Bagian 8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Cabe udah, bawang udah, oke, lengkap." Kala memasukkan semua bumbu-bumbu dan juga sayuran ke keranjang. Kemudian dia bergegas ke kasir untuk membayar belanjaannya itu. Tepat pukul sepuluh Kala sudah berada di supermarket untuk membeli bahan-bahan yang diperlukannya untuk memasak. Rencannya dia akan masak di apartement Satria, karena kekasihnya itu mengatakan merindukan masakan Kala. Kala sengaja belanja di mal yang dekat dengan apartemen Satria, jadi dari sini dia hanya perlu naik ojek untuk sampai di apartemen kekasihnya itu.

Beberapa menit kemudian Kala sampai di lobi apartemen Satria, dia langsung menuju lift. Tebakannya Satria pasti belum bangun, untungnya Kala punya kunci sendiri. Bukan berarti hubungan mereka sebebas itu, Satria memang memberikan kunci cadangan pada Kala, karena terkadang Kala datang dan dia masih tertidur lelap, sehingga daripada Kala menunggu lama di depan pintu, Satria berinisiatif memberikan satu kunci pada Kala.

Seperti dugaan Kala, Satria memang masih tidur. Dia langusng berjalan menuju dapur dan membongkar barang-barang belanjaannya. Untuk ukuran tempat tinggal laki-laki, Satria cukup bersih dan rapi, kekasihnya itu tidak pernah meninggalkan piring kotor di tempat cuci piring. Kalau ada satu dua baju yang diletakkan sembarangan seperti di sofa atau kursi makan, masih bisa ditolerir.

Hari ini Kala berencana memasak tumis kangkung dan ikan goreng saja. Menu sederhana tetapi Satria selalu menyukai masakannya itu. Sebelum membersihkan sayur-sayuran dan bahan lainnya, seperti biasa Kala menyumpal telinganya dulu dengan earphone dan mulai mendengarkan musik dari ponselnya. Tentu saja playlist wajibnya adalah lagu-lagu Tulus.

Coba sehari saja, Satu hari saja

Kau jadi diriku

Kau akan mengerti bagaimana ku melihatmu

Menganggumimu, menyayangimu

Dari sudut pandangku

Dari sudut pandangku

Selain Tulus Kala juga menyukai Sammy Simorangkir. Entah kenapa lagu-lagu yang mereka bawakan bisa membius Kala, suara indah mereka membuat Kala merasa terbawa suasana. Tidak jarang ketika sedang sendiri dia bisa menangis hanya dengan mendengarkan lagu-lagu sedih yang dibawakan Sammy.

"Kal..." Kala yang sibuk memotong bawang tidak sadar dengan kehadiran Satria. Kekasihnya itu baru bangun tidur, wajahnya masih terlihat sembab, namun bibirnya tertarik membentuk senyuman saat melihat Kala ada di dapurnya. "Sayang," panggil Satria sambil memeluk Kala dari belakang.

"Astaga Satria! Ngagetin aja, sih!" Kala langsung melepas earphone-nya.

Satria nyengir. "Lagian kamu sibuk banget. Nggak denger aku manggil."

"Aku kan lagi dengerin Tulus."

Satria mendengus. "Kalau aku cemburu sama Tulus, kekanakan nggak, sih?"

"Kekanakan." Kala berusaha melepaskan pelukan Satria. "Udah mandi sana, kamu bau iler."

Satria melepaskan pelukannya sambil cemberut. "Males banget mau mandi."

"Jorok deh. Kalau kamu nggak mandi, nggak boleh makan, ya," ancam Kala.

"Sadis amat sih, Kal. Laper nih." Satria mengusap-usap perutnya, yang semenjak setahun belakangan dipenuhi oleh lemak yang cukup banyak, karena dia lebih banyak menghabiskan waktu di depan laptop dan malas berolahraga.

"Makanya mandi sana."

"Iya Ibu Kala." Setelah mengatakan itu Satria segera lari dari dapur. Kemudian Kala kembali meneruskan kegiatan masaknya. Tadinya Kala hanya ingin membuat ikan goreng saja, namun setelah menggoreng ikan, rasanya lebih enak kalau ikan Nila ini dimasak kecap. Akhrinya Kala mengambil tiga siung bawang putih dan menggepreknya, lalu menumis bawang putih itu hingga kuning, dan menambahkan kecap sebelum memasukkan ikan yang sudah digorengnya. Aroma ikan kecap yang dimasaknya itu benar-benar menggugah selera.

Setelah selesai memasak Kala langsung menyajikan masakannya di atas meja makan. "Wah enak banget ini," kata Satria yang baru keluar dari kamarnya, dengan rambut yang masih basah.

"Iya dong, ayo makan." Kala mengambilkan nasi untuk Satria kemudian untuk dirinya. Mereka berdua menikmati hidangan sederhana ini dengan perasaan bahagia. Terkadang di hari libur seperti ini, mereka lebih senang menghabiskan waktu di rumah seperti ini, Kala memasak untuknya, kemudian setelah itu Satria mencuci piring. Lalu, mereka berdua akan menghabiskan waktu dengan bercerita, atau mononton TV seharian.

"Biar aku yang cuci piring," kata Satria saat Kala berdiri sambil membawa piringnya.

"Oke." Aku ke ruang TV ya. Kala menyalakan televisi, dia duduk di sofa sambil mengutak-atik remote TV. Tidak lama kemudian Satria bergabung bersamanya. "Nonton Korea lagi?" tanya Satria.

Kala mengangguk. "Ini seru. Tentang perselingkuhan. Aku gemes sama pelakornya, nggak tahu diri gitu."

Satria mengacak rambut Kala. "Kamu tuh ya, nyari penyakit aja nonton beginian, nanti emosi sendiri."

"Ya gimana, seru soalnya. Kamu awas ya kalau berani-berani selingkuh kayak gini. Abis kamu!" ancam Kala.

"Apa nih yang abis?" tanya Satria dengan wajah ngeri.

Pandangan Kala mengarah kepada...

Satria langsung menutupi bagian bawah tubuhnya. "Kal, parah deh kamu. Ngeri ih, udah nggak usah nonton beginian lagi," katanya dengan mimik wajah ketakutan. "Terus kamu beneran jadi wali kelas?" tanya Satria, berusaha mengalihkan topik pembicaraan mereka.

Kala menoleh pada Satria, dia pikir Satria tidak akan membahas hal ini, karena terakhir kali Kala membahasnya, Satria seperti tidak tertarik dengan ceritanya itu. "Iya, buat sementara, sih."

"Bagus deh kalau sementara."

"Emang kenapa?"

"Ya kan, nanti kamu test CPNS, kalau lulus kan ketika ninggalin sekolah ini kamunya nggak beban."

"Ya kalau lulus."

"Kok, kamu kayak nggak yakin gitu, sih, Kal?" kata Satria dengan nada tidak suka.

"Bukannya nggak yakin, tapi aku nggak mau berekspektasi lebih. Saingannya tuh banyak, jadi aku mencoba untuk nothing to lose aja. Nggak mau berharap banyak."

"Tapi jatuhnya kamu kayak nggak semangat gitu, lho, Kal. Gimana sih, ini penting, lho buat kamu. Tapi kamunya malah nggak semangat."

Kala yang mendengar penuturan Satria itu langsung terpancing emosi. "Ini penting buat aku atau buat kamu, sih? Kayaknya harus banget gitu aku jadi PNS."

"Ya harus dong, kamu tahu sendiri kan, orangtua kamu juga maunya kamu jadi PNS."

"Itu kan mereka. Please, Sat, jangan kamu juga! Jangan bikin aku tertekan!" tukas Kala.

"Siapa yang bikin kamu tertekan? Kamunya aja yang nggak pernah serius. Kamu yang nggak mau keluar dari zona nyaman."

Kala memandang Satria dengan tatapan nanar. "Kita nggak akan nikah kalau aku nggak jadi PNS, kan?"

"Kal, ini semua buat kamu."

Kala menggeleng. "Bukan! Ini bukan buat aku. Ini buat kamu, kenapa? Kalau memang kamu cinta aku, kamu akan terima aku, Sat. Pernah nggak kamu nanya sama aku, apa emang aku pengin jadi PNS? Nggak kan? Itu artinya semuanya memang cuma buat kamu, Sat. Kamu nggak pernah mikirin perasaan aku." Setelah mengatakan itu Kala langsung berdiri, dia mengambil tasnya, kemudian keluar dari apartemen Satria.

*****

Aleta keluar dari mobil Zyan dan bergegas memasuki gerbang sekolahnya. Senin paginya harus diawali dengan ceramah Zyan tentang bagaimana kehidupan setelah lulus kuliah. Bagaiman sulitnya membangun karier, dan betapa pentingnya ilmu yang diperolehnya selama sekolah. Saat Zyan bercerita panjang lebar, Aleta memilih untuk menyanyikan lagu-lagu Tulus di dalam hatinya, total lagu yang dinyanyikannya dari rumah ke sekolah sekitar enam lagu.

"Diantar Mas lo yang ganteng itu, ya?" tanya Kiky yang juga baru memasuki halaman sekolah.

"Tahu aja lo."

"Soalnya tadi kaca mobilnya kebuka dikit, jadi gue bisa lihat. Hehe. Mas lo ada pacar nggak, sih?"

Aleta menaikkan sebelah alisnya. "Kalaupun nggak ada, dia nggak akan mau sama anak SMA, Ky."

"Ye, namanya juga usaha. Di novel, ada kok cowok dewasa yang suka sama anak SMA."

Aleta menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia heran kenapa teman-temannya suka sekali membaca cerita-cerita dengan tema seperti itu. "Geli nggak sih, kalau beneran lo pacaran sama Om-Om gitu?"

"Emang kakak lo om-om ya?"

"Ya maksud gue yang umurnya udah terpaut jauh. Gue sih geli. Mana belum tentu satu pemikiran pula. Apalagi Mas Zyan, hadeh, aku udah tahu banget selera dia kayak apa." Mereka berdua tiba di depan kelas dan segera menuju bangku masing-masing. Setelah melepaskan tas ranselnya, Kiky langsung memutar tubuhnya ke belakang untuk kembali berbicara pada Aleta. "Emangnya tipe kakak lo gimana?"

"Pinter."

"Gue pinter, kok. Hehe. Kecuali matematika."

Aleta menjentikkan jarinya. "Mas gue bakalan nyari yang pinter matematika. Karena dia tergila-gila sama matematika."

Wajah Kiky langsung berubah lesu. "Kenapa musti matematika sih. Bahasa Inggris aja gimana? Gue jago kok, Bahasa Inggris gue cas, cis, cus, kalau ngomong."

Aleta tertawa. "Cas, cis, cus sampe muncrat ya."

"Pagi Aleta." Sapa Adrian saat Aleta dan Kiky tiba di kelas, gadis itu hanya membalas senyum Adrian seadanya. Sudah jadi rahasia umum kalau ketua kelas mereka, sekaligus juara kelas, naksir Aleta. Namun, sepertinya cinta Adrian bertepuk sebelah tangan.

"Masih nggak nyerah tuh, Adrian," bisik Kiky.

Aleta hanya mengangkat bahu.

"Jangankan Adrian, ketua osis tahun lalu aja nggak dianggep sama lo. Mau nyari yang kayak gimana sih, Al?" tanya Kiky.

"Gue belum mau cinta-cintaan. Gue mau mewujudkan cita-cita gue dulu untuk jadi penyanyi," jawabnya mantap.

******

Saat jam istriahat, Aleta tidak langsung ke kantin bersama dengan teman-temannya. Dia berjalan menuju kantor guru, untuk menemui Kala. Aleta melihat Kala sedang sibuk dengan laptopnya, namun sepertinya ada yang aneh dari wajah ibu gurunya itu, mata Kala terlihat bengkak, sepertinya habis menangis hebat. "Permisi, Bu," sapa Aleta.

Kala mengangkat kepalanya. "Oh, duduk Al."

Aleta mengangguk dan duduk di depan Kala.

"Ada apa, Al?"

"Ehm... gini, Bu. Kan minggu lalu saya pernah cerita kalau kakak saya mau saya les matematika. Nah, tiba-tiba saya dapet ide. Gimana kalau Bu Kala aja yang ngajarin saya."

Kala mengerutkan kening. "Kamu minta Ibu jadi guru les kamu?"

Aleta mengangguk.

"Wah, kayaknya itu nggak bisa deh, Al."

"Nggak bisa kenapa, Bu? Kalau masalah waktu disesuaikan aja sama waktu Ibu, saya ngikut aja."

"Bukan gitu sih, takutnya nanti anak-anak ngerasa nggak adil kalau Ibu cuma ngajarin kamu."

Aleta paham maksud ibu gurunya itu. "Oh gitu ya, Bu. Ya udah deh. Nggak papa, Bu."

"Maaf ya, Al."

Aleta mengangguk. "Nggak papa, kok, Bu. Saya permisi." Setelah mengatakan itu Aleta segera keluar dari ruang guru. Aleta agak kecewa karena Kala menolak tawarannya, padahal dia ingin sekali mempunyai guru les seperti Kala, bukan hanya karena mereka punya idola yang sama, tetapi Kala juga bukan guru yang menakutkan, beberapa kali mengikuti kelas Kala, Aleta sedikit banyak mengerti tentang apa yang dijelaskan oleh gurunya itu. Tetapi benar juga alasan Kala menolaknya, mungkin kalau ada teman-temannya yang tahu akan terjadi kecemburuan. Sudahlah, dia akan berusaha mencari guru les yang lain saja.

****** 


Happy reading ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro