Bagian 19

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Netflix dan hari libur bagaikan surga untuk Kala. Hari ini dia memang tidak memiliki rencana apapun, kecuali rebahan di kasur kosan sambil menonton Drama Korea bertema keluarga berjudul Reply 1988, sebenarnya ini drama lama, namun baru sekarang Kala menontonnya karena Ayumi mengatakan drama ini banyak mengandung pesan-pesan kehidupan. "Apalagi kalau lihat Park Bo Geum, ya ampun dia cute banget. Awas ya kamu Kal, abis nonton itu jangan tergila-gila sama pacarku." Ayumi dan kebucinannya pada aktor-aktor Korea yang sudah sangat dimengerti oleh Kala.

Kadang dia mengatakan pacarnya itu Lee Min Ho, kadang Ji Chang Wook, lalu sekarang Park Bo Geum, sepertinya bukan hanya trauma yang membuatnya malas menjalin hubungan, tetapi karena di sini dia belum menemukan laki-laki seperti di drama Korea.

Kala jadi ingat pembicaraan mereka beberapa waktu lalu. "Hidup orang-orang di Korea itu, nyatanya nggak seindah dramanya lagi. Di sana kan masih menganut partiarki. Sama sih dengan di Indonesia, tapi katanya di sana lebih parah," kata Kala pada Ayumi. Dia juga tahu cerita ini dari thread di Twitter.

"Iya sih, mana sekarang lagi banyak kasus juga artis-artisnya, kan. Hm... tapi tetap sih, kalau Lee Min Ho atau Ji Chang Wook ngelamar aku, bakal aku terima."

Kala langsung menaikkan alisnya. "Apaan sih, Yum. Nggak nyambung banget!"

Kembali ke drama yang ditontonnya, kenapa ya, Kala merasa iri dengan kekeluargaan yang ditampilkan di drama ini. Rasanya selama ini dia tidak pernah merasakan hal itu. Terkadang kalau pemikiran semacam ini sedang merasuki dirinya, Kala langsung beristigfar, dia tidak mau menjadi hamba yang kufur nikmat. Setidaknya sejak dia dilahirkan, Kala tidak pernah merasakan kekurangan, karena kedua orangtuanya selalu memastikan semua keperluan Kala terpenuhi.

Saat sedang asik menonton, ponsel Kala bergetar, ada pesan masuk dari Zyan. Kala menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Seperti biasa setiap hari Selasa Kamis dan Sabtu, Zyan akan menanyakan bagaimana les Aleta hari ini, meskipun laki-laki itu sedang berada di luar kota seperti hari ini.

Zyan : Gimana Aleta hari ini, Mbak?

Kala : Aman Mas, dia udah bisa mengerjakan soal-soal tentang persamaan linier, sebentar lagi kami akan membahas ke materi selanjutnya.

Saat mengirimkan pesan itu entah kenapa jantungnya berdebar lebih kencang. Mungkin karena dia telah berbohong pada Zyan. Ada perasaan bersalah di hatinya, namun dia juga tidak tega kalau mengatakan yang sejujurnya pada Zyan kalau hari ini Kala bolos les karena harus mengikuti Audisi di Voice.

Zyan : Oh ya? Saya minta fotoin kegiatan Aleta boleh?

Kala mengerutkan kening. "Tumben banget," gumamnya. Namun, Aleta memang sudah mengantisipasi ini dengan meminta Kala memotretnya yang sedang belajar hari Kamis lalu, katanya jaga-jaga kalau Zyan meminta fotonya. Kala membuka galeri dan mengirimkan foto yang diambilnya kamis lalu. Kemudian menunggu balasan dari Zyan. Kala melihat status Zyan yang masih online namun tidak ada balasan apapun, akhirnya dia memutuskan untuk menutup ponselnya. Namun saat Kala mengunci ponselnya, Zyan malah meneleponnya. Kala langsung panik, bagaimana kalau Zyan ingin bicara pada Aleta sementara anak itu tidak bersamanya.

Kala menarik napas berulang kali sambil menatap layar ponselnya yang masih terus menampilkan nama Zyan. "Oke, pura-pura nggak tahu aja." Kala menaruh ponselnya di atas ranjang, dan mengabaikan panggilan itu. Dia mendesah lega saat getaran ponselnya berhenti. Kala segera mengambil ponselnya kembali untuk menonaktifkannya, namun dia melihat satu pesan masuk dari Zyan.

Zyan : Kenapa nggak diangkat? Saya ada di depan kosan kamu. Kamu bisa turun?

Kala langsung menutup mulutnya dengan tangan. Jantungnya kembali berdebar kencang. Zyan tahu kebohongannya dan saat ini laki-laki itu sedang berada di kosannya. Kala tidak bisa berpikir, tangannya bergetar karena ketakutan. Dia berusaha menghubungi Aleta namun panggilannya tidak dijawab. Otak Kala buntu, apalagi saat Zyan mengirimkan pesan lagi padanya.

Zyan : Kamu di kosan kan? Kalau nggak, saya akan tunggu sampai kamu pulang.

Kala memejamkan mata sambil memijat keningnya. Dia berusaha menenangkan diri, kemudian berdiri, Kala mengambil kardingan yang tergantung di belakang pintu kamarnya, lalu memutuskan untuk turun dan menemui Zyan, tidak ada gunanya bersembunyi seperti ini, apalagi kalau memang laki-laki itu nekat menunggunya turun. Kala melangkah pelan menuruni tangga demi tangga, tangannya masih bergetar, dan jantungnya masih terus memompa hebat. Dia sampai di bawah, dan bertemu dengan satpam kosannya. "Baru mau nelepon Mbak Kala, ada yang nyariin di depan, Mbak."

Kala mengangguk lalu melanjutkan langkahnya. Kala bisa melihat Zyan duduk di ruang tunggu. Laki-laki itu menatapnya, tidak ada senyum yang biasa dilontarkannya. Kala semakin gugup apalagi saat ini dia sudah berdiri di depan Zyan. Laki-laki itu ikut berdiri dengan tinggi badan mencapai 180 senti, Kala semakin merasa ciut berada di depan laki-laki itu.

Kala memejamkan mata. "Saya... saya minta maaf, Mas," ucapnya sambil memejamkan mata karena takut.

Kala mendengar tarikan napas Zyan. "Kamu ikut saya ke rumah," ucap Zyan kemudian langsung keluar dari menuju gerbang kosan. Kala mengekori Zyan yang sudah membuka pintu mobil dan masuk ke tempat pengemudi. Suasana semakin terasa mencekam saat Kala masuk ke mobil Zyan. Kala tidak berani mengatakan apa-apa, bahkan untuk menoleh pada Zyan pun, dia tidak berani.

Zyan juga memilih diam. Dia terlihat begitu tenang, walau tentu saja laki-laki itu menahan marah. Untungnya perjalanan mereka lancar dan bisa tiba di rumah dalam waktu dua puluh menit. Namun, tentu saja ini belum gongnya. Setelah sampai di rumah, Zyan pasti akan mengeluarkan semua kemarahannya pada Kala.

"Turun," ucap Zyan saat mereka sampai di rumah.

Kala mengangguk dan lagi-lagi mengikuti Zyan yang masuk ke rumah. Kala duduk di ruang tamu sementara Zyan pergi, mungkin ke kamarnya atau ke kamar Aleta. Tidak lama kemudian Zyan datang membawa kertas yang Kala tebak adalah kontrak kerjanya. Zyan duduk di depannya, laki-laki itu terlihat masih tenang, namun saat memandnag Kala, tatapan matanya terlihat menyeramkan. "Kamu tahu, kamu pernah menandatangani ini?" tanyanya pada Kala.

Kala mengangguk pelan. "Saya minta maaf karena udah bohong sama Mas Zyan."

Zyan tersenyum getir. "Kamu kira semudah itu? Minta maaf dan saya memaafkan kamu?"

Kala mengembuskan napas pelan. "Saya juga akan mengembalikan gaji saya satu bulan ini, untuk menebus kesalahan saya."

Zyan menatapnya tidak suka. "Saya kira kamu bisa dipercaya karena kamu juga guru di sekolah Aleta. Ternyata saya salah."

Kala menatap Zyan, dia merasa harga dirinya terluka saat Zyan mengatakan itu. "Mas nggak nanya alasan saya berbohong?"

"Untuk apa? Jelas kamu sudah membohongi saya. Melanggar kontrak kerja, alasan apa yang saya butuhkan?" kata Zyan tajam.

"Ya setidaknya harusnya saya punya hak untuk membela diri. Saya melakukan ini untuk Aleta."

Zyan memukul sandarkan kursinya dengan kepalan tangan, membuat Kala langsung menutup mulut. "Untuk Aleta kamu bilang?! Kamu dan Laluna udah bersekongkol untuk merusak masa depan Aleta. Dan kamu bilang itu untuk Aleta?!"

Kala memejamkan matanya. "Terus mau Mas dari saya apa?" tanya Kala, dia berusaha tenang. Apa Zyan akan melaporkan masalah ini ke polisi? Menututnya karena tidak bekerja sesuai dengan perjanjian?

Tidak lama kemudian terdengar suara mesin mobil memasuki halaman rumah, kemudan terdengar langkah kaki berlari memasuki rumah. Aleta datang dengan napas terengah. "Mas Zyan, ini salah aku. Jangan libatin Bu Kala dan Tante Luna," ucapnya Aleta, di belakangnya ada Laluna yang menampilkan wajah penuh kekhawatiran.

Zyan berdiri lalu menatap Aleta dan Laluna. "Kamu masuk ke kamar," kata Zyan penuh penekanan.

Aleta menggeleng. "Nggak! Mas Zyan nggak boleh nyalahin Tante sama Bu Kala. Ini semua salah aku, aku yang minta Bu Kala bohong."

"Aleta! Masuk!"

Laluna memegang bahu Aleta pelan. "Masuk, Al. Tante mohon."

Melihat wajah penuh permohonan dari Laluna, akhirnya Aleta mengangguk dan berjalan meninggalkan mereka semua. Setelah Aleta pergi, Laluna memandang Zyan. "Zyan..." panggil Laluna pelan.

Tatapan Zyan berpindah pada Laluna. "Saya kasih izin Tante ketemu sama Aleta bukan untuk ini. Tante udah janji, kan?"

"Zyan, kamu nggak bisa menghalangi Aleta, dia berhak melakukan apa yang dia mau."

"Saya dan Papa tahu apa yang terbaik untuk Aleta. Dan ini kesalahan fatal, Tante tahu kalau Papa tahu hal ini?" Tidak ada lagi wajah tenang Zyan, kali ini dia sudah dikuasai oleh emosi.

"Aleta ingin jadi penyanyi," ucap Laluna pelan.

"Dan itu nggak akan pernah terjadi," sahut Zyan tajam. "Silakan keluar dari rumah saya."

Laluna diam, kemudian menangguk pelan. Dia tersenyum pada Zyan. "Kamu nggak akan bisa memutus darah, gimana pun dia anak dari kakakku." Setelah mengatakan itu Laluna langsung pergi dari hadapan Zyan.

Kala yang melihat itu semua hanya bisa terdiam. Setelah kepergian Laluna Zyan berbalik memandang Kala. "Kamu juga, pulanglah."

Tentu Kala langsung mengambil kesempatan itu untuk lari dari sini, situasi sudah cukup sulit sebelum Aleta dan tantenya datang, Kala tidak mau terlibat lebih banyak lagi dalam masalah keluarga ini.

***** 


Well, Zyan emang nyebelin di sini, tapi selalu ada sebab yang mengakibatkan dia begitu, kan? 


Happy reading... 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro