Complicated

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suara derum mobil Civic berwarna merah itu terdengar berhenti di depan sebuah halaman rumah bernuansa klasik modern. Namun sang empu belum juga menampakkan batang hidungnya.

Saat gadis yang duduk di kursi penumpang itu hendak turun dari mobil, tangannya ditarik oleh laki-laki yang duduk di kursi pengemudi. Gadis itu adalah Zhiena, si pemilik rumah bernuansa klasik modern dan sang kekasihnya, Daffin, si pemilik mobil Civic merah.

Zhiena mengangkat alisnya seolah bertanya kenapa, tetapi Daffin hanya menggelengkan kepala.

"Kak Daffin aneh deh!"

Ketika ia akan keluar dari mobil lagi, tiba-tiba Zhiena teringat sesuatu. Alhasil, dia mengurungkan niat dan kembali duduk. Ia menghadap ke laki-laki yang duduk di kursi pengemudi itu.

"Makasih ya, Kakak udah nganterin Zhiena sampai rumah. Harusnya nggak usah, kan Zhiena bisa menelpon Bang Tiyo buat jemput. Kalau gini jadinya Kakak bolak-balik, nanti kakak capek. Apa lagi tadi habis ada acara di kampus, Kakak panitianya juga."

Daffin hanya menatap Zhiena lembut lalu terkekeh ringan, ia mendekatkan wajahnya ke Zhiena.

"Emangnya kenapa, Hm?"

"Kakak, ih!" gerutu Zhiena sembari menjauhkan wajah Daffin dari wajahnya, lalu ia segera turun dari mobil.

"Bye, hati-hati Kak!" ucap Zhiena yang dari balik pagar rumah.

"Bentar, sini deh!" kata Daffin sembari membuka jendela mobilnya.

Zhiena kembali mengangkat alisnya, lalu menghampiri Daffin.

"Besok ke gramedia mau gak?" Tanya Daffin.

"Wah, mau ...."

"Besok dandan yang cantik, jam sembilan Kakak ke sini."

"Iyap, siap Pak!" ucap Zhiena sembari mengangkat tangannya seperti posisi hormat.

Daffin hanya terkekeh ringan dengan tingkah gadisnya itu.

"Aku pulang dulu ya, salam buat Mama kamu."

"Mama, lagi ke luar negeri sama Papa," jawab Zhiena dan menurunkan tangannya.

Saat Daffin ingin bicara lagi Zhiena langsung memotong dan menyuruhnya agar cepat pulang.

"Kok ngusir? Yakin nanti gak kangen?" tanya Daffin sembari mengangkat alisnya dan merapatkan bibirnya.

"Ck, nggak! ngapain kangen," ucap Zhiena sembari memalingkan mukanya.

"Zhiena, di rambut kamu ada apa?" celoteh Daffin dengan muka terkejut.

"Ha? Ada apa emang? Kakak jangan bercanda deh, ish!! Hilangin kak ...." rengek Zhiena lalu mendekatkan rambutnya pada Daffin, tetapi Daffin justru mendekatkan kepalanya ke Zhiena dan membisikkan sesuatu.

'Kalau kangen bilang aja'

Begitulah bisik Daffin, lalu ia mengacak rambut Zhiena dan menyalakan mobilnya pergi dari sana. Sedangkan Zhiena hanya mematung dengan pipi bak kepiting rebus.

"Pacaran mulu, buruan masuk!" Seketika suara bariton dari dalam rumah mengejutkan Zhiena.

Zhiena pun bergegas masuk ke dalam dan membersihkan badannya. Saat makan malam di ruang makan hanya ada Zhiena, Tiyo dan Abang pertamanya yaitu Jevan. Selama makan malam berlangsung hanya keheninganlah yang menyelimuti ruangan tersebut. Sampai akhirnya suara denting handphone Zhiena memekakkan telinga.

Terlihat sebuah pesan masuk di layar handphone Zhiena yang tertulis bahwa Daffin tidak jadi mengajaknya ke Gramedia besok, karena mendadak ada acara keluarga. Ia sedikit kecewa namun apa daya.

"Besok keluar yuk?" Tanya Tiyo tiba tiba.

"Ke taman kota?" jawab Zhiena menatap sang Abang antusias.

Tiyo nampak mempertimbangkannya sembari memainkan handphone.

"Okey, besok pagi kita ke taman kota. Awas jangan kesiangan!" ucap Tiyo lalu beranjak dari duduknya dan menaruh piringnya di wastafel.

"Siap!!"

Saat keesokan harinya, cahaya mentari menyinari bumi dengan terangnya. Kini Zhiena dan Tiyo sedang berjalan menyusuri taman kota sembari bersenda gurau. Dan berjalan mencari kedai es krim yang sudah buka.

Namun saat di pertengahan jalan, Tiyo menghentikan langkahnya secara tiba-tiba, Zhiena yang berada di sebelahnya pun mengikuti arah pandang Tiyo. Tiyo yang sadar jika adiknya akan tau apa yang ia lihat, segera membalikkan tubuh Zhiena. Zhiena yang tak terima langsung menepuk-nepuk tangan Tiyo yang memegang bahunya rapat, dan memaksa dirinya agar pergi dari sana.

"Apa apaan, sih, Bang! Zhiena juga mau lihat."

"Nggak usah, kita cari di tempat lain aja, di sini nggak enak," jawab Tiyo seadanya.

"Zhiena bukan anak kecil yang bisa ditipu gitu aja ya, Bang! Ih, lepasin!!" ucap Zhiena masih sambil menepuk tangan sang Abang.

Saat genggaman dari Tiyo melonggar ia segera berlari ke arah semula. Zhiena berlari menjauh dari Tiyo.

"Zhiena! Ck, bandel banget jadi anak," gerutu Tiyo sembari mengejar Zhiena.

Sebelum Tiyo mengejar Zhiena ia lebih dulu melihat seorang pria dan wanita yang tengah berjalan ditepi air mancur. Wanita yang tau akan keberadaan Tiyo di sana pun menghampiri Tiyo sembari menggenggam tangan pria di sebelahnya.

"Apa maksudmu?!" Tukas Tiyo saat wanita dan pria itu ada di depannya.

"Bagaimana jika Zhiena melihatnya?!" Lanjut Tiyo menatap sinis wanita dan pria itu bergantian.

Sedangkan dari arah lain Zhiena tengah mematung tak percaya dengan apa yang ia lihat. Zhiena menahan diri agar tidak terbawa suasana, ia mengulas senyum dan menghampiri ketiga orang tersebut.

"Kak Daffin? Katanya ada acara keluarga? Siapa wanita ini? Ah, apa ini ibumu?" Tanya Zhiena dari belakang Tiyo, yang membuat ketiga orang itu terkejut.

Wanita itu tersenyum sinis.

"Aku adalah pacar Daffin, sekaligus ibu dari bayi yang aku kandung. Benarkan, Daff?" Celoteh wanita itu sembari menggenggam tangan Daffin.

"Kalian melakukan itu agar direstui dengan orang tua kalian? Haha. Jika sudah menikah jangan lupa mengundangku, ya," ucap Zhiena dengan terkekeh lalu pergi dari sana.

Daffin dan Tiyo benar-benar tak percaya dengan reaksi yang Zhiena tunjukkan.

"Gak gitu, Zhiena!" Teriak Daffin lalu mengejar Zhiena.

Zhiena sama sekali tak mengindahkan ucapan Daffin dan terus berjalan sembari menahan air matanya. Saat Daffin berhasil meraih tangan Zhiena dan membuat Zhiena menghentikan langkahnya. Di detik berikutnya Daffin menarik Zhiena dalam dekapannya. Zhiena masih belum bisa menerimanya ia meronta untuk dilepaskan dan mulai meneteskan air mata.

"Maafin Aku. Kamu tau kan aku gak mungkin ngelakuin hal sebejat itu," lirih Daffin sembari mendekap erat tubuh gadisnya.

"B-bohong ... hiks," ucap Zhiena sembari terisak. Ia mendorong tubuh Daffin agar menjauh darinya.

"Na, aku bisa jelasin ... dia itu cuman ngaku–"

"Aku gak butuh penjelasan!" tegas Zhiena sembari menunduk.

Daffin mencoba menangkup pipi gadisnya itu namun ditepis kasar oleh Zhiena.

"Dia dulu emang mantan aku, tapi itu udah lama banget, dan sekarang–"

"Aku bilang aku ga butuh penjelasan Kakak! Aku cuman butuh bukti."

Zhiena menatap lekat manik mata Daffin.

"Tolong, jangan pergi gitu aja ... aku bakalan buktiin ke kamu. Tapi tolong jangan tinggalin Kakak ...." ucap Daffin yang mencoba membujuk Zhiena.

"Urusin wanita itu dan selesaikan masa lalu Kakak, buktikan kalau omongan Kakak benar!" Ucap Zhiena penuh penekanan, lalu pergi begitu saja meninggalkan Daffin yang mematung dengan perkataan Zhiena.

Setelah tersadar, Daffin menatap wanita ular di depannya dengan penuh kebencian. Deru napasnya tak beraturan, juga bola matanya yang memerah seperti kobaran api. Dicengkeramnya pundak wanita itu dengan kuat.

"Maksud kamu apa bilang begitu?"

"Bilang apa, ya?" tanya perempuan di depannya tak tahu malu. Daffin semakin geram dibuatnya.

"Kamu ngaku-ngaku jadi pacar aku, terus bilang hamil anakku. Maksud kamu apa? kamu pikir Zhiena bakal percaya?" tanya Daffin lagi hingga urat-urat di lehernya terlihat.

"Kurasa dia percaya. Kamu tidak ingat apa yang dia katakan padamu? Urusi saja aku dan selesaikan masa lalu kita," jawabnya dengan senyum miring penuh kemenangan.

Daffin menggeram tak suka. "Kita sudah selesai sejak lama, lalu untuk apa aku harus mengurusimu lagi?"

"Aku pikir itu adalah bayaran yang setimpal untuk membalas budi padaku, Daffin." Senyum iblis itu masih bertahan pada tempatnya. "Jangan lupakan kenyataan bahwa kamu tidak dapat bertahan hidup tanpa bantuanku, Daf."

"Aku bisa hidup sendiri! Aku tidak butuh uangmu, Lavina," desis Daffin.

"Oh, ya? Sungguh menakjubkan," ejek wanita itu.

"Dengar Lavina, aku tidak pernah meminta bantuanmu sama sekali–"

"Tapi kamu tetap menggunakan uangku Daffin," sela Lavina dengan tatapan mengejeknya.

"Kamu yang membayarkan biaya pengobatanku tanpa sepengetahuanku, Lav! Aku tidak pernah memintanya," geram Daffin.

"Dengar Lavina, Aku tidak butuh uangmu. Aku juga tidak butuh belas kasih darimu. Lebih baik berikan belas kasih itu pada dirimu sendiri. Kamu bahkan telah mengandung seorang bayi dari laki-laki yang tak menginginkanmu saat ini." Kini berganti Daffin yang menerbitkan senyum miringnya setelah melihat Wanita itu bungkam.

"Aku akan mengembalikan semua uang yang sudah kamu beri dan bertahan hidup dengan uangku sendiri." Selepas mengatakan itu, Daffin melangkah pergi meninggalkan Wanita itu.

Belum genap sepuluh langkah dia pergi, sesak di dadanya kembali kambuh.

"Daffin!" Lavina berlari kecil mendekati Daffin. "Kita ke rumah sakit sekarang ya," ucapnya khawatir.

Namun, dengan cepat Daffin menghempaskan tangan Lavina yang menahan pundaknya. Setelah itu ia mengedarkan pandangan, khawatir jika Zhiena melihatnya dan kembali salah paham.

"Aku bisa sendiri." Daffin kembali melanjutkan langkahnya, meninggalkan Lavina sendiri.

***

Daffin baru saja menyelesaikan pembayaran di meja administrasi rumah sakit. Tubuhnya terasa berat dan lemas. Tatapan matanya sendu. Hari-harinya terasa semakin sepi dan kosong.

Dilihatnya ruang tunggu rumah sakit itu. Hampir semua pasien ditemani oleh seseorang di sebelahnya. Entah itu orang tua, kerabat, ataupun pasangannya. Di saat-saat seperti ini, pikirannya jadi kembali teringat pada Zhiena.

Pasti Zhiena bahagia menjalani kehidupannya sendiri. Setidaknya Daffin tidak perlu membuat gadis itu khawatir dan kesulitan dengan kondisinya yang terus memburuk tiap hari.

Daffin duduk di salah satu kursi tunggu yang tersedia. Kini dia sebatang kara. Semua barang-barang berharga milikinya telah dijual. Termasuk laptop dan ponsel yang dia punya. Biaya pengobatan untuk penderita gagal jantung seperti dirinya sangat besar. Terlebih lagi kedua orang tuanya telah tiada lebih dulu, membuat Daffin tidak memiliki alasan untuk tetap bertahan hidup.

"Ayah, ibu, tunggu Daffin sebentar lagi ya," bisiknya sambil memejamkan mata. "Sebentar lagi ...."

"K-kak ...?"

Tiba-tiba seseorang memanggilnya. Daffin membuka mata perlahan. Ia melihat seorang gadis cantik yang dirindukannya berdiri di hadapannya. Daffin mengira ini hanyalah ilusi semata akibat keputusasaannya.

"Kak Daffin kenapa?" tanya perempuan itu. Terselip nada khawatir di sana.

"Zhi ... ena?" gumam Daffin tak yakin.

"Iya, ini aku, Kakak sendirian di sini? Mantan Kakak di mana?" sahut Zhiena sedikit ketus setelah teringat dengan mantan Daffin.

"Enggak ada. Kamu ngapain di sini? kamu sakit?" kini ganti Daffin yang khawatir. Pria itu bahkan langsung berdiri dan memeriksa kondisi Zhiena.

"Aku baik-baik aja. Tadi nemenin abang periksa kesehatan bulanan aja."

"Oh gitu." Daffin mengangguk paham.

Keduanya kembali terdiam untuk beberapa saat. Hingga tanpa sengaja Zhiena melihat kertas yang ada di tangan Daffin.

"Kakak sakit?" tanya Zhiena mendadak khawatir.

"Enggak kok, cuma pemeriksaan biasa kaya abang kamu," jawab Daffin berbohong. Tak lupa dia memberikan senyum terbaiknya agar Zhiena percaya.

"Sakit apa, Kak?" tanya Zhiena lagi.

"Bukan apa-apa kok. Tenang aja, sakitnya gak berat kok," ucapnya sembari menepuk lembut kepala Zhiena.

"Tunggu bentar," cegah Zhiena. Perempuan itu menarik paksa kertas yang Daffin pegang. Setelah membacanya, tubuh Zhiena langsung melemas.

"Kak ...." lirihnya. Meskipun sempat dibuat kesal, tapi bagaimana pun juga dia tetap masih ada perasaan pada laki-laki itu.

"Aku baik-baik aja kok, Zhie," ucapnya meyakinkan sekali lagi.

"Enggak. Enggak ada yang baik-baik aja. Kakak masih tinggal di kos yang lama kan? Nanti aku bakal jengukkin. Eh, tapi mantan kakak yang waktu itu ...."

"Aku gak ada apa-apa sama dia. Tolong percaya padaku kali ini, Zhie. Hari itu dia sempat menolongku saat sakitku kambuh dan akhirnya dia meminta balas budi dariku."

Zhiena mengangguk paham. Ia paham bagaimana latar belakang laki-laki itu. Bahkan saat ini, dia masih mempercayai semua yang dikatakan oleh Daffin.

"Zhie, maaf sudah bikin kamu nangis kemarin. Aku benar-benar tidak bermaksud untuk seperti itu," ucapnya tulus.

Zhiena mengangguk lagi dan membiarkan laki-laki itu memeluknya. Ia merasakan ada sesuatu yang membasahi pundaknya. Sepertinya Daffin sangat menyesal.

"Ma ... maaf sa ... yang," lirihnya. Zhiena membeku. Tak lama dia juga membalas pelukan itu. Belum lama keduanya berpelukan, tubuh Daffin tiba-tiba limbung.

***

Setelah mendapatkan perawatan dari rumah sakit, Zhiena memutuskan untuk membawa Daffin ke rumahnya. Awalnya sempat mendapat penolakan dari keluarganya, terutama abangnya, tetapi gadis itu terus meyakinkannya.

Kini, Zhiena duduk di tepi Kasur. Tangannya menggenggam jemari lembut milik Daffin. Ada banyak penyesalan dalam dirinya karena tidak pernah bertanya keadaan laki-laki itu. Tapi di sisi lain, Zhiena juga melihat banyak penyesalan di manik mata Daffin.

"Makasih sudah mau rawat aku, Zhie," lirih laki-laki itu, "Tapi aku ... aku gak bisa menyusahkanmu terus, iya kan?"

"Kamu ini bicara apa? Kamu pasti sembuh!" balas Zhiena menguatkannya.

"Hidup bahagia ya, Zhie," Daffin menarik napas berat. "I Love u."

Tangan Zhiena bergetar mendengar kalimat perpisahan itu.

Benar saja. Saat malam hari tiba, tubuh Daffin telah kaku dan memucat. Meskipun Zhiena telah membawanya ke rumah sakit, nyawa itu tak kembali. Membuat Zhiena lemas tak bertenaga. Setidaknya, ada dua hal yang masih bisa Zhiena syukuri. Dia sempat mendengar penjelasan Daffin dan juga selalu berada di sisinya hingga akhir.

***END***
Ditulis oleh vanillakies_ & fikaea

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro