Christmas Eve

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Luke sedang gelisah.

Sejak perayaan misa malam natal dimulai, pikiran Luke seakan melayang pergi dari tubuhnya. Selain kotbah natal yang memang tidak ia dengarkan, Luke hampir melewatkan gilirannya begitu saja sewaktu ingin menerima komuni kudus, kalau saja Dion tidak menepuk pundaknya dan mengingatkan untuk berdiri maju. Bahkan lagu penutup misa natal, Adeste Fideles yang bergema merdu dan biasanya menjadi favoritnya tidak ia pedulikan.

"Kau selalu diam, tapi tampangmu yang sekarang sedatar papan ski," bisik Dion sesaat setelah misa usai, sementara banyak orang masih tetap tinggal di sana sekedar berbincang dan saling mengucapkan selamat natal, begitu juga dengan nyonya Hawks dan para gadis swans yang mendapat banyak ucapan dari teman - teman sekolahnya.

"Ah- emh begitulah." Jawab Luke kaku

"Apa yang kau pikirkan?"

"Tidak ... tidak apa-apa."

"Pasti soal Lucy lagi?"

Perkataan Dion membuat wajah Luke bertambah suram seperti awan badai, biasanya kalau seperti itu tebakan sang pemburu hadiah amat telak mengenai isi hatinya yang paling dalam.

"Anak itu semakin lama – semakin aneh," kata Luke menghela napas, tubuhnya yang bersandar di bangku umat yang panjang semakin melorot seperti perahu karet kehabisan udara sementara kakinya dijulurkan melewati tempat untuk berlutut, "Menyibukkan diri terus di kamarnya, sepertinya ia begadang sampai tengah malam dan akhirnya demamnya kambuh lagi sekarang."

"Kau sudah coba bertanya padanya?"

Luke menggeleng, "Percuma, setiap kali kutanya , ia cuma diam, menjauh, lalu masuk ke kamarnya."

"Dion, Luke ayo cepat kalian mau ikut pergi makan malam tidak?" Suara Blaire tiba - tiba memecah pembicaraan, gadis itu berada di dekat pintu gereja melambaikan tangannya memanggil mereka berdua agar cepat keluar.

"Sudah yuk, perutku lapar," ajak Dion.

Luke berjalan lambat – lambat di belakang Dion, ia sesekali menatap ke belakang, memandangi kandang natal yang nampak syahdu dengan pohon terang yang berkilau di sampingnya, biasanya Lucy senang berfoto di sana setelah misa selesai dan menarik – narik dirinya untuk ikut bergabung.

Tapi sekarang seperti ada yang hilang.

"Kemana syal yang biasa kau pakai?" tanya Dion begitu mereka sampai di pintu besar Gereja.

"Mungkin sudah jadi santapan anjing tuan Bradley," kata Luke muram sambil sesekali menggigil. "Ketika dipakai Lucy, anjing itu mengejar dan membuatnya ketakutan lalu berhasil menarik syalnya."

"Sebaiknya kali lain aku membawakan kaus kakiku yang sudah tidak kucuci selama dua bulan untuk camilannya." ujar Dion sambil nyengir.

Ketika mereka semua sampai di depan mobil yang diparkir di halaman Gereja, para gadis Swans sudah berebut masuk dengan riangnya, namun Luke masih saja kelihatan tidak tenang, napasnya yang berembun semakin memperlihatkan kegelisahannya, lalu  mengusapkan tangannya yang mulai memutih .

"Luke, masuklah," Nyonya Hawks membuka pintu bagian penumpang di sampingnya, "Atau kau lebih mau jadi boneka salju dengan diam saja di situ."

"Ibu, saya ingin pulang saja sekarang." kata Luke."Saya tidak ikut makan malam."

"Apa?" Nyonya Hawks mengernyitkan dahinya, "Kenapa tiba – tiba ingin pulang? Kau tidak enak badan?"

"Bukan begitu, saya ...," Luke kebingungan mencari - cari alasan di depan ibunya, berbohong kepadanya adalah masalah paling besar. "Ah, saya ingin menemani Lucy saja."

Nyonya Hawks diam dan memandanginya cukup lama, tatapannya seakan menusuk sama seperti angin dingin yang berembus. "Seharusnya Lucy tidak masalah ditinggal sendirian," gumam Nyonya Hawks sambil mengetukkan jarinya yang ramping di kemudi. "tapi kalau kau berkeras, aku bisa minta salah satu dari mereka untuk menemanimu pulang, hei kalian ...."

Ketika Nyonya Hawks menoleh ke arah kursi penumpang di belakang, Blaire, Lilith, dan Maria langsung terdiam, ketiganya siap untuk menerima perintah.

"Bisa salah satu dari kalian menemani Luke pulang?"

Tidak ada jawaban, para gadis itu hanya saling bertukar pandang dalam diam, seakan mencoba meminta bantuan agar salah satu dari mereka turun untuk menemani Luke.

"Kalau begitu aku saja," kata Dion sambil bergeser dari tempat duduknya hendak ke luar.

"Tidak usah diantarkan." kata Luke, "Saya bisa pulang sendiri."

"Kau benar tidak apa – apa?" Nyonya Hawks memastikan.

"Saya akan baik – baik saja," jawab Luke yakin.

Nyonya Hawks mendesah pelan, "Baiklah kalau kau ingin pulang, hati hatilah di jalan, nanti ibu akan membawakan makanan hangat untukmu dan Lucy."

Setelah mendapat persetujuan dari ibunya, tanpa menyia - nyiakan waktu Luke langsung melesat keluar dari halaman Gereja, dan kebetulan di halte depan ada bus yang sedang berhenti jadi ia tidak perlu menunggu lama, begitu menemukan tempat duduk yang kosong di dekat supir ia langsung megempaskan tubuhnya.

Dalam bus yang melaju cepat di jalanan yang lengang karena sebagian besar orang memilih menghangatkan diri di rumahnya masing – masing, sambil memandangi salju yang menumpuk semakin tebal di sepanjang jalan, pikiran Luke kembali kepada Lucy adik perempuannya di rumah.

Sudah beberapa hari ini adiknya kebanyakan mengurung diri di kamarnya, tapi itu bukan masalah besar kalau ia baik – baik saja. Tapi selain demamnya yang kembali kambuh, Luke menyadari muncul luka di jari Lucy yang semakin lama bertambah banyak, awalnya ia hanya melihat satu balutan plester , keesokannya lalu bertambah jadi dua, kemudian jadi tiga, dan sampai saat Luke tadi ingin meninggalkan rumah, ia melihat hampir seluruh jari Lucy ditutupi plester.

Luke juga sudah berusaha mencari informasi dari seisi penghuni rumah termasuk Dion dan ketiga pengawalnya, namun nampaknya mereka lebih memilih bungkam sambil terkikik geli dan berlalu dari hadapannya. 

Apa yang dikerjakan oleh Lucy? Tidak, bukan ... yang jadi soal adalah, kenapa Lucy mau mengerjakan sesuatu yang sampai melukai tangannya, rasanya Lucy tidak akan sebodoh itu, kecuali kalau ada yang memintanya.

Dan mengenai siapa orangnya, Luke bisa langsung menduga namanya: Seth Kingson.

...

"Hatchuh!"

Lucy segera menyambar sapu tangan di sampingnya kemudian membenamkannya ke hidung kuat – kuat untuk membersihkan lendir yang menempel, selain rambut pirang keemasannya yang berantakan, kini hidungnya menjadi merah seperti Rudolf, rusa penarik kereta Santa Claus yang hidungnya bisa menyala terang.

Ditambah lagi, balutan plester yang menempel di hampir seluruh telapak tangannya, membuatnya terlihat seperti ia habis bertarung dengan kucing liar.

Lucy menatap muram ke arah jendela di atas tempat tidur, salju mulai turun perlahan membuat bingkai jendelanya nampak putih, air muka gadis itu jelas menunjukkan kebosanan, seandainya ia tidak memaksakan diri tidur larut setiap malam, tentu Lucy bisa merayakan natal bersama dengan keluarganya.

Tetapi begitu melihat apa yang sudah selesai dikerjakannya, wajah Lucy menjadi cerah. Ia memandangi hasil karyanya dengan puas. Di tengah jarum dan benang yang menghambur berantakan di pangkuannya, tergeletak sebuah syal panjang berwarna biru langit hasil rajutannya sendiri.

"Semoga dia senang mendapatkannya." Lucy bergumam sendiri sambil tersenyum ceria.

Mendadak sebuah langkah kaki berderap menaiki tangga di luar kamar mengagetkannya. Segera saja dengan terburu – buru Lucy meraih syal yang ia buat dan menyembunyikan di balik punggungnya,, namun ketika ia hendak menggapai benang dan jarum, pintu kmarnya mengayun terbuka dan ia memandang kakaknya yang terengah – engah sementara di tubuh dan rambut keemasannya ada sisa sisa salju.

"K-Kakak, sedang apa di sini?" tanya Lucy sambil berusaha menenangkan diri, jantungnya berdebar keras sekali . "Kenapa tidak ikut makan malam bersama yang lain?"

'Itu harusnya pertanyaanku," balas Luke setelah napasnya agak tenang sambil menghampiri ranjang adiknya dan memberinya pandangan curiga, "Aku ingin tahu apa yang kau lakukan sampai kau sakit dan jarimu terluka semua seperti itu."

"Aku tidak melakukan apapun," bantah Lucy.

"Bohong, pasti Seth yang membuatmu melakukan hal ini."

"Seth tidak ada hubungannya."

Tanpa bicara lagi, tangan Luke dengan cepat menyambar tubuh bagian belakang Lucy, begitu gadis itu menyadarinya, syal biru yang ia buat telah berpindah ke genggaman kakaknya hanya dalam kedipan mata, Lucy hanya bisa meneguk ludahnya.

"Jadi ini yang kau buat?" Luke menatap syal buatan adiknya, "Lucy, Aku tidak melarangmu membuatkan sesuatu untuk Seth, tapi harusnya kau juga sadar bahwa ...,"

"Aku tidak membuatnya untuk Seth," kata Lucy cepat dengan suara yang mulai sumbang karena pileknya.

Mata Luke berhenti pada bagian ujung syal, di situ tersulam huruf L besar berwarna kuning cerah. Inisial Seth pastilah huruf S, ataupun jika ditambah nama keluarganya adalah K dari Kingson.

"Itu untukmu-slurp" , aku Lucy sambil menahan lendir di hidungnya agar tidak keluar, kini tatapannya terlihat kecewa. "Aku sebenarnya mau memberikannya untuk hadiah natal besok."

Mendengar itu, hati Luke seakan disiram air hangat, sebuah kejutan pikirnya, dan ia terus saja mencurigai Lucy, dan akhirnya merusak momen yang adiknya buat dengan susah payah.

"Syalmu yang diberikan ayah sudah tidak ada lagi gara – gara aku 'kan?" kata Lucy, "Jadi kupikir, aku minta bibi Euginia mengajariku merajut. Aku mau membuat syal yang baru untukmu, kau tidak suka?"

Luke kemudian duduk di ranjang Lucy, ia mengacak rambut adiknya, sementara senyum tipis merkah di bibirnya.

"Maaf," kata Luke pelan, "Aku suka syal ini."

"Kalau begitu jangan minta maaf," protes Lucy, tapi ia tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya "Kau tahu 'kan harus bilang apa kalau diberi sesuatu?"

"Iya, terima kasih."

"Nah, itu baru benar."

Melihat wajah gembiranya, Luke melingkarkan lengannya ke bahu Lucy, ia memberi cubitan kecil di hidung Lucy, sampai gadis itu meringis.

"Selamat natal Lucy," bisiknya pelan.

"Selamat natal juga kak," Lucy membalas sambil menyusupkan kepalanya semakin dalam ke pelukan Luke.

Sementara itu salju makin menumpuk, membuat keadaan di dalam kamar itu semakin terasa hangat, dan Luke bisa mendengar lagu Malam Kudus yang sayup sayup terdengar di hatinya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro