Unspoken

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Lariii!!!"

Menjauh dari tempat itu secepat yang kakinya mampu. Tak peduli berapa kali pun tersandung, terjatuh, terguling, segera bangkit dan terus lari. Tidak perlu menoleh lagi, pikirkan saja keselamatan diri.

Semut raksasa itu menyeramkan. Dinding batu dan tanah yang mulai runtuh karena tidak kuat mempertahankan strukturnya lagi juga menakutkan. Jilatan lidah api yang bisa menghanguskan ujung-ujung jubah, padahal belum tersentuh, sangat mengerikan. Tetapi yang paling menyeramkan dari itu semua adalah sosok werewolf merah yang sedang mengamuk.

Werewolf itu tadinya rekan seperjalanan Brendan, Red Alman. Seorang druid muda dengan darah Beast—humanoid yang memiliki ciri-ciri fisik hewan mamalia. Telinga khas salah satu famili canine yang mencuat di antara rambut ikal dan ekor tebal Alman sudah disadari Brendan sejak kali pertama mereka bertemu. Sikap agresif yang sering ditujukan pada makhluk-makhluk lain di sekeliling mereka juga terlihat.

Tidak semua orang dari ras beast brutal, memang. Tetapi banyak di antara mereka—terutama yang memiliki ciri fisik hewan karnivora, memiliki kecenderungan untuk menyukai kekerasan. Setidaknya begitulah yang sering Brendan dengar dari saudara-saudaranya yang pergi merantau.

Brendan memang sedikit takut pada Alman, tetapi dia tak punya pilihan kecuali mengikutinya karena sejak tiba di pulau asing itu, mereka belum bertemu makhluk berintelejensi lain. Yang penting bertahan hidup dulu. Itu yang selalu menjadi pegangan Brendan selama ini.

Butiran debu dan tanah berjatuhan setiap kali telinga sayap Brendan mendengar dentuman dari belakang sana. Sesekali bebatuan juga bergulir jatuh dari dinding, diikuti rontoknya lebih banyak tanah di sekelilingnya. Beberapa bonggol kayu mati serta belulang—mungkin sisa mangsa semut raksasa, ikut berjatuhan.

Struktur gua tempat semut hitam raksasa bersarang semakin tidak karuan. Nyaris tidak ada dataran mulus untuk berlari. Bagaimana Brendan yang langkah-langkah cerobohnya bisa menemukan pintu keluar mungkin suatu keajaiban tersendiri.

Tidak.

Kalau dia ingat lagi. Alman sudah memberi tahu bahwa lorong ke kanan, menuju pintu keluar. Pemuda beast itu bisa saja pergi melanjutkan perjalanan dan meninggalkan Brendan yang lamban menjadi mangsa semut raksasa, tetapi dia mengejar hingga ke bawah tanah.

Brukkk!

Untuk kesekian kalinya Brendan tersandung dan jatuh. Bahkan dalam posisi lutut dan telapak tangan menempel di lantai gua yang penuh bebatuan dan gundukan tanah berserakan, pintu keluar sudah terlihat. Aroma rumput dan angin segar yang dikatakan oleh Alman sebelumnya juga mulai tercium. Tinggal beberapa langkah lagi, Brendan terbebas dari gua semut raksasa.

Tetapi ... bolehkah dia pergi begitu saja?

Walau Alman yang menyuruhnya untuk pergi, meninggalkan seorang rekan, satu-satunya orang yang bisa dia panggil sebagai teman sementara dirinya sendiri selamat membuat Brendan merasakan sesak di dada. Apakah nuraninya terusik? Ataukah rasa bersalah karena ketakutan akan sosok buas rekannya yang berputar dalam benak Brendan saat ini?

Berputar jelas dalam ingatannya, jauh sebelum Alman menyuruhnya untuk lari, pemuda itu sudah beringsut menjauh. Dengan wajah seperti apa Brendan menatap Alman saat itu, hingga rekannya hanya memalingkan wajah dan melangkah menjauh.

"Guru ... Apa yang harus kulakukan?" Dia terisak. Air mata mulai menggenang.

Satu dentuman yang lebih kencang dari sebelum-sebelumnya menginterupsi. Telinga sayap Brendan menangkap satu suara lagi yang lebih berbahaya. Derak sporadis yang berturut-turut dan semakin runtut. Seluruh tempat itu sudah kolaps, dia harus segera keluar sebelum ikut mati tertimpa.

Lutut-lututnya masih gemetar. Banyak bagian tubuhnya terasa nyeri akibat berkali-kali terjatuh. Dengan bertopang pada tongkat ulir di tangan, Brendan berusaha bangkit. Air mata masih mengalir deras di pipinya. Dia juga belum berhasil mengatasi rasa takut pada sosok werewolf buas dalam benaknya. Tetapi Brendan memutar langkah, kembali menuju ke tempat Alman masih berada.

Tiba-tiba langkahnya kehilangan pijakan. Sarang semut raksasa itu ternyata bukan sekadar gua mendatar yang sedikit turun dari permukaan tanah. Dari cahaya dari luar yang menerobos masuk bersamaan dengan runtuhnya atap gua, Brendan bisa melihat sisa-sisa lorong gua rompal ke dasar yang amat sangat dalam. Walau selamat dari tertimpa reruntuhan, Brendan pasti mati bila terjatuh dari ketinggian seperti itu.

Gawat. Berusaha melangkah mundur pun Brendan tidak mampu mencapai permukaan yang masih stabil. Padahal dia belum sempat meminta maaf pada Alman. Dia juga tidak bisa memenuhi janji kepada gurunya. Sembari merasakan tubuhnya mulai tak kuasa menghindari gravitasi, timbul penyesalan untuk tidak menuruti kata-kata saudaranya untuk belajar terbang dengan serius.

"DASAR BODOH!"

Mungkin halusinasi akibat mulai dekat dengan kematian mulai menguasai benaknya. Entah bagaimana, Brendan melihat dari kepulan asap merah, muncul Alman. Sosoknya sudah tidak terlihat seperti werewolf. Bahkan telinganya ....

"DIMENTION DOR!!!"

Di udara kosong muncul celah cahaya yang seketika merobek terbuka, menelan jatuhnya Brendan dan Alman dalam sekejap, lalu kembali tertutup lagi sebelum lenyap ditelan reruntuhan sarang semut raksasa.

Langit biru. Awan putih. Brendan menemukan dirinya terbaring telentang di rerumputan hijau segar yang mengelus lembut pipinya. Dia mencoba menggerakkan kepala, mencari letak tongkat ulirnya—syukurlah, masih ada dalam genggaman tangan.

Untuk mencari tahu sekarang dia berada di mana, pemuda itu berusaha bangun. Namun baru juga terangkat sedikit, kepalanya terasa berputar hebat. Tubuhnya kembali limbung. Saat itu Brendan tersadar, dia pernah mengalami sensasi yang mirip sebelumnya.

"Jangan memaksakan diri," tegur Alman. "Dimention door yang dibuka mendadak seperti tadi memang berefek samping bagi orang yang tidak terbiasa. Berbaringlang dulu sampai vertigo-mu hilang!"

Pintu dimensi. Brendan tak menyangka Alman menguasai mantra kelas tinggi. Konon orang yang menguasai mantra itu bisa berpindah tempat dalam sekejap hingga jarak berkilo-kilo jauhnya. Satu-satunya kelemahan—selain menghabiskan banyak energi sihir, mantra itu hanya berfungsi bila pengguna menyadari betul di mana posisinya terhadap tempat tujuan. Karena itulah Alman menginginkan peta.

Patung berbentuk ikan yang terlihat sangat menjulang dari tempat Brendan berbaring, menunjukkan bahwa mereka sudah kembali ke puncak bukit. Perjalanan mereka tadi menjadi sia-sia. Semua gara-gara kecerobohannya, pikir Brendan sedih.

"Hei, kau bisa makan ini kalau sudah agak enakan!" Alman menjatuhkan beberapa potong daging yang sudah matang ke tangan Brendan.

Mata pemuda bertelinga sayap itu terbelalak lebar. Bukan karena bongkahan daging misterius yang diberikan padanya. Melainkan karena telinga bulat yang menyembul di kedua sisi kepala Alman. Telinga husky-nya hilang. Begitu juga dengan ekor merahnya.

"R-r-red???"

"Yeaaah?" tanggapnya acuh, sembari terus mencabik daging panggang dari tulangnya langsung dengan giginya.

"K-kau ... Huma?!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro