Island

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Red," Brendan memanggil, setelah anak ogre yang bersama mereka tertidur. "Aku perlu bicara!"

Mendengar itu seulas senyum lebar menghias wajah rekan seperjalanannya.

Sudah lebih dari seminggu mereka bertualang di pulau asing itu. Dengan bertambahnya personel dalam perjalanan mereka, Brendan makin waspada dalam memilih jalur. Ras Ogre memang dikenal sebagai salah satu yang memiliki otot dan tulang terkuat di antara ras lain, tetapi yang bersama mereka masih anak-anak.

Pemuda itu sempat khawatir Alman yang menyukai tantangan bakal tidak menyetujui pilihannya. Dengan hati-hati Brendan menyampaikan maksudnya pada rekannya itu. Di luar dugaan, Alman langsung setuju.

"Apakah betul tidak apa-apa, Red?"

"'Kan aku sudah bilang ... Tak masalah," jawab Alman, santai. "Prinsipku, tidak setengah-setengah. Kita sudah memungut bocah itu, jadi harus bertanggung jawab pada keselamatannya hingga akhir. Risikonya ... bakal lebih lama lagi untuk bisa sampai di tujuan."

Langkah-langkah Alman tidak lagi secepat biasanya, Brendan jadi bisa mengikuti dengan santai. Walau tetap ada 1-2 makhluk buas yang mereka temui, tidak terlalu membahayakan dan bisa diatasi dengan cepat oleh Alman—bahkan oleh Brendan juga. Tidak ada keluhan.

"Di desamu ada pengguna mantra?" tanya Alman sambil lalu.

Anak ogre yang bersama mereka memandang Brendan lalu memandang Alman, kemudian menggelengkan kepala.

"Tidak harus yang seperti kami. Maksudku ... apa ada yang bisa sihir atau semacamnya di sana? Kekuatan ajaib yang tidak menggunakan otot?"

Dengan wajah terpana anak Ogre itu menunjuk pada Alman, "Huma ... sihir bisa?"

"Hei! Meremehkan aku ... ya? Ibuku itu Sorcerer Huma kenamaan. Kalau kau dengar nama ...."

Alman memutuskan untuk tidak meneruskan kalimatnya. Sepertinya percuma saja, karena anak ogre itu terlihat tidak antusias. Bahkan dia lebih tertarik pada semak-semak buni yang buahnya merah ranum.

"Beast ... Avian ... Saurian ... Dwarf ... kami," anak ogre itu menyebut jenis kaum yang dia ketahui ketika mereka beristirahat setelah makan malam. "Huma ... kakek cerita."

"Begitu. Cukup banyak juga. Bagaimana cara mereka datang ke desamu ... dengan gerbang sihir atau kendaraan, kapal mungkin?"

Anak ogre terlihat kebingungan dengan pertanyaan Alman. Entah karena tak bisa menjawab atau ada alasan lain, dia memutuskan untuk menceritakan bagaimana ras Huma dikatakan oleh kakeknya sebagai bangsa menakutkan yang menggunakan senapan untuk membunuh ras lain.

"Kakek ... bohong ... Huma tak seram," tambahnya.

"Oooh, kau saaalah," bantah Alman, sengaja memanjang-manjangkan ucapannya. "Huma memang seraaam. Mereka lemah, tapi otaknya licik dan culas. Ditambah ada yang ahli sihir, waaah ... menakutkan sekaliii!"

"Tapi ... Huma juga?" protes anak Ogre seraya menunjuk pada Alman.

"Aku? Aku setengah Huma, karena itu aku masih baik hati. Di luar pulau ini, buuuaaanyaaak Huma yang seraaam. Mereka suka menculik anak-anak bandel yang tak patuh. Lalu anak-anak itu akan dikurung dan dirantai sampai menurut."

Brendan yang sedari tadi hanya mendengarkan karena sibuk memastikan tak ada yang sobek dan membersihkan kotoran, pada jubah-jubah yang mereka kenakan, mulai mempertimbangkan untuk menghentikan cerita Alman. Dia khawatir anak Ogre itu akan terlalu ketakutan. Lebih parah lagi kalau sampai mogok untuk melanjukan perjalanan.

"Bohooong! Huma ... bohooong!!!" seru anak Ogre, kesal.

"Aku tak pernah berbohong, Kecil ... Lihat, taringku mulai tumbuh, kan?" Alman memamerkan gigi-giginya. "Karena aku ini setengah Beast."

"J-j-jadi ... betul?"

"Yaaah ... aku tidak tahu para Huma itu berminat pada anak Ogre atau tidak, tapi ... bila sudah dirantai tetap tidak menurut ...." Alman dengan sengaja memberi antara yang panjang, sebelum melanjutkan, "kau tahu apa yang dilakukan para Huma pada hewan-hewan ternak mereka?"

"A-a-apa?" tanya anak Ogre itu, masih penasaran walau sudah terlihat sangat pucat.

Alman menyeringai lebar lalu mengambil sebutir buni seukuran apel dan menggigitnya dengan satu suapan besar.

"D-d-d-dimaka-...?"

"YAK! Sudah larut malam!" potong Brendan cepat. "Waktunya anak-anak tidur ... Ayo, sudah kutumpuk daun-daun di sebelah sana untuk alas tidurmu," tambahnya seraya menggiring anak Ogre itu menjauh dari Alman.

Perlu satu mantra penenang dirapal Brendan untuk membuat anak Ogre akhirnya mau tidur.

Setelahnya pemuda dari Avian itu menghadap rekan seperjalanannya. Dia sudah memutuskan untuk bicara empat mata pada Alman. Baik tentang anak Ogre itu, juga tentang tujuan perjalanan mereka.

Selama ini dia memilih untuk diam saja karena khawatir Alman akan mengamuk atau lebih parah ... kehilangan motivasi untuk melanjutkan perjalanan.

Berkali-kali mantra pendeteksi dia sebarkan, semua hanya memberi tahu posisi makhluk-makhluk semacam serangga, monster, dan mamalia kecil saja. Awalnya Brendan kira karena masih jauh dengan bangunan-bangunan yang jadi tujuan mereka—diharapkan ada sesama humanoid di sana.

Kini, posisi mereka sudah cukup dekat, tetapi Brendan tetap tidak mendeteksi humanoid selain mereka bertiga.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro