Bagian 18

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng




Empat hari berlalu sejak Kala memutuskan mengirimkan pesan pada Satria, tentang kejelasan hubungan mereka. Mereka putus. Namun Satria tidak terima, keesokan harinya Kala mendapati dua puluh pesan dan dua puluh panggilan tak terjawab dari Satria. Kala hanya membaca pesan-pesan itu sekilas, kemudian mengabaikannya. Dia menjadi seorang pengecut yang tidak berani memutuskan hubungan mereka secara langsung. Kala takut, kalau dia bertemu Satria, hatinya akan luluh.

            Namun untungnya, memasuki hari kedua pesan-pesan Satria telah berkurang, hari ketiga bahkan tidak ada lagi pesan dan panggilan dari Satria, begitu pula hari ini. Untunglah sore ini dia ada jadwal untuk mengajari Aleta les. Setelah pulang untuk beristirahat sebentar, pukul tiga sore Kala pergi menuju ke rumah Aleta dengan ojek. Sesampai di rumah Aleta, Kala dipersilakan oleh Pak Joko yang kebetulan membukakan pagar untuknya. Kala melihat sekilas ke arah garasi, ada sedan hitam dan Outlander putih di sana. Artinya, Zyan ada di rumah. Atau lelaki itu sedang di luar kota?

Saat memasuki ruang tengah, Kala bertemu dengan Zyan yang menggunakan pakaian kasualnya, celana hitam selutut dan kaos berwarna abu. Kala menyunggingkan senyum pada Zyan, yang langsung dibalas oleh laki-laki itu. Apa Kala sudah bilang kalau senyum Zyan manis? Kadang Kala harus menahan napas kalau melihat semunya laki-laki ini. Kalau sudah seperti itu dia harus mengingatkan diri sendiri kalau Zyan adalah kakak lelaki Aleta, yang kebetulan ganteng tetapi juga menyeramkan.

            "Mas Zyan... udah minum obat belum?" Suara Aleta terdengar dari arah dapur. Kala melihatnya datang membawa kotak plastik yang sepertinya berisi obat untuk Zyan. "Eh ada Bu Kala, ke atas aja duluan, Bu. Nanti aku nyusul."

            "Oke."

            Kala berjalan menaiki tangga, dia melihat Aleta yang sedang membantu Zyan meminum obatnya, bibirnya tertarik membentuk senyuman. Walaupun Aleta selalu mengatakan Zyan adalah sosok kakak yang menyebalkan, tetap saja anak itu sangat menyayangi kakaknya.

            Kala membuka-buka buku pelajaran Aleta yang sudah di siapkan di meja, dia juga memeriksa tugas yang sudah diberikannya pada Aleta. Semenjak dinyatakan lolos audisi tahap awal, Aleta kembali bersemangat dan fokus pada pelajaran. Saat diberitahu kalau Aleta t lolos audisi, Kala ikut bahagia mendengarnya. Walaupun mereka masih memikirkan bagaimana cara memberitahu Zyan, karena audisi kedua nanti akan dilaksanakan hari Sabtu, yang artinya Aleta tidak bisa mengikuti les dengan Kala.

            "Huh, Mas Zyan kalau sakit tuh kayak anak kecil," keluh Aleta yang baru saja naik dan duduk di depan Kala.

            "Mas Zyan sakit apa?"

            "Asam lambungnya naik. Kemarin sempet dibawa ke UGD sama temen kantornya. Mas Zyan punya maag akut, biasalah, sibuk kerja. Suka lupa makan," jelas Aleta. Dia melihat buku tugasnya yang telah diperiksa oleh Kala, lalu tersenyum. "Yes! bener semua."

            "Oh, iya sih yangbegitu nggak boleh telat makan. Kamu ada maag nggak, Al?"

            Aleta menggeleng. "Aku nggak pernah telat makan. Kalau waktunya makan ya makan. Terus nggak pemilih juga kayak Mas Zyan," ceritanya lagi. "Bu Kala ada maag?"

            "Nggak juga. Ibu sama kayak kamu, kalau waktunya makan ya makan. Perut kita kan suka kasih alarm kalau laper. Lagian mungkin karena kerjaan kita nggak sebanyak kakak kamu kali, ya." Kala tahu sebagai seorang SE apalagi leader juga dalam sebuah tim, pastinya pekerjaan Zyan banyak sekali.

            "Iya sih, makanya aku nggak mau kerja kayak Mas Zyan."

            "Tapi jadi penyanyi sama sibuknya lho, Al."

            Aleta termangu sambil mengetuk-ngetukkan telunjuknya di dagu. "Iya sih. Tapi tetep jaga kesehatan lah. Sehat itu mahal."

            Kala tersenyum. "Oke kita masuk ke bab selanjutnya ya, persamaan linier." Kala mulai menjelaskan materi persamaan linier pada Aleta, kemudian dia memberikan soal-soal yang harus dikerjakan oleh Aleta. "Kadang aku bingung deh, belajar ginian ini gunannya apa, sih? Kayaknya di kehidupan nyata, yang paling penting bisa ngitung duit aja, gitu," ucap Aleta sambil menatap soal-soal yang diberikan Kala.

            "Berguna dong. Kalau nggak ada ilmu kayak logaritma, kalkulus dan ilmu-ilmu lainnya, kamu pikir gimana caranya gedung-gedung tinggi itu bisa berdiri kokoh dan aman?"

            "Oh.... I see... jadi yang begini ini berguna buat orang-orang kayak Mas Zyan. Bukan orang kayak aku," katanya sambil nyengir.

            Kala tertawa. "Udah, kerjain sana."

            "Oke, Bu."

            Kurang lebih setengah jam kemudian Aleta berhasil menyelesaikan soal-soal yang diberikan Kala dan hanya keliru di dua soal. Sebenarnya jawabannya sudah benar, dia hanya salah hitung saja. "Masih kuat atau mau istirahat dulu?" tanya Kala.

            "Istirahat dulu deh, coffee break ya, Bu."

            Kala mengangguk. Tidak lama kemudian, asisten rumah tangga Aleta membawakan makanan untuk mereka. Sudah sebulan mengajar Aleta, Kala jadi tahu kalau di rumah ini ada dua asisten rumah tangga, satu sopir. Dua asisten rumah tangga itu memiliki pekerjaan masing-masing, ada yang bertugas untuk masak dan ada yang bertugas untuk membereskan rumah. Namun selama sebulan ini, Kala belum pernah sekalipun bertemu dengan orangtua Aleta. Foto keluarga pun tidak ada di pajang di dinding. Walaupun dia tahu rasa penasaran ini terlarang, tetap saja Kala tidak bisa membendungnya.      

            "Ibu ada ide nggak gimana hari sabtu depan?" bisik Aleta. Ini perbincangan yang masuk dalam kategori top secret, jadi mereka berdua harus benar-benar berhati-hati. Apalagi saat ini Zyan belum ada di rumah.

            "Belum tahu. Tapi kamu udah cek jadwal Mas Zyan? Siapa tahu dia lagi keluar kota."

            Aleta menjentikkan jarinya. "Nah, bener juga ya, kenapa nggak kepikiran, oke nanti aku tanya sama Mas Zyan. Makasih, Ibu."

            "Iya, kalau ternyata dia di sini. Kita cari cara lain."

            "Siap, Bu."

******

            Hari Sabtu akhirnya tiba. Hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh Aleta. Siang ini dia ada jadwal audisi kedua. Jadi setelah pulang dari sekolah dia akan langsung pergi ke tempat audisi, untungnya Sabtu ini dia hanya ada kegiatan ekstrakulikuler. Rencananya juga sudah dipersiapkan dengan matang, sepertinya semesta juga melancarkan semuanya hari ini. Dimulai dari Zyan yang harus pergi ke Surabaya kemarin lusa, dan baru akan kembali besok siang, lalu dia juga sudah meminta Pak Joko untuk tidak perlu menjemputnya, karena tantenya yang akan mengambil alih tugas itu.

            "Aku mau ke salon sama Tante, Pak," katanya tadi pagi. Tentu saja Pak Joko langsung paham. Pokoknya semuanya akan berjalan lancar.

            Aleta keluar dari gerbang sekolah dengan perasaan senang. Tidak seperti audisi pertama, audisi kali ini dia merasa jauh lebih baik. Gugup? Pasti. Namun dia bisa mengatasinya. Kala membuka pintu mobil Laluna dan masuk ke sana. Laluna menyambutnya dengan senyuman. "Ready princess?"

            "Ready, Tan. Let's go."

            Sepanjang perjalanan mereka berdua tertawa-tawa, sesekali Aleta juga menyanyikan lagu-lagu yang diputar oleh Lalunda di mobilnya, hingga mereka berada di tempat audisi. "Good luck, sayang." Laluna mencium pipi Aleta lalu menunggui Aleta hingga masuk ke tempat audisi. Seperti biasa dia akan menunggu di coffee shop.

            Sesampai di tempat audisi, Aleta langsung melapor ke panitia. Dia kembali mengenakan nomor audisi yang sama seperti pertama kali—59—dan menunggu gilirannya untuk tampil. Kembali berada di tempat ini membuat tangannya terasa dingin. Aleta merapalkan doa agar semuanya bisa berjalan lancar. Hari ini adalah hari pertamanya akan bertemu dengan juri artis.    

            Informasi yang didapatnya dari Mia, akan ada tiga juri artis. Satu diva ternama, Maria Darsono, vokalis band Rully Anggara dan juga penyanyi solo Evan Andreas. Aleta sudah sering melihat mereka tampil di televisi dan juga menjadi juri-juri di Voice season sebelumnya. Maria terkenal sebagai sosok yang paling sadis saat berkomentar. Dan itu membuat Aleta gugup sekali.

            "Nomor lima puluh sembilan."

            Panggilan panitia itu membuat Aleta langsung bangkit dari duduknya, dia berjalan memasuki ruangan audisi. Hingga tiba di depan tiga juri. Ketiganya memandang Aleta tanpa senyuman sama sekali. "Silakan nyanyi," ucap Evan Andreas.

            Kala menarik napas pelan, lalu mulai menyanyikan lagu yang memang dipersiapkannya khusus untuk audisi hari ini.

Untuk hati yang terluka

Tenanglah kau tak sendiri

Untuk jiwa yang teriris

Dan aku kan temani

            Karena jenis suaranya memang mirip dengan Isyana, itu yang membuat Aleta berani menyanyikan lagu ini. Evan terlihat kagum pada Aleta, begitu juga dengan Rully Anggara, karena keduanya berpandangan lalu tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepala. Sementara Maria Darsno masih terlihat datar seperti biasa.

            Setelah Aleta selessai menyanyikan lagu itu. Evan mengajukan beberapa pertanyaan. "Aleta Arundati. Masih sekolah?"

            "Iya, Kak. Saya masih kelas sebelas," jawab Aleta.

            "Oke. Suara kamu bagus, saya suka."

            Aleta langsung tersenyum lebar. "Makasih, Kak."

            Kemudian giliran Rully yang menyapa Aleta. "Aleta? Biar singkat dipanggil apa nih, Al? Atau Ale?"

            "Al boleh, Kak."

            "Oke. Al, ehm... kamu keren." Rully menangcungkan dua jempolnya untuk Aleta.

            Lagi-lagi Aleta tersenyum lega sambil mengucapkan terima kasih pada Rully Anggara. Dan kini giliran Maria Darsono. Dia menatap Aleta lalu menuliskan sesuatu pada kertas di depannya. "Kita ketemu di babak selanjutnya. Next," ucapnya datar. Namun itu cukup membuat Aleta bahagia karena artinya dia lolos ke tahap selanjutnya.

            Aleta keluar dari ruang audisi, setelah berbicara dengan panitia. Aleta langsung berjalan menuju coffee shop tempat tantenya menunggu, dia tidak sabar ingin memberitahu kalau dia lolos ke babak selanjutnya. Sesampainya di coffee shop dia melihat tantenya yang sedang berbicara di telepon, raut wajahnya terlihat tegang. Aleta berjalan mendekati Laluna dengan jantung yang berdebar kencang, karena Laluna terdengar mengucapkan nama kakaknya.

            Laluna mentap Aleta, lalu mengakhiri panggilan itu.

            "Aku lolos, Tan," ucapnya pelan.

            Laluna mengangguk, tidak ada ekspresi seperti saat pertama kali dia lolos di audisi pertama. "Kita pulang ya, Zyan nyariin kamu. Dia ada di kosan guru kamu." Ucapan itu langsung menghilangkan rasa bahagia yang baru saja diraskaan oleh Aleta.

******

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro