuatu tengah mengelus daerah intimku, aku tersentak kaget. Kesadaranku kembali, aku mengangkat kepalaku melihat Mas Arya yang tengah menunduk di antara kedua kakiku. Bibirnya bermain di sana walau masih terhalang kain tipis yang melindunginya. Aku mencoba melawan kenikmatan ini, pertama kalinya kami melewati batas prinsipku. Biasanya kami hanya berciuman dan bermesraan tanpa kontak pada daerah intim.

"Maaas, jangaaan...ahh!" Aku semakin sulit mengendalikan diriku yang dirundung gairah.

"Kenapa Aluna? Toh kita akan menikah beberapa bulan lagi? Kamu percaya padaku, kan?" Mas Arya meyakinkanku dengan mata sayu yang menunjukkan tengah dilanda gairah hebat. Dia kembali menggodaku,membuatku menggigit bibir dalamku kuat-kuat agar tak terlena.

Aku menahan tangan Mas Arya saat tengah mencoba menarik celana dalamku turun.

"Mas, tapi nggak seperti ini. Aku percaya, tapi tolong hargai prinsipku."

Mas Arya menatapku dalam kebimbangan, namun sepertinya gairah lebih mendominasi saat dia tetap menariknya.

Aku mencoba menolaknya dengan merapatkan kakiku dan tetap memegang tangannya yang masih berusaha untuk melawanku.Ketika suara dering ponselnya berbunyi dengan keras, aku seperti mendapat keberuntungan.

Mas Arya mengumpat kesal saat harus menerima panggilan tersebut. Dia merogoh sakunya dan melihat siapa yang menelponnya. Dia mengerutkan kening lalu bangun dari atas tubuhku dan berjalan ke arah jendela kamar untuk menerima telepon itu. Kesempatan ini tidak kusia-siakan, aku pun bangkit sembari membetulkan posisi celanaku dan berlari menuju kamar mandi.. Aku menatap cermin pada wastafel kamar mandi. Keadaanku tampak kacau, rambutku kusut masai dengan bibir memerah dan tiga kancing depan gaunku telah terbuka dengan beberapa tanda merah di sekitar dada. Entah kapan Mas Arya memberi tanda sebanyak ini.

Aku segera menyalakan kran air pada wastafel dan membasuh wajahku beberapa kali. Mencoba mengembalikan pikiranku agar tetap waras. Meredam rasa gairah dan ketakutan yang bercampur jadi satu. Aku merapikan rambut semampuku menggunakan jari-jariku dan mengancingkan kembali kancing gaunku. Ini lumayan lebih baik dari penampilanku tadi. Entah apa yang akan terjadi tadi jika aku tidak segera sadar atau tidak ada dering ponsel yang menghentikan Mas Arya. Walaupun kami akan menikah nantinya, aku ingin memegang prinsipku sampai ijab kabul terlaksana. Katakanlah aku munafik karena aku tidak menolak kontak fisik jika itu hanya sekedar ciuman atau bermesraan. Tapi untuk masalah hubungan intim, aku ingin saat nantinya diriku menyerahkan semuanya pada laki-laki yang akan menjadi nahkoda rumah tanggaku itu sakral. Dan hari ini aku hampir saja melanggar itu semua.

Suara ketukan pintu membuyarkan pikiranku.

"Aluna, kamu sedang apa? Lama sekali?" Mas Arya berteriak dari balik pintu kamar mandi.

"Sebentar, Mas!" sahutku. Aku mematikan kran air dan memastikan penampilanku sebelum keluar. Aku mengembuskan napas panjang mencoba menenangkan diri kemudian memutar kunci dan membuka pintunya. Mas Arya telah berdiri di depan pintu dengan satu tangan berada di kantung celananya. Tatapannya tak terbaca saat memindaiku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dia melangkah maju, membuat debaran jantungku kembali berpacu. Takut. Namun yang terjadi, Mas Arya merengkuhku dalam pelukannya.

"Maafkan aku, Aluna. Tadi aku terlalu dikuasi nafsu. Maafkan aku karena mencoba memaksamu. Aku keterlaluan. Maaf ... maaf," ucapnya tulus sembari menghidu rambutku.

Aku mengangguk dalam dekapannya. Dia melepaskan pelukannya dan mengecup keningku singkat.

"Ayo kuantar pulang."

*****

Aku termangu pada layar laptop di depanku, mencoba fokus untuk membuat rancangan proses pembelajaran untuk bahan mengajar minggu depan. Sesekali melirik buku program silabus di samping laptop dan mengaplikasikan beberapa kompetensi dasar pembelajaran pada proses pertemuan tatap muka dari hari ke hari. Hingga tak aku sadari bahwa Nania telah duduk di sampingku sembari bersenandung kecil. Wajahnya terlihat sumringah dengan senyum yang mengembang.. Aku merasa sahabatku ini sudah mulai kurang waras.

"Kenapa lo senyum-senyum nggak jelas gitu. Pake nyanyi-nyanyi segala lagi." Aku mencomot siomay yang dibawanya tanpa basa-basi.

"Gue lagi seneng banget, Lun." Nania menangkupkan tangan pada pipinya, meluapkan kebahagiaannya. "You know why?" tanyanya yang kubalas dengan mengangkat bahu tak paham kata-katanya.

Nania mengangkat tangannya, memamerkan sebuah cincin platinum bermata berlian dengan ukuran yang bisa membuat wanita manapun tercengang. "Semalam Papih ngelamar gue, Lun. Dia ngajak gue nikah," tuturnya dengan luapan kebahagiaan.

"Nah terus lo jawab apa?" tanyaku datar kembali memakan siomay miliknya.

"Lo kok jawabnya datar gitu sih, Lun. Bukannya seneng kek, peluk gue gitu atau paling nggak ngasih ucapan selamat ya Nania," sungutnya.

Aku menelan makananku cepat sebelum menjawab omelannya itu. "Ya kan gue aja belum tau lo jawab apa sama Papih. Diterima nggak lamarannya?"

Nania terdiam seketika, matanya menerawang penuh kebimbangan. Mendesah, ia memutar cincin di jarinya. Dia menggeleng pelan.

"Trus kenapa lo pake juga cincinnya kalau lamarannya ditolak."

"Dia yang maksa gue untuk pake ini cincin sambil ngasih gue waktu buat berfikir. Gue bingung, Lun," desahnya lirih sambil menatap cincin tersebut.

"Why?" tanyaku kini tengah menangkup tangannya. "Karena ini bukan pertama kalinya Papih ngelamar lo dan selalu lo tolak. Apa penyebabnya?" imbuhku.

Nania menatapku, namun tatapannya itu tak terbaca. Tapi yang kutahu ia tengah menyimpan rahasia dariku. Dan aku tidak ingin memaksanya dengan cara mengintimidasi dirinya untuk menjawab pertanyaanku tadi.

"Ntar deh kalau gue udah siap, gue bakal jawab lamaran Papih plus jawab pertanyaan lo. Sekarang gue laper." Nania menarik tangannya, mencoba menyudahi obrolan kami. Kebiasaan dirinya untuk selalu mengalihkan topik sensitif seperti ini.Dia mengalihkan pandangannya pada piring yang dibawanya dan seketika matanya melotot saat melihat isinya telah habis.

"Alunaaaaa... lo kebangetan banget siomay gue dihabisin. Cuma disisain bumbu kacangnya doangg!!" geramnya langsung memberikan tatapan tajam padaku.

Aku tertawa terbahak-bahak karenanya. "Laa ...per, Nan. Lagian ada makanan nganggur masa gue diemin. Gue kirain dah nggak lo makan." Aku kembali tertawa melihat wajahnya yang cemberut memerah menahan amarah.

"Rese lo!!" sungutnya sembari beranjak membawa piring kosongnya.

"Mau kemana, Nan?" tanyaku menahan tawa.

"Ke neraka suruh malaikat maut jemput lo," sahutnya tanpa menoleh padaku.

"Titip minum ya, Nan. Es mochacino satu di Bude Endang!" teriakku sebelum Nania menghilang di balik pintu. Dan Nania menjawabnya dengan mengacungkan jari tengahnya padaku yang membuat gelak tawaku meledak. Untungnya di ruangan ini tidak ada guru-guru lain yang melihat tingkah kami berdua karena tepat saat jam istirahat makan siang yang kebanyakan guru-guru berada di kantin atau musholla.

Aku mengangkat tanganku, menatap cincin yang melingkar di jari manisku. Tadinya aku ingin menceritakan perihal lamaran Arya pada Nania, tapi kuurungkan niatku saat melihat kebimbangannya. Untungnya Nania tidak melihat cincin ini. Lagu Burn dari Ellie Goulding mengalihkan perhatianku pada ponsel yang menampilkan nama Mas Arya di layarnya. Aku segera menerima panggilan itu.

"Assalamualaikum, Mas!" sapaku.

"Waalaikumsalam, Sayang. Nanti sore sekalian pulang, jadi mau ketemu Mama sama Papa kan? Mas jemput di sekolah atau kontrakan?" tanyanya

"Jemput di sekolah aja, Mas. Motor Aluna nanti titip di sekolah."

"Ya udah kalau begitu. Mas balik kerja lagi ya. Love you."

"Love you too," balasku sebelum mematikan telepon dan kembali berkutat dengan pekerjaanku.

*******

Hari menjelang senja saat mobil Mas Arya melewati jalan raya Parung menuju ke rumah orang tuaku di daerah Bukit Cimanggu City. Aku memilih menikmati pemandangan jalanan yang terlihat lengang senja ini. Menyandarkan kepalaku pada kaca mobil, meresapi warna langit yang perlahan berubah dari jingga menjadi hitam. Ditemani alunan suara Charlie Puth featuring Selena Gomes, We Don't Talk Anymore dari radio. Sedari berangkat, Mas Arya terlalu sibuk dengan panggilan-panggilan telepon dari beberapa klien dan kantornya. Dia mengacuhkanku.

Sebuah sentuhan pada punggung tanganku membuatku menoleh dan mendapati Mas Arya tengah mengambil tanganku lalu mencium lembut pada cincin yang aku kenakan. Dia tersenyum padaku masih dengan headset bluetooth yang terpasang di telinganya. Masih menangani kliennya. Aku membalas dengan tersenyum miris dan kembali berpaling memandang ke luar jendela hingga perlahan aku menutup mataku karena lelah.

Sebuah sentuhan lembut di keningku membuat aku mengerjap pelan. Aku menengok dan mendapati Mas Arya tengah menatapku lekat.

"Kita di mana, Mas?" tanyaku mengedarkan pandangan ke luar yang teryata langit sudah gelap. Hanya diterangi lampu jalan sehingga tampak remang-remang.

"Kita sudah sampai, Aluna. Maaf ya selama perjalanan Mas ngacuhin kamu. Tapi ini bener-bener klien penting buat Mas," tuturnya tanpa berhenti mengelus rambutku, membuatku nyaman hingga terasa ingin kembali memejamkan mata. "Jangan tidur lagi dong, Sayang. Kamu kayak kucing deh, dielus-elus begini tidur lagi," ucapnya terkekeh.

Aku merengut kesal, padahal tadi sangat nyaman.

"Yuk turun!" Mas Arya membuka seatbelt-ku. Dia turun dan membuka pintuku sambil mengulurkan tangannya. Aku menerimanya lalu melangkah keluar dari mobil. Aku merangkul tangan Mas Arya lebih erat saat berjalan menuju pintu gerbang. Saat akan membuka pintu gerbang, sorot lampu dari sebuah taksi menarik perhatianku. Saat taksi itu berhenti tepat di depan rumah besar yang berada di samping rumahku. Hatiku berdetak cepat, entah kenapa aku tiba-tiba merasa gugup karena mengharapkan seseorang yang berada di kursi penumpang taksi itu adalah dia.

Mungkinkah itu "dia"? Aku masih terpaku menatap ke arah taksi tersebut hingga seseorang turun lalu disusul sang supir yang membuka bagasi dan menurunkan sebuah koper besar yang langsung diberikan pada orang tersebut. Orang itu memberikan sejumlah uang pada sang sopir. Setelah menerimanya sang sopir berjalan masuk ke dalam taksi dan berlalu.

Penglihatanku tak salah, dia berdiri di sana dan kini tengah menatapku. Tatapan kami saling bertemu, mata cokelatnya membuatku terpaku cukup lama hingga kemudian dia menyunggingkan sebuah senyum yang tak pernah aku lupakan sampai saat ini. Tanpa sadar, aku pun telah berlari ke arahnya dan memeluk tubuhnya erat.

"Apa kabar, Al?" Suara beratnya menyapaku. Dan aku semakin yakin itu dia, suara yang amat ku kenal dan kurindukan.

Dia kembali.

~~~~~~

Akhirnya bisa update jugaaaa... fiuh. Happy reading yaaa! udah itu aja. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro