Gayatri; Mi Tesoro

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ditulis oleh mozaraja & fikaea

Iris hazelnya memandangi sekumpulan gadis di lapangan, lebih tepatnya seseorang yang surainya dikepang dua. Memperhatikan tiap-tiap ekspresi, terhipnotis oleh aura kehangatan gadis bernama Ajeng Gayatri yang katanya masih memiliki darah bangsawan Jawa. Betapa eloknya selalu dielu-elukan, tak hanya periang, dia pun seorang ramah-tamah. Banyak yang ingin menjadi temannya, prestasi tiada henti juga kesempurnaan mengikuti.

Akibatnya, laki-laki muda yang sedari tadi duduk memperhatikan—Cartez Fusena, menyukai si gadis jelita tersebut. Dia siswa pindahan setengah tahun lalu, keturunan Spanyol dari sang Kakek dan anak tunggal dari pengusaha kecil tanaman hias pinggiran kota.

Menyadari perbedaan antara dirinya kepada Ajeng, cukup tahu diri dengan situasi. Dinding yang memisahkan amatlah tinggi, mustahil 'tuk sekedar memanjat bahkan meluluhlantakkan. Terjerat dalam situasi yang tak menguntungkan, tiada kekuatan untuk menghadapi rasa seorang sendiri.

"Aku rasa menyukainya dengan cara seperti ini tidaklah buruk," gumamnya.

Suara sorak-sorai dari kelas lain menghampiri indera pendengarannya, menggambarkan seberapa meriah tanding voli putri antar kelas. Hembusan angin sedikit menyegarkan kala ditimpa sinar matahari nan begitu terik. Tubuh tinggi Cartez perlahan memucat, tetapi sunggingan pada bibirnya masih bertengger apik saat netranya melihat Ajeng sedang tertawa lepas karena berhasil mencetak poin.

Jangankan untuk menjadi pemain voli putra, berlari mengelilingi lapangan saja tidak bisa karena hiperventilasi yang Cartez idap. Hanya bisa menyaksikan dari tepi lapangan, turut bertepuk tangan saat tim mencetak poin secara berulang. Padahal dia ingin merasakan sensasi berkeringat dalam suatu perlombaan atau pemanasan, terlebih Ajeng merupakan salah satu siswi terbaik di kelas olahraga.

Perlu alasan macam apalagi untuk membuat laki-laki muda itu tak percaya diri akan cintanya.

Sejak kepindahannya kemari, atensi Cartez selalu tertuju pada Ajeng. Letupan kecil di hatinya perlahan membesar seiring berjalannya waktu, ingin rasanya mengungkap—memberitahu apa-apa saja yang dia rasakan. Otaknya dijejali tentang gadis berada tersebut, membuat hatinya berputar lamban, tetapi menghanyutkan bagai wahana Bianglala.

Setiap hari, hal pertama yang Cartez lakukan saat tiba di sekolah ialah selalu menyelipkan selembar kertas kecil pada loker sang pujaan. Bukan surat cinta atau teka-teki romansa, melainkan sketsa wajah Ajeng itu sendiri. Namun, akhir-akhir ini dia jarang melakukannya. Bukan karena berhenti mencinta, hanya saja takut jikalau suatu hari nanti rutinitasnya terungkap. Jadi, selama satu bulan terakhir Cartez sekedar menumpahkan segala rasa pada sebuah buku sketsa kecil.

Cartez bergumam, "Halaman selanjutnya akan kuberi judul Kepangan surai melambai kasih."

Tatapan cintanya masih setia tertuju pada Ajeng Gayatri. Baginya melihat sang tambatan hati di kelilingi euphoria dan insan yang menghargai, itu sudah lebih dari cukup. Memang bohong jika Cartez bilang enggan berdampingan bersama seseorang nan menawan. Akan tetapi—sekali lagi, perbedaan mereka akan menjelma menjadi problematika besar, Ajeng akan menjauhinya lantas menerima kecaman publik.

Sekalipun Cartez menginginkan nirwana cinta, berjalan mulus tanpa kerikil, bukankah itu mustahil? Sebesar apapun cinta dan usahanya, tetap saja dunia mempunyai takdir juga realita. Sekalipun pahit tak sesuai ekspektasi, harus bisa menelannya mentah-mentah.

Menghela napas. Cartez beranjak, kaki jenjangnya melangkah meninggalkan area tanding. Tumpahan cat pada kanvas hatinya semakin banyak—bercampur tak terkendali menimbulkan getaran luar biasa pada relung jiwa. Degupan jantung menggila sampai menimbulkan rasa sakit di dada. Ternyata sedahsyat ini cinta Cartez terhadap Ajeng.

Setibanya di ruang kelas, mendadak hiperventilasi itu muncul ke permukaan. Membuat Cartez terbatuk hebat hingga terduduk, buku sketsa dalam pegangan pun jatuh tergeletak begitu saja. Dadanya seolah dipukul menggunakan palu, tidak ada seorang pun di sini, berusaha memutar otak mengingat-ingat wejangan sang Ayah bila sakit ini kambuh.

Setelah 10 menit kemudian, barulah Cartez mulai bernapas teratur perlahan. Kedua tangan yang mengatup mulut paksa menampung air liur, cara ini terkesan menjijikkan tapi efeknya lumayan cepat.

"Apa yang terjadi padamu?" Seseorang bertanya dari arah belakang.

Matanya membola sempurna, perlahan menengok ke sumber suara. "Ajeng ... kau di sini?" tanya Cartez linglung.

***

Sedari tadi kening gadis berkepang dua mengerut serius, berusaha meyakinkan diri bahwa apa yang terlihat memanglah fakta. Buku sketsa yang ia pungut di dekat Cartez tadi membawanya pada sebuah rahasia besar, walau lancang tapi Ajeng penasaran setengah mati. Terus membolak-balikkan halaman, mencermati setiap sketsa yang terlihat memiliki kesamaan struktur.

Iris coklatnya bergulir, menatap sendu pahatan wajah Cartez. "Hanya perasa atau memang semua gambar ini mirip denganku?" tanyanya.

Jika memang iya, bukankah ini menyiksa sang pemilik? Memendam cinta seorang diri, membakar hati dari dalam lambat laun dan membumihanguskan perasaan untuk kedepannya. Ajeng tidak bisa membayangkan seperti apa upaya Cartez 'tuk menekan letupan tersebut.

Beralih pada halaman terakhir yang terdapat sketsa seorang gadis—merapikan rambutnya. Itu jelas Ajeng Gayatri, baik dari pose atau mimik wajah sudah terlihat.

"Ajeng ...."

Nampak bila Cartez mengigau—mendengungkan nama terkasih dalam lelapnya. Mungkin sebentar lagi dia siuman dan Ajeng akan menunggunya, ingin mendapat jawaban atas rasa keingintahuan akan pertanyaan siapakah orang yang terpampang jelas pada tiap lembar.

Terasa lama 20 menit berjalan, tetapi ekspresi suntuk Ajeng berubah drastis kala melihat Cartez yang mengerjapkan mata.

"Cartez?" Sebelah tangannya melambai di depan wajah laki-laki yang terlihat pucat. "Syukurlah. Aku pikir harus membawamu ke rumah sakit," papar Ajeng.

Melirik sang pujangga cinta dari ekor matanya, mengucap susah, "Mengapa kau ... ada di sini?" tanyanya.

Menggaruk pipi tak gatal, atmosfer mereka terasa canggung dari biasanya. "Aku sengaja menunggumu siuman. Ingin menanyakan sesuatu."

"Apa itu?"

"Cartez, siapa gadis yang kau suka?" tanya Ajeng gamblang. Menatap lekat si laki-laki bersurai cokelat bergelombang. "Atau, seperti apakah gerangan gadis tersebut?" sungutnya.

Terpaku sesaat. Firasat buruk menghampiri, berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi sebelum pingsan. Bibirnya terkatup rapat, merutuki diri kenapa bisa melupakan buku sketsanya—buku itu bisa mengungkap semua hal.

Merasa tak kunjung mendapat jawab, Ajeng kembali bersuara, "Begini saja, apa kau orang yang sering menaruh kertas sketsa pada lokerku?"

Cartez terkejut dengan apa yang dia dengar. "Apa yang kau bicarakan?" tanyanya balik—membuang muka, enggan bertatap mata.

Gadis berponi—Ajeng menyunggingkan sudut bibir. Seseorang seperti Cartez memang keras kepala, harus membutuhkan bumbu lebih 'tuk memancing suara terucap.

"Kau menyukaiku. Aku benar?" tanyanya percaya diri.

Terpaksa membelakangi sang pujaan hati. "Tidak. Aku tidak menyukai siapa pun," lirihnya.

Wajah berseri Ajeng perlahan berganti sendu. Setangguh apa tekad Cartez untuk membantah fakta bahwasannya dia menyukai seseorang, bahkan kini hanya berjarak beberapa centi.

Menghela napas berat. Siapa saja berhak memerdekakan rasa karena mereka memiliki hati yang harus terisi. Rasa yang terpendam tidaklah sesederhana kedengarannya, justru mampu menyiksa diri entah dari sisi mana pun.

"Aku sudah membuka buku sketsamu dengan lancang. Dan, setelah dicermati lagi, bukankah semua gambar itu aku?"

Spontan saja Cartez membalikkan badan, menyorot tajam Ajeng. "Kenapa kau membukanya?"

Daripada luapan amarah, Cartez lebih terlihat seperti menahan kekecewaan. Ketakutan akan perasaannya terungkap, apalagi dengan cara seperti ini.

"Mengapa kau tidak jujur terhadap rasamu sendiri, Cartez?" tanyanya penasaran.

"Kau tidak mengerti ... kau tidak akan pernah tahu perihal problematika rasa yang aku alami terhadapmu, Ajeng."

Ajeng menatap laki-laki di depannya dengan heran. Rasa penasaran bercampur dengan rasa kecewa menjadi satu. Ia tak bermaksud membuat Cartez tersinggung, ia hanya ingin membuat Cartez melepaskan perasaan yang membelenggunya. Hanya saja ia tak menduga kalimat yang meluncur dari mulut laki-laki itu begitu tajam dan menyakitinya.

“Aku tidak mengerti mengapa kau berpikir seperti itu padaku. Aku hanya ingin kau mengungkapkan perasaan yang ada di hatimu. Setidaknya itu dapat mengurangi bebanmu,” ujar Ajeng pelan.

Cartez membisu. Ia memalingkan wajah dari gadis berkepang di hadapannya. Ia tak ingin melihat wajah yang menampakkan semburat kekecewaan itu padanya. Memperlihatkan seberapa menyakitkannya apa yang baru saja Cartez katakan.

Laki-laki itu jelas kecewa dengan apa yang terjadi, tetapi ia baru menyadari, menyalahkan Ajeng yang tidak tahu-menahu perihal perasaannya pasti terasa jauh lebih mengecewakan bagi gadis itu. Cartez pasti terlihat lebih buruk. Setelah penyakit yang ia derita dan menjadi kelemahan terburuknya terungkap, kini gadis itu juga telah mengetahui fakta yang tak pernah Cartez harapkan terjadi. Terlebih dengan kesan yang buruk.

“Aku memang tidak tahu-menahu perihal perasaanmu padaku, Cartez. Aku memang tidak mengetahui problematika seperti apa yang kamu alami. Tapi bukan berarti aku tidak bisa memahaminya,” lanjut Ajeng, meski tak mendapat tanggapan dari laki-laki di hadapannya, “Aku tidak akan menyalahkan perasaanmu karena aku tahu, perasaan itu adalah hak dan kebebasan untuk semua orang. Jadi, kau berhak untuk memiliki perasaan itu. Meskipun mungkin saat ini aku belum merasakan hal yang sama sepertimu, tetapi aku sangat menghargainya.”

Cartez menundukkan kepalanya. “Aku ingin sendiri, Ajeng.”

“Baik, jika itu bisa membuatmu merasa lebih baik. Terima kasih atas semua gambar yang pernah kau berikan padaku. Kau punya jiwa seni yang tinggi, aku sangat menyukainya,” Ajeng beranjak pergi dari kelas itu, meninggalkan Cartez yang diam termangu. Sepertinya laki-laki itu tengah mengembalikan kondisinya yang masih kacau akibat penyakitnya yang kambuh.

Dengan perlahan, Cartez membuka lembar demi lembar buku sketsa yang berisi wajah manis gadis yang sangat diidamkannya itu. Mata berbinar yang selalu melekat pada wajahnya selalu berhasil membuat Cartez merasa candu. Sosok yang selalu membuat seorang Cartez Fusena merasa bersemangat dan lebih baik setiap harinya.

Namun ketika dunia berusaha untuk mendekatkan laki-laki itu pada gadis pujaannya, yang terjadi justru tak seperti apa yang diharapkan. Bahkan garis takdir pun tak mengizinkan Cartez untuk mengesankannya. Penyakitnya muncul di waktu yang salah, perasaan yang telah dipendam selama ini terkuak tepat pada gadis yang disukainya sendiri, ditambah perasaan kecewa yang tak dapat dikendalikan. Ada banyak hal yang begitu mengecewakan. Perasaan malu dan khawatir terus menghantuinya.

Laki-laki mana yang ingin terlihat buruk di hadapan gadis yang dicintainya? Cartez yakin tidak ada. Bukan inginnya untuk menyakiti perasaan Ajeng seperti itu, hanya saja pikirannya terlalu berkecamuk untuk menerima fakta yang selama ini ia sembunyikan. Rasanya, Cartez hendak menghilang saja.

***

‘Terima Kasih untuk semua gambar yang pernah kau berikan padaku.’
Sebuah kertas tergeletak di dalam loker milik Cartez. Tampak sedikit lusuh dan terlipat, seperti dipaksa melewati celah kecil. Tanpa bertanya pun Cartez tahu siapa pemiliknya. Hanya satu orang saja yang selalu menjadi objek favoritnya. Objek paling mengesankan dan menjadi kebahagiaannya. Seseorang yang ingin Cartez miliki, tetapi perasaan itu bagaikan ketidakmungkinan yang selalu Cartez harapkan.

Namun nyatanya, keadaan yang dialami Cartez berbanding terbalik dengan apa yang diharapkannya. Sejak kejadian hari itu, hari dimana gadis itu mengetahui segalanya, Cartez justru memilih untuk melangkah mundur. Menjauh dan menghilang dari kehidupan Ajeng. Tiap kali mereka tak sengaja berpapasan, Cartez memilih untuk berbalik arah dan menjauhinya. Bahkan sejak kejadian di hari itu, ia berhenti membuat sketsa lagi. Ajeng pun tak pernah menanyakan lagi. Kejadian hari itu benar-benar mengubah keadaan keduanya.

Cartez mengambil kertas berisi pesan singkat tersebut dengan pelan, kemudian menyelipkannya pada bagian buku paling bawah. Cartez ingin melupakan gadis itu dan menjadikannya bagian dari kenangan yang berharga. Tanpa Cartez ketahui, seseorang memperhatikannya dari balik pintu ruang loker, merasakan hatinya yang remuk redam.

***

Hari demi hari berlalu. Masa-masa sulit sebagai seorang siswa dan mahasiswa telah Cartez lewati. Laki-laki itu sudah tak lagi mengenakan seragam putih abu-abu lagi setiap harinya. Tak juga mengenakan kemeja serta duduk di kursi lipat dalam ruang kelas di suatu perguruan tinggi. Titel Sarjana Seni telah menjadi pelengkap pada Namanya. Meskipun sudah beranjak dewasa, buku sketsa dan kenangan gadis itu masih menjadi kenangan terindah sehingga selalu mengikutinya kemana pun ia pergi.

Menjadi seorang freelancer, telah menjadi kesibukan Cartez belakangan ini. Waktu tidurnya habis untuk menyelesaikan project demi project yang tak berkesudahan. Rasa letih telah mengambil sembilan puluh persen isi pikirannya. Meski begitu, laki-laki itu tetap menjalankan pekerjaannya dengan profesional.

Seperti hari ini, meski tubuhnya mulai meronta kesakitan, laki-laki itu tetap saja berlari menuju kafe untuk bertemu dengan seorang client. Napasnya menderu berat. Terputus-putus sejalan dengan langkah kaki.

Saat membuka pintu kafe tempatnya dan calon kliennya bertemu, tubuhnya melemas. Napas yang tersengal kini berubah menjadi suara batuk yang hebat. Tangannya menggenggam gagang pintu dengan begitu erat, hingga pada akhirnya tubuh itu tak lagi mampu melawan gravitasi bumi yang begitu kuat. Jatuh ke tanah dan membuat pengunjung lainnya terkejut.

“Cartez, apa kau sudah siuman?”

Suara familiar itu terdengar pertama kali setelah Cartez Kembali mendapatkan kesadarannya. Ia mengerjapkan mata berkali-kali saat melihat sosok yang telah lama tak ditemuinya. Sudah sejauh ini, Cartez berlari menjauh. Sudah selama ini Cartez berusaha menghindarinya. Tetapi hanya dengan dihadapkan dengannya sekali saja, telah membuat hati Cartez porak poranda. Rupanya rasa itu masih sama.

“Hai?” sapanya canggung, “Sampai kapan kau akan menghindariku lagi?”

Cartez masih membisu. Tak menyangka gadis itu benar-benar berada di hadapannya.

“Ajeng, aku menyukaimu.” Entah keberanian dariman, tetapi kata-kata itu meluncur begitu saja.

Ajeng tersenyum mendengarnya, “Terima kasih. Terima kasih karena kau telah mengatakannya. Aku masih menunggumu hingga saat ini.”

“Kau menungguku?” tanya Cartez tak percaya. “Menikahlah denganku.”

Tanpa disangka gadis itu menyetujuinya. Cartez tersenyum mendengar jawaban gadis itu.

***

Hari Bahagia yang telah dinantikan pun tiba, keduanya berada di atas pelaminan yang begitu mewah. Cartez yang selama ini memendam perasaannya berhasil mendapatkan pujaan hatinya. Menjadi pasangan seumur hidup dengan segala kekurangan dan kelebihan yang ia miliki.

The End

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro