Bagian 14

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Hari ini adalah hari pertama Kala mengajar Aleta di rumahnya. Setengah jam yang lalu, Kala tiba di rumah Aleta. Mereka belajar di lantai dua, Aleta terlihat begitu bersemangat belajar bersama dengan Kala. Kala mulai mengajari Aleta dari materi awal kelas sepuluh karena banyak materi yang tidak dimengertinya. Sejauh ini, penjelasan Kala bisa diterima oleh Aleta. Sebenarnya Aleta hanya butuh dijelaskan dua sampai tiga kali untuk memahami materi. "Guru-guru yang dulu ngejelasinnya cepet banget, makanya aku nggak ngerti," kata Aleta ketika ditanya apa yang menjadi kesulitannya selama ini.

"Kalau kamu nggak ngerti, atau penjelasan guru terlalu cepat. Kamu bisa ngomong sama gurunya. Matematika itu, kalau kamu udah nggak ngerti di materi awal, akan susah untuk mengerti materi-materi selanjutnya."

"Iya sih, salahku dulu nggak mau nanya. Soalnya gurunya serem-serem."

Kala menyipitkan matanya. "Seseram-seramnya guru, kalau anak muridnya nanya mereka pasti dijawab. Nggak mungkin marah. Yang bikin marah itu, kalau anak muridnya curang, nyontek pas ulangan misalnya."

Aleta meringis, pasalnya setiap ujian matematika dia selalu melihat jawaban temannya. Dia kembali fokus pada soal yang diberikan oleh Kala, butuh waktu yang agak lama untuk mengerjakan soal-soal itu, namun Aleta bisa menjawab semuanya, walau dia tidak terlalu yakin apa jawabannya sudah tepat. "Ini Bu, udah selesai." Aleta menyerahkan buku catatannya pada Kala. Setelah menjelaskan materi awal, Kala memberikannya soal untuk dijawab oleh Kala. Anak itu memang butuh waktu yang lumayan lama untuk mengerjakan dua soal, namun menurut Aleta, tidak apa-apa lama, asal Aleta memang mengerti apa yang dia jelaskan.

"Udah bener semua ini."

Aleta melebarkan matanya, ada perasaan tidak percaya. "Beneran, Bu?"

Kala mengangguk. "Tapi Ibu akan kasih beberapa soal lagi sebelum pindah ke persamaan dan fungsi kuadrat."

Aleta yang mengetahui soal yang dikerjakannya benar, merasa jauh lebih percaya diri. Tetapi ternyata saat mendapat soal baru dari Kala, Aleta hanya bisa mengerjakan tiga dari enam soal. "Pusing, Bu," keluhnya sambil menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.

"Pusingnya di mana?" tanya Kala, dia menaruh buku Aleta di depan anak itu dan Aleta mulai menjelaskan apa yang membuatnya bingung. Dengan sabar Kala mulai menjelaskan kembali materi yang tidak dimengerti oleh Aleta. Aleta tidak pernah merasa belajar matematika bisa semenarik ini, dia tidak merasa tertekan karena Kala begitu sabar menjelaskan materi padanya. Hingga keduanya tidak sadar kalau sudah belajar selama dua jam lebih. "Kita sambung hari Kamis ya, Al. Sekalian kamu pelajari bab berikutnya. Nanti kalau kamu nggak ngerti, Ibu bisa jelaskan." Kala mulai membereskan barang-barangnya yang ada di meja, kemudian memasukkannya ke tas.

"Nggak ngerti semuanya sih, kayaknya. Hehe." Aleta nyengir

Kala setengah tertawa. "Nggak boleh pesimis gitu, lah."

Tidak lama kemudian, ART Aleta membawakan camilan risoles untuk Kala dan Aleta. "Makan dulu, Bu," ajak Aleta. Kala mengangguk dan mengambil satu risoles. Mereka berdua mulai memperbincangkan hal lain, apalagi kalau bukan musik. "Ibu udah pernah nonton konser Tulus?" tanya Aleta.

"Pernah sekali," jawab Kala lalu menggigit risoles keduanya.

"Wah, enak banget. Bu, kalau nanti ada konser lagi. Nonton bareng, yuk. Tapi jangan sampe ketahuan Mas Zyan."

Kala mengerutkan keningnya, bingung. "Emang kenapa?"

Aleta cemberut. "Mas Zyan nggak suka musik. Pokoknya dia sensi banget kalau bahas musik. Ini aja aku mau ikut audisi Voice, bingung gimana biar diizinin."

Kala melebarkan mata, terkejut karena Aleta ternyata ingin ikut audisi pencarian bakat yang terkenal itu. "Kamu mau ikut audisi Voice? Wow, Ibu yakin kamu lolos sih, bisa sampe masuk TV."

"Nggak tahu sih, Bu. Saingannya kan, banyak."

Kala setuju. "Iya sih. Tapi kenapa Mas kamu nggak suka musik? Kalau Ibu ya, punya adik kayak kamu, malah Ibu support banget."

Aleta mengedikkan bahu. "Nggak terlalu jelas alasannya." Aleta tidak berani menjelaskan lebih jauh masalah ini. Selama ini teman-temannya saja tidak tahu kalau dia adalah anak dari Agung Rahadjiwa dari istri keduanya. Ayahnya juga sudah meminta agar pihak sekolah menjaga privasinya ini, karena takut teman-teman Aleta memandangnya sebagai anak dari orang yang pernah merusak rumah tangga orang lain. "Aku lagi pusing gimana biar diizinin ikut audisi."

"Diem-diem aja dulu," celetuk Kala begitu saja.

"Apa, Bu?"

"Ya diem-diem aja dulu. Kan kamu masih audisi, nanti kalau kamu udah dinyatakan lolos baru deh ngomong. Ibu yakin kalau kamu lolos, kakak kamu juga bangga, dan akhirnya kasih izin kamu untuk jadi penyanyi. Buktiin dulu kalau kamu bisa sama dia."

Saran Kala itu membawa angin segar bagi Aleta. Kenapa dia tidak terpikir sampai ke sana. "Tapi gimana bilangnya ke Mas Zyan kalau aku mau pergi audisi?"

Kala berpikir sejenak. "Apa ya? Latihan padus? Eh, kenapa Ibu malah ngajarin kamu bohong, ya." Kala langsung menutup mulutnya, merasa bersalah karena sudah menyarankan hal ini pada anak muridnya.

Aleta menggeleng. "Ini bohong untuk kebaikkan kok, Bu. Tenang aja. Ide Ibu ini brilian banget. Tinggal mikirin caranya supaya Pak Joko nggak bocor ke Mas Zyan."

"Waduh, Ibu kayaknya nyari masalah ini, udah ngasih ide ke kamu."

"Aman kok, Bu. Lagian kan aku belum tentu lolos. Kalau nggak lolos anggap aja pengalaman. Kalau lolos ya udah, seperti yang Ibu bilang mungkin aja Mas Zyan bisa berubah pikiran, kan? Aku pengin banget jadi penyanyi. Itu satu-satunya hal yang bisa aku kerjakan dengan hati. Aku yakin kok, bisa bertahan di dunia seni. Cuma Mas Zyan dan Papa selalu mikir kalau seni nggak akan menghasilkan apa-apa."

Kala terdiam mendengar penuturan Aleta. Dia juga merasakan hal yang sama, entah kenapa melihat Aleta, Kala seperti berkaca pada masa remajanya. Bedanya dia tidak seberani Aleta, dulu dia hanya bisa diam dan menerima saja saat kedua orangtuanya memutuskan tentang masa depannya. Selain itu karena Kala juga sadar kemampuannya tidak sebaik itu untuk bisa menjadi penyanyi. Berbeda dengan Aleta, anak ini memang berbakat, sayang sekali kalau bakatnya tidak dimanfaatkan, apalagi memang ada peluang yang bisa dia kejar. "Kamu bener-bener mau jadi penyanyi, Al?" tanya Kala.

Aleta mengangguk. "Ini rahasiaku, tapi karena aku percaya Bu Kala, makanya aku cerita. Mohon dijaga ya, Bu rahasianya."

Kala tersenyum lalu mengakat jarinya membentuk tanda oke. "Oke, rahasia kamu aman."

*****

Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, seharusnya Kala sudah pulang sejak pukul lima sore tadi, tetapi karena hujan lebat, akhirnya dia tertahan di sini hingga malam. Aleta mengajak Kala untuk makan malam bersama, tetapi Kala menolak dengan alasan dia harus pulang untuk memerika tugas muridnya. "Udah dapet, Bu, ojeknya?" tanya Aleta.

Kala menggeleng. "Pada cancel, katanya jalanan banjir."

"Iya sih, hujannya lumayan deras. Duh, Pak Joko lagi cuti pula hari ini. Aku nggak bisa nyetir lagi. Gimana, ya? Ibu pesan taksi online aja," saran Aleta.

Tadi Kala sudah mengecek harga taksi online, tapi harganya melambung hingga empat kali lipat. Mungkin karena hujan deras dan juga jam pulang kerja. Dia jadi sayang menghabiskan uangnya untuk naik taksi. Padahal jarak dari sini ke kosannya tidak terlalu jauh.

Di tengah kebingungan keduanya, merekat tidak sadar kalau ada yang membuka pintu rumah, ternyata Zyan yang baru pulang dari kantor. "Baru selesai belajarnya?" tanya Zyan saat melihat Aleta dan Kala duduk di ruang tamu.

"Udah dari sore. Tapi Bu Kala nggak bisa pulang karena hujan. Nggak ada yang mau ambil orderannya," jelas Aleta.

Zyan mendekati keduanya. "Jalanan memang banyak yang banjir. Udah pada makan?" tanya Zyan.

Aleta melirik Kala. "Bu Kala nggak mau diajak makan."

Zyan memandang Kala dan tersenyum tipis. "Makan dulu aja, Mbak. Nanti saya antar pulang."

Mendengar tawaran Zyan membuat Kala tercengang. "Eh, nggak usah, Mas. Saya pesan taksi aja." Harusnya dari tadi saja dia memesan taksi. Kan malu sama kakak Aleta ini. Apalagi mau diantar pulang.

"Nggak papa, kok. Ayo makan dulu aja. Saya mandi sebentar, terus nanti saya antar."

"Iya, Bu. Makan dulu aja, yuk," timpal Aleta.

Kala berpikir sejenak, kemudian mengangguk. Aleta tersenyum dan mengajak Kala ke ruang makan, sedangkan Zyan berpamitan ke kamarnya untuk mandi. "Ibu makan yang banyak." Aleta menyendokkan nasi, sayur dan lauk ke piringnya sendiri.

Kala mengikuti Aleta, memindahkan nasi, ayam goreng dan sayur sop ke dalam piringnya. Saat mereka berdua tengah menghabiskan setengah makanan di piring masing-masing. Zyan datang dan ikut bergabung. Kala bisa mencium bau sabun yang menguar dari tubuh laki-laki itu. Zyan mengenakan kaos hitam dan celana jins selutut berwarna senada, rambutnya yang pendek terlihat basah. Zyan mengambil piring makan dan memindahkan nasi dan ayam goreng ke piringnya, tanpa sayur.

"Mas, sayurnya dimakan lah," protes Aleta

"Males, ah."

"Biasan deh."

Kala melirik keduanya, Aleta yang terlihat kesal dan wajah Zyan yang datar saja melihat kekesalan adiknya itu. Sepertinya Zyan bukan pecinta sayur, saat Aleta memaksanya mengambil sayur, laki-laki itu hanya mengambil kuahnya saja dan mengabaikan adiknya yang masih mengoceh tentang pentingnya sayur untuk kesehatan.

Setelah selesai makan. Zyan mengambil kunci mobil dan berjalan ke garasi, Kala mengikutinya bersama Aleta. "Kamu ikut kan, Al?" Kala memastikan, dia merasa tidak enak kalau hanya berdua saja bersama Zyan.

"Aduh Bu, masih ada PR Sejarah, mana banyak lagi. Nggak papa ya pulang sama Mas Zyan aja. Dia galaknya cuma sama aku, kok," kalimat terakhir diucapkan Aleta sambil berbisik.

Apa boleh buat, dia tidak mungkin egois meminta Aleta ikut mengantarkannya. Kala masuk ke mobil Zyan. Berada di dalam membuat Kala bisa mencium aroma tubuh Zyan lebih kuat. Kala bisa mencium aroma rosmery dan citrus. Kala menarik sabuk pengaman dan mengenakannya. Zyan mulai menjalankan mobilnya keluar dari halaman rumah. "Daerah Simatupang, kan?"

"Iya, Mas." Jujur Kala merasa agak tidak nyaman, mungkin karena Zyan yang walaupun ramah, namun juga terasa dingin. Entah kenapa Kala sering merasa gugup menghadapi tipe laki-laki seperti Zyan ini.

Zyan mulai menjalankan mobilnya keluar dari halaman rumah. Kalau tidak macet perjalanan mereka bisa ditempuh dalam waktu dua puluh menit. Tetapi karena hujan dan masih jam pulang kerja, jalanan lebih padat, membuat keduanya lebih lama berada di mobil. Setengah perjalanan mereka tempuh dalam diam.

Kala melirik Zyan yang sibuk menyetir, dia melihat bagaimana Zyan yang terlihat mengetuk-ngetukkan jari-jarinya ke setir saat mobil tidak bisa berjalan karena macet. Kalau saja ada musik yang menemani perjalanan mereka, mungkin Kala akan lebih rileks. Tetapi dia ingat kata-kata Aleta tentang Zyan yang tidak menyukai musik. Harusnya Kala tidak perlu tegang, karena dia biasa naik taksi online dan tidak saling berbicara dengan driver. Tetapi, kali ini jelas berbeda. Mungkin karena Zyan adalah kakak dari muridnya, yang kebetulan tampan, keren, dan wangi, membuatnya menjadi gugup.

"Gimana Aleta tadi?" Akhirnya Zyan memecah kesunyian di antara mereka.

"Not bad. Aleta cuma perlu mendengar penjelasan dua sampai tiga kali untuk mengerti materinya."

Zyan menoleh pada Kala sekilas. "Dia belajar dengan serius, kan?"

Kala mengangguk. "Dia selalu serius. Di kelas juga begitu."

"Syukurlah." Kemudian keduanya diam lagi, hingga akhirnya mobil Zyan tiba di depan gerbang kosan Kala. Kala menoleh pada Zyan. "Makasih Mas, maaf ngerpotin."

Zyan tersenyum tipis. "Nggak masalah. Oh ya, pake payung nih, masih gerimis di luar." Zyan membalikkan tubuhnya ke belakang untuk mengambil payung, dan itu membuat Kala bisa mencium aroma tubuh laki-laki itu lebih lekat. "Nggak usah Mas, nggak papa, kok. Sekali lagi makasih, ya." Kala keluar dari mobil Zyan dan berlari-lari kecil masuk ke dalam kosannya. Zyan memperhatikan Kala hingga perempuan itu berada di dalam kemudian berlalu dari kosan Kala.

***** 



#TimSatria

#Tim Zyan


heuehehehe

Happy reading 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro