Law of Conservation of Detail

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"If you say in the first chapter that there is a rifle hanging on the wall, in the second or third chapter it absolutely must go off. If it's not going to be fired, it shouldn't be hanging there." (Anton Chekhov, from S. Shchukin, Memoirs. 1911.)

"If there is gum on the mantelpiece in the first chapter, it must go on something by the last chapter." (How NOT To Write A Novel)

"Each sentence must do one of two things: reveal character or advance the action." (Kurt Vonnegut on short stories.)


Hukum Konservasi Detail: Setiap detail yang ditulis dalam suatu cerita itu penting.

Ada batas yang jelas antara cerita yang punya world building bagus dan cerita yang kebanyakan hal (baca: halu) yang nggak nyambung. Conservation of Detail  adalah penyaringan informasi yang tak relevan untuk menonjolkan plot yang aktual dan aspek latar yang menarik. Pernah baca cerita yang lima bab cuma menggambarkan tokohnya lagi milih baju? Jarang banget, 'kan? Kecuali authornya mau menunjukkan sifat yang menarik dari tokohnya, atau menggunakan adegan itu sebagai metafora yang relevan dengan tema ceritanya, detail semacam itu enggak penting-penting amat buat diceritakan.

Setiap pengarang, baik yang baru mulai sampai yang sudah profesional, pasti pernah mendengar istilah Chekhov's Gun. Kata Mbah Anton Chekhov, kalau ada yang enggak nyambung sama isi cerita, ngapain dimasukin? Istilah ini pun bergeser maknanya jadi, "segala sesuatu yang awalnya tidak penting, lalu di paragraf atau bab-bab berikutnya baru kelihatan gunanya." Hal ini membuat Chekhov's Gun bisa disamakan dengan foreshadowing, yakni petunjuk/kiasan yang memprediksi resolusi konflik/penyelesaian misteri pada adegan selanjutnya.

Banyak tips yang membahas tentang kegunaan foreshadowing dalam cerita dan bagaimana membuat detail cerita yang baik. Sayangnya, aku bukan penulis yang baik dan tidak punya reputasi dan kompetensi buat memberi tips-tips yang baik. Cerita jelek lebih gampang dibikin daripada cerita bagus, tapi aku masih jarang menemukan tips buat bikin cerita jelek yang bagus. Karena itu, di sini aku bakal ngasih tips menyusun detail cerita, khusus buat kalian para penggemar cerita jelek dan yang mau menulis cerita jelek.

Sudah siap dicuci otaknya? Kalau sudah, mari kita mulai.

Dalam mengarang, ada kabar baik dan kabar buruk. Kabar baiknya, kamu bisa bebas mengkreasikan duniamu dari nol. Kabar buruknya, karena kamu membuat duniamu dari nol, setiap hal yang tertulis di dalamnya adalah pilihan yang disadari oleh si pengarang, sehingga pembaca menganggap pasti ada alasan di balik pilihan yang kamu buat. Kalau detail ceritamu lemah, maka banyak konsekuensi dan reaksi yang (tidak) kamu inginkan akan muncul. Ada beberapa fenomena yang perlu diketahui para calon penulis yang pengen bikin cerita jelek, antara lain:


1. The Gum on the Mantelpiece: situasi yang menyebabkan perhatian pembaca teralihkan tanpa sengaja.  Gum on the mantelpiece adalah kebalikan dari Checkhov's Gun. Itu adalah suatu unsur dalam cerita yang dideskripsikan secara detail sehingga tampak penting bagi pembaca, tapi pas ditungguin malah enggak pernah muncul lagi.

Detail-detail yang biasa muncul di kenyataan, seperti benda-benda di tempat tidur atau lirik lagu yang biasa didengar, menjadi jauh lebih penting ketika dituliskan dalam fiksi. Kalau di bab pertama ada adegan seorang tokoh bangun tidur, terus mandi, tidak lupa gosok gigi, lalu habis mandi dia menolong ibunya buat membersihkan tempat tidur, lalu dia mendeskripsikan dengan detail mengenai bantal kesayangannya yang penuh dengan cetakan iler, pembaca bakal menganggap, atau setidaknya berharap, kalau bantal itu penting buat diceritakan. Mungkin bantal itu menyimpan kenangan masa lalu sang tokoh, atau mungkin bantal itu jadi petunjuk penting ketika sang tokoh tewas pada bab berikutnya, atau bantal itu bakal jadi penyelamat ketika sang tokoh diserang zombi, atau petunjuk mengenai karakter sang tokoh yang agak kurang waras. Maka sebelum menulis deskripsi, tanyalah pada dirimu sendiri, "Apa detail ini penting?"

Jika jawabannya nggak, berarti itu nggak penting. Itu tips yang pertama.


2. Oh, Don't Mind Him: fenomena saat masalah seorang tokoh terlupakan begitu saja. Salah satu variasi gum of mantelpiece, tetapi lebih mengarah ke masalah penokohan daripada plot. Di dunia nyata, orang menghadapi banyak masalah yang saking banyaknya, masalah-masalah itu kadang tak terselesaikan sampai orang itu lupa sendiri. Tapi dalam fiksi, masalah itu seperti pembukaan lagu. Kalau ada tokoh yang bermasalah sama preman, ada seorang adik yang kehilangan kakaknya, atau ada cewek SMA yang hamil di luar nikah gara-gara ditidurin bad boy, pembaca bakal penasaran dan berharap sang pengarang untuk menyelesaikannya. Hanya karena itu bukan masalah yang utama dalam cerita, bukan berarti pembaca akan puas melihat banyak subplot yang menggantung.

Masalahnya, seringkali subplot dengan mudah mengambil alih perhatian pembaca dari cerita utama. Maka tanyakan lagi pada dirimu sendiri, "Apa masalah tokoh utamamu sudah cukup menarik perhatian pembaca sehingga mereka bisa fokus berempati sama dia? Atau justru pamornya kalah dari masalah tokoh yang lain?"

Kalau pertanyaan kedua lebih dominan di ceritamu daripada pertanyaan pertama, mending potong subplot tersebut dan fokusin dulu ceritamu ke masalah tokoh utama.

Atau ganti aja tokoh utamanya.


3. The Deafening Hug: fenomena ketika cinta yang tak diharapkan bersemi. 

Ah, romansa. Bahkan di cerita action-thriller pun kadang terasa kurang lengkap kalau belum ada adegan mesra, atau setidaknya petunjuk bahwa ada benih-benih cinta di antara tokoh-tokohnya. Apa yang lebih mudah dari memasangkan tokoh hero dan heroine yang diharapkan oleh semua pembaca? Membuat love interest yang menyebabkan tak ada orang waras yang mau membacanya. Dan seringkali, pengarang tanpa sengaja sudah membuatnya.

Fenomena ini bisa terjadi ketika, misalnya, sang pengarang membuat adegan antara kakak dan adik yang terlalu intim, dengan sang kakak mendeskripsikan adiknya seperti saat ia melihat cewek tercantik di sekolah. Padahal itu bukan cerita ena-ena sedarah, tapi adegan dan detail deskripsinya seolah menyiratkan kalau sang kakak pengen nganuin adiknya sendiri. Pengarang bisa saja tak sadar dan denial kalau maksud deskripsi itu cuma sekadar memperlihatkan rasa sayang kakak ke adik. Namun, seperti halnya angst bisa disalahartikan sama pembaca, hal seambigu itu juga bisa berakibat sama.

Beberapa versi dari fenomena ini antara lain:

a. The Mayfly Fatale. Kamu mungkin sering menemui dan melihat orang-orang yang menarik di dunia nyata, meskipun (maaf) mereka mungkin enggak punya waktu buat menatapmu dua kali. Tapi dalam fiksi, saat tokoh baru dideskripsikan sebagai cogan, berotot, dan berkarisma, atau cecan bertubuh seksi yang bikin naratornya tersepona, pembaca secara otomatis berpikir bahwa mereka adalah love interest. Jadi kalau kamu enggak mau pembaca ngeship pasangan yang salah (seperti kasus kakak beradik tadi), kurangi deskripsi fisik yang bisa bikin pembaca salah kaprah.

b. Alice in The Lapland. Setiap rasa ketertarikan dan kontak fisik tokoh dewasa dengan anak-anak juga mudah disalahartikan. Kecuali kamu sedang bercerita tentang pedofil, deskripsi dan ekspresi kasih sayang orang dewasa terhadap anak-anak perlu diminimalkan.

c. We're Going to Need a Bigger Closet. Sahabat sesama jenis, terutama cowok, gampang disalahartikan sebagai gay kalau mereka dideskripsikan sedang melakukan sesuatu yang intim, misalnya, tidur sekamar. Ditambah lagi kalau keduanya atau salah satu tokoh menyiratkan ketertarikan dalam deskripsinya. Aturan Mayfly Fatale juga berlaku di sini. Kalau tokoh cowok memuji tokoh cowok lain, "Ya ampun, ganteng banget," pembaca bisa aja mikir, "Fix, mereka ship-able."

Tips terakhir: kalau kamu nggak mau tokohmu dianggap maho, usir salah satunya dari kamar temannya dan biarkan dia tidur di sofa.

Oke, demikian fenomena dan tips-tips absurd mengenai penulisan detail cerita. Tapi tentu saja, hal-hal yang dianggap jelek itu pun bisa jadi bagus kalau kamu tahu cara mengendalikannya. Gum on Mantelpiece bisa berubah menjadi Red Herring, yakni petunjuk palsu yang sengaja dibuat agar perhatian pembaca teralihkan ke situ, saat kamu dan karaktermu sedang melakukan hal lain. Red Herring yang sukses bakal membuat pembaca terkejut dan puas ketika dijelaskan pada saat yang tepat.

Contoh klasik red herring adalah tersangka yang jelas-jelas mencurigakan dalam fiksi detektif (entah karena sifatnya yang menyebalkan atau motif membunuhnya paling kelihatan), dan semakin mencurigakan seiring berjalannya cerita, hingga ketika menjelang akhir ... ciluk ba! Ternyata pelakunya bukan dia.

Red herring yang bagus adalah red herring yang natural, artinya, red herring yang punya peran penting dalam cerita sejak first act. Misal, tersangkanya bisa aja love interest, pacar, ayah, ibu, guru yang dekat sama tokoh utama, atau sahabat. Pembaca nggak akan mengalami kepuasan yang sama ketika pengalih perhatiannya cuma orang asing yang gak sengaja kesandung terus jatuh di atas mayat.

Saat red herring-mu selesai melakukan tugasnya, jangan kemudian dilupakan begitu saja. Saat seorang tokoh ditolak cintanya, pembaca juga pengen tahu reaksinya setelah ditolak. Tokoh bukan cuma alat untuk menggerakkan plot. Kegagalan dalam memperlihatkan perasaan tokoh membuat pembaca menilai bahwa karakter tokoh tersebut kurang realistis. It's easier said than done, though, but at least we tried. Pada akhirnya, pembaca yang menilai apakah cerita kita layak masuk koleksi mereka atau enggak.

Jadi, tetap semangat dan teruslah berkarya!


Sumber:

How NOT to Write a Novel (Howard Mittelmark & Sandra Newman)

https://tvtropes.org/pmwiki/pmwiki.php/Main/ChekhovsGun

https://tvtropes.org/pmwiki/pmwiki.php/Main/Foreshadowing

https://tvtropes.org/pmwiki/pmwiki.php/Main/TheLawOfConservationOfDetail

https://quotefancy.com/quote/985471/Anton-Chekhov-If-there-s-a-gun-on-the-wall-in-act-one-scene-one-you-must-fire-the-gun-by

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro