Bagian 7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Kala memeriksa tugas-tugas yang telah diberikannya pada kelas XI. IPS. 3 beberapa hari lalu. Beberapa dari mereka mendapat nilai di bawah rata-rata, siang ini rencana Kala ingin menanyakan kendala apa yang dihadapi oleh beberapa anak ini hingga bisa mendapat nilai di bawah rata-rata seperti ini. Kala terbiasa untuk berdiskusi dengan anak-anak muridnya. Sejak memutuskan untuk menjadi seorang guru, Kala ingin semua muridnya bisa mengerti apa yang dijelaskannya, dia tidak masalah menjelaskan berulang kali, asal anak-anak muridnya mengerti.

Memang pekerjaannya jadi lebih ekstra, tetapi dia merasa puas kalau anak-anak muridnya mengerti materi yang dijelaskannya. Kala tahu beberapa murid malu untuk bertanya langsung di kelas, itu kenapa dia tidak masalah kalau memang ada yang ingin berdiskusi masalah pelajaran di luar jam kelasnya.

Siang ini setelah selesai mengajar kelas XI. IPS. 3 dia memanggil beberapa anak yang nilainya kurang bagus, beberapa dari mereka mengaku kurang bisa memahami bagaimana menghitung menggunakan rumus-rumus yang ada, dan beberapa lagi memang menjelaskan kalau mereka tidak menyukai matematika.

"Nggak suka aja saya tuh, Bu," ucap Kiky, salah satu muridnya.

"Nggak sukanya di mana?" tanya Kala.

"Matematika itu bikin kepala saya mau pecah. Pokoknya dari SD saya nggak suka aja matematika."

Kala tersenyum. Dia mulai menjelaskan tentang rumus pola pikir. "Ketika kita bilang nggak suka sesuatu, alam bawah sadar kita itu merekam, Ky. Padahal sebenarnya itu cuma sugesti, matematika susah, matematika bikin pusing, nah lama-lama kita jadi males dan hati udah nggak nerima. Makanya mulai sekarang, tanamkan dalam diri kamu, matematika nggak susah, matematika asik. Setelah itu cari tahu bagian yang menurut kamu sulit itu di mana, nanti Ibu akan bantu kamu untuk mempelajarinya."

Kiky yang mendengarkan penjelasan Kala terperangah. "Baru ini deh saya dapet guru kayak Ibu. Saya udah takut aja tadi bakal diomelin Bu Kala, hehe," katanya sambil menggaruk-garuk kepala.

Kala tersenyum. "Jadi tugas Kiky di rumah, cari tahu bagian sulitnya dari materi yang kita pelajari, nanti saat jam kosong, kamu bisa temuin Ibu di kantor, kalau Ibu lagi nggak ngajar. Nanti Ibu jelasin ke kamu ya."

Kiky mengangguk. "Makasih Bu Kala."

"Sama-sama. Tolong panggilin Aleta ya, Ky."

"Siap, Bu. Kiky balik ke kelas dulu, Bu," pamitnya.

Selagi menunggu Aleta, Kala melihat nilai dan juga tugas yang dikerjakan oleh Aleta, nilainya tidak jauh berbeda dengan Kiky. Tidak lama kemudian Aleta datang menemui Kala. Wajahnya terlihat cemas saat berpandangan dengan Kala. Kala menyunggingkan senyumannya. "Duduk, Al."

Aleta menarik kursi dan duduk di depan Kala. Kedua tangannya saling meremas karena bingung dan khawatir. "Aleta udah makan?"

Aleta mengangguk.

"Lagi sibuk latihan padus, ya?" tanya Kala.

"Iya Bu, bentar lagi kan ada lomba."

Kala mengangguk-anggukan kepalanya. "Hm, maksud Ibu manggil Aleta ke sini, mau nanya, apa Aleta ada kesulitan menerima penjelasan Ibu di kelas?"

Aleta menggigit bibir bawahnya. "Penjelasan Ibu udah bagus, kok. Tapi saya aja yang nggak suka matematika, Bu."

Kala tersenyum, kemudian menanyakan apa yang membuat Aleta tidak suka matematika. Aleta ternyata merasakan sama seperti yang dirasakan oleh Kiky. Kebanyakan dari murid-murid yang ditemuinya memang memiliki permasalahan yang sama. "Sebenarnya kakak saya minta saya kursus matematika lagi. Beliau tahu nilai saya nggak bagus."

"Ide bagus itu," timpal Kala. Saat sedang mendengarkan cerita Aleta ponsel Kala berdering. Kala meminta izin pada Aleta untuk mengangkat panggilan itu. Selagi Kala menelepon, Aleta melirik laptop yang ada di meja guru matematikanya itu. Aleta kaget saat melihat wajah penyanyi favoritnya menjadi wallpaper laptop Kala. Setelah selesai bicara di telepon, Kala kembali ke kursinya.

"Ibu suka Tulus?" tanya Aleta.

"Apa?"

"Muhammad Tulus Rusydi."

"Suka banget," jawab Kala penuh semangat.

Aleta langsung tersenyum cerah. "Kok sama sih, saya juga suka Tulus. Aduh suaranya itu keren banget."

Kala langsung mengangguk setuju. "Terus lagu-lagunya itu aduh, liriknya cerdas dan masuk ke hati."

"Setuju banget, Bu."

Keduanya mulai membahas Tulus, sampai tidak terasa bel selesai istrihat berbunyi. "Ya udah, kamu masuk kelas ya, Al. Kalau ada kendala masalah pelajaran kamu bisa tanya Ibu."

"Baik, Bu. Kalau cerita-cerita soal Tulus boleh juga?" tanya Aleta.

Kala tersenyum. "Masuk kelas gih."

Aleta keluar dari kantor guru dengan wajah bahagia, dia tidak menyangka kalau guru dari pelajaran yang amat sangat tidak disukainya memiliki idola yang sama dengannya. Selama ini teman-teman sekelasnya lebih menyukai penyanyi seperti Tulus. Mereka hanya menjadi pendengar lagu-lagunya saja, tidak seperti Aleta menobatkan diri menjadi fans berat Tulus.

"Kenapa lo dipanggil Bu Kala?" tanya Nina, teman sebangkunya.

"Ditanya kenapa nilai gue jelek. Eh, tapi Bu Kala keren deh, dia suka sama Tulus sama kayak gue."

Nina menaikkan alisnya. "Jadi lo kena ceramah karena nggak bisa ngerjain tugas atau diskusi soal Tulus?"

"Bu Kala nggak nyeramahin gue, kok. Orangnya baik, katanya kalau mau nanya-nanya sesuatu yang nggak gue ngerti bisa sama dia. Sekalian diskusi Tulus juga, sih, hehehe," jawab Aleta.

Kiky yang duduk di depan Aleta langsung memutar badan untuk ikut bicara dengan Aleta dan Nina. "Iya ih, baik banget itu Bu Kala, kata yang pernah ikut kelasnya, Bu Kala emang gitu. Mematahkan predikat guru matematika pasti killer. Pantes aja yang dulu ikut kelas Bu Kala pada bagus nilainya. Kayaknya gue bakal pinter deh kalau dijelasin sama dia."

Aleta langsung setuju dengan ucapan Kiky.

"Iya sih, penjelasannya juga nggak belibet gitu."

Mereka yang sibuk bercerita langsung diam saat guru Bahasa Inggris memasuki kelas. Kemudian Nina tiba-tiba teringat sesuatu. "Al, lo kan lagi nyari guru les," bisiknya.

"Iya emang."

"Kenapa nggak minta Bu Kala aja? Gue yakin dia mau."

Aleta langsung memandang Nina dan tersenyum lebar. "Iya ya, kenapa gue nggak kepikiran. Oke pulang ini gue bakal bilang ke Mas Zyan."

******

Zyan memarkirkan CX-5 putihnya di garasi. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, dia memang harus lembur karena mengejar proyek besar yang sedang dikerjakannya bersama dengan anggota tim yang lain. Zyan bekerja di salah satu perusahaan Arsitektur dan Perencanaan ternama di Indonesia, dia adalah seorang structural engineer(biasa disingkat SE). Sebagai structural engineer, Zyan memang tidak bisa bekerja santai, dia harus membuat perhitungan yang diperlukan untuk setiap desain bangunan yang diajukan oleh arsitek. Seorang SE adalah orang yang berada di balik layar untuk memastikan bahwa struktur bagunan benar-benar aman untuk dilanjutkan ke tahap kontruksi. Banyak yang bertanya kenapa dia tidak menjadi seorang arsitek saja, jawabannya sederhana karena Zyan menyukai pekerjaanya sebagai seorang SE, walaupun dia juga pintar menggambar dan membuat desain bangunan. Zyan juga memiliki ijazah arsitektur. Tetapi sejak awal terjun ke dunia perencanaan bangunan, Zyan lebih merasa tertantang menjadi seorang SE.

Sudah lebih dari tujuh tahun Zyan bekerja di bidang ini, dia benar-benar memulai dari bawah, hingga sekarang bisa membawahi sebuah tim. Semakin tinggi jabatan, semakin besar tanggung jawab dan juga semakin banyak waktu yang harus dihabiskannya untuk bekerja. Itu salah satu alasan kenapa Zyan masih sendiri. Dia takut tidak bisa membagi waktu antara pekerjaan dan hubungan pribadinya.

Bukannya dia tidak tertarik dengan perempuan, tetapi beberapa kali menjalin hubungan, pasangannya tidak tahan dengan jam kerjanya yang sibuk. Tidak bisa dimungkiri kalau seorang perempuan butuh diperhatikan, dan dengan pekerjaannya yang sibuk dan tanggung jawab sebagai seorang leader, Zyan harus mempriorotaskan pekerjannya. Sehingga kisah cintanya selalu berakhir begitu saja.

"Mas lama banget pulangnya."

Zyan kaget saat melihat adiknya berbaring di ruang tengah. "Kenapa belum tidur?" tanya Zyan sambil mendekati adiknya yang ternyata sedang menonton serial di Netflix. "Nungguin Mas Zyan pulang."

"Tumben. Ini udah malem, lho. Besok kamu kesiangan."

"Besok kan Minggu, Mas. Ini nih, sibuk, sampe hari libur aja nggak tahu. Apa jangan-jangan Mas nggak libur?"

Zyan mengangguk. "Besok ada meeting sama anggota tim."

Aleta memandang kakaknya ngeri. "Nggak enak banget jadi orang dewasa, semua hari dipake buat kerja. Nggak bisa rebahan kayak gini," kata Aleta sambil merentangkan kedua tangannya.

Zyan mengabaikan celetukan adiknya itu. "Ngapain nungguin Mas?" tanya Zyan.

Aleta langsung mengubah posisinya menjadi duduk. "Aleta udah dapet guru les Matematika."

"Oh bagus, siapa?"

"Guru Aleta di sekolah. Ibunya baik deh, mana keren pula."

"Keren gimana?" Zyan membuka kancing lengan kemejanya dan menggulungnya hingga siku.

"Dia juga suka Tulus."

Zyan langsung memandang adiknya itu. "Mas nyuruh kamu cari guru Matematika bukan nyari guru yang suka sama penyanyi idola kamu itu, Aleta."

"Ya tapi seenggaknya kami punya kesamaan. Jadi belajarnya bisa asik. Lagian orangnya juga baik, aku pasti semangat belajar kalau sama dia."

"Cari guru yang normal-normal aja lah, Al."

"Jadi menurut Mas, guru aku yang suka Tulus ini nggak normal? Wah, Mas belum lihat orangnya udah bisa menilai. Dia ini keren tahu, anak-anak juga bilang Bu Kala itu keren cara ngajarnya."

"Keren gimana?"

Aleta mulai menjelaskan apa yang dilakukan oleh Kala dan pertemuannya dengan Kala di kantor tadi. Zyan mendengarkan cerita adiknya itu dengan saksama. "Kamu yakin dia mampu?"
"Ya ampun, Mas. Dia ini guru di sekolah aku, Harapan Bangsa. Susah lho, buat jadi guru di sekolah aku tuh. Apalagi guru matematika."

"Oke kalau gitu."

"Mas setuju dia ngajarin aku les?" tanya Aleta berbinar.

"Mas mau ketemu orangnya dulu, mau Mas uji dulu dia kompeten atau nggak."

Aleta mengerucutkan bibirnya. "Nanti Mas ketus-ketus sama dia, aku nggak enak."

"Emang Mas ketus?"

"Nggak nyadar ya, Mas?" sindirnya.

"Pokoknya kamu atur janji temu sama guru kamu ini. Siapa namanya?"

"Bu Kala. Kalani Azkadina."

"Oke itulah. Minggu depan Mas free, kamu atur biar Mas bisa ketemu sama guru kamu ini, ya."

"Janji tapi Mas nggak boleh ketus?" ancam Aleta.

"Iya iya. Udah tidur sana, udah malem," kata Zyan sambil mengacak-acak rambut adiknya itu.

*****

Happy Reading....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro