8. Disintegrated (2)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebelum aku menjadi Annie Forester, aku adalah Lintang Mustikawati, anak pertama dari pasangan Brantas Argo dan Velia Rahmat. Aku punya tiga adik, dua laki-laki dan satu perempuan. Keluarga kami terbilang biasa, bukan termasuk yang sangat kaya atau pun yang sangat miskin, bisa dibilang keluargaku masuk ke kelas menengah. Namun, walau kami bisa membeli barang atau makanan, adakalanya kami juga mengalami kesulitan finansial.

Ayahku hanyalah abdi Negara biasa, sedangkan ibuku adalah ibu rumah tangga yang memiliki pekerjaan sampingan sebagai pembuat kue. Untuk makan sehari-hari terbilang cukup, tetapi lain ceritanya untuk keperluan pendidikan. Meski pendidikan di sekolah Negeri gratis, tetapi orang tuaku menyekolahkan kami di sekolah swasta, alasannya karena pendidikan di swasta jauh lebih bagus dari pada di Negeri.

Tapi seperti simalakama, hal itu juga yang membuat kami sering terlilit utang. Belum lagi ketika aku kuliah dan adik keduaku masuk SMA, orangtuaku pontang-panting mencari uang supaya pendidikan kami berjalan lancar. Sebenarnya aku bangga dan bahagia dengan perjuangan orang tuaku membesarkan kami, tetapi aku sering merasa kecewa dengan sikap serta ucapan beliau berdua.

Nilai akademikku memang tidak sebagus adik kedua maupun ketigaku. Bisa dibilang kepandaianku pas-pasan. Aku sering kesulitan mengikuti pelajaran, apalagi yang berbau matematika. Namun, dari SMA maupun kuliah, aku dituntut untuk masuk ke kelas yang memiliki banyak hitungan, sehingga mau tak mau aku harus berdamai dengan keadaan. Berbeda dari adik-adikku yang berulang kali mengikuti olimpiade sains atau pun lomba debat nasional, aku hanyalah pelajar biasa yang berusaha supaya nilai-nilaiku tidak di bawah rata-rata. Mendapat IPK 3 saja aku harus mati-matian belajar setiap malam supaya paham dengan materinya, tetapi rupanya usahaku tidak dipandang bagus oleh orang tuaku.

Ayah dan ibuku sering mengomel, kenapa aku tidak seperti adik-adikku. Mereka sering berkomentar, kenapa IPK-ku kecil sekali padahal anak tetangga IPK-nya bisa sampai 3,5. Kadang-kadang juga mereka meledek penampilanku yang lusuh dan marah karena canggung dalam bicara sehingga susah dapat pekerjaan.

Setelah berhasil bekerja di salah satu kontraktor swasta, hidupku tidak lebih mulus. Memang rasanya lebih damai karena tidak ada orang tua yang marah-marah atau mengomel, tapi dunia kerja ternyata tidak seindah itu. Gajiku sering terlambat, atasan dan senior yang sering memakiku, lembur nyaris setiap hari, tidak ada hari libur, bahkan kadang-kadang harus begadang di tempat proyek, belum lagi gunjingan sinis dari para tetangga kos yang mengira aku ani-ani karena sering pulang dini hari. Padahal aku pakai kemeja, tampang juga kuyu dan lelah, badan rasanya sudah hampir remuk, tapi tetap saja mendapat cemohan.

Dunia itu sangat keras, ya. Bahkan cenderung tidak adil.

Yah..., pernah mendengar pepatah bahwa dunia tidak adil kan?

Orang tuaku kadang meneleponku, tetapi lebih sering menanyakan apakah aku sudah gajian atau belum. Mereka butuh bantuanku untuk menyekolahkan adik-adik. Awalnya aku rela mengirimkan uang, tapi lama-lama aku mulai kewalahan dengan emosi yang kurasakan. Tidak ada pertanyaan tentang kabar, tidak ada kekhawatiran yang diungkap, yang ada hanyalah kalimat, 'Sudah gajian? Ayah butuh uang sekarang, untuk biaya adikmu kuliah.'. Rasanya aku marah, jengkel, belum lagi saat pulang ke rumah, mereka tidak terlalu memedulikanku.

Bukannya aku mau diistimewakan, tetapi mungkinkah aku bisa mendapat sedikit perhatian misalnya dibuatkan makanan kesukaan, ditanyai bagaimana kegiatan sehari-hari, bagaimana kondisiku di kantor, tetapi orang tuaku tidak melakukan itu. Mereka tidak acuh, begitu juga adik-adikku, sampai lama-lama aku merasa terasing di rumah sendiri. Pada akhirnya, aku memilih tidak pulang lagi. Ketika aku ingin berhenti membantu kuliah adik-adikku, makian dan seruan durhaka membuat hatiku mencelos.

Mereka tidak bertanya seberapa aku berusaha bertahan hidup di perantauan, walau aku berusaha menjelaskan kondisiku yang sulit, mereka lebih dulu tutup telinga dan melabeliku sebagai anak durhaka yang tidak tahu balas budi. Aku menangis dan merasa hancur. Bukan maksudku demikian, tetapi hidupku memang sedang sulit. Aku hanya ingin mendengar mereka mengatakan, 'Tidak apa-apa, Ayah dan Ibu mengerti kondisimu, semoga nanti kamu mendapat jalan keluar. Kalau sudah ada rejeki lagi, apa kamu bisa bantu Ayah?'.

Sejak pertengkaran kami, aku memilih untuk memutus hubungan dengan keluargaku. Hidup sendiri di perantauan, menghibur diri dengan buku dan film, serta menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Sayangnya itu semua tidak bisa menghapus rasa sepi dalam hatiku. Aku ingin keluarga yang hangat, yang mau melindungiku, mengayomiku, dan mengatakan 'kau sudah berjuang'. Aku merasa merana, tapi aku tidak ingin dianggap lemah.

Aku mencoba kuat atau berpura-pura kuat. Berusaha ceria setiap saat, walau hatiku hancur. Hingga kemudian, kematian menjemput dan membawaku ke tubuh Annie Forester.

Pertama kali masuk ke tubuh Annie, aku merasa linglung. Tubuh yang tidak kukenal, keluarga yang asing, lingkungan yang aneh membuat orientasiku berantakan. Di minggu pertama aku sadar sebagai Annie, aku hanya bisa diam dan mengamati orang-orang di sekitar. Setiap kali aku berusaha mengingat sesuatu dari dunia ini, maka kepalaku terasa sakit seperti dihantam benda tumpul.

Di minggu kedua, aku mulai berbincang dengan orang-orang dekatku. Pada waktu itu, aku belum bisa menerima kenyataan masuk ke cerita yang kubaca dan menjadi salah satu tokoh sampingan yang mati karena masalah politik. Denial dengan keadaan, aku mencoba berpikir bahwa ini adalah mimpi. Namun, mimpi yang terasa sangat nyata seperti di film inception. Di minggu berikutnya, aku mencoba mencari cara untuk kembali ke dunia asal dan langsung berakhir, karena aku sendiri tidak tahu harus mulai dari mana.

Aku kebingungan, takut, dan khawatir.

Akhirnya aku mencoba berdamai dengan kenyataan, meski kadang kehilangan orientasi pada jati diri. Sering sekali aku bertanya pada diri sendiri, apakah aku Annie ataukah Lintang? Atau apakah aku keduanya?

Sekarang, aku mempertanyakan hal itu lagi.

Serangan dari Vampir tak dikenal, rasa sakit di lengan, jahitan yang diterima tubuh ini adalah nyata. Kehidupanku sekarang adalah kenyataan. Aku bukan lagi Lintang Mustikawati melainkan Annie Forester. Apakah ini kehidupan baru ataukah sebenarnya aku bereinkarnasi?

Siapa yang bisa memberikan jawabannya?

(Rabu, 24 Januari 2024)

====================

Note:

Pernah merasakan bahwa kamu bukanlah kamu?

Pernah berpikir kenapa jiwa kita ada di wadah saat ini?

Kenapa kita menjalani hidup yang seperti ini?

Pernah dengar tentang karma?

Sampai bertemu lagi nanti~~

Jangan lupa vote dan komennya yaaa....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro