3|invitation

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Festival musim gugur?"

Kamu berpikir sejenak, festival mungkin terdengar menyenangkan, selain bisa bersenang-senang dengan bermacam permainan dan jenis makanan juga bisa melepas penat serta stress berlebih pada tubuh. Kamu hendak mengangguk setuju, namun seketika teringat kendala yang kalian hadapi.

"Tenang saja, festivalnya besok malam, jadi gak akan mengganggu latihanmu," ujarnya santai seraya memilah minuman mana yang hendak menjadi penghilang dahaga siang ini, "lagipula besok kalian libur, kan?"

Memang benar pelatih meliburkan kegiatan klub lari esok hari dengan alasan istirahat demi menjaga stamina. Tapi tetap saja, "kenapa aku?"

Ia menatapmu lamat, "salah?"

"Bukan begitu ..," kamu menekan salah satu tombol dari vending mechine di hadapan kemudian berjongkok mengambil kaleng bertuliskan espresso dan meneguknya pelan.

"Kau itu orang yang paling dekat denganku, bahkan lebih dekat dari ayah, kalau gitu apa salahnya mengajakmu?" balasnya demikian. Bel istirahat belum lama berbunyi, entah kebetulan atau sebagainya kalian berpapasan tepat di depan mesin minuman di dekat gym sekolah, lantas ia langsung mengutarakan ajakan ke acara festival musim gugur dengan alasan bersenang-senang sebelum pertandingan nanti.

Paling dekat, ya ..?

"Tetap saja, kau harusnya mengajak orang lain, bukannya temanmu ada banyak? Ajaklah dan mereka pasti akan menyetujuinya saat itu juga," kamu berbalik usai melempar bekas kaleng minuman ke tempat sampah, beranjak pergi tanpa melambai ataupun berujar sepatah kata undur diri. Meninggalkan dirinya yang menatapmu kosong seraya meremas kuat kepalan tangan.

Ia berbalik, melangkah ke mana kaki melangkah pergi, ".., apa yang salah?"

Pintu rumah diketuk pelan, memanggil sang penghuni untuk merespon dengan membukakan sekat kayu tersebut. Langkah dipercepat kala ketukan terdengar semakin tak sabaran, kenop diputar penuh sesuai arah, lantas ditarik demi membuka akses ke luar.

Kamu menatapnya sedikit terkejut namun seketika berganti dengan tatapan datar, "ada apa?"

"Halo."

Ia tersenyum, mengangkat tangan berisi paperbag ukuran sedang, mengundang tatapan heran kini terpampang pada wajahmu, "silahkan masuk."

Pintu dibuka semakin lebar, tanda akses masuk telah diberikan pada si tamu. Kamu mempersilahkannya duduk di sofa sembari menyiapkan beberapa kue dan teh untuk menemani bincangan yang kau duga hanya sebuah basa-basi belaka.

Teh dalam teko segera menghasilkan sarinya usai air mendidih dari ceret menyeduhnya. Wangi semerbak daun teh melati merasuki penciuman, beberapa buah kue juga sedang disusun sedemikian rupa agar memudahkan untuk dimakan. Nampan diangkat, lantas dibawa menuju ruang tempat si pengunjung menunggu sejak tujuh atau sepuluh menit lalu.

"Maaf membuatmu menunggu," piring berisi kue serta cangkir dan teko putih berhiaskan ukiran artistik tradisional diletakkan, tak lupa cairan hasil seduhan daun teh turut dituang hati-hati dalam cangkir sedang dengan hiasan sama dengan si teko.

"Bukan apa-apa, aku jadi bisa melihat penampilanmu di dapur, pasti tetap terlihat anggun dan lihai meskipun tengah memenggal seekor ikan tuna raksasa hasil tangkapan pamanmu," ia memuji ditengah sesapan kecil seduhan daun Camelia Sinensis.

Helaan napas meluncur dari mulutmu, "kau masih suka mengintip kegiatan orang ternyata, kupikir setelah beberapa tahun tak berjumpa sedikit dari kebiasaanmu menghilang seiring bertambahnya usia."

Ia terkekeh, "untung saja aku tidak mengintipmu di kamar mandi juga."

"Jika itu terjadi mungkin aku akan dipenjara atas pasal percobaan pembunuhan pada seorang pewaris perusahaan besar," kamu mendengus kala kekehannya semakin terdengar jelas.

"Untung saja aku tidak benar-benar melakukannya."

Cangkir diangkat pelan, menyeruput sedikit cita rasa manis pahit yang menguar dalam organ pengecap, sepertinya keputusanmu membuat teh sudah benar adanya,

"tumben sekali bukan kopi, apa kini seleramu mulai membaik?"

.., atau mungkin tidak.

Tatapan datar kau lempar, "kalau tidak suka ya jangan diminum," balasmu ketus. Lantas ia menggeleng, "ini enak kok."

"Benarkah?"

Anggukan pelan diberikan sembari kembali menyesap aroma harum daun teh kering di tengah kunyahan kue mentega manis. Hening menyelimuti sekitar lantaran tak adanya obrolan yang kembali diutarakan baik darimu ataupun si sosok surai merah tersebut, tetapi herannya kamu seperti sudah terbiasa akan situasi macam ini sehingga tak begitu memikirkannya secara berlebih.

"Aku tahu, kau pasti menanyakan alasan keberadaanku di sini."

Jujur aku ingin tahu.

''Tapi aku tidak akan bilang sekarang," ia tersenyum jahil.

Kau menatapnya datar, gatal rasa ingin melemparkan segelas air mendidih ke arahnya yang tentu saja tak akan benar-benar kau lakukan dengan serius, ''katakan sajalah alasan tidak logismu itu, yang jelas aku tidak akan menerimanya.''

Kini berganti ia yang menatapmu semi terkejut, eh tidak, itu hanya dibuat-buat. Kau bisa melihat dengan jelas seringai jahil di sudut bibirnya, ''baiklah-baiklah, kalau begitu aku tidak akan bilang sampai kau sendiri yang menanyakannya."

Serius?

Kamu mendengus jengkel, "hei, ini sangat buang-buang waktu, lebih baik aku bersantai sembari menyelesaikan satu part game daripada berbincang omong kosong tanpa dasar denganmu--"

"Shh ..," telunjuk lentik miliknya diletakkan tepat di antara belah bibirmu, menginterupsi adanya kata-kata lanjutan yang berisi omelan kekesalan. Rona tipis mewarnai beberapa bagian pipimu lantaran jarak antar wajah kini hanya tersisa beberapa centi saja, seringai samar dari garis bibirnya mampu membuat jantungmu berdegup kian cepat per detiknya, ditambah lagi tatapan dalam yang ia lontarkan tak mampu membuat dirimu mengalihkan pandangan sedikitpun bak sedang terhipnotis oleh sepasang netra ruby tersebut.

Mendapati reaksimu yang cukup membuatnya terhibur, kekehan kecil meluncur halus sebagai balasannya. Kamu langsung tersadar kemudian mengalihkan wajah tidak kurang dari sepersekian detik, "mengesalkan.. "

Tepukan pelan yang disusul elusan lembut dari telapak besar milik sang surai merah tidak langsung membuat dirimu menengadah demi menatap wajah rupawan miliknya. Bunyi tumpukan tas kertas yang diletakkan tepat di sebelah sofa tempat dudukmu mampu menarik alih perhatian yang awalnya terpikirkan oleh perlakuannya barusan. Matamu kini balas menatapnya heran, nampak seperti bertanya dalam diam.

Ia tersenyum ramah, "pakailah itu nanti, kudengar festival tahun ini akan sangat meriah, makanya aku agak sedikit memaksamu kali ini. Maaf ya," jelasnya diselingi kekehan. Kamu terhenyak, perang batin kembali terlaksana di balik pikiran. Di satu sisi kau ingin pergi, apalagi ini adalah kesempatan setelah sekian lama yang akhirnya bisa kau dapatkan.

Namun di sisi lainnya, keraguan masih terus membebani hatimu. Ingin rasa menolak, tetapi ia bahkan sampai membawakan barang agar kamu bersedia pergi dengannya kali ini. Satu tarikan panjang menarik perhatiannya, yang diikuti helaan napas berat yang membuat batin si lelaki merah di hadapan menegang.

Ia menatapmu penuh harap.

Kamu berbalik, "maaf."

Batinnya tak lagi menegang, tapi lantas semakin sesak. Ia menunduk, senyum lirih dipasang atas dasar kekecewaan, 'sudah kuduga.'

Badan kekar itu pun turut berbalik ke arah berlawanan, hendak berjalan menuju pintu keluar dari apartemen sederhana milikmu.

"Tunggu," suara lembut menghentikan langkahnya, mampu membuat ekspresi tegang kembali menyapa diri.

"Jika ini tentang tas itu, gunakanlah. Aku memang memberikannya untukmu, sekaligus ada beberapa hadiah dari ayahku juga."

Kedua alis milikmu saling bertaut, "hei bodoh, aku bahkan belum mengatakan hal lain selain 'tunggu' kau tau?"

Kini ia berbalik kembali menghadapmu, sedikit rasa lega menghinggapi karena ucapanmu barusan, "maaf."

Dengusan kesal terdengar, "kau terdengar seperti manusia bucin yang baru saja ditolak mentah-mentah dari orang yang disukainya."

Kini kekehan kecil diutarakan sebelum akhirnya melemparkan senyum tidak enak sembari menggaruk belakang kepala dengan gestur canggung, ia tidak tau lagi harus merespon seperti apa. "Kalau begitu aku pergi dulu, terima kasih atas waktu dan tehnya."

Badan berbalik, melangkah pergi menjauhi dirimu yang menatapnya dengan pandangan tidak dapat diartikan. Hela napas gusar diluncurkan kala bunyi pintu tertutup terdengar melalui pendengaran, mata melirik tumpukan tas pemberiannya tanpa minat, "ck.."

Tubuh kau lemparkan begitu saja di atas sofa panjang sehingga menimbulkan bunyi tubrukan yang lumayan keras, sebelah tangan menutupi mata serta sebagian wajahmu. Kembali menghela napas untuk kesekian kalinya, rahangmu mengeras ketika pikiran tak sengaja memutar sedikit kilas balik masa lalu. Tangan melorot turun seiring dentuman dalam dada menghantam semakin kuat, pada akhirnya tatapan menerawang itu semakin menghisap masuk tanpa bisa kau tahan sebagaimana biasanya.

"Kenapa kau selalu bisa membuatku merasa bersalah seperti ini, huh?" gumaman milikmu berujar bersamaan dengan jatuhnya setetes kristal bening dari pelupuk.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro