Bagian 11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Aleta merasa benar-benar senang dan lega karena Kala mau menjadi guru les matematikanya. Dia tidak sabar untuk memberitahu Zyan tentang masalah ini, makanya malam ini dia kembali menunggu Zyan pulang. Tadinya Pak Joko menawarkan Aleta untuk ikut menjemput Zyan ke bandara, namun Aleta malas, jalanan Jakarta macet, apalagi jarak dari rumah ke Bandara itu jauh. Lebih baik dia menunggu Zyan di rumah sambil menonton Netflix.

Serial yang sedang ditonton oleh Aleta adalah Elite. Serial ini berasal dari Spanyol, Aleta juga tidak menyangka kalau dia bisa menyukai serial Spanyol ini, mengingat dia biasa menonton serial berbahasa Inggris, namun ternyata tayangan ini membuatnya ketagihan, jalan ceritanya seru, mengangkat kasus perisakan di sekolah. Aleta juga bisa belajar bahasa Spanyol sedikit demi sedikit karena menontonnya.

"Begadang lagi, Al?"

Aleta kaget saat melihat Zyan yang tiba-tiba sudah ada di dekatnya. Laki-laki itu mengenakan kaos hitam dan celana jins berawarna senada. Wajah Zyan terlihat letih, seperti kurang tidur.

"Mas kerja keras banget kayaknya," komentar Aleta.

"Itu kamu tahu." Zyan merentangkan tangannya. "Ugh! Capek juga ternyata."

Aleta menggeleng-gelengkan kepalanya. "Beneran nggak enak ya jadi orang dewasa." Itu adalah ucapan yang selalu dikatakannya pada Zyan, setiap melihat Zyan kelelahan karena bekerja seperti ini.

"Kamu tuh, emang mau kecil terus?"

"Kalau bisa sih kayak Edward Cullen yang berhenti menua di usianya yang ke tujuh belas tahun. Bisa nggak, Mas?"

Zyan mengacak rambut adiknya. "Ngaco! Itu lah tontonan kamu itu aneh-aneh. Ini dunia nyata, bukan khayalan. Ini film apa pula?" tanya Zyan saat melihat televisi.

"Serial Spanyol, Mas sih pasti nggak suka, drama gitu," ucapnya. "Oh ya, Mas, aku mau ngomong sesuatu, nih," lanjut Aleta.

"Apa?" tanya Zyan.

"Yang pertama, padus kami juara. Memang sih juara dua tapi itu pencapaian yang bagus di banding tahun lalu."

"Oh."

Aleta berdecak kesal. "Masa cuma oh doang sih, Mas?" Walaupun Zyan tidak menyukai musik dan selalu menghalangi Aleta untuk mengikuti segala kegiatan yang berbau musik, tetap saja Aleta berharap kakaknya ini mengapresiasi dirinya. Syukur-syukur kalau Zyan berubah pikiran dan akhirnya sadar kalau bakal Aleta di musik dan beralih memihak Aleta agar bisa menjadi seorang penyangi. Aleta butuh dukungan, dan Zyan adalah kunci utamanya. Kalau Zyan mau mendukungnya, maka akan lebih mudah menghadapi papanya.

"Terus mau ngomong apa?" tanya Zyan.

"Ya kasih selamat gitu. Mas ih, masa gini aja mau dikasih tahu."

Zyan menggelengkan kepalanya. "Nggak ah, malas."

Aleta kembali berdecak. Zyan memang keras kepala. "Ya udah deh, lanjut ke berita kedua. Bu Kala mau ngajarin aku les," katanya semringah.

Zyan mengerutkan kening. "Bukannya kata kamu dia nolak?"

"Nggak dong, akhirnya Bu Kala mau. Pokoknya Aleta mau les sama dia, ya. Nggak mau sama yang lain." Apalagi kalau yang mengajarinya salah satu dari teman Zyan. Itu sama saja dia memenjarakan diri di dalam neraka. Oke, mungkin terdengar berlebihan, tetapi Aleta yakin sekali, teman-teman kakaknya ini tidak jauh berbeda dengan Zyan.

"Plin-plan banget guru kamu ini."

"Ih, Mas ini. Udah deh, yang penting kan sekarang Bu Kala mau ngajarin aku."

Zyan menghela napas. "Jangan senang dulu, guru kamu itu tetap harus menjalani tes. Mas harus tahu apa dia benar-benar kompeten untuk ngajarin kamu."

Aleta memasang wajah ngeri dan berkata, "Mas! Bu Kala ini guru aku di sekolah. Gimana bisa nggak kompeten. Mas jangan aneh-aneh, deh."

"Tetap aja Mas harus nguji dia. Minggu ini ketemu Mas, suruh ke rumah aja. Ya udah kamu tidur sana, Mas juga mau istirahat." Zyan berdiri dan berjalan menuju kamarnya. Sedangkan Aleta masih cemberut memandangi kepergian kakaknya itu.

******

Aleta : Bu Kala nanti biar aku jemput ya di kosan Ibu. Soalnya ada yang mau aku omongin juga.

Pesan itu dikirimkan oleh Aleta pagi tadi, sebelumnya Aleta mengatakan kalau kakaknya mau bertemu siang ini di rumah mereka. Kala memang sudah mengosongkan jadwalnya minggu ini untuk bertemu dengan kakak Aleta itu. Kala mematut dirinya di depan cermin, hari ini dia mengenakan blus berwarna peach, dipadukan dengan kulot warna cokelat susu. Dia mengoleskan lipstik berwarna nude di bibirnya lalu menyandang handbag-nya kemudian keluar dari kamar. Saat turun dari kamarnya, dia mendapati Satria yang sedang menunggu di depan kosannya. Melihat wajah kekasihnya itu membuat Kala berdecak kesal.

Satria baru menyadari kehadiran Kala, dia tersenyum pada perempuan itu namun Kala tidak membalas senyum itu sama sekali. Satria berjalan mendekati Kala kemudian menyapa perempuan itu. "Hai, Kal. Mau pergi, ya?"

Kala mengangguk, namun tidak mengeluarkan sepatah kata pun.

"Maaf nggak ngabarin kamu kalau aku mau ke sini. Aku mau ngomong sama kamu, sekaligus minta maaf," ucapan Satria terpotong oleh seseorang yang memanggil nama Kala.

Tatapan Kala mengarah ke pintu kosan, ternyata Aleta yang memanggilnya. Kala tersenyum pada anak muridnya itu. "Bentar ya, Al." Setelah mengatakan itu, Kala memandang Satria dengan tatapan malas. "Aku harus pergi."

Satria menahan tangan Kala. "Kamu pulangnya jam berapa? Biar aku jemput."

"Nggak usah, aku juga nggak tahu pulang jam berapa."

"Tapi aku butuh ngomong sama kamu, Kal."

"Tunggu aku siap ngomong sama kamu, baru kita ngomong," tegasnya. Setelah mengatakan itu Kala meninggalkan Satria begitu saja. Satria menarik napas dalam, dia tahu kali ini Kala benar-benar marah padanya.

******

Di dalam mobil Kala terlihat melamun, Aleta jadi takut untuk mengajak bicara gurunya itu. Aleta tentu melihat kejadian di kosan tadi, dia tidak bermaksud ingin tahu urusan Kala tetapi sepertinya, ada masalah antara Kala dan laki-laki yang dilihatnya tadi. "Ehm... Bu," panggil Aleta.

Kala berusaha menyunggingkan senyumnya. "Oh ya, maaf Al, Ibu ngelamun."

"Hehe, nggak papa, Bu. Ehm... gini, aku mau kasih tahu dulu nih sebelum ibu ketemu sama Mas Zyan."

"Ngasih tahu apa?"

"Seperti yang waktu itu aku bilang, Mas Zyan ini orangnya agak ribet. Bukan agak sih, emang ribet. Nah, dipertemuan ini, Mas Zyan katanya mau ngetest Ibu. Aku sih, yakin Ibu pasti bisa ngerjain soal-soal yang dikasih sama Mas Zyan. Cuma aku takut Ibu tersinggung sama sikap Masku ini."

Kala tertawa. "Nggak kok, tenang aja. Ibu udah biasa menghadapi yang begitu. Dulu kan Ibu ngajar di bimbel, nah wali muridnya juga serem-serem gitu, tapi aman-aman aja, kok."

Aleta mendesah lega. "Syukur deh kalau gitu. Aku takut Ibu ngerasa gimana nanti karena mas Zyan."

Aleta tersenyum, lalu bertanya, "kamu tinggal sama kakak kamu ini, ya?"

Aleta mengangguk. "Dulu waktu SMP tinggal sama tante di Bogor. Tapi semenjak SMA, aku tinggal sama Mas Zyan," jawab Aleta.

"Dari cerita kamu, kayaknya Mas kamu ini tipe perfeksonis gitu."

"Banget! Aduh hidup sama Mas Zyan itu butuh kesabaran ekstra. Perfeksionis, gila kerja, sukanya ngomelin aku."

Kala tertawa, kemudian berkata, "Ibu juga punya kakak cowok. Tapi kami nggak terlalu deket. Kadang iri sama orang yang bisa deket sama kakaknya gitu." Kala teringat Rakha, kakak keduanya. Memang benar dia tidak dekat dengan Rakha, karena sejak dulu Rakha sibuk dengan dunianya sendiri.

"Ehm... Mas Zyan sama aku deket sih, dari dulu. Aku tahu dia sayang banget sama aku, jadi walau dia nyebelin, aku mau tinggal sama dia."

Kala tersenyum sepertinya Aleta memiliki hubungan yang unik dengan kakaknya ini. Beberapa saat kemudian mereka sudah sampai di kediaman Aleta. Kala melihat pagar tinggi berwarna hitam itu terbuka lebar, kemudian ada bangunan bertingkat dua berwarna putih, desainnya memang minimalis, namun rumah itu jelas masuk kategori mewah, halamannya juga luas. Ayumi benar, Aleta memang anak konglomerat.

Pak Joko menghentikan mobilnya, kemudian Aleta mengajak Kala turun. Keduanya masuk ke rumah. "Duduk, Bu," kata Aleta pada Kala.

Kala mengangguk dan duduk di ruang tamu. Ruang tamunya tidak terlalu besar, sama seperti cat di luar, di dalam pun di dominasi dengan warna putih. Kala memperhatikan sekelilingnya. Tidak ada foto keluarga di sana, hanya ada beberapa lukisan yang tertempel di dinding.

Beberapa saat kemudian, Aleta kembali di dampingi seorang lelaki, tentu saja itu adalah kakak laki-laki Aleta. Kala memperhatikan Zyan yang mengenakan kaos putih dan celana hitam selutut. Zyan memiliki tubuh yang tinggi, mungkin kalau berdiri berdampingan, Kala hanya mencapai bahunya. Kulitnya kecoklatan, tubuhnya proposional, tidak gemuk tetapi tidak kurus juga. Dan seperti Aleta yang cantik, tentu saja kakaknya juga tampan. Hidungnya mancung, rahangnya juga tegas, dengan mata yang menurut Kala begitu tajam, karena saat Zyan menatapnya, Kala merasa seperti di scanning oleh laki-laki itu.

Kala berdiri lalu menyalami Zyan. "Saya Kala," ucapnya sambil tersenyum.

"Zyan," ucap Zyan sambil tersenyum tipis. "Silakan duduk."

Kala mengangguk dan duduk di depan Zyan. Zyan menoleh pada adiknya yang ikut duduk di sampingnya. "Al, tadi Tante Luna nelepon, coba kamu telepon balik."

"Nanti aja. Aku mau di sini," jawab Aleta.

"Al..." panggilan peringatan itu membuat Aleta mengerucutkan bibir. Tentu saja dia mengerti kalau Zyan ingin berbicara berdua saja dengan ibu gurunya. "Iya, iya. Tapi Bu Kalanya jangan diapa-apain ya, Mas."

Kala menahan senyum mendengar ucapan Aleta itu. Setelah Aleta pergi, Zyan kembali menatap Kala. Pertama-tama Zyan menanyakan hal-hal lumrah saat kedua orang baru berkenalan. Lalu laki-laki itu mulai menanyakan riwayat pendidikan Kala dan pengalaman mengajar Kala selama ini. Kala menjawab semuanya dengan lancar. Sejauh ini Zyan cukup sopan padanya, namun Kala melihat laki-laki ini terlihat begitu perfeksionis.

"Karena kamu nanti akan mengajar Aleta, boleh kan kalau saya memberikan beberapa soal untuk kamu kerjakan?" tanya Zyan.

Kala langsung mengangguk. "Nggak papa, Mas." Kala bingung harus memanggil apa, kalau memanggil Bapak, nanti Zyan tersinggung karena kelihatannya usia Zyan tidak jauh berbeda dengannya.

"Tunggu sebentar, ya," kata Zyan kemudian masuk untuk meninggalkan Kala. Kala mengembuskan napas pelan, dia agak gugup menghadapi Zyan. Jelas sekali kalau laki-laki ini cerdas. Dia jadi takut tidak bisa mengerjakan soal yang diberikan oleh Zyan. Tidak lama kemudian Zyan kembali dengan membawa kertas. "Ini soalnya. Kamu bisa kerjain di kertas ini." Zyan meletakkan kertas soal yang telah dibuatnya di depan Kala.

Kala memandang soal pertama tentang fungsi trigonometri. Kala menenangkan dirinya, lalu meraih pulpen dan kertas yang diberikan Zyan. Laki-laki itu tetap duduk di depan Kala, sesekali dia membuka ponselnya. Kala mengerjakan soal-soal itu dengan serius. Ada enam soal yang diberikan oleh Zyan. Soal kedua tentang geometri fungsi dua variabel, limit fungsi, turunan fungsi transenden, persamaan linier dan yang terakhir tentang kalkulus.

Kala membaca kembali jawaban yang telah ditulisnya kemudian menyerahkannya pada Zyan. Zyan menerima lembar jawaban Kala, dan memeriksanya. Kala memperhatikan ekspresi Zyan, wajah laki-laki itu datar, sehingga Kala tidak bisa menebak apa yang dipikirkannya. Setelah selesai membaca lembar jawaban Kala, Zyan memandangnya. Kala berdebar, dia merasa seperti kembali ke ruangan sidang skripsinya. Kenapa Zyan terlihat menyeramkan saat ini? Apa dia lulus menjadi guru les Aleta?

****** 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro