2|crowded

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Oh, kau datang."

Kamu menatap si surai crimson yang masih berkutat dengan laptop serta kertas seraya menenteng dua bento berbalut kain, kemudian menaruh salah satu kotak bekal dengan kain merah di meja kosong.

Badanmu berbalik, melangkah menuju pintu osis untuk pergi keluar.

"Buru-buru sekali, makanlah di sini," namun suaranya menghentikan pergerakanmu.

Tanpa berbalik, kamu menghela napas, "terima kasih," balasan yang kau berikan membuat sosok ketua osis tersebut menyunggingkan senyum, "tapi maaf, aku istirahat di tempat lain saja."

Tepat setelah kamu menyelesaikan kalimat, bunyi pintu tertutup menandakan kepergianmu dari ruang osis.

Kaki menyusuri lorong dengan langkah besar, terkesan buru-buru, tak jarang bahu menabrak murid lain dan berakhir membungkuk minta maaf. Berbelok menuju tangga kecil yang menghubungkan tiap lantai, kamu membuka pintu pelan, menikmati semilir angin semi dingin dari awal musim gugur. Kau berjalan mendekati pagar pembatas, sejenak menikmati pemandangan dari atap sekolah yang jarang bisa diakses oleh sembarang murid karena adanya peraturan sekolah yang melarang siswa-siswinya untuk pergi ke atap sebelum akhirnya mendudukkan diri sembari menyenderkan punggung pada pagar.

'Tenang sekali . .'

Kau membuka kotak bekal ukuran sedang yang dibawa dari rumah, menampilkan beragam makanan yang dihias sedemikian rupa. Setelah menelungkupkan tangan, kamu mulai menghabiskan isi bekalmu sedikit demi sedikit, toh, waktu istirahat masih lama.

Matamu memandang langit dengan tatapan menerawang, sedikit merujuk ke arah kekosongan ketimbang lamunan. Kembali menghela napas untuk kesekian kalinya, bento masih tersisa setengah, tapi entah mengapa nafsu makan tiba-tiba hilang.

Sedikit helai rambutmu terbang di tempat mengikuti arah angin, suhu dingin terkadang menabrak kulit leher, padahal kau sengaja menguraikan rambut untuk menghalau angin beku hari ini. Kamu menguap, bercampur antara bosan dan kantuk.

Dan akhirnya kesadaranmu memudar hingga sekolah usai.

Sinar oranye datang menusuk mata, memaksa alam bawah sadar perlahan pudar seiring kelopak membuka semakin lebar. Wajah menghangat berkat terpaan berkas cahaya mentari sore, udara dingin tak lagi dirasa keberadaannya. Kantuk masih kau rasakan, matamu pun masih mengerjab demi mengadaptasi penglihatan.

"Bangun juga akhirnya," suara bariton mengejutkanmu, refleks membuatmu sadar bahwa kepalamu tengah bersandar nyaman pada sebelah pundak seseorang. Kamu mendengus, "kenapa tidak membangunkanku?"

Tatapannya tetap jatuh di deretan kalimat dalam sebuah buku tebal, iris merah miliknya bergerak teratur mengikuti alur bacaan. Begitu tenang, bak permukaan air yang senyap tanpa ada gangguan.

"Hey, aku tahu kau dengar."

Ia tertawa kecil, lantas menoleh, "ada apa?"

Kamu bangkit, menatap kotak bekal yang kini sudah terbungkus rapi, padahal seingatmu tadi sebelum tertidur kamu tidak sempat merapikannya bahkan membiarkan isinya terpapar udara sekitar. Selain itu, "sejak kapan kau di sini?"

Terlihat ia berpikir kemudian menoleh seraya tersenyum, "entahlah?"

Jawabannya membuatmu mendengus, sedikit merasa jengkel karena pertanyaan tak dijawab semestinya. Kamu hendak beranjak, namun tangan kekar menahan pergerakanmu, menyuruh duduk dalam diam.

"Aku mau pulang."

"Temani aku," ia meminta sambil terus menggenggam pergelanganmu, "sebentar saja kok."

Kau menghela napas, "mau bagaimana lagi ..," balasmu pasrah kembali bersimpuh di sebelah si surai merah seraya menikmati semilir tiupan alam kala petang mulai beranjak turun, sorak ramai berbunyi riuh dari aktivitas beberapa pasang klub luar ruangan, kamu terus memperhatikan bagaimana klub baseball berlatih keras agar semakin kuat, ataupun klub lari didikanmu bergerak dengan semangat membara mengelilingi lintasan.

"Kau tidak berlatih?"

Tanpa menukar fokus kamu menjawab, "sudah sangat terlambat untuk mengikuti aktivitas klub, dan juga harusnya aku yang menanyakan hal itu padamu, ketua klub basket."

"Bolos sekali-kali itu tidak apa bukan? Lagipula seingatku klub lari akan mengikuti perlombaan di Tokyo bulan depan," balasnya mengingatkan. Memang benar kamu selaku ketua harusnya bertanggung jawab atas segala hal yang berkaitan dengan klub lari, termasuk latihan untuk menghadapi kejuaraan musim gugur nanti, tapi hari ini tubuhmu dirasa lebih lemas dari biasanya, makanya kamu berinisiatif mengambil waktu break dua hari ke depan daripada merepotkan anggota lain agar mereka bisa fokus pada latihan.

Kamu menoleh, "jadi, kenapa kau di sini?"

"Salah?"

"Tidak juga," lagi-lagi jawaban kurang memuaskan, batinmu terasa kecewa.

"Ngomong-ngomong, terima kasih atas bekalnya tadi, juga kunjungan kemarin ..," kini ia menatap netramu begitu dalam, membuatmu bak terhipnosis pada sepasang warna crimson tersebut, " .., aku sangat menikmatinya."

Ah, senyum itu, terasa begitu tawar, tidak seperti penampilannya yang mampu memabukkan pandangan para hawa dalam sekali lihat. Kamu merasakan kehampaan yang mendalam pada lengkung garis bibir miliknya, tak ada yang bisa kau lakukan untuk mengubah hal itu.

Ia beranjak, turut membawa buku tebal bersampul softcover dalam genggaman, "kuharap kau bisa melakukannya lagi untukku kapan-kapan."

Kamu mengangguk, "hati-hati."

Usai menundukkan kepala pelan, ia melempar seutas senyum padamu. Ya, tidak ada yang bisa mengubahnya, termasuk dirimu. Nyaring derit pintu tertutup merasuki pendengaran, memberi tanda bahwa satu insan telah melewati dan memberikan sedikit kesan lewat bunyi besi pengubung ruang.

Dadamu kembali sesak, namun sebisa mungkin kau hapus segera. Pintu besi bekas laluan dirinya kau tatap lama tanpa ada reaksi, "padahal kau mengetahuinya ..,"

Kamu mengertakkan baris gigi kuat, netra samar berkaca-kaca dengan cepat kau usap, merasa malu jikalau memecah kesedihan di sini. Suhu dingin tak kau anggap, sesak dalam dada terasa lebih menusuk dari embusan angin gugur, tak berniat mengenakan jaket merah yang ia tinggalkan untukmu barusan.

".., tapi kenapa kau tetap bertindak sejauh ini?" pada akhirnya satu titik kristal mengalir melewati lekung pipi dan terpecah di atas alas beton.

Dari balik pintu atap, ia bersandar lemas. Menutup mata dengan sebelah lengan berbalut seragam sekolah, di tengah kesendirian itu dirinya tersenyum. Senyum yang benar-benar menampakkan kehampaan, dadanya pun turut merasakan debuman sesak tanpa dasar.

Ia mendengar gumaman itu.

"Maafkan aku."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro