Chapter 16

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Author's POV

Cassie dan Steffi sontak kewalahan saat tubuh Salsha memucat dan ambruk. Keduanya langsung mendekati Salsha. Keduanya sama sama panik.

"Sal, Sal!"panggil Steffi berulang kali.

Tepat saat itu, Aldi melangkah keluar dari ruang sidangnya. Senyumnya masih merekah lebar, tak sabar hendak mengabari Salsha. Dahinya mengernyit saat melihat kerumunan orang.

Kenapa feeling gue nggak enak,Batin Aldi gusar.

Ia segera mencegat salah satu maba—mahasiswa baru—yang hendak menuju kerumunan, "Don, itu kenapa pada ribut?"

Doni menoleh, "Lah! Kak, pacarnya kakak pingsan disana!"

Aldi terkejut saat mendengar penuturan Doni. Segera diterobosnya kerumunan dan benar saja, tubuh Salsha tergolek di sisi Cassie dan Steffi.

"Salsha kenapa bisa disini? Dia kenapa?"tanya Aldi panik. Dengan cekatan ia mendekati tubuh Salsha dan menggendongnya.

"Kayaknya dia nyusulin lo, Di! Tapi badannya nggak kuat,"ucap Cassie.

Aldi berdecak sembari terus mempercepat langkahnya. Steffi dan Cassie terus membantunya membelah kerumunan mahasiswa yang ingin tahu.

"Kenapa kamu selalu keras kepala sih,"gumam Aldi sembari terus melangkah ke parkiran.

Ia harus segera melarikan Salsha ke rumah sakit.

******

"Ald, lo butuh istirahat. Biar kita yang jagain Salsha,"ucap Steffi.

Aldi menggeleng, "Nggak usah. Gue mau temenin Salsha sampai dia sadar."

Steffi menghela napas pasrah. Ia tahu tak ada gunanya membujuk Aldi saat ini. Salsha sudah ditangani Randy dan kini hanya perlu menunggu gadis itu sadar.

Brak

Pintu terbuka dengan kasar oleh Iqbaal. Napasnya terengah engah karena berlarian. Steffi bangkit dari sofa, mendekati kekasihnya.

"Salsha gimana, Steff?"tanya Iqbaal khawatir.

"Dia masih belum sadar, tapi udah ditanganin Randy tadi,"jawab Steffi.

"Kenapa dia bisa ada di kampus? Bukannya dia tadi di RS?"

Steffi menghela napas, "Salsha nekat nyusulin kita semua."

"Yaampun, dasar kepala batu,"umpat Iqbaal mengacak rambutnya sendiri frustasi. Kemudian perhatiannya teralih ke Aldi yang tampak...kacau. "Steff, dia udah makan?"

Steffi menggeleng, "Jangankan makan, minum pun belom. Dia nggak beranjak sama sekali."

Iqbaal berdecak sebal. Ia menyesali kedua sahabatnya yang ini sama sama kepala batu. Iqbaal keluar kamar sebentar dan kembali dengan sebuah gelas kertas berisi air di tangannya.

"Di, minum dulu."

Aldi melirik sekilas gelas yang disodorkan Iqbaal dan menerimanya. Namun tak diminumnya, hanya ia taruh di di nakas begitu saja.

"Di, lo harus istirahat dulu. Jangan sampai lo ambruk,"ucap Iqbaal pada akhirnya.

"Tenang aja, gue kuat kok. Kasihan Salsha kalau nanti nggak ada yang nemenin,"ucap Aldi serak. Tangannya terulur, membelai rambut Salsha dengan penuh kasih sayang.

"Sekuat apapun lo, kalau lo nggak makan minum seharian lo bisa ambruk. Terus, nanti siapa yang bakal nemenin Salsha?"sentak Iqbaal dengan nada tinggi.

Aldi menghela napas, "Udahlah, Baal. Gue bisa ngurus diri gue sendiri. Makasih perhatiannya."

"Terserah lo aja deh. Lo sama Salsha tuh sama aja ya, sama sama suka bikin gue sedih khawatirin kalian terus!"tukas Iqbaal seraya melangkah keluar dari kamar rawat.

"Baal!"panggil Steffi, namun tak digubris. Steffi menghela napasnya seraya menatap Aldi yang masih terpaku di sana. Gadis itu kemudian menyusul langkah Iqbaal keluar.

Sepeninggal Iqbaal dan Steffi, Aldi memfokuskan pandangannya kembali ke Salsha. Ia menatap Salsah yang masih tak sadarkan diri.

"Sayang, lihat tuh. Sahabat kita pada ngambek. Cuman kamu yang bisa hibur mereka, ayo bangun...,"ucap Aldi lirih. Digenggamnya tangan Salsha dengan erat dan ditempelkannya ke pipinya.

"Jangan bikin aku khawatir terus, Sal. Ayo berjuang, jangan nyerah...jangan tinggalin aku..."

Perlahan, air mata Aldi kembali tumpah ruah.

*****

"Rand, gue tutup telponnya dulu."

Tuuut

Karel kembali merasakan napasnya berhenti sesaat. Dadanya terasa begitu sesak saat mendengar kabar dari Randy bahwa Salsha kembali ambruk. Dan parahnya lagi, kini tubuh malang itu terkena komplikasi yang menyebabkan penyakit lain.

Air matanya meluncur turun membasahi pipinya. Perlahan, mulutnya bergerak, melantunkan sebuah potongan lagu. Lagu yang dulu disukainya bersama Salsha, gadis istimewanya.

"I...just want you to stay...stay, stay, stay..."bisik Karel nyaris tak terdengar.

Di flat yang ia sewa sementara di Alsace, Karel menumpahkan kesedihannya. Kesunyian dan dinginnya malam Kota Alsace menemaninya melewati malam.

Tuhan, tak apa bila kami tak bersama. Asalkan, aku masih bisa menatap senyumnya, dari jauh sekalipun.

Karel terus duduk menyandar di jendela kaca flat nya. Matanya menatap kosong ke arah langit langit. Nun jauh di sana, belahan hatinya tengah tak sadarkan diri.

Karel sungguh merindukan gadis itu. Gadis yang selalu membuat jantungnya berdebar dengan segala tingkah lakunya. Gadis yang mengisi hatinya selama beberapa tahun terakhir.

Gadis yang berhasil melelehkan pertahanan esnya.

Hanya dia seorang, Salshabilla Adriani.

*****

Sepasang mata itu bergerak gerak perlahan, disusul kelopaknya yang mulai terbuka. Sinar lampu langsung menyerang matanya, membuatnya harus menutupnya lagi.

Ah...aku masih hidup. Batin Salsha.

Matanya bergerak gerak kesana kemari, semuanya masih sama. Kepalanya masih terasa nyeri dan begitu pula sekujur tubuhnya. Hanya satu hal ditengah semua kesakitannya yang membahagiakannya.

Aldi, berada disampingnya. Menggenggam tangannya.

"Ald...,"panggil Salsha serak.

Pemuda itu langsung terbangun begitu mendengar suara yang ditunggunya. Ia langsung mendangak dan tak kuasa menahan air matanya saat melihat gadisnya sudah sadar.

"Sal...I miss you so much,"ucap Aldi menatap Salsha lekat dan penuh sayang.

Salsha tersenyum dan mengelus pelan rambut Aldi. Hatinya terasa hangat, sekaligus sedih.

"Aldi, aku udah nggak apa apa. Jangan nangis dong,"ucap Salsha.

Aldi mengeratkan genggamannya, "Kamu nggak tahu seberapa takut aku tiap kali kamu pingsan. Jangan tinggalin aku, Sal. Janji sama aku, kamu bakal lawan penyakit ini."

Salsha tak menjawab Aldi lebih lanjut lagi, ia hanya tetap diam. Ia tak ingin bertengkar, namun ia juga tak ingin memberi janji palsu.

Ceklek

"Ah, kalian masih butuh waktu?"tanya Randy dari ambang pintu. Ia bisa merasakan kedua insan di depannya itu sedang dalam pembicaraan serius.

Untung ada lo, Rand.

"Nope. Lo mau ngomong apa?"tanya Salsha seraya tersenyum tipis. Sedangkan Aldi hanya duduk di kursi sebelah bangkar.

Randy menggaruk kepalanya yang tidak gatal, tak tahu harus memulai dari mana. Kebingungannya berujung dengan helaan napas.

"Jadi gini, Sal. Ada kabar kurang menyenangkan,"ucap Randy membuat Aldi sontak menatapnya.

Salsha menarik napas, "Dampak penyakit gue ya?"

"Lo bener bener butuh pengobatan segera, Sal. Penyakit itu sudah mulai menyebar. Dan ada kemungkinan terjadi komplikasi kalau terus dibiarkan seperti ini, Sal."

Genggaman tangan Aldi mengerat, membuat gadisnya itu sedikit meringis. Aldi menyadarinya dan segera melonggarkan genggamannya.

"Oke, Rand. Gue ngerti. Bisa lo keluar sekarang?"tanya Salsha dengan nada bergetar.

Randy menghela napasnya dan mengangguk. Ia melangkah keluar dari kamar rawat itu, meninggalkan Aldi dan Salsha. Sepeninggal Randy, air mata Salsha langsung tumpah di pundak Aldi.

Cobaan apa lagi ini?Batin Aldi putus asa. Ia benci situasi seperti ini. Ia benci situasi dimana ia tak bisa melakukan apapun demi gadisnya.

"Sal, please jalanin pengobatan demi aku. Ya?"pinta Aldi memelas.

Salsha menggeleng, "Aku nggak mau...Sia sia, Ald. Sia sia..."

"Kenapa kamu kayak gini sih? Kenapa kamu pesimis kayak gini?"

Salsha terisak, "Terus kamu mau aku gimana? Hidup aku udah cukup terkekang dengan penyakit ini. Sekarang aku udah nggak bisa hang out lama kayak dulu. Aku udah nggak bisa pecicilan kayak dulu dan sekarang kamu masih ngarepin aku terkurung di ruangan yang penuh dengan obat? Aku nggak suka itu, Ald!"

"Tapi itu satu satunya cara kamu sembuh! Memangnya kamu nggak mau sembuh?!"

"Kenapa emangnya kalau aku nggak mau sembuh? Kamu capek, ngeladenin cewek sekarat kayak aku? Iya?!"sentak Salsha mulai melantur.

Tanpa keduanya sadari, topik ini mulai menyeret keduanya kedalam pertengkaran panas. Situasi memanas, keduanya mulai saling meninggikan intonasi.

"Kamu ngomong apa sih, Sal? Kenapa jadi ngelantur kesana? Kalau aku memang keberatan kamu sakit, aku nggak akan ngajak balikan!"balas Aldi.

"Karena kamu cuman kasihan sama aku! Kamu kasihan kan, sama cewek yang udah mau mati ini? Iya kan!"tuduh Salsha mulai histeris.

"Cukup! Kamu makin lama makin aneh, Sal! Kamu nggak tahu seberapa takutnya aku pas kamu drop! Aku bahkan nggak berani nutup mata karena bayangan kamu ninggalin aku selalu terlintas. Kamu keterlaluan, Sal,"ucap Aldi mulai menurunkan intonasinya.

Salsha terdiam, dan tak membantah lagi. Aldi pun sama, ia sama sekali tak mau memperpanjang perdebatan.

Salsha beranjak dari kasurnya, mendekati Aldi dan mengenggam tangannya, "Aku tahu kamu sayang sama aku. Karena itu, jangan perdalam cintamu ya? Cari cewek diluaran sana, Ald. Jangan habisin masa-"

"Nggak usah dilanjutin, Sal. Kalau kamu memang nggak suka aku disisimu, aku pergi."

Sebelum Salsha sempat membantah ataupun berbicara lagi, pintu kamar rawat sudah terbanting dengan keras.

Aldi marah.

.

.

.

.

.

.

Harusnya si nyesek. Semoga kalian nyesek ya wkwkwkw.

Btw, maaf kemaren lupa apdet. Hehehehe.

Bhai!

Salam cumi,

Viannaz.

#RamaikanTentangKita

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro