Chapter 15

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Author's POV

"Sal, udah. Randy juga nggak sepenuhnya salah,"ucap Aldi sambil menenangkan Salsha, dibantu oleh Iqbaal.

"Apanya yang nggak salahnya dia?! Dia komplotan sama Karel! Kenapa sih, kalian jahil banget? Terus sekarang Karel kemana? Lo pasti tau kan, Rand!"bentak Salsha terus memukuli pundak Randy.

Steffi dan Cassie tak berkutik, atau lebih tepatnya, tak ingin berkutik. Cassie sudah memberitahu Randy, bahwa rencana Randy dan Karel bukanlah hal bagus.

"Gue nggak tahu,"ucap Randy datar. Ia tak sepenuhnya berdusta, ia hanya tahu Karel di negara Paris, Prancis. Tapi ia tak tahu di mana Karel sesungguhnya.

"Ken...akh!!"

Ucapan Salsha berubah menjadi rintihan kesakitan saat punggungnya tiba tiba terasa amat nyeri. Aldi dan Iqbaal buru buru menopang tubuh Salsha yang limbung.

"Tahan dia dulu! Sal, obat lo dimana?"tanya Randy panik.

Salsha menggeleng, "Gue...nggak...bawa."

Randy berdecak sebal. Ia bukanlah Karel yang selalu sigap menyediakan obat di mobilnya untuk Salsha. Sedangkan Salsha sangat butuh pertolongan obat sekarang.

"Gue beli obat di apotek deket sini! Kalian bawa Salsha ke mobil, senderin di kursi!"perintah Randy sembari berlari menuju apotek 24 jam di dekat sana.

Semua yang ada disana menurut dan segera membopong Salsha ke mobil. Begitu di mobil, Aldi segera menyandarkan kursi dan meletakkan Salsha dengan hati hati.

Salsha mencengkram lengan baju Aldi dengan kencang akibat kesakitan. Nyeri di tulang punggungnya sudah sedari kemarin ia rasakan, hanya saja ia menyembunyikannya. Terlebih, sekarang kepalanya ikut berputar.

"Aku...nggak...apa apa,"ucap Salsha berlawanan dengan kondisinya. Seakan mengkhianati kalimatnya, cairan merah itu menetes dari hidungnya.

Perlahan, pandangannya menggelap.

****

Karel menghela napasnya panjang. Ia belum tiba di kota tujuannya, Alsace. Pesawatnya kini sedang transit di salah satu negara dekat sana.

"Salsha pasti marah banget ya,"gumam Karel seraya menyandarkan tubuhnya ke sofa. Ia sedang mengistirahatkan diri di salah satu kafe bandara. Ia masih ada waktu 1 jam sebelum pesawatnya kembali di udara.

Ia mengecek ponselnya yang tentunya sudah ia ganti dengan nomor beregulasi internasional, sehingga bisa ia akses dengan mudah. Meski di nomornya yang sekarang, hanya Randy dan Ayahnya yang tahu.

12 Message from Randy

22 missed call from Randy

Karel terkekeh, "Sekangen itukah dia?"

Ia menekan sederet angka dan menelponnya. Karel tak peduli bahwa ini akan sangat memakan biaya. Ia menunggu dengan sabar hingga teleponnya dijawab.

"Waw, gue nggak nyangka lo bakal jawab. Disana masih jam 2 pagi kan?"

"Iya. Lo lagi transit ya?"

"Yap."

"Perasaan lo naik first class deh. Kan bisa ngakses hape? Napa nggak angkat telpon gue?"

"Gue matiin, hemat batre. Ada apaan?"

"Hh..alasan gue masih bangun jam segini karena gue di RS."

"Shift malem?"

"Bukan, Salsha di RS. Tadi dia sho—"

"APA?? LO BERCANDA!!"

"Gue serius. Salahin lu yang milih tetangga bego kayak si Hari. Dia bocorin semuanya dan akhirnya Salsha ngamuk ngamuk ke gue dan kayaknya itu berdampak ke penyakitnya."

"Sialan. Terus kondisinya gimana? Kenapa sampe diopname, kan gue udah kasih obat?"

"Dia nggak bawa. Dan kita harus bersyukur dia nggak bawa tadi. Gue tebak dia udah bolos jadwal check up lebih dari 2 kali ya?"

"Iya. Yang pertama—Tunggu, jangan bilang dia..."

"Yap. Penyakitnya berkembang jauh lebih pesat dari yang kita kira. Tadi dia sempet mimisan dan sekarang udah dapet penanganan."

Karel merasakan napasnya tercekat untuk beberapa saat. Hanya karena gadis itu selalu mengatakan dia sehat, Karel lengah. Dan ini berdampak cukup jauh.

"Astaga. Gue balik Indo sekarang aja ya?"

"Jangan, Rel. Lo cuman buat semuanya jauh lebih buruk, buat lo ataupun Salsha, itu akan jauh lebih buruk."

"Dia udah sadar?"

"Udah. Sekarang lagi dibujuk sama Aldi."

"Kasih telponnya ke Salsha."

Karel tahu, tak seharusnya ia melakukan hal yang jelas jelas akan membuatnya semakin teringat Salsha. Namun ia tak peduli, ia khawatir dengan keadaan Salsha.

Setelah menunggu beberapa detik, mode panggilan berubah menjadi video call. Karel menghela napas, ia harus siap.

"Sal, jangan marah sama gue sampai kayak gini dong,"ucap Karel langsung saat wajah Salsha sudah terpampang di layar.

Di seberang sana, Salsha tak mengucapkan apapun. Gadis itu diam dan menahan emosinya. Tampak selang infus menancap di pergelangan tangannya.

"Kenapa...lo bohongin gue? Lo kira prank lo itu lucu!"maki Salsha sambil menahan air matanya.

Perpisahan bukanlah hal yang baru, namun entah mengapa ia merasa sangat rindu dengan sosok Karel yang selalu disisinya, kini jauh entah dimana.

"Maaf, Sal. Gue cuman ngerasa...nggak ada perlunya kita sedih sedihan di bandara. Itu aja kok,"dusta Karel.

Di kamera, tampak Salsha menghentikan tangisannya. Ia menatap Karel dengan jengkel.

"Lo tuh ya, nggak pernah berubah! Selalu aja ngasih gue surprise yang nyebeliin!"ucap Salsha jengkel. Ia sudah tak marah lagi dengan Karel, lebih tepatnya ia luluh.

Karel tertawa renyah, "Maaf lagi ya. Habis, gue nggak tahu mesti gimana lagi selain bertingkah nyebelin."

"Lo sebenarnya kemana dan ngapain sih? Sok misteri amat lo!"Kali ini, Steffi yang bertanya.

"Oh, hai Steff! Gue lagi mengembara,"gurau Karel saat melihat wajah Steffi dan temannya yang lain.

"Mengembara? Tersesat di dunia novel lo?

"Kelamaan jomblo dia. Jadinya mau import pasangan dari luar kali."

Karel hanya tertawa saat layarnya sudah dipenuhi dengan kerusuhan teman temannya. Tawa Salsha pun bisa ia lihat, menguar kelegaan di hatinya.

*Penumpang pesawat Singapore Airlines nomor 417F harap....

"Nah, pesawat gue tuh. Gue matiin ya! Bye,"pamit Karel melambaikan tangan.

"Rel!"

Mendengar suara Salsha, Karel batal mematikan sambungan. Ia menatap ke arah kamera ponsel.

"Maaf gue tadi drama banget. Pasti lo kesel ya?"

Karel tersenyum, "Jaga kesehatan lo dengan baik sebagai hukuman."

Setelah mengatakannya, Karel mematikan sambungan dan menyimpan ponselnya ke dalam ranselnya. Kemudian ia kembali melangkah menuju tempat pesawat.

Sementara itu, di Jakarta....

Salsha sudah lebih tenang setelah video call dengan Karel langsung. Emosinya juga mulai lebih tenang. Ditatapnya selang yang menancap di pergelangannya.

"Gue udah nggak apa apa. Boleh pulang nggak, Rand?"tanya Salsha.

Randy menggeleng, "No. Lo masih harus diobservasi selama 2 hari kedepan."

Salsha merengut kesal. Namun kemudian terlintas kembali gagasannya untuk Paris. Ditatapnya Randy dengan pandangan jenaka.

Randy yang tahu arti tatapannya mengernyit, "Mau apaan lo?"

"Kalau gue udah keluar dari RS..."

"Ya?"tanya Randy hati hati.

"Gue boleh ijin tour ke Paris nggak?"

Seketika itu, pena yang digenggam Randy terjatuh. Ia terkejut saat mendengar Salsha. Sesaat ia berasumsi Salsha hendak menyusul Karel.

Aldi tampak kurang setuju dengan gagasan Salsha. Pasalnya, ia khawatir dengan kondisi Salsha. Diraihnya tangan Salsha dan digenggamnya lembut.

"Nggak dalam waktu dekat ini ya, Sal?"bujuk Aldi lembut.

"Aku maunya bulan ini, Ald. Ini bulan terakhir pameran opera di Paris. Pameran yang sama dengan yang dilihat Kakek dulu,"ucap Salsha bersikeras.

Ia sangat gembira saat mengetahui pameran opera yang disukainya bersama sang Kakek sedang melakukan tour concert di Paris. Dan ini bulan terakhir sebelum grup opera itu akan hiatus sampai tahun depan.

Randy menghela napas saat tahu pameran opera-lah yang diincar Salsha. Kemudian ia kembali ke pertanyaan Salsha tadi.

"Ald, bisa keluar sebentar nggak? Gue mau ngomong sama Salsha,"ucap Randy yang langsung dihadiahi tatapan curiga dari Aldi. Buru buru Randy menambahkan, "Kecuali Salsha nggak keberatan lo disini, it's okay."

Salsha pun langsung tahu yang hendak dibicarakan Randy. Ia malas bila harus membicarakannya dengan Aldi, namun ia tak mau membohongi Aldi lagi.

Salsha menghela napas, "Rand, nggak apa apa."

Aldi menggenggam tangan Salsha erat, menguatkan gadis itu. Randy mengangguk dan menutup pintu sesaat. Kemudian perhatiannya kembali ke Salsha.

"Lo nggak bakal gue bolehin pergi selama lo terus bolos treatment kayak gini,"ucap Randy tegas.

Ya. Salsha sama sekali tak menjalankan alternatif pengobatan, yaitu pengambilan darah secara rutin. Akibatnya, penggumpalan darah terjadi dan itu membuat kinerja tubuh Salsha terganggu.

Aldi mengernyit, "Masih ada treatment lain selain obat, Rand?"

"Bukan pilihan sebenarnya. Lebih ke arah wajib. Obat obatan cuman bantu menjaga ketahanan tubuh kamu dari infeksi dan pengencer darah aja. Sedangkan kalau pengambilan darah nggak dilakukan secara rutin, penggumpalan tetap akan terjadi. Ini bahaya, Sal."

Aldi meremas tangan Salsha di genggamannya, seolah mempertanyakan keputusan kekasihnya itu.

"Rand, kalau gue nekat nggak jalanin pengobatan, berapa lama sisa hidup gue?"tanya Salsha membuat napas Aldi tercekat.

"Sal! Kamu nanya apaan sih!"

"Aku harus tahu, Ald! Rand?"tanya Salsha lirih.

Randy menghela napasnya, "Gue nggak bisa jawab. Tapi yang pasti akibatnya akan semakin fatal kalau penggumpalan itu sampai menyumbat aliran oksigen ke otak. Jangan ambil resiko, Sal."

"Sal, tolong jalanin pengobatan yang ada. Aku nggak mau kehilangan kamu. Aku mohon...,"pinta Aldi menitikkan air mata.

Salsha menggeleng, sesaat ia merasakan kebebasannya terenggut. Namun ia tak mau menjalani pengobatan, ia tak mau terkekang dengan alat alat terkutuk itu.

Ia hanya ingin membuat hidupnya bahagia, bukan terkekang dan tersiksa. Toh alat alat itu hanya memperpanjang usianya dan memperlambat penderitaannya.

Untuk apa?

Salsha menghapus air matanya. Ia tak ingin bersedih. Ia mencoba mengulas senyum dan menatap Randy mantap, "Oke, Rand. Makasih informasinya. Bisa nggak, lo keluar dulu? Gue mau ngomong empat mata sama Aldi."

Randy mengangguk dan meninggalkan kamar rawat Salsha. Salsha mengelus lingkaran rambut Aldi yang terus terisak dan menggoyangkan tangan Salsha. Pria itu hancur melihat gadisnya menderita.

"Ald, jangan nangisin aku. Aku nggak apa apa,"ucap Salsha lembut.

"Gimana kamu nggak apa apa? Kenapa kamu nggak mau berjuang?"tanya Aldi serak.

"Untuk apa, kalau alat alat itu hanya memperlambat penderitaanku? Aku nggak akan sembuh, Di. Aku udah siap untuk mati. Jangan kacauin itu dengan bikin aku khawatir sama kamu ya?"pinta Salsha lirih.

Aldi menggeleng kuat kuat. Bayangan mau memisahkannya dengan Salsha sungguh mengerikan baginya. Ia tak henti hentinya memohon pada Salsha untuk melakukan treatment, namun gadisnya menolak.

"Ald, aku mohon. Penuhin permintaanku. Temani aku pergi ke Paris. Anggap saja,ini first and last journey untuk kita."

Malam itu, Aldi benar benar menangis. Tangisannya terdengar begitu pilu melihat ketegaran gadisnya. Hatinya sakit dan terus menjerit kesembuhan untuk Salsha.

******

Salsha menatap jam yang terus berdetak teratur menemaninya. Satu jam lagi, sidang akhir Aldi akan dimulai. Salsha sungguh ingin menghadirinya sekadar memberi selamat. Namun baik Randy maupun Aldi melarangnya.

"Apa gue kabur aja kali ya,"gumam Salsha jahil. Kebetulan Randy sedang ada operasi, sehingga Salsha memiliki celah.

Tanpa pikir panjang, dicabut paksanya selang infusnya. Kemudian Salsha merutuk. Bisa bisanya ia lupa, penyakitnya ini membuat darahnya akan keluar lebih banyak saat ia terluka.

Cairan merahnya mengucur deras mengotori lantai dan seprai bangkar. Dengan asal, Salsha mengambil tisu di dekatnya dan menekan lukanya. Setelah dirasanya mulai berhenti, ia mengambil tasnya di laci dan meninggalkan kamar rawat.

Ia mengendap endap memakai baju rumah sakit. Ia harus kembali ke rumah untuk berdandan sebelum ke kampus. Dengan mulus, ia berhasil mengendap keluar RS dan mendapatkan taksi.

"Pak, ke perumahan Mawar ya,"ucap Salsha pada supir taksi.

"Baik,"jawab supir tersebut sambil melajukan mobil.

Ting

Salsha mengambil ponselnya dan mencoba mengecek pesan masuk. Rupanya chat LINE dari Aldi.

Aldi: Kamu udah minum obatnya kan? Sebentar lagi aku masuk sidang. Habis sidang aku langsung balik.

Salsha: Semangat sidangnya! Kalau aku kesana boleh nggak?

Aldi: Nggak! Jangan bikin aku jantungan :(

Salsha: Kenapa? Aku mau liat kamu. . .

Aldi: Aku bakal cepet balik kok. Jangan nakal dan tetep istirahat ya? Aku minta Iqbaal kesana ya?

Salsha tersentak saat membaca pesan Aldi yang terakhir. Buru buru ia mengetikkan balasan.

Salsha: Nggak usah.

Aldi: Jangan ngambek...

Salsha: Nggak ngam-

"Mbak, rumahnya yang mana?"tanya supir tersebut menyela kegiatan Salsha. Rupanya taksi sudah masuk ke area perumahan Salsha.

"Yang cat putih di ujung itu, Pak,"jawab Salsha.

Dengan cepat, taksi biru itu pun berhenti di depan rumah. Salsha segera turun setelah membayar. Ia bersorak senang saat melihat mobil orangtuanya tak ada.

"Untung Papa Mama lagi liburan,"gumam Salsha senang. Ia melangkah masuk rumah dan mulai bersiap siap.

****

Dengan bantuan taksi lagi, Salsha tiba di kampusnya. Dengan kemeja pink tipis dengan rok putih, ia melangkah. Kaki jenjangnya ditemani sepasang flat shoes berwarna putih yang sempat terkena tetesan dari mimisannya.

Ya, Salsha mimisan lagi. Kondisinya kembali drop, saat ia sedang berdandan tadi. Namun ia tak peduli, meski badannya kembali terasa lemas saat di taksi tadi.

Buat hari ini, jangan ambruk dulu, Batin Salsha.

Ia mendekati pintu ruangan yang dipakai mahasiswa tingkat akhir untuk sidang. Disapanya beberapa kakak tingkat yang sudah selesai.

"Selamat ya, Kak Dirga! Sekarang gilirannya siapa?"tanya Salsha menyalami salah satu kating—kakak tingkat—nya.

"Thanks, Sal. Lagi gilirannya cowok lo tuh,"ucap Dirga ramah. Kemudian dilihatnya wajah Salsha sedikit pucat, "Lo sakit ya, Sal?"

Salsha menggeleng, menampik tafsiran Dirga, "Nggak kok, Kak. Mungkin bedaknya ketebelen, hehehe."

Dirga tidak bodoh, ia bisa membedakan mana pucat karena bedak dan mana karena sakit. Namun ia tak ingin mencari masalah dengan Aldi, maka ia memutuskan untuk pergi dari sana.

Untung percaya,Batin Salsha.

Ia dengan sabar menunggui sidang Aldi. Meski perlahan lahan, badannya terasa semakin lemas. Ia bersandar di dinding dekatnya.

"Salsha? Lo ngapain ada disini?"

Sebuah suara yang dikenalnya membuat Salsha langsung membuka matanya paksa. Ia baru saja hendak tersenyum menyapa Cassie dan Steffi.

"Halo guys..."

Bruk

Tubuhnya ambruk.

.

.

.

.

.

Hayoloh. Salsha hayoloh.

Muehehehehehe

Udah dulu ya, capek nih.

Bubai.

Salam cumi,

Viannaz

#RamaikanTentangKita

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro