Bagian 13

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Aleta pulang ke rumah dengan perasaan bahagia, Aleta segera naik ke lantai dua menuju kamarnya, membaringkan tubuhnya kemudian langsung menghubungi Laluna. Panggilannya itu langsung dijawab oleh adik mamanya itu. "Ya, Al?"

"Tanteeeee... Voice 3 bakal buka audisi bulan depan, aku mau ikut," ucapnya penuh semangat.

"Wah bagus itu. Kamu dapet info dari siapa?"

"Dari Kak Mia. Katanya aku diminta nyiapin data diri, yang ikut kan rame banget. Kata Kak Mia biar aku bisa audisi di hari pertama, nanti dia bisa bantu. Menurut Tante ini curang nggak?" tanyanya.

"Ehm... nggak sih, kan kamu tetep ikut audisi."

Aleta juga berpikir begitu. "Katanya harus melewati juri biasa dulu sebelum ketemu juri artis. Aku deg-degan sih, Tan, nervous tapi excited juga."

"Tante ngerti perasaan kamu. Tapi, karena ini baru pertama kali kamu ikut audisi, jangan terlalu berekspektasi lebih ya, Al. Saingan kamu banyak, kita ambil kemungkinan terburuk, seandainya kamu nggak lolos, kamu udah siap dan nggak down."

Aleta tentu saja memikirkan masalah ini. Dia tahu di luar sana banyak orang yang mempunyai suara lebih indah dan unik dibanding dirinya. Dan dia sudah menyiapkan hati kalau misalnya dia tidak lolos audisi, setidaknya ini menjadi pengalaman untuknya dan Aleta tidak akan menyerah untuk ikut audisi-audisi di season selanjutnya. "Tenang aja, Tan. Aku nggak akan kecil hati kalau nggak lolos."

"Bagus deh, soalnya banyak yang down saat gagal, karena ekspektasi sih. Oh ya, kamu udah bilang sama Zyan mau ikut audisi?" tanya Laluna.

Aleta menghela napas. "Nah, itu dia Tan, aku belum tahu gimana cara ngomong ke Mas Zyan. Tahu sendiri dia gimana. Inget kan, gimana aku mohon-mohon sama dia buat ikut padus? Itu juga diizinin karena kegiatan sekolah. Kalau ini kan, bukan. Tante ada saran nggak?"

Laluna sendiri juga bingung mau menjelaskannya bagaimana pada Zyan. Laluna tahu sekali alasan Zyan menjauhkan Aleta dari dunia musik. Selama ini Aleta hanya tahu kalau Zyan tidak suka musik karena mamanya seorang penyanyi. Hanya sebatas itu, padahal sebenarnya alasan Zyan lebih kompleks dari itu. "Nggak mungkin kan, kita sembunyi-sembunyi dari Zyan?"

"Iya sih, Tan. Gimana, ya bujukin Mas Zyan?"

"Nanti Tante pikirin caranya dulu, ya. Masih satu bulan lagi, kan?"

"Iya sih."

"Ya udahlah, kamu mending siapin diri dulu aja buat audisi, Al. Latihan, kalau butuh latihan piano, kamu ke sini aja. Minta izin sama Zyan buat nginep," saran Laluna.

"Oke, Tan. Tapi hari Sabtu aku ada jadwal les matematika, Tan." Aleta teringat jadwal lesnya setiap Selasa, Kamis dan Sabtu.

"Lho, udah dapet guru lesnya?"

Aleta mengiyakan. "Guruku di sekolah. Minggu kemarin udah ketemu Mas Zyan. Pake acara dites pula, Tan. Aduh, Mas Zyan itu. Padahal harusnya udah tahu lah ya, Bu Kala kan guru sekolahku. Nggak mungkin nggak kompeten."

Laluna tertawa mendengarnya. "Mas kamu kan perfeksionis. Tante nggak kebayang aja kriteria calon istrinya sesempurna apa."

Aleta meringis. "Mungkin sebelum memutuskan untuk pacaran, Mas Zyan bakal bikin soal gitu, terus dikasih sama gebetannya. Kalau nilainya bagus, baru mereka pacaran," kata Aleta asal, membuat Tantenya langsung tertawa. "Kamu tuh, bisa aja."

"Ya udah, Tan. Kala mau ganti baju dulu, ya. Ada PR nih, banyak."

"Oke sayang."

******

Kita adalah sepasang sepatu

Selalu bersama tak bisa bersatu

Kita mati bagai tak berjiwa

Bergerak karena kaki manusia

Lagu Tulus itu terdengar dari laptop Kala, seperti biasa dia sedang duduk di kursi kerjanya dengan tumpukan lembar jawaban murid-muridnya. Sedari tadi, ponsel Kala terus bergetar, ada nama Satria yang terus menari-nari di layarnya. Namun Kala mengabaikan panggilan itu.

Kala melirik ponselnya yang berhenti bergetar, namun menampilkan pop up pesan dari Satria.

Satria : Mau kamu apa, Kal? Aku capek ngejer-ngejer kamu kayak gini.

Kala menghela napas. Kemudian dia memutuskan untuk menghubungi Satria, tidak perlu menunggu lama. Panggilan itu langsung dijawab oleh Satria. "Akhirnya, mau ngomong juga kamu sama aku."

"Bisa kamu ke sini sekarang?" potong Kala.

"Sekarang?"

"Iya sekarang. Atau nggak sama sekali." Jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam, butuh waktu satu jam untuk Satria tiba di kosannya, itu pun kalau tidak terjebak macet.

Satria terdiam cukup lama, sebelum akhirnya menyetujui permintaan Kala. "Oke."

"Oke. Kabarin kalau kamu udah di bawah." Setelah mengatakan itu Kala memutus sambungan telepon. Dia menarik napas berulang kali. Sebenarnya dia juga bingung untuk mengatakan apa pada Satria. Tetapi, masalah tidak akan pernah selesai kalau dia selalu menghindar.

Satu jam kemudian, Satria mengirimkan pesan kalau dia sudah ada di bawah. Kala mengambil kardigan dari balik pintu dan mengenakannya untuk menutupi baju tidur tanpa lengannya. Dia keluar dari kamar dengan jantung yang berdebar kencang.

Satria duduk di ruang tunggu kosannya, laki-laki itu mengenakan celana jins selutut dan jaket warna hitam. Dia tersenyum pada Kala, dan Kala hanya membalas dengan senyum tipis. "Kita ngobrol di depan aja," pinta Kala. Satria setuju. Di depan kosan Kala ada kedai kopi yang buka hingga jam sebelas malam. Lebih nyaman bicara di sana, dari pada di ruang tunggu kosannya.

Keduanya berjalan beriringan, saat ingin menyeberang jalan. Satria ingin meraih tangan Kala, namun perempuan itu langung melipat tangannya di depan dada. Satria kecewa, dan Kala bisa melihat itu. Mereka berdua memilih tempat duduk yang jauh dari pengunjung lain. Kala memesan green tea latte, sementara Satria memesan Jasmine tea. Sejak dulu, Satria memang tidak bisa minum kopi, asam lambungnya pasti naik.

Satria menyerumput tehnya, lalu memandang Kala. "Kamu masih marah?" tanyanya.

"Kamu serius nggak sama aku?" tanya Kala.

"Hah?"

Kala memandang Satria tajam. "Kamu selalu bilang kalau kita akan nikah, dengan syarat aku udah lulus PNS. Gimana kalau nggak pernah lulus?"

"Kala..."

"Jawab aja, Sat."

"Kala, kamu tahu kalau aku udah suka sama kamu sejak SMA. Kamu cinta dan pacar pertama aku."

"Ucapan kamu nggak menjawab pertanyaanku, Sat."

"Aku mau nikah sama kamu."

Kala memandangnya. "Walau aku nggak jadi PNS?"

Satria mengangguk. "Tapi kamu tahu, mamaku pengin punya menantu yang punya pekerjaan tetap."

Kala menghela napas, tentu dia tahu itu.

"Papa dan Mama kamu juga maunya kamu jadi PNS, kan?"

Kala memilih diam.

"Aku cuma ngasih semangat ke kamu. Biar kamu bisa mewujudkan itu. Biar lebih mudah ke depannya, Kal."

"Kamu tahu nggak, dari dulu banget. Aku nggak pernah punya cita-cita untuk jadi guru. Aku pengin kerja di dunia musik. Tapi mamaku bilang kerja di dunia seni itu income dan masa depannya abu-abu. Pilihanku saat itu hanya kuliah keguruan atau kesehatan. Karena Mama bilang masa depan di bidang itu lebih terjamin. Berulang kali aku bilang ke mama kalau pemikiran kayak gitu udah ketinggalan zaman, dan nggak relevan lagi di zaman sekarang. Tapi Mama berkeras. Aku nggak punya power kan untuk nolak Mama? Akhirnya aku jalani." Kala menarik napas dalam.

"Aku pengin punya pasangan yang membebaskan aku untuk jadi diriku sendiri, karena selama ini hidupku selalu disetir oleh kedua orangtuaku. Aku pikir kamu bisa jadi sandaran aku, Sat, tapi..."

"Kal..." Satria menarik tangan Kala dan mengenggamnya.

"Coba kamu pikirin lagi, Sat. Apa memang kamu mau menikahi aku yang begini? Apa kamu bisa menerima aku seandainya aku nggak memenuhi syarat orang tua kamu," ucap Kala. Dia menarik tangannya dari genggaman Satria. "Kalau kamu udah punya jawabannya, kabarin aku. Aku balik ke kosan dulu." Kala berdiri dari kursinya dan meninggalkan Satria yang masih termenung.

***** 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro