Bagian 20

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Pepatah berbunyi sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga, atau serapi apapun bangkai disimpan akan tercium baunya juga mungkin menggambarkan apa yang terjadi pada Aleta. Dia sudah merencanakan semuanya dengan rapi, bahkan beberapa jam yang lalu dia merasa semesta mendukungnya. Namun, ternyata dugaannya salah, kebohongannya terbongkar dan Zyan marah besar. Lebih parah dari itu, dia melibatkan dua orang yang seharusnya tidak perlu terseret ke dalam masalah ini. Laluna dan Kala, harus menghadapi Zyan yang murka sementara dirinya, tidak bisa melakukan apa-apa.

Kebahagiaannya karena lolos ke babak selanjutnya langsung lenyap saat melihat wajah penuh kekhawatiran Laluna. Saat tantenya itu mengatakan dia harus pulang karena Zyan menunggu, kelebat bayang-bayang mengerikan langsung tersusun di otaknya. Sepanjang perjalanan pulang bersama Laluna, tidak ada yang bersuara. Padahal saat pergi menuju lokasi audisi tadi, Aleta diselimuti kegembiraan, dia bahkan bernyanyi dan tertawa bersama Laluna. Namun, kini yang ada hanyalah keheningan.

Mimpinya untuk menjadi penyanyi yang ia kira bisa terwujud sebentar lagi, langsung runtuh. Zyan sudah tahu, dan kakaknya itu tidak akan pernah mengizinkannya untuk melanjutkan audisi. Dia bahkan belum bisa menunjukkan kemampuan terbaiknya. Lalu Aleta teringat Kala, jelas gurunya itu tidak bersalah dalam hal ini. Tetapi Zyan pasti akan tetap menyalahkan Kala.

Benar saja sesampainya di rumah, Aleta melihat Kala yang sedang bersitegang dengan kakak laki-lakinya. Seketika rasa bersalah langsung merayapinya, apalagi saat dia tidak bisa membela Kala dan Laluna.

"Masuk kamar kamu," ucap Zyan saat Aleta sudah sampai di rumah.

"Mas, aku bisa jelasin."

"Masuk ke kamar!"

Aleta memilih menunggu di dekat kamar Zyan alih-alih kembali ke kamarnya. Menit demi menit terasa lebih lama, dia ingin mendengarkan percakapan mereka, namun Aleta tahu hal itu malah akan membuat Zyan semakin murka. Akhirnya setelah lima belas menit menunggu, Zyan berjalan menuju kamarnya. Mata mereka berdua berpandangan. Zyan menatapnya dengan tatapan penuh kemarahan. "Mas mau ngomong sama kamu, tapi nggak sekarang."

Aleta mengembuskan napas. "Sekarang aja, aku yang salah. Bu Kala sama Tante Luna nggak salah. Mas nggak perlu marah sama mereka. Kalau mau marah ya sama aku."

"Mas kecewa sama kamu." Zyan berjalan melewati Aleta dan menutup pintu kamarnya. Aleta semakin frustrasi, tidak ada pilihan bagi Aleta, selain kembali ke kamarnya.

Aleta membaringkan tubuhnya ke ranjang, lalu mengecek ponselnya. Dia mencoba menghubungi Kala, namun panggilan itu tidak dijawab. Tidak lama kemudian, ada panggilan masuk dari Laluna. Aleta langsung mengangkat panggilan itu. "Tante gimana?"

"Tante nggak papa, ini lagi di jalan pulang. Kamu yang tenang, ya. Jangan ganggu Zyan dulu, dia lagi emosi banget."

Aleta menghela napas. "Mas Zyan nggak mau ngomong sama aku."

"Dia butuh waktu untuk menenangkan diri. Kamu juga lebih baik istirahat," saran tantenya.

Jujur Aleta memang lelah, namun dia tidak bisa tenang dengan keadaan ini. "Bu Kala nggak angkat telepon aku, Tan. Aku takut Bu Kala marah sama aku karena sikap Mas Zyan." "Mungkin dia lagi di jalan. Kamu yang tenang dulu. Makan dulu aja, Al. Kamu kan belum makan."

Makan adalah hal terakhir yang dipikirkan oleh Aleta. Sebelum masalah ini muncul dia memang merasa lapar, di kepalanya sudah tersusun rencana, kalau dia dan Laluna akan makan Lasagna di restoran favoritnya, namun saat ini nafsu makannya hilang entah ke mana. "Ya udah, Tante hati-hati ya, nyetirnya."

Setelah panggilan itu diakhiri, Aleta terdiam di atas ranjangnya. Dia bingung harus melakukan apa, untuk memperbaiki keadaan ini.

*****

Minggu pagi yang cerah, namun tidak secerah suasana hati Aleta. Pagi ini dia duduk di depan Zyan yang setelah sarapan tadi meminta untuk bicara. Aleta menunduk sambil menggenggam kedua tangannya. Sejak semalam dia menunggu Zyan memarahinya, namun laki-laki itu malah mengurung diri di kamar, Kala juga tidak bisa dihubungi, membuat Aleta semakin merasa bersalah. Dia tidak bisa tidur, kantung matanya membuktikan hal itu.

"Kamu nggak perlu les lagi sama guru kamu itu. Mas akan carikan guru baru," Zyan membuka percakapan di antara mereka.

"Nggak bisa gitu dong, Mas!" protes Aleta. "Bu Kala nggak salah. Aku yang minta Bu Kala bohong, dia nggak salah."

Zyan menatapnya tajam. "Dia melanggar kontrak kerja yang sudah disepakati. Dan kamu juga akan dihukum. Nggak ada lagi jalan-jalan keluar rumah. Kamu harus pulang tepat waktu dan belajar di rumah."

"Mas Zyan!"

"Jangan pake nada tinggi bisa?" seru Zyan.

Aleta langsung menutup mulutnya, namun dia masih memandang kakaknya itu. "Mas kenapa sih harus ngelakuin ini sama Aleta? Mas kenapa nggak pernah mendukung mimpi Aleta?"

"Mimpi kamu itu konyol. Kamu mau jadi penyanyi? Terus apa?"

"Aleta mau kayak Mama apa itu salah?" tanyanya dengan nada lirih.

"Jelas salah! Tugas kamu itu belajar, dan punya pekerjaan normal. Bukan jadi penyanyi. Kamu tahu kalau Papa tahu apa yang kamu lakukan?"

Jelas Aleta tahu apa yang terjadi, papanya akan marah besar, dan kemarahan papanya jauh lebih menyeramkan daripada kemarahan Zyan. "Kenapa aku harus terlahir kayak gini?" Aleta berkata pelan. Namun kata-kata itu langsung memancing emosi Zyan.

"Kamu ini ngomong apa!"

"Aku mau hidup normal. Bisa menentukan apa yang aku mau, nggak perlu bohong untuk ikut audisi, nggak perlu jauh-jauh ke Bogor cuma buat latihan nyanyi. Kenapa aku nggak bisa dapetin itu semua? Kenapa Mas dan Papa benci musik? Dan kenapa kalian benci mamaku?" Setitik air mata lolos dari matanya, kemudian disusul oleh titik-titik lainnya. "Aku mau melakukan apa yang aku suka, tapi aku nggak bisa. Kenapa aku harus hidup kayak gini?" Aleta mengusap air matanya dengan punggung tangan, kemudian menatap kakaknya yang terdiam mendengar penuturannya. "Mas juga pasti akan tetep nyalahin aku, kan? Kalau gitu nggak ada gunanya aku membela diri." Setelah mengatakan itu Aleta langsung bangkit dari kursi dan meninggalakan Zyan yang terdiam seribu bahasa.

*****

Pukul enam lewat sepuluh menit, Aleta sudah tiba di sekolahnya. Dia datang lebih pagi dari biasanya untuk menemui Kala. Perempuan itu tidak bisa dihubungi sejak hari Sabtu lalu. Aleta sudah berusaha mengontak Kala lewat telepon, WhatsApp bahkan akun Instagram, namun tidak ada balasan dari Kala. Aleta benar-benar merasa bersalah. Dia tidak ingin kehilangan gurunya yang baik itu. Kalau memang Kala tidak lagi menjadi guru lesnya, dia tidak mau berakhir dengan cara seperti ini, mereka tetap harus berhubungan baik.

Demi menunggu Kala, Aleta berjalan mondar-mandir di depan kantor guru, namun tidak ada tanda-tanda kehadiran Kala di sana. Aleta tidak berhenti melirik jam tangannya, sudah jam 6.45 dan Kala masih belum tiba di sekolah. Tidak lama kemudian, Aleta merasakan ada yang menepuk bahunya, dia menoleh namun agak kecewa karena yang ada di belakangnya adalah Ayumi, bukan Kala. "Ngapain, Al? Kamu nggak siap-siap mau upacara?" tanya Ayumi.

Aleta teringat kedekatan Ayumi dan Kala, kemudian gadis itu langsung menanyakan keberadaan Kala. "Ibu lihat Bu Kala? Saya perlu bicara sama beliau," ucapnya penuh harap.

"Lho, Bu Kala kan cuti, dia pulang ke Jambi."

"Hah? Ibu punya nomor telepon Bu Kala yang lain nggak? Saya nelepon beliau tapi nggak diangkat."

Ayumi membuka ponselnya dan menyebutkan nomor Kala yang dia punya, tetapi nomor itu juga yang ada di phonebook Aleta. Dia mendesah kecewa, apa Kala sengaja tidak mengangkat panggilannya karena perempuan itu marah padanya?

"Kamu masuk kelas sana, bentar lagi upacara dimulai."

Aleta mengangguk lesu. Dia benar-benar tidak bersemangat menjalani sekolah hari ini. Aleta kehilangan Kala, guru sekaligus teman bercerita yang membuatnya semangat untuk mempelajari hal-hal yang tidak dia sukai.

*****

Kala melirik jam tangannya. Pukul 8.30, masih setengah jam lagi dia harus menunggu di ruang tunggu Bandara ini. Pagi ini Kala akan pulang ke kampung halamannya—Jambi, untuk mengikuti test lanjutan CPNS. Sejak kemarin Ibunya sudah mengingatkan untuk banyak belajar, namun Kala tidak beminat membuka buku-buku tebal itu sama sekali.

Pikirannya kacau, apalagi setelah apa yang terjadi Sabtu lalu. Perasaan malu, marah, kecewa dan menyesal mengelayuti pikirannya. Sebagian hatinya mengatakan kalau dia memang bodoh, dia yang salah karena telah memberikan saran seperti itu kepada Aleta. Kemudian Kala mulai berandai-andai, kalau saja dia tidak berbohong pada Zyan, kalau saja dia tidak memberi saran pada Aleta, kalau saja dia tidak menerima pekerjaan ini.

Kala mendesah, terlalu banyak masalah yang harus ditanggungnya dan dia malah membuat masalah lain yang membuat kepalanya hampir pecah. Kala membuka ponselnya, dan melihat banyaknya pesan juga panggilan tak terjawab dari Aleta. Dia tidak mau menyalahkan Aleta, anak itu tidak bersalah, dia hanya ingin mengejar mimpinya. Kala yang bersalah, harusnya dia bisa lebih bijaksana dan tidak ikut campur masalah yang bukan urusannya, dan tetap bersikap profesional.

Kemarahan Zyan sabtu lalu masih membekas di benak Kala. Kala sudah menggembalikan gaji pertamanya yang ia terima dari Zyan. Dia sudah melanggar kontrak kerja, dan Kala harus menerima konsekuensinya. Setelah mengirimkan bukti transfer dan kembali mengucapkan maaf, Kala memblokir nomor laki-laki itu. Dia tidak perlu lagi berhubungan dengan Zyan. Masalah bagaimana menghadapi Aleta, biarlah dia pikirkan nanti.

Saat Kala ingin memasukkan ponselnya ke dalam tas, ponselnya bergetar. Kali ini pesan itu dikirim oleh Satria. Kala melebarkan mata, setelah tidak pernah lagi menghubunginya kenapa tiba-tiba laki-laki ini mengontaknya lagi.

Satria : Aku dengar dari Tante kamu pulang hari ini. Kayaknya Tante belum tahu hubungan kita berakhir ya.

Kala menghela napas. Dia memang belum memberitahu soal ini pada keluarganya. Nanti saja, saat dia berada di Jambi. Saat kala ingin mengirimkan balasan pada Satria, laki-laki itu kembali mengirim pesan.

Satria : Aku pikir kamu cuma butuh waktu untuk berpikir dan kembali kayak biasa. Tapi kayaknya kamu udah punya yang baru ya. Secepat itu? Apa jangan-jangan memang udah ada hubungan waktu masih sama aku? Nggak nyangka kamu semurahan itu, Kal.

Tidak lama kemudian Satria mengirimkan foto dirinya yang sedang memasuki mobil Zyan. Kala langsung menelepon Satria, namun panggilan boarding membuatnya mematikan hal tersebut. Saat dia bangkit sambil menarik kopernya, Kala teringat pesan terakhir Satria. "Kamu semuruahan itu, Kal." Kata-kata itu seperti dibisikkan di telinga Kala, kemudian setitik air mata jatuh ke pipinya.

***** 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro