EL CAZADOR

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sejak dahulu, perburuan adalah hal paling wajar yang sering dilakukan secara turun-temurun. Dalam praktiknya pun ada banyak macam; seperti menangkap, mengejar, atau membunuh hewan liar untuk dijadikan bahan makanan. Namun seiringnya perkembangan zaman, kini perburuan juga bisa menjadi sarana rekreasi dan proses pemanfaatan hasil produk, lalu berujung pada perdagangan.

Sebagai satu-satunya penerus keluarga Saverus, Yisrel sudah seharusnya melanjutkan perjuangan keluarga dengan tumbuh menjadi seorang pemburu handal. Namun, pemuda itu menolak. Berulang kali dirinya menegaskan untuk tidak menjadi pemburu. Sementara itu, sang ayah yang mendengar jika Yisrel bersikeras untuk menjadi pemusik jelas murka---bahkan tega mengusir anaknya dari kediaman keluarga Saverus.

Berpegang teguh pada pendiriannya, Yisrel memilih untuk keluar dari rumah untuk menghindari amarah sang ayah.

Setelah berjalan tanpa arah selama dua hari, Yisrel bisa merasakan arti lelah yang sesungguhnya. Lalu, pemuda itu memutuskan untuk beristirahat saat melihat sebuah hutan yang pohon-pohonnya rimbun. Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda bermata rumah itu mempercepat langkahnya.

Pemuda itu memilih untuk beristirahat di salah satu pohon yang besar. Tubuhnya bersandar pada batang pohon, bersiap-siap untuk menyambut alam mimpi. Namun belum sempat matanya terpejam, telinganya menangkap suara langkah yang mendekat.

"Wah, wah. Rupanya ada seekor rubah kecil di sini."

Yisrel sontak berdiri. Dengan cepat, dia meraih busur dan menarik satu anak panah dari tabung. "S-siapa kau?"

Sosok itu menurunkan tudung jubahnya, memperlihatkan wajah cantik yang sedang tersenyum. Sesaat, Yisrel terpesona dengan wajah dan ekspresi itu. Sebelum rasa waspada mendominasi dirinya.

"Seharusnya, aku yang bertanya."

"Jangan mengalihkan pembicaraan! Katakan. Apa yang kau inginkan dariku?"

"Memangnya, ada yang bisa kuambil darimu?" tanyanya santai. "Kau sendiri saja terlihat seperti orang yang kelaparan."

Yisrel tidak membalas. Pemuda itu lebih memilih untuk menarik busurnya, bersiap untuk memanah gadis di hadapannya. Namun bukannya takut, gadis itu malah melangkah mendekat.

"Aku punya sebuah apel. Apa kau mau?"

"Apa yang bisa membuatku percaya jika kau tidak berniat untuk membunuhku?"

Gadis itu kemudian duduk tepat lima langkah di depan Yisrel, yang membuat pemuda itu mengerutkan dahi. Sambil bertopang dagu, dia menatap Yisrel dengan senyuman. "Kalau aku mau, aku bisa membunuhmu sejak awal. Lebih baik kau turunkan senjatamu dan jangan berpikiran yang aneh-aneh tentangku."

Mendengar itu, Yisrel menurunkan busurnya---sekaligus kembali memasukkan anak panah ke tabung. Dengan tatapan mata yang masih waspada, pemuda itu ikut duduk di tanah.

"Tawaranku masih berlaku untuk tiga puluh detik, lho," kata gadis itu. "Bagaimana?"

Pemuda itu terdiam. "Aku tidak bisa---"

"Ya atau tidak?"

"Tidak."

Yisrel agak terkejut saat sebuah apel tiba-tiba terlempar ke arahnya. Saat itu juga, hati pemuda itu berdebar dengan wajah yang memanas karena ini kali pertama ada seorang gadis yang bersikap begitu santai kepadanya. Namun saat menatap warna apel yang sepekat darah itu, mata hitam pemuda itu membulat.

"Itu apel yang sudah kuberi sihir beberapa menit yang lalu," katanya sambil menatap Yisrel. "Kalau kau memakannya, rasa kenyangnya akan bertahan selama tiga hari. Jadi, kau bisa mencari makanan sebelum sihirnya menghilang."

Mendengarkan ucapan si gadis bertudung, Yisrel bertanya, "Apa kau penyihir?"

"Anggap saja begitu." Gadis itu kembali menopangkan dagunya. "Ngomong-ngomong, kau belum memperkenalkan dirimu."

"Ah, iya." Pemuda itu terdiam sesaat, agaknya sedikit ragu untuk menyebutkan namanya. "Aku, Yisrel."

"Saverus?"

Yisrel terkejut. "Kau tahu nama keluargaku?"

Gadis itu mengangguk. Sekilas, wajahnya terlihat ragu. "Seharusnya, aku tahu semua hal di dunia ini. Namun untuk saat ini, sepertinya ada satu hal yang tidak kuketahui."

"Apa?"

"Takdirmu."

-----

Tiga hari telah berlalu sejak ia bertemu gadis bertudung aneh itu. Benar saja, seperti apa yamg dikatakannya, perut Yisrel sampai sekarang masih tidak dihampiri rasa lapar. Dia bahkan masih sanggup meloncati batuan-batuan besar di pinggir sungai yang deras.

Matahari mulai terbenam. Yisrel menghentikan langkah. Pemuda itu melihat-lihat keadaan sekitar yang sepi. Ia memutuskan untuk turun ke sungai demi menangkap beberapa ekor ikan. Kalau menuruti kata gadis penyihir itu, seharusnya rasa laparnya akan muncul malam ini.

"Wah, rubah kecil dari Saverus. Tidak kusangka kita bertemu lagi di sini."

Yisrel berbalik, menatap lama padanya. Gadis itu tampak semakin menawan dibawah cahaya senja.

"Kuberi kau satu pertanyaan. Kalau benar, aku akan memberimu apel lagi. Namun, kalau salah, kau harus menjadi pengikutku."

Yisrel menimbang sesaat sebelum akhirnya setuju. Dia bahkan tidak tahu alasan mengapa dirinya setuju. Yisrel kembali melangkah menuju bibir pantai. Kerikil-kerikil kecil yang tajam sedikit melukai kakinya.

"Siapa nama kepala keluarga Saverus yang pertama?"

Yisrel terdiam. Dia tidak pernah belajar tentang itu. Lebih tepatnya, ayahnya tidak memberitahunya.

Ia menggeleng. "Baik, aku kalah. Aku hanya harus mengikutimu, bukan?"

Gadis itu sedikit tertawa. Berikutnya, ia mengeluarkan sebuah tongkat kecil dan merapalkan mantra sihir dalam bahasa kuno yang aneh.

Sebuah cahaya muncul, berkilauan di atas kepala keduanya. Terlihat sosok pria paruh baya sedang berdiri di atas puncak gunung. Ia menatap bangunan-bangunan tinggi kerajaan tak jauh di bawahnya. Sedangkan di sebelahnya ada gadis bermata biru lengkap dengan tudung merah dan satu keranjang apel merah pekat.

Si Pria menatap pada gadis itu sambil berujar, "seluruh keluargaku ditakdirkan menjadi pemburu, 'kan? Tapi apa gunanya itu. Keturunanku nanti bukanlah darah dagingmu. Sedangkan satu-satunya yang kucintai di dunia ini hanya dirimu."

Gadis di dalam proyeksi sihir itu sedikit menunduk. Dia membalas ucapan si pria dengan lirih.

"Aku tidak masalah. Manusia bertemu dan berpisah. Menyaksikan peradaban di dunia ini berkembang mungkin saja akan menambah kebijaksanaanku. Oleh sebab itu, aku menerimanya. Menerima takdirku untuk membawa seluruh pengetahuan dan kebijaksanaan dunia dalam diriku."

Proyeksi di langit seketika menghilang. Menyisakan keheningan antara Yisrel dan gadis bertudung merah di hadapannya.

"Saverus Yarzhick. Pria gagah, pemberani, tak kenal takut. Dialah orang yang pertama kali memimpin keluarga Saverus. Jika di dunia ini ada penganugerahan pemburu terbaik, maka dia akan terus menang selama hidupnya.

"Di sebelahnya ada gadis yang memperoleh pengetahuan dari surga. Gadis abadi yang takdirnya dibelenggu. Setelah ribuan tahun, dia telah kehilangan banyak hal. Bahkan namanya sendiri pun, dia tidak lagi mengingatnya."

"Aku bisa saja menceritakan lebih banyak tentang mereka dan tentang keluargamu tapi waktu kita terbatas. Selain itu, perutku sudah mulai merasa lapar sekarang.

Yisrel masih terdiam selama beberapa saat sebelum menyeletuk, "bukannya kau seorang penyihir?"

Gadis itu hanya tersenyum. "Bahkan penyihir pun harus belajar memasak. Namun, kau tahu, itu merepotkan. Maka, sebagai pengikutku, sudah menjadi tugasmu untuk memasakkan makanan lezat bagiku."

Yisrel yang mendengar itu hanya bisa menghela napas. Dia tidak berniat melawan karena sadar dirinya sendiri juga butuh makanan. Akhirnya, Yisrel menangkap beberapa ekor kelinci untuk dimasak.

Setelah selesai makan, Yisrel memutuskan beristirahat sejenak di bawah pohon besar yang berdiri subur di pinggir sungai. Di sebelahnya, gadis penyihir tanpa nama sudah bersandar dengan nyaman hingga terlelap tanpa aba-aba.

Yisrel menatap wajahnya yang begitu menawan. Seolah telah menggapai rembulan, Yisrel tanpa sadar sudah menyentuh wajah gadis itu. Namun, bukannya berhasil menyentuh kulit halusnya, tangan Yisrel justru terhempas ke belakang. Membuat sendinya nyaris patah.

"Kau berusaha menyentuhku?"

Gadis itu seketika berdiri. Ia sedikit menjauh dari Yisrel. "Tidak ada yang bisa menyentuh kebijaksanaan surga, Yisrel Putra Saverus. Aku menerima berkah sekaligus kutukan. Kau beruntung karena tidak lenyap seketika setelah menyentuhku."

Yisrel terdiam. Dia kembali teringat pada apa yang ditunjukkan gadis itu melalui proyeksi sihir sebelumnya. Gadis di sebelah leluhur keluarganya itu adalah gadis penyihir yang sama yang berdiri di depannya sekarang. Setidaknya, itulah kesimpulan Yisrel untuk saat ini.

"Tidak ada yang bisa menyentuhmu? Lalu, bagaimana kau hidup selama ini?"

Gadis itu menatap kosong pada pegunungan yang jauh. "Aku seorang penyihir. Aku punya cara tersendiri untuk hidup."

Yisrel mengepal erat kedua tangannya. "Tetapi, meski kau seorang penyihir pun, kau pasti butuh sebuah cinta. Selama ribuan tahun hidup tanpa dapat merasakannya .... Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kesepiannya dirimu."

Penyihir itu berjalan pelan meninggalkan Yisrel. "Kau seharusnya paham. Aku tidak bisa melihat takdirmu. Aku tidak tahu apa tindakanmu. Tapi jujur aku sedikit berharap kau adalah orang yang dapat membebaskanku dari kutukan ini. Meaki itu mustahil."

Ia berbalik, menatap Yisrel penuh kehangatan. Membuat pemuda dari keluarga pemburu itu terpesona akan kecantikannya, layaknya terpesona pada purnama yang berhiaskan bintang.

"Aku harus pergi. Perjanjian kita tadi tolong lupakan saja. Aku tidak ingin memiliki pengikut yang tidak dapat kuprediksi tindakannya. Selamat tinggal, Rubah Kecil."

Yisrel yang sadar bahwa ia akan ditinggalkan seorang diri lagi segera mengejarnya. Baginya, membiarkan gadis itu pergi sama saja dengan mengkhianati harapan besar leluhurnya di masa lalu. Ia tidak boleh mengulangi kesalahan yang sama apa pun yang terjadi.

"Tunggu!" teriaknya sembari menggenggam tangan si penyihir.

Seketika itu pula sensasi terbakar memenuhi seluruh lengannya. Sementara gadis itu yang tubuhnya nyaris menghilang, kembali tampak jelas. Ia memasang ekspresi terkejut yang tidak dapat dideskripsikan.

"Jika leluhurku pernah membuat janji untuk bersamamu dan tidak mampu menepatinya. Jika leluhurku pernah meninggalkanmu dalam kesepian. Jika leluhurku membuatmu menanggung beban seisi dunia dan menerima kutukan abadi. Jika leluhurku melakukan kesalahan, maka biarkan aku memperbaikinya.

Aku ingin berjalan di sisimu selama sisa usiaku. Aku ingin melihat senyum di wajahmu mekar seperti bunga pertama di awal tahun. Aku ingin melihatmu bahagia ketika aku membawa pulang hasil buruan yang besar.

Aku, Saverus Yisrel. Seorang pemburu dari Saverus akan mencintaimu dengan sepenuh hati."

Setelah mengatakan itu, tubuh Yisrel tidak lagi mampu menahan efek dari kutukan yang dibawa gadis penyihir itu. Ia pun seketika terpental beberapa meter hingga menghantam pepohonan di belakangnya.

Sang penyihir buru-buru menghampiri Yisrel, nemastikan apakah kondisinya tetap baik-baik saja setelah mengalami benturan sekeras itu.

Setelah memastikan tubuh pemuda itu baik-baik saja, ia segera tertawa.

"Kau masih terlalu muda, Yisrel. Apa anak muda zaman sekarang memang begitu keras kepala dan mudah menyatakan perasaan? Aku tidak habis pikir. Akan tetapi ...," ia berbalik sejenak, lalu kembali menatap Yisrel. "Baiklah, aku menerima tawaranmu. Kau bebas menjadi pengikutku atau mencintaiku. Sebaliknya, aku juga akan melakukan yang terbaik untuk bisa mencintaimu meski dengan segala keterbatasan di antara kita."

***END***
Ditulis oleh Austeen_kaulia & Dhikayo

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro